1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Pernah termaktub pada suatu waktu yang sangat jauh dari hari ini ―
....kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak
ada kebenaran yang mendua.
‖ Kata-kata ini, yang dituliskan Mpu Tantular, lahir satu kali dan agaknya hidup abadi. Begitu abadi sehingga ketika
dihadapkan dengan masalah kehidupan beragama dan pluralitas di Indonesia saat ini masih relevan. ―Dalang‖ dari masalah kehidupan beragama dan
pluralitas ini kemudian disebut sebagai: fundamentalisme —yang notabene
adalah sebuah paham.
Fundamentalisme dipahami sebagai sikap terhadap keyakinan seseorang yang memuat kebenaran fundamental, dasar, intrinsik, esensial, dan
tak bercela mengenai kemanusiaan dan ketuhanan Altemeyer Hunsberger, 1992; Moaddel Karabenick, 2008; Williamson, Hood, Ahmad, Sadiq,
Hill, 2008. Hood, Hill, dan Williamson 2005 berpendapat bahwa label ini dapat digunakan sepanjang kelompok ini menolak pluralitas terhadap kitab
suci modernitas. Menurut kaum fundamentalis, pluralitas kitab suci ini
menyangkal penyingkapan rahasia Tuhan.
Meskipun fundamentalisme memiliki definisi dan ciri yang sama, namun gejala sosial tersebut harus dipahami secara kontekstual. Menurut
Herriot 2009, konteks yang dimaksud di sini adalah konteks sosial maupun konteks psikologis. Pada waktu dan tempat yang berbeda, alasan seorang atau
sekelompok fundamentalis melabeli ‗yang lain‘ sangatlah berbeda. Oleh karena itu, ketika kita menyebut seseorang atau sekelompok orang adalah
kaum fundamentalis, kita perlu mencari latar belakang fundamentalisme yang
terjadi sesuai konteks sosial dan psikologis yang ada.
Kita ambil contoh fundamentalisme Taliban Afghanistan dengan fundamentalisme kelompok penyerang Ahmadiyah Indonesia. Keduanya
memiliki kesamaan ciri dasar bahwa ideologi di luar mereka tidak dapat ditoleransi dan bertujuan untuk membentuk sebuah sistem teokrasi yang
berlandaskan syariah. Namun mereka memiliki karakteristik yang berlainan. Taliban berhasrat untuk menaklukkan Afghanistan dan membentuk kembali
khalifah Islam Rashid, 2001, sedangkan kelompok penyerang Ahmadiyah memiliki tendensi bahwa pihak mayoritas menindas yang minoritas Program
Studi Agama dan Lintas Budaya [PSALB], 2012. Perbedaan inilah yang menunjukkan pentingnya melihat fenomena fundamentalisme secara
kontekstual. Meskipun harus dipahami secara kontekstual, namun dapat dipahami
bahwa ada sejumlah karakteristik utama fundamentalisme secara global. Karakteristik utama adalah prinsip intratekstualitas
intratextuality
. Menurut Hood et al. 2005, para fundamentalis memandang bahwa isi kitab suci secara
literal adalah benar adanya dan satu-satunya sumber dari makna. Dalam hal ini berarti para fundamentalis menjadikan kitab suci sebagai sebuah otoritas yang
menempatkan pengalaman manusia di bawahnya. Tidak ada sumber di luar teks yang dapat mengatakan kebenaran mutlak dari kehidupan. Lebih jauh
lagi, dapat kita katakan bahwa isi teks tidak bisa dipengaruhi apapun atau siapapun, mereka yang skeptis dan mempertanyakan isi dari teks akan
mengalami penolakan dari para fundamentalis Hood, Hill, Spilka, 2009. Mirisnya, beberapa teks yang tertulis dalam kitab suci akan menjadi
beresiko lewat penafsiran yang literal
intratextual
. Padahal, jika dilihat dari kitab suci berbagai agama besar di dunia, kita dapat menemukan beberapa
kalimat yang tertulis dalam kitab suci yang secara fundamental justru mendukung humanisme dan perdamaian, bukan kekerasan antar agama Rg.
Weda X.191; Matius 22:37-39; Al-Baqarah 213; Karaniya Metta Sutta. Lain halnya jika penafsiran dilakukan secara selektif. Ketika selektivitas ini terjadi,
kita akan sampai pada pemahaman bahwa apa yang ada dalam kitab suci menjadi beresiko.
Hood et al. 2005 mengelaborasi bahwa fundamentalis melakukan proses
selective scriptural
ini sebagai bentuk dari justifikasi terhadap pandangannya. Sebagai contoh adalah fundamentalis Protestan yang memiliki
dasar dari beberapa teks tertentu dalam Alkitab, salah satunya adalah pada; “Tetapi kamulah bangsa yang
terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-
Nya yang ajaib…” 1 Petrus 2:9 Kutipan ayat di atas menjadi basis justifikasi fundamentalis Protestan.
Dengan kata lain, ayat tersebut telah melewati proses
selective scriptural
.
Proses
selective scriptural
ini merupakan bentuk fragmentasi isi kitab suci. Kitab suci yang seharusnya dipahami secara menyeluruh justru mengantar
pada interpretasi yang kurang tepat ketika dipahami secara selektif. Proses
selective scriptural
yang pragmatis dan mengalami penyimpangan interpretatif ini akan menjadi berbahaya jika dikenakan dalam pemahaman terhadap kata
―bangsa yang terpilih‖, ―imamat yang rajani‖, ―bangsa yang kudus‖, ―umat kepunyaan Allah sendiri‖.
Di Indonesia, fundamentalisme ditengarai menjadi pemicu beragam kasus kekerasan. Pada tahun 2010, tercatat ada 39 kasus kehidupan beragama,
sedangkan tahun 2011 ada 36 kasus menyangkut kehidupan beragama PSALB, 2012. Kasus yang terjadi meliputi pengalihfungsian, pembekuan,
penyegelan, penutupan atau penggusuran rumah ibadah, maupun ancaman atau perusakan, mulai dari pelemparan batu ke bangunan rumah ibadah sampai
pada pembakaran dan teror serta ledakan bom bunuh diri di tempat ibadah. Secara kuantitatif, tidak terjadi perubahan yang signifikan berkaitan dengan
masalah kedua ini. Namun secara kualitatif mengalami peningkatan dengan digunakannya modus bom bunuh diri dalam satu kasus masjid di Cirebon dan
satu kasus gereja di Solo. Terang saja gerakan fundamentalisme yang dimanifestasikan dalam
berbagai bentuk yang berbau kekerasan komunal perusakan, bom bunuh diri dan ―dihiasi‖ intrik politik sistem teokrasi, SKB Tiga Menteri, meresahkan
sekaligus membahayakan keadaan sosial maupun psikologis masyarakat luas. Berdasarkan
apa yang
telah diuraikan,
maka signifikansi
studi
fundamentalisme dan kaitannya dengan resiko sosial yang mengancam perlu dilakukan. Jika memungkinkan justru kita meretas serta melakukan tindakan
preventif terhadap hal tersebut. Untuk meretas serta melakukan tindakan preventif, maka salah satu hal yang diperlukan adalah memahami kehidupan
para fundamentalis. Sebagaimana kelompok fundamentalis memiliki karakteristik berdasar
konteks, maka guna mencapai pemahaman yang komprehensif, Victoroff 2005 menganjurkan penelitian dengan melakukan kontak langsung dengan
kaum fundamentalis. Selain dibutuhkannya kontak langsung, ditemukan juga bahwa perilaku yang terjadi dalam fundamentalis dideterminasikan oleh
sebuah kombinasi dari faktor bawaan, faktor biologis, faktor awal perkembangan, faktor kognitif, temperamen, pengaruh lingkungan, dan
dinamika kelompok. Dari faktor-faktor tersebut, aspek biologis e.g. Jakubowska Oniszczenko, 2010; Watson, Chen, Hood, 2011 dan sosial
e.g. Altemeyer, 2004; Blogowska Saroglou, 2011; Gribbins Vandenberg, 2011 telah dihadirkan. Namun, menjadi tidak adekuat dengan absennya nilai-
nilai hidup filosofi yang dipegang dan makna yang dicipta oleh fundamentalis itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian terpadu lewat level
analisis dan penggambaran mengenai contoh fundamentalis perlu dilakukan. Menanggapi gagasan Victoroff 2005, penelitian ini akan berusaha
melakukan kontak langsung terhadap fundamentalis dalam rangka pemahaman akan aspek biologis, sosiologis, sekaligus aspek filosofis. Kerangka teoritis
yang secara tepat mengakomodir ketiga aspek tersebut adalah pemaknaan
dunia kaum fundamentalis. Kontak langsung akan membantu pemahaman mengenai dunia mereka secara langsung. Lewat mengenal dunia kaum
fundamentalis, pemahaman komprehensif mengenai fundamentalis sebagai seorang manusia akan tercapai.
Dunia yang dimaksud adalah dunia makna
Lebenswelt
sesuai pemahaman Edmund Husserl dalam Abidin, 2007. Dunia ini diciptakan
dimaknakan dan dihidupi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia eksistensial
—sebagaimana kita akan menyebut selanjutnya—merupakan pemaknaan atas dunia disertai proses membangun dunia dalam koridor
psikologi eksistensial. Secara singkat, rentang sejarah psikologi eksistensial sangat erat kaitannya dengan pemikiran Edmund Husserl, Martin Heidegger,
Ludwig Binswanger, Medard Boss, dan Rollo May. Groth 2008 mengelaborasi bahwa manusia yang sehat adalah
manusia yang eksis di dunia
the existing person
atau
the exister
. Manusia yang eksis berarti berada dalam otentisitasnya. Otentisitas ini dipahami
sebagai realisasi kebebasan manusia. Kebebasan ini merupakan wujud
dasein
Ada-di-sana dalam kondisi
being-in-the-world
. Guna memahami
being-in- the-world
, maka kita harus memahami
being
Ada dan
world
dunia. Kedua kutub ini membangun sebuah relasi dialektis dalam dinamikanya.
Being
dalam hal ini dipahami sebagai eksistensi manusia itu sendiri. Dengan demikian, seperti dikatakan sebelumnya, untuk memahami manusia
berarti harus memahami dunianya. Dan untuk memahami dunia eksistensialnya, maka kita harus memahami mode dunia eksistensial manusia.
Cara memahami dunia eksistensial seseorang adalah memahaminya lewat tiga mode dunia. Mode dunia pertama adalah
Umwelt
.
Umwelt
dipahami sebagai dunia fisiologis maupun kultural sejauh itu menempatkan manusia
dalam kondisi yang minim kebebasan untuk memilih. Kedua adalah
Mitwelt
yang dipahami dalam hubungan antara aku dengan orang lain. Orang lain dalam hal ini juga diposisikan sebagai subyek, bukan sekadar obyek. Mode
terakhir adalah
Eigenwelt
.
Eigenwelt
dipahami sebagai dunia pribadi yang berisi nilai-nilai dan potensialitas seseorang.
Ketiga dunia ini yang membentuk seseorang dalam kondisi
being-in- the-world
. Ketiga dunia ini bersifat dialektis dan beroperasi secara serentak dalam dunia eksistensial setiap orang. Sifat melekat antara seseorang dengan
dunianya memungkinkan pemahaman bahwa untuk memahami seseorang, maka kita harus memahami dunianya. Erwin Straus dalam May, 1958
mengatakannya dengan baik; ―
To understand the compulsive, we must first understand his world
. ‖
Guna memahami dunia seorang fundamentalis, penelitian ini akan mengangkat kasus Yusuf Adirima. Yusuf adalah seorang mantan mujahidin.
Selama 2 tahun Yusuf berjihad atas nama
Moro Islamic Liberation Front
MILF melawan pemerintahan Filipina. Tujuannya adalah berlatih perang untuk melakukan solidaritas dengan berjihad di Poso. Sekembalinya dari
Filipina, Yusuf tidak memiliki kesempatan lagi untuk berjuang di Poso berkaitan dengan adanya perjanjian Malino. Yusuf kemudian justru ditangkap
dengan dakwaan sebagai tersangka terorisme. Veteran perang MILF ini
ditangkap polisi pada tahun 2002 dikarenakan terbukti menyimpan amunisi di rumah kontrakannya bersama Mustofa dan ketiga temannya. Perjuangan jihad
inilah yang mendasari peneliti untuk menghadirkan kasus dan pengalaman Yusuf sebagai sebuah
single-case studies
dalam penelitian. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa penting untuk meneliti
dunia eksistensial kaum fundamentalis agama. Lewat pemahaman dunia eksistensial para fundamentalis pula, kita akan mampu menemukan bagaimana
dunia itu dibentuk. Oleh karena itu, untuk mencapai pemahaman akan solusi terhadap masalah fundamentalisme, kita harus memulainya dengan memahami
seperti apa dan bagaimana mereka membangun dunia. Harapannya; pemahaman akan dunia Yusuf ini dapat menjadi cermin kecil untuk
mengetahui seperti apa dan bagaimana seorang fundamentalis membangun dunianya.
B. Rumusan Masalah