Dunia eksistensial Wiracarita Adirima.

(1)

DUNIA EKSISTENSIAL WIRACARITA ADIRIMA

Albertus Harimurti

ABSTRAK

Manusia dan dunia tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling menciptakan. Untuk memahami manusia, maka harus memahami dunianya, dan sebaliknya. Penelitian ini menyelidiki kaitan antara dunia dengan diri. Konteks referensi yang diangkat adalah mengenai fundamentalisme keagamaan. Penelitian ini berusaha mengetahui dunia fundamentalis lewat pembangunan dunia yang dilakukan seorang fundamentalis lewat hubungannya dengan dunia yang membatasi kebebasan eksistensialnya (Umwelt), dunia sosialnya (Mitwelt), serta hubungannya dengan dirinya sendiri (Eigenwelt). Metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi eksistensial. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur dengan partisipan satu orang. Pemilihan partisipan dilakukan lewat dasar pengalaman berjihad partisipan. Verifikasi data dilakukan dengan validasi intrasubjektif dan intersubjektif untuk memperkuat penafsiran data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman sebagai fundamentalis yang dialami partisipan merupakan cara meng-Ada dengan “kembali ke nabi” (Umwelt), menjadi berguna bagi orang lain (Mitwelt), sikap anarkis (Umwelt), serta mempraktekkan teori ke dalam aksi (Eigenwelt).


(2)

THE EXISTENTIAL WORLD OF ADIRIMA’S EPIC

Albertus Harimurti

ABSTRACT

Human and the world can not be separated. Both are co-constituted. To understand human being, we should understand his world, and vice versa. This study explores the relationship between the self to world. The reference context of the study is religious fundamentalism. This study sought to know the fundamentalist world construction through the relation with a world that restrict his existential freedom (Umwelt), relation toward social world (Mitwelt), and his relation with himself (Eigenwelt). The method used is an existential phenomenology. The data was collected through semi-structured interviews with one participant. Selection of the participant is based on his jihad experience. Data verification is done by intrasubjective and intersubjective validation to strengthen the interpretation of the data. The results showed that the experience as a fundamentalist as experienced by the participant is the “way to be” through “go back to the prophet” (Umwelt), significance for others (Mitwelt), anarchist attitude (Umwelt), and putting theory into practice (Eigenwelt).


(3)

DUNIA EKSISTENSIAL WIRACARITA ADIRIMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Albertus Harimurti

NIM : 089114133

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

DUNIA EKSISTENSIAL WIRACARITA ADIRIMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Albertus Harimurti

NIM : 089114133

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

Aku mencintai manusia.

Bukan aku, cinta, dan manusia dalam makna apapun, kecuali dalam makna sebenarnya.


(8)

v

Untuk setiap existenz

yang tidak bisa hidup tanpa sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, yang merupakan kebebasan dan hidupnya. Dalam Keberadaan sekaligus Ketiadaan,

kasunyatan dan kemampuan-mencipta menerakan jejaknya.


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan identitas di bawah ini: Nama : Albertus Harimurti

NIM : 089114133 Fakultas/Jurusan/Prodi : Psikologi

menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah diajukan guna mencapai derajat kesarjanaan di perguruan tinggi manapun. Karya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah. Jika terdapat bukti adanya plagiasi, saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Yogyakarta, 13 Juni 2013 Yang menyatakan,


(10)

vii

DUNIA EKSISTENSIAL WIRACARITA ADIRIMA

Albertus Harimurti

ABSTRAK

Manusia dan dunia tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling menciptakan. Untuk memahami manusia, maka harus memahami dunianya, dan sebaliknya. Penelitian ini menyelidiki kaitan antara dunia dengan diri. Konteks referensi yang diangkat adalah mengenai fundamentalisme keagamaan. Penelitian ini berusaha mengetahui dunia fundamentalis lewat pembangunan dunia yang dilakukan seorang fundamentalis lewat hubungannya dengan dunia yang membatasi kebebasan eksistensialnya (Umwelt), dunia sosialnya (Mitwelt), serta hubungannya dengan dirinya sendiri (Eigenwelt). Metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi eksistensial. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur dengan partisipan satu orang. Pemilihan partisipan dilakukan lewat dasar pengalaman berjihad partisipan. Verifikasi data dilakukan dengan validasi intrasubjektif dan intersubyektif untuk memperkuat penafsiran data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman sebagai fundamentalis yang dialami partisipan merupakan cara meng-Ada dengan ―kembali ke nabi‖ (Umwelt), menjadi berguna bagi orang lain (Mitwelt), sikap anarkis (Umwelt), serta mempraktekkan teori ke dalam aksi (Eigenwelt).


(11)

viii

THE EXISTENTIAL WORLD OF ADIRIMA’S EPIC

Albertus Harimurti

ABSTRACT

Human and the world can not be separated. Both are co-constituted. To understand human being, we should understand his world, and vice versa. This study explores the relationship between the self to world. The reference context of the study is religious fundamentalism. This study sought to know the fundamentalist world construction through the relation with a world that restrict his existential freedom (Umwelt), relation toward social world (Mitwelt), and his relation with himself (Eigenwelt). The method used is an existential phenomenology. The data was collected through semi-structured interviews with one participant. Selection of the participant is based on his jihad experience. Data verification is done by intrasubjective and intersubjective validation to strengthen the interpretation of the data. The results showed that the experience as a fundamentalist as experienced by the participant is the “way to be” through “go back to the prophet” (Umwelt), significance for others (Mitwelt), anarchist attitude (Umwelt), and putting theory into practice (Eigenwelt).


(12)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

NAMA : ALBERTUS HARIMURTI NIM : 089114133

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Dunia Eksistensial Wiracarita Adirima

supaya dipergunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan akademis.

Dengan demikian, pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma berhak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Terima kasih.

Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal: 13 Juni 2013 Yang menyatakan,


(13)

x

KATA PENGANTAR

Jika setiap pendidik maupun peserta didik berpandangan seperti Albert

Einstein—bahwa pendidikan adalah sebuah hadiah berharga—niscaya sebuah karya tulis dipahami sebagai perwujudan proses menjadi. Sebaliknya, jika

pendidikan dipahami sebagai kewajiban yang membebani, maka pemahaman fatal

karya tulis sebagai sebuah ―syarat‖; tidak terhindarkan.

Berangkat dari rasa ingin tahu penulis serta keresahan kolektif terhadap

fundamentalisme, karya tulis berjudul ―Dunia Eksistensial Wiracarita Adirima‖ ini diwujudnyatakan. Judul yang tertera mengindikasikan bahwa dalam kreasi

karya ini diskursus mengenai fundamentalisme dibingkai dalam pemikiran

eksistensial yang diuraikan dan dieksplorasi lewat analisis psikologi eksistensial.

Harapannya, karya tulis ini dapat menjadi sumbangan tersendiri bagi disiplin ilmu

psikologi dan masyarakat pada umumnya serta kepada penulis pada khususnya.

Lewat ruang ini, penulis memberikan penghargaan linuhung bagi semua

pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian

ini. Terima kasih penulis haturkan kepada:

1. Being sekaligus kebenaran yang disebut dalam banyak nama serta

dilukis dalam banyak rupa.

2. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, M.Psych. sebagai pembimbing

sekaligus existenz yang senantiasa ing ngarsa sung tuladha, ing

madya mangun karsa, tut wuri handayani bagi penulis. Matur nuwun


(14)

xi

3. Direksi Universitas Sanata Dharma serta segenap staf dan pengelola

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih untuk

pelayanannya menuju jendela kehidupan.

4. Bapak Fransciscus Xaverius Tohari, Ibu Veronica Eni Widi Muryani,

serta Felix Chandra Noveriawan untuk 24 tahun pendidikan dalam

sebuah wiyata mandalakecil bernama ―keluarga‖.

5. Bapak Machmudi Hariono dan Mas Noor Huda Ismail untuk segala

proses, persahabatan, serta pengalaman berharganya.

6. Kolase dalam sebuah fase: ITJAS (Ikatan Tjatjat Asmara) dan mereka

yang sentimentil; Abraham Barkah, Adhitya Hari, Aji Maundri,

Alexander Widyawan, Arga Yudha, Arya Primaditya, Bayu

Mahendra, Budi Setiyana, Christella Suryo, Danar Prakoso, Dani

Sayekti, Debora Ratri, Dias Aditya, Dionisius Ryan, Dody Nugroho,

Dyan Martikatama, Fajar Budi, Febriana Nurselly, Galih Pambudi,

Gilang Pradipta, Hanif Jemmy, Hariyono Teguh, Indra Hermawan,

Kalpika Narantaka, Krisna Yudha, Maharestu Sadya, Mandana, Maria

Eliza, Mario Heimbach, Petrus Andy, Pramesti Dewi, Ratna Ayu,

Rimpi Karuniasti, Ristina Mauliana, Sesilia Narendra, Setya Dharma,

Setyo Adi Sejati, Timotius Aditya, Tino Adika, Vita Dharmaadi,

Wahyu Kristianto, Wahyu Setia Jati, Wieana Oktami, Yosef Andank.

7. Être-pour-soi maupun être-en-soi yang tidak dapat penulis sebutkan


(15)

xii

Akhirnya, penulis menyadari bahwa prinsip ignoramus et ignorabimus (kita tidak tahu dan tidak akan tahu) menjadi basis dalam peziarahan intelektual

manusia. Dan tentunya, sebagai pengalaman pertama penulis, karya ini tidak lepas

dari kejanggalan teknis maupun analisis. Oleh karena itu, penulis sangat

berterimakasih untuk segala kritik dan saran yang konstruktif—yang tentunya akan semakin menyahihkan karya tulis ini. Terima kasih.

Yogyakarta, 13 Juni 2013


(16)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN MOTTO.……...………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN..….………….…... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I. PENGANTAR... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

A. Fundamentalisme... 10


(17)

xiv

1. Being-in-the-world... 18

2. Tiga Mode Dunia... 22

3. Being dan Nonbeing... 27

C. State of Being Fundamentalisme Agama... 32

D. Peta Konsep Penelitian………... 40

BAB III. DESAIN PENELITIAN…... 41

A. Pendekatan Penelitian Fenomenologi Eksistensial... 41

B. Fokus Penelitian... 45

C. Sumber Data Penelitian... 45

D. Teknik Pengumpulan Data dan Sampling... 46

E. Teknik Analisis dan Interpretasi Data... 47

F. Verifikasi Data... 49

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, LIFE-HISTORY, ANALISIS DATA & HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN... 51

A. Pelaksanaan Penelitian... 51

B. Life-History…... 55

C. Analisis Data dan Hasil Penelitian... 64

1. Mitsein-Mitdasein... 65

2. Umwelt... 71

3. Mitwelt... 75

4. Eigenwelt... 90


(18)

xv

1. Kembali ke Nabi (Umwelt)... 117

2. Orang yang Ibaratnya Ingin Berguna (Mitwelt)... 123

3. Anarkisme (Umwelt)... 128

4. Teori Tanpa Praktek: Hambar (Eigenwelt)... 130

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 143

A. Kesimpulan... 143

B. Saran... 145

1. Bagi Keluarga dan Masyarakat... 145

2. Bagi Eksponen Agama dan Masyarakat... 146

3. Bagi Peneliti Fenomenologi dengan Subjek Fundamentalis... 147


(19)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Pemikiran Fundamentalis... 14

Gambar 2. Struktur Pemikiran Non-Fundamentalis... 15

Gambar 3. Orang yang Sehat Hidup secara Simultan di Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt... 26 Gambar 4. Analogi Dunia Yusuf dalam Limas Segitiga... 135


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 155

Lampiran 2. Interview Protocol ... 157

Lampiran 3. Listing and Preliminary Grouping (Reduction and Elimination)... 160

Lampiran 4. Clustering and Thematizing the Invariant Constituents... 219

Lampiran 5. Thematic Portrayal... 228

Lampiran 6. Individual Textural Descriptions... 233

Lampiran 7. Individual Structural Descriptions ... 245


(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Pernah termaktub pada suatu waktu yang sangat jauh dari hari ini

....kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua.

Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak

ada kebenaran yang mendua.‖ Kata-kata ini, yang dituliskan Mpu Tantular,

lahir satu kali dan agaknya hidup abadi. Begitu abadi sehingga ketika

dihadapkan dengan masalah kehidupan beragama dan pluralitas di Indonesia

saat ini masih relevan. ―Dalang‖ dari masalah kehidupan beragama dan pluralitas ini kemudian disebut sebagai: fundamentalisme—yang notabene adalah sebuah paham.

Fundamentalisme dipahami sebagai sikap terhadap keyakinan

seseorang yang memuat kebenaran fundamental, dasar, intrinsik, esensial, dan

tak bercela mengenai kemanusiaan dan ketuhanan (Altemeyer & Hunsberger,

1992; Moaddel & Karabenick, 2008; Williamson, Hood, Ahmad, Sadiq, &

Hill, 2008). Hood, Hill, dan Williamson (2005) berpendapat bahwa label ini

dapat digunakan sepanjang kelompok ini menolak pluralitas terhadap kitab

suci (modernitas). Menurut kaum fundamentalis, pluralitas kitab suci ini

menyangkal penyingkapan rahasia Tuhan.

Meskipun fundamentalisme memiliki definisi dan ciri yang sama,


(22)

Herriot (2009), konteks yang dimaksud di sini adalah konteks sosial maupun

konteks psikologis. Pada waktu dan tempat yang berbeda, alasan seorang atau

sekelompok fundamentalis melabeli ‗yang lain‘ sangatlah berbeda. Oleh

karena itu, ketika kita menyebut seseorang atau sekelompok orang adalah

kaum fundamentalis, kita perlu mencari latar belakang fundamentalisme yang

terjadi sesuai konteks sosial dan psikologis yang ada.

Kita ambil contoh fundamentalisme Taliban (Afghanistan) dengan

fundamentalisme kelompok penyerang Ahmadiyah (Indonesia). Keduanya

memiliki kesamaan ciri dasar bahwa ideologi di luar mereka tidak dapat

ditoleransi dan bertujuan untuk membentuk sebuah sistem teokrasi yang

berlandaskan syariah. Namun mereka memiliki karakteristik yang berlainan.

Taliban berhasrat untuk menaklukkan Afghanistan dan membentuk kembali

khalifah Islam (Rashid, 2001), sedangkan kelompok penyerang Ahmadiyah

memiliki tendensi bahwa pihak mayoritas menindas yang minoritas (Program

Studi Agama dan Lintas Budaya [PSALB], 2012). Perbedaan inilah yang

menunjukkan pentingnya melihat fenomena fundamentalisme secara

kontekstual.

Meskipun harus dipahami secara kontekstual, namun dapat dipahami

bahwa ada sejumlah karakteristik utama fundamentalisme secara global.

Karakteristik utama adalah prinsip intratekstualitas (intratextuality). Menurut Hood et al. (2005), para fundamentalis memandang bahwa isi kitab suci secara

literal adalah benar adanya dan satu-satunya sumber dari makna. Dalam hal ini


(23)

menempatkan pengalaman manusia di bawahnya. Tidak ada sumber di luar

teks yang dapat mengatakan kebenaran mutlak dari kehidupan. Lebih jauh

lagi, dapat kita katakan bahwa isi teks tidak bisa dipengaruhi apapun atau

siapapun, mereka yang skeptis dan mempertanyakan isi dari teks akan

mengalami penolakan dari para fundamentalis (Hood, Hill, & Spilka, 2009).

Mirisnya, beberapa teks yang tertulis dalam kitab suci akan menjadi

beresiko lewat penafsiran yang literal (intratextual). Padahal, jika dilihat dari kitab suci berbagai agama besar di dunia, kita dapat menemukan beberapa

kalimat yang tertulis dalam kitab suci yang secara fundamental justru

mendukung humanisme dan perdamaian, bukan kekerasan antar agama (Rg.

Weda X.191; Matius 22:37-39; Al-Baqarah 213; Karaniya Metta Sutta). Lain

halnya jika penafsiran dilakukan secara selektif. Ketika selektivitas ini terjadi,

kita akan sampai pada pemahaman bahwa apa yang ada dalam kitab suci

menjadi beresiko.

Hood et al. (2005) mengelaborasi bahwa fundamentalis melakukan

proses selective scriptural ini sebagai bentuk dari justifikasi terhadap pandangannya. Sebagai contoh adalah fundamentalis Protestan yang memiliki

dasar dari beberapa teks tertentu dalam Alkitab, salah satunya adalah pada;

“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada

terang-Nya yang ajaib…” (1 Petrus 2:9)

Kutipan ayat di atas menjadi basis justifikasi fundamentalis Protestan.


(24)

Proses selective scriptural ini merupakan bentuk fragmentasi isi kitab suci. Kitab suci yang seharusnya dipahami secara menyeluruh justru mengantar

pada interpretasi yang kurang tepat ketika dipahami secara selektif. Proses

selective scriptural yang pragmatis dan mengalami penyimpangan interpretatif

ini akan menjadi berbahaya jika dikenakan dalam pemahaman terhadap kata

―bangsa yang terpilih‖, ―imamat yang rajani‖, ―bangsa yang kudus‖, ―umat kepunyaan Allah sendiri‖.

Di Indonesia, fundamentalisme ditengarai menjadi pemicu beragam

kasus kekerasan. Pada tahun 2010, tercatat ada 39 kasus kehidupan beragama,

sedangkan tahun 2011 ada 36 kasus menyangkut kehidupan beragama

(PSALB, 2012). Kasus yang terjadi meliputi pengalihfungsian, pembekuan,

penyegelan, penutupan atau penggusuran rumah ibadah, maupun ancaman

atau perusakan, mulai dari pelemparan batu ke bangunan rumah ibadah sampai

pada pembakaran dan teror serta ledakan bom bunuh diri di tempat ibadah.

Secara kuantitatif, tidak terjadi perubahan yang signifikan berkaitan dengan

masalah kedua ini. Namun secara kualitatif mengalami peningkatan dengan

digunakannya modus bom bunuh diri (dalam satu kasus masjid di Cirebon dan

satu kasus gereja di Solo).

Terang saja gerakan fundamentalisme yang dimanifestasikan dalam

berbagai bentuk yang berbau kekerasan komunal (perusakan, bom bunuh diri)

dan ―dihiasi‖ intrik politik (sistem teokrasi, SKB Tiga Menteri), meresahkan

sekaligus membahayakan keadaan sosial maupun psikologis masyarakat luas.


(25)

fundamentalisme dan kaitannya dengan resiko sosial yang mengancam perlu

dilakukan. Jika memungkinkan justru kita meretas serta melakukan tindakan

preventif terhadap hal tersebut. Untuk meretas serta melakukan tindakan

preventif, maka salah satu hal yang diperlukan adalah memahami kehidupan

para fundamentalis.

Sebagaimana kelompok fundamentalis memiliki karakteristik berdasar

konteks, maka guna mencapai pemahaman yang komprehensif, Victoroff

(2005) menganjurkan penelitian dengan melakukan kontak langsung dengan

kaum fundamentalis. Selain dibutuhkannya kontak langsung, ditemukan juga

bahwa perilaku yang terjadi dalam fundamentalis dideterminasikan oleh

sebuah kombinasi dari faktor bawaan, faktor biologis, faktor awal

perkembangan, faktor kognitif, temperamen, pengaruh lingkungan, dan

dinamika kelompok. Dari faktor-faktor tersebut, aspek biologis (e.g.

Jakubowska & Oniszczenko, 2010; Watson, Chen, & Hood, 2011) dan sosial

(e.g. Altemeyer, 2004; Blogowska & Saroglou, 2011; Gribbins & Vandenberg,

2011) telah dihadirkan. Namun, menjadi tidak adekuat dengan absennya

nilai-nilai hidup (filosofi) yang dipegang dan makna yang dicipta oleh

fundamentalis itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian terpadu lewat level

analisis dan penggambaran mengenai contoh fundamentalis perlu dilakukan.

Menanggapi gagasan Victoroff (2005), penelitian ini akan berusaha

melakukan kontak langsung terhadap fundamentalis dalam rangka pemahaman

akan aspek biologis, sosiologis, sekaligus aspek filosofis. Kerangka teoritis


(26)

dunia kaum fundamentalis. Kontak langsung akan membantu pemahaman

mengenai dunia mereka secara langsung. Lewat mengenal dunia kaum

fundamentalis, pemahaman komprehensif mengenai fundamentalis sebagai

seorang manusia akan tercapai.

Dunia yang dimaksud adalah dunia makna (Lebenswelt) sesuai pemahaman Edmund Husserl (dalam Abidin, 2007). Dunia ini diciptakan

(dimaknakan) dan dihidupi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia

eksistensial—sebagaimana kita akan menyebut selanjutnya—merupakan pemaknaan atas dunia disertai proses membangun dunia dalam koridor

psikologi eksistensial. Secara singkat, rentang sejarah psikologi eksistensial

sangat erat kaitannya dengan pemikiran Edmund Husserl, Martin Heidegger,

Ludwig Binswanger, Medard Boss, dan Rollo May.

Groth (2008) mengelaborasi bahwa manusia yang sehat adalah

manusia yang eksis di dunia (the existing person atau the exister). Manusia yang eksis berarti berada dalam otentisitasnya. Otentisitas ini dipahami

sebagai realisasi kebebasan manusia. Kebebasan ini merupakan wujud dasein (Ada-di-sana) dalam kondisi being-in-the-world. Guna memahami

being-in-the-world, maka kita harus memahami being (Ada) dan world (dunia). Kedua

kutub ini membangun sebuah relasi dialektis dalam dinamikanya.

Being dalam hal ini dipahami sebagai eksistensi manusia itu sendiri.

Dengan demikian, seperti dikatakan sebelumnya, untuk memahami manusia

berarti harus memahami dunianya. Dan untuk memahami dunia


(27)

Cara memahami dunia eksistensial seseorang adalah memahaminya

lewat tiga mode dunia. Mode dunia pertama adalah Umwelt. Umwelt dipahami sebagai dunia fisiologis maupun kultural sejauh itu menempatkan manusia

dalam kondisi yang minim kebebasan untuk memilih. Kedua adalah Mitwelt yang dipahami dalam hubungan antara aku dengan orang lain. Orang lain

dalam hal ini juga diposisikan sebagai subyek, bukan sekadar obyek. Mode

terakhir adalah Eigenwelt. Eigenwelt dipahami sebagai dunia pribadi yang berisi nilai-nilai dan potensialitas seseorang.

Ketiga dunia ini yang membentuk seseorang dalam kondisi

being-in-the-world. Ketiga dunia ini bersifat dialektis dan beroperasi secara serentak

dalam dunia eksistensial setiap orang. Sifat melekat antara seseorang dengan

dunianya memungkinkan pemahaman bahwa untuk memahami seseorang,

maka kita harus memahami dunianya. Erwin Straus (dalam May, 1958)

mengatakannya dengan baik; ―To understand the compulsive, we must first

understand his world.‖

Guna memahami dunia seorang fundamentalis, penelitian ini akan

mengangkat kasus Yusuf Adirima. Yusuf adalah seorang mantan mujahidin.

Selama 2 tahun Yusuf berjihad atas nama Moro Islamic Liberation Front (MILF) melawan pemerintahan Filipina. Tujuannya adalah berlatih perang

untuk melakukan solidaritas dengan berjihad di Poso. Sekembalinya dari

Filipina, Yusuf tidak memiliki kesempatan lagi untuk berjuang di Poso

berkaitan dengan adanya perjanjian Malino. Yusuf kemudian justru ditangkap


(28)

ditangkap polisi pada tahun 2002 dikarenakan terbukti menyimpan amunisi di

rumah kontrakannya bersama Mustofa dan ketiga temannya. Perjuangan jihad

inilah yang mendasari peneliti untuk menghadirkan kasus dan pengalaman

Yusuf sebagai sebuah single-case studies dalam penelitian.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa penting untuk meneliti

dunia eksistensial kaum fundamentalis agama. Lewat pemahaman dunia

eksistensial para fundamentalis pula, kita akan mampu menemukan bagaimana

dunia itu dibentuk. Oleh karena itu, untuk mencapai pemahaman akan solusi

terhadap masalah fundamentalisme, kita harus memulainya dengan memahami

seperti apa dan bagaimana mereka membangun dunia. Harapannya;

pemahaman akan dunia Yusuf ini dapat menjadi cermin kecil untuk

mengetahui seperti apa dan bagaimana seorang fundamentalis membangun

dunianya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran dunia eksistensial (Umwelt, Mitwelt, Eigenwelt) Yusuf sebagai seorang fundamentalis?

2. Bagaimanakah proses pembangunan dunia eksistensial (Umwelt, Mitwelt,

Eigenwelt) Yusuf sebagai seorang fundamentalis?


(29)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan dunia eksistensial (Umwelt, Mitwelt, Eigenwelt) Yusuf sebagai seorang fundamentalis.

2. Mengetahui proses pembangunan dunia eksistensial (Umwelt, Mitwelt,

Eigenwelt) Yusuf sebagai seorang fundamentalis.

3. Mengetahui kesalingterkaitan antara ketiga mode dunia itu satu sama lain.

D. Manfaat Penelitian

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengayaan

bagi psikologi eksistensial berkaitan dengan dunia eksistensial Yusuf sebagai

seorang fundamentalis. Gambaran serta proses membangun dunia eksistensial

yang dialami Yusuf akan memberikan gambaran psikologis dalam mendekati

persoalan psikologis seorang fundamentalis secara tepat.

Dengan mengetahui bagaimana gambaran serta proses membangun

dunia eksistensial yang dialami Yusuf maka hasil studi ini dapat menjadi

pertimbangan tersendiri bagi pembuat maupun pemerhati kebijakan dalam

memahami fundamentalisme. Dengan memahaminya, maka tindakan preventif


(30)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fundamentalisme

Medio abad ke-20, Allport (1950) menemukan tesisnya yang

menyatakan bahwa agama adalah bentuk pengejaran makna (pursuit of

meaning) dari individu. Selain tesis dari Allport, hasil penelitian Silberman

(dalam Emmons & Paloutzian, 2003) menunjukkan bahwa ada tiga hal yang

menyatakan agama sebagai sistem makna dan mempengaruhi emosi. Pertama,

agama menentukan emosi dan level intensitas emosi. Kedua, keyakinan

mengenai alam dan Tuhan mempengaruhi emotional well-being. Ketiga, agama menawarkan kesempatan untuk mengalami pengalaman emosional

yang unik lewat kedekatan dengan yang bersifat kudus.

Frankl (1984) mengelaborasi bahwa sistem makna yang dimaksud di

sini adalah kumpulan keyakinan dan teori yang digunakan seseorang atau

kelompok untuk menghadapi realita. Sistem makna ini kemudian akan

menjadi motor penggerak frame of reference (Frankl, 1968). Frame of

reference sendiri didefinisikan Feist & Feist (2008) sebagai sebuah filosofi

atau cara pandang terhadap suatu hal pada seseorang. Frame of reference sendiri bersifat dinamis dan bisa berubah kapan saja tergantung pengalaman

hidup.

Sebagai sebuah sistem makna dalam dunia sosial, agama mengikuti


(31)

menyatakan bahwa tradisi religius berubah dari satu kelompok ke kelompok

lainnya atau terjadi proses intensifikasi keyakinan religius dan praktiknya.

Perubahan ini merupakan bentuk dari konversi keagamaan. Paloutzian,

Richardson, & Rambo (1999) mendefinisikan konversi keagamaan sebagai

sebuah pengalaman transformasional yang berpengaruh amat besar yang

melibatkan persinggungan dinamis antara seseorang dengan kejadian,

ideologi, institusi, ekspektasi, dan pengalaman.

Definisi konversi tersebut juga sesuai ketika diterapkan dalam

fundamentalisme. Adanya persinggungan seseorang dengan kejadian,

ideologi, institusi, ekspektasi, dan pengalaman yang lalu membentuk sebuah

pengalaman transformasional. Pengalaman transformasional ini mengacu pada

perubahan, seperti yang telah disebutkan, sistem makna dan frame of

reference. Konversi berupa perubahan sistem makna dan frame of reference

ini ditunjukkan dengan dogmatisasi isi kitab suci yang diikuti dengan sikap

maupun cara berpikir konservatif, bersifat rigid terhadap cara pandang

terhadap out-group, intoleran, dan bersinggungan pada kebenaran mutlak kelompok ini mampu memunculkan karakter otoriter yang cenderung

merugikan interaksi antar manusia (Altemeyer, 2004; Altemeyer &

Hunsberger, 1992; Gribbins & Vandenberg, 2011).

Beberapa temuan (Altemeyer & Hunsberger, 1992; Moaddel &

Karabenick, 2008; Williamson, Hood, Ahmad, Sadiq, & Hill, 2008)

mendukung bahwa fundamentalisme dipahami sebagai sikap terhadap


(32)

esensial, dan tak bercela mengenai kemanusiaan dan ketuhanan. Hood et.al.

(2005) berpendapat bahwa label ini dapat digunakan sepanjang kelompok ini

menolak pluralitas terhadap kitab suci (modernitas).

Jika agama memiliki posisi kuat dalam kendali sistem makna, otomatis

paham fundamentalisme yang menjadi produk konversi ideologi menjadi

pemerintahan baru dalam frame of reference seseorang. Menurut McAdams (1993), kaum eksistensialis Kristen maupun Yahudi percaya bahwa setiap

manusia bertanggungjawab menciptakan makna di dunia. Oleh karena itu,

setiap orang akan ‗berperang‘ secara heroik dalam rangka mencapai makna.

Masih senada dengan McAdams, Hood et.al. (2005) mengklaim bahwa sebuah

sistem makna dapat digagas sebagai sekelompok keyakinan atau teori

mengenai realitas yang termasuk di dalamnya teori dunia (keyakinan

mengenai yang lain dan situasi) dan teori diri (keyakinan akan diri sendiri).

Hood et.al. (2005) menguraikan bahwa sekelompok keyakinan atau

teori utama kehidupan para fundamentalis adalah kitab suci dari agama

masing-masing. Pekerjaan, relasi personal, cara merawat anak, perkembangan

diri, prestasi kerja dan lebih banyak lagi didasari oleh isi kitab suci. Oleh

karena itu penting untuk dipahami bahwa perjuangan untuk mencari makna

dari para fundamentalis dapat didefinisikan dan diinterpretasikan lewat kitab

suci yang ada. Agama, sesuai dengan pemaknaan para fundamentalis, menjadi

filosofi hidup utama yang kemudian berhadapan dengan makna personal

(Baumeister dalam Hood et.al., 2005) dan menyediakan sense of coherence (Antonovsky, dalam Hood et.al., 2005; Emmons, dalam Hood et.al., 2005).


(33)

Ada perbedaan yang sangat mencolok antara kitab suci suatu agama

dengan buku-buku ilmu pengetahuan. Dalam The God Delusion, Richard Dawkins (2006) menyatakan bahwa buku mengenai ilmu pengetahuan

cenderung lebih fleksibel dibandingkan dengan kitab suci suatu agama. Jika

ada kesalahan isi dalam buku ilmu pengetahuan, maka akan dilakukan revisi

sesuai dengan bukti terbaru yang ada. Namun, berbeda dengan isi kitab suci,

isi kitab suci sangatlah rigid dan tidak bisa diganggu gugat. Inilah yang kemudian akan mempengaruhi rigiditas seorang fundamentalis.

Kritikan mengenai rigiditas kitab suci ini secara menarik disajikan

dalam kumpulan parabel The Song of the Bird karya Anthony de Mello (1984). Dengan sinisme yang tidak berlebihan, De Mello menyampaikan

bahwa; “Scripture, like the Sabbath, is for human beings, not human beings for Scripture”.

Seperti disampaikan De Mello bahwa ―manusia untuk kitab suci‖ adalah sebuah metafora yang terarah kepada para fundamentalis. Hood et.al.

(2005) menggambarkan cara berpikir seorang fundamentalis lewat sebuah

mapping yang tergambar dalam Gambar 1.1.

Dalam gambar dapat dipahami bahwa sumber pemikiran seorang

fundamentalis adalah teks suci (sacred texts) yang dipahami secara literal dan dipercaya sebagai the words of God menjadi sebuah prinsip intratext

(principle of intratextuality) kemudian dianggap menghasilkan kebenaran

absolut (absolute truth). Lingkaran bulat penuh menandakan pembatas dengan keyakinan sekitar (peripheral belief). Dengan demikian karena lingkaran


(34)

penuh mengindikasikan batas yang kurang permeabel maka seorang

fundamentalis membuat sebuah penjara ideologi yang bersumber teks suci

semata. Keyakinan sekitar tidak berpengaruh terhadap struktur pemikiran,

justru keyakinan sekitar dipahami sebagai domain dari struktur berpikir dari

tiga hal yang menciptakan interelasi dalam lingkaran.

Lain halnya dengan struktur pemikiran seorang non-fundamentalis

(dalam Gambar 1.2.) yang memiliki lingkaran dengan garis putus-putus dan

adanya korelasi antara keyakinan sekitar dengan tiga variabel dalam lingkaran

yang menciptakan interelasi. Garis putus-putus menunjukkan bahwa

pemikiran non-fundamentalis bersifat permeabel sehingga ada sebuah dialog

internal yang terjadi antara bentuk pemikiran non-fundamentalis dengan dunia

luar yang menghasilkan keseimbangan struktur berpikir.

Gambar 1. Struktur pemikiran fundamentalis


(35)

Lewat kedua gambar dan uraian di atas, ditunjukkan bahwa ada

pemahaman dan konstruksi dunia yang berbeda antara fundamentalis dengan

non-fundamentalis. Konstruksi dunia yang terbentuk ini akan dipahami lewat

cakrawala berpikir eksistensialisme.

B. Analisis Eksistensial

Apa yang dipikirkan dunia tidak banyak bedanya. Rembrandt harus melukis. Apakah dia melukis dengan baik atau jelek, tidak jadi soal baginya; melukis adalah sarana yang membuatnya menjadi seorang manusia yang utuh.

—Irving Stone, Lust for Life

Sekitar usia 30-an, seorang psikoanalis Sullivanian Amerika menderita

tubercolosis (TBC). Dia merasakan kehidupan sehari-harinya sarat akan

kecemasan sebagai akibat dari penyakitnya. Di sanatorium sambil membaca,

Gambar 2. Struktur pemikiran non-fundamentalis


(36)

dia menunggu kemungkinan untuk sembuh, cacat seumur hidup, atau bahkan

mati. Tapi dalam proses medikasi yang diberikan, justru dia menemukan

bahwa kecemasan manusia yang mendalam merupakan akibat dari

ketidakber-ada-annya (nonbeing). Orang itu adalah Rollo Reese May. Berkiblat pada psikoanalisis Freud serta eksistensialisme Kierkegaard dan Nietzche, May

melakukan penelusuran mengenai pendekatan psikologi eksistensial yang

telah didahului sekaligus berpondasi pada ontologi Heidegger; daseinanalytik. Dalam kelanjutannya, Ludwig Binswanger (1958) menyebut analisis

eksistensial sebagai daseinanalyse atau analisis dasein—berbeda dengan

daseinanalytik yang merupakan hermeneutika dari being sebagai eksistensi.

Daseinanalyse merupakan analisis fenomenologis dari eksistensi manusia

(dasein). Analisis eksistensial, merupakan bentuk penyempurnaan dan

perlawanan terhadap metode ilmiah yang melanggengkan depersonalisasi.

The person is not a thing, a substance, not an object‖, kata Heidegger (1962),

Any psychical objectification of acts, and hence any way of taking them as

something psychical, is tantamount to depersonalization‖. Analisis ini

berusaha menjawab pertanyaan; ―Are we seeing him or her in their real

world?‖ (Taylor, 2009).

Sebelum memahami dasein, kita harus memahami manusia terlebih dahulu. Manusia dalam ranah psikologi eksistensial bisa dipahami dalam

horizon Kierkegaard dan Nietzche. May (1961) percaya bahwa Kierkegaard

dan Nietzche lebih akurat dalam menggambarkan manusia sebagai organisme


(37)

ini jauh lebih penting jika disejajarkan dengan kesenangan dan bahkan lebih

penting dibandingkan bertahan hidup sekalipun. Sebagaimana dikatakan

Frankl (1984): “Man, however, is able to live and even to die for the sake of

his ideals and values!”

Setelah kita memahami gambaran manusia dalam horizon psikologi

eksistensial, maka pemahaman mengenai dasein akan dibabarkan. Secara etimologis, dasein berasal dari dua suku kata yakni da yang berarti there; dan

sein yang berarti being, to exist, or be alive. Istilah ini merujuk pada posisi entitas manusia. Dasein yang dapat memposisikan diri dalam satu cara atau cara lain serta entah bagaimana caranya selalu memposisikan diri disebut

existence‖ (Existenz). Dengan demikian, existence sendiri merupakan

manifestasi dari dasein. “The word „existence‟, kata Gombrowics (1971),

“means only conscious human existence, only inasmuch as one is conscious of

existence. Men who live in an unconscious manner have no existence”.

Kehidupan manusia dalam ketidaksadaran ini dapat dibayangkan

melalui berbagai literatur seperti The Sane Society (1955) karangan Erich Fromm. Lewat literatur ini, kita dapat membayangkan kondisi manusia secara

kolektif maupun individual sekitar satu abad yang lalu. Dalam masyarakat

yang memilki aktivitas ekonomi tinggi, proses kuantifikasi dan abstraksifikasi

akan berimbas dalam setiap bidang kehidupan. Misalnya sikap manusia

terhadap barang, terhadap orang, bahkan terhadap dirinya sendiri. Kedua

proses ini menciptakan teralienasinya manusia dari barang, orang, maupun


(38)

Dalam himpitan modernisme yang melahirkan manusia yang

cenderung ―sakit‖ secara eksistensial ini, May (dalam Ewen, 2003) menemukan (kembali) bahwa setiap manusia, secara inheren, memiliki

kebutuhan untuk eksis di dunia. Manusia yang sehat secara mental adalah

manusia yang eksis di dunia (the existing person). Manusia yang eksis berarti

dasein dalam kondisi being-in-the-world.

1. Being-in-the-world

Ada dua kutub aktif dalam terminologi

being-in-the-world. Pertama adalah being (Ada) dan kedua adalah world

(dunia). Kedua kutub ini membangun sebuah relasi dialektis

dalam dinamikanya.

Martin Heidegger (1962) memaparkan being sebagai konsep universal yang tidak dapat didefinisikan sehingga makna

dari being sendiri masih tersamar. Konsekuensi logis dari samar ini adalah prinsip yang menuntut untuk terus memunculkan

pertanyaan mengenai being itu sendiri. Being yang individual dan subjektif ini, dalam terminologi Heidegger, disebut dasein.

Sebagai kontinuitas dari ide Heidegger, Jean-Paul Sartre

(1956) membabarkan bahwa ada dua cara meng-Ada secara

radikal. Dalam hal ini Sartre membedakan antara être-en-soi (Ada-pada-dirinya) dan être-pour-soi (Ada-bagi-dirinya). Sartre menyebut Ada-pada-dirinya sebagai Ada (being) yang sifatnya objektif dan Ada-bagi-dirinya sebagai eksistensi. Jika


(39)

Ada-pada-dirinya merupakan Ada pada benda-benda dan ada begitu saja,

maka Ada-bagi-dirinya merupakan ciri khas manusia yang

ditandai kesadaran, bersifat subjektif dan individual. Dalam dua

cara meng-Ada ini, dasein setara dengan Ada-bagi-dirinya.

Menurut May (1958), cukup sulit untuk mendefinisikan

being secara konstitusional. May menyatakan bahwa manusia

adalah being yang berada di sana sekaligus dia memiliki ―di sana‖ dalam pemahaman bahwa dia dapat mengetahui bahwa dia di sana

dan mengambil bagian (take a stand) dengan referensi terhadap fakta (dasein). ―Di sana‖ bukanlah suatu tempat, tapi suatu ―di

sana‖ partikular yang menjadi milik individu tersebut, titik

partikular dalam waktu maupun ruang eksistensi dalam momen

yang ada (given moment). Manusia adalah being yang sadar akan, kemudian bertanggungjawab terhadap, eksistensinya.

Aspek kedua yang perlu dipahami dalam terminologi

being-in-the-world adalah world. Husserl (dalam Valle & King,

1978) menyebut bahwa dunia yang dimaksud dalam ranah

eksistensialisme adalah dunia yang diciptakan (dimaknakan) dan

dihidupi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari (Lebenswelt). Oleh karena itu, dunia manusia bukan dunia fisik belaka,

melainkan juga dunia makna. Menyambung gagasan Husserl,

May (1958) mengklaim bahwa dunia didefinisikan sebagai


(40)

dan dalam disain masing-masing juga turut berpartisipasi. Dunia

di sini bermuatan kejadian yang telah berlalu yang

mengkondisikan eksistensi seseorang dan semua pengaruh

deterministik yang bekerja pada diri seseorang. Sebuah ungkapan

yang akan ditemukan dalam diskursus eksistensialisme; manusia

yang membangun dan menyusun dunia.

In dalam istilah being-in-the-world memiliki makna eksistensial. Aspek yang ada dalam in adalah keterlibatan

(concerned with), keterikatan (preoccupation), komitmen

(commitment), serta keakraban (familiarity). Dengan demikian,

dunia di sini dipahami sebagai dunia yang di dalamnya manusia

ikut terlibat, terikat, memiliki komitmen, dan akrab. Dunia ini

terus berkembang, tergantung dari manusia sendiri sebagai

pencipta makna dan dunianya sendiri (dunia yang subjektif).

Van Kaam (1969) membabarkan bahwa manusia selalu

siap untuk keluar dari dirinya lalu hidup di dunia. Manusia

melibatkan dirinya secara berkesinambungan dalam tingkatan

realitas tertentu di sekitarnya. Manusia berinteraksi secara aktif

dengan segala hal dan berproses dengan organisme diri dan

sekitarnya. Dalam waktu bersamaan, manusia menjadi subjek di

dunia dan, secara berkesinambungan juga, menjadikan dunia


(41)

menjadi manusia pada dasarnya adalah untuk eksis. To exist sendiri ekuivalen dengan terminologi being-in-the-world.

Feist & Feist (2008) mengklaim bahwa tanda penghubung

pada istilah ―being-in-the-world‖ merujuk pada keutuhan

(oneness) antara subjek (person) dan objek (world). Hal tersebut menunjukkan adanya relasi dialektis yang terjadi antara subjek

dan objek. Oleh karena fokus yang tidak parsial, psikologi

eksistensial cenderung bersifat holistis atau dalam bahasa Taylor

(2009) dipahami sebagai studi mengenai ―total person in his life

context‖.

Eksplorasi May (1983) lebih lanjut menyatakan bahwa

being yang dimaksud bersifat partisipatif atas kondisinya atau

keadaan yang terjadi selama proses being something. Dapat dipahami juga sebagai pola kemampuan yang unik dari individu

(May, 1961). Dengan demikian, dasar dari being something adalah mengetahui kondisi eksternal (self-awareness) maupun internalnya (self-consciousness).

Ditinjau dari perspektif eksistensial, being-in-the-world menjadi masalah tersendiri bagi manusia abad ke-20 (dalam

Western tradition). Pergantian kehidupan manusia yang

berdasarkan akal saja mulai merambah dunia dan industrialisme

pada pertengahan abad ke-19. Implikasinya, penekanan terhadap


(42)

eksesif. Pada saat yang sama, muncullah eksponen profetik

seperti Kierkegaard, Nietzche dan Marx (May, 1967). Lewat

eksplorasi para eksponen profetik ini, May (1958) menguraikan

bahwa manusia kehilangan sense of being dan kemudian kehilangan dunianya. Tidak hanya mengalami pengalaman

alienasi dari dunia manusia sekitarnya, namun manusia juga

mengalami penderitaan di dalam dirinya. Dia menjadi asing

dengan dunia naturalnya (alienasi epistemologis).

Ada yang menarik secara historis dari kondisi psikologis

manusia. Pada jaman Freud (abad 19 dan transisi ke abad

ke-20), histeria menjadi masalah utama dalam masyarakat. Pada abad

ke-20, masalah berupa skizoid lebih mendominasi dibandingkan

histeria. Ini berarti menunjukkan bahwa setiap waktu dan ruang

sosiopsikologis tertentu memiliki sekaligus mengusung problema

yang berbeda. Dengan kata lain, meminjam bahasa May (1958),

World is never something static…It is rather dynamic pattern.”

2. Tiga Mode Dunia

Menurut perspektif psikologi eksistensial, dasein yang berada dalam kondisi being-in-the-world merupakan indikator yang menentukan orang sehat. Karena kita hidup dalam dunia

(world) yang kompleks, maka ketika kita membicarakan

mengenai being-in-the-world (maupun dasein) otomatis akan berhadapan dengan konteks world. Ada tiga mode dunia yang


(43)

secara simultan menjadi formatur dasein, yakni; Umwelt, Mitwelt,

dan Eigenwelt (uraian mengenai mode dunia ini telah didahului

oleh Binswanger dan Boss). Sebagaimana dikatakan May (1958)

bahwa ketiganya sama sekali bukan dunia, melainkan tiga mode

yang secara simultan membentuk kondisi dasein (

being-in-the-world).

Secara literal, Umwelt berarti ―world around‖ atau ―dunia

sekitar‖. Umwelt dipahami sebagai dunia internal dan eksternal objek yang membentuk kita secara fisiologis dan lingkungan

secara fisik. Pada umumnya disebut sebagai dunia biologis

manusia (May, 1958).

Menurut May (1958), semua organisme memiliki dunia

natural ini. Dalam animal beings dan human beings, Umwelt meliputi kebutuhan biologis (needs), dorongan (drives), insting

(instincts). Dengan demikian, meskipun manusia tidak memiliki

self-consciousness maka dia juga tetap akan eksis di dunia ini.

May (1958) mengelaborasi bahwa Umwelt adalah dunia berisi hukum alam, siklus alam, tidur dan bangun, dilahirkan dan mati,

hasrat dan pelepasan, dunia keterbatasan dan determinisme

biologis, dunia tempat manusia mengalami ke-terlempar-an dan

setiap dari kita harus menyesuaikan diri dalam cara-cara tertentu.

Umwelt berkaitan erat dengan psikoanalisis Freud yang


(44)

meliputi berbagai macam aspek biologis seperti yang telah

dipaparkan di atas. Dalam dunia ini manusia dipandang

semata-mata sebagai objek determinisme.

Namun kita tidak hanya hidup dalam Umwelt. Kita juga hidup dalam Mitwelt. Mitwelt, secara literal, berarti ―with-world

atau ―dengan-dunia‖ atau dunia sosial bersama orang lain. Feist & Feist (2008) menyatakan bahwa kita harus berrelasi dengan orang

lain selayaknya orang. Jika kita menganggap mereka objek, maka

kita melulu hidup dalam ranah Umwelt.

Pengaruh Interpersonal Theory Sullivan ditemukan dalam kajian mengenai Mitwelt. Gagasan Sullivan mengenai need for

others dapat dipahami dalam kehidupan manusia yang berada

pada ranah dunia sosial yang notabene membantunya proses

perkembangan psikologis (Ewen, 2003). ―Personality”, kata Sullivan (dalam Ewen, 2003), “can never be isolated from the complex of interpersonal relationships in which the person lives”. Oleh karena itu, semua kegiatan manusia adalah kegiatan sosial,

baik itu proses fisik maupun proses mental seperti mimpi dan

fantasi. Dengan demikian, menurut Sullivan, hubungan

interpersonal menerima tokoh fiktif sebagai lawan relasi manusia

(Hall & Lindzey, 1978).

Ketiga adalah Eigenwelt yang secara literal berarti ―


(45)

dari diri seseorang, kekuatan (potensialitas), dan nilai-nilainya.

Dunia ini secara singkat merupakan bentuk relasi dengan oneself. Dalam dunia ini, sisi humanistik dari psikologi eksistensial sangat

kentara. Seperti apa yang menjadi konsentrasi Rogers dan Frankl

bahwa manusia merupakan subjek aktif yang memiliki kapasitas

untuk mengatasi problemanya.

Eigenwelt mensyaratkan self-awareness, self-relatedness

yang secara unik hadir dalam human being. Dalam mode ini, kita memahami bahwa kita adalah pusat dari eksistensi kita serta

mengenal potensi-potensi khusus kita. Potensi-potensi yang

dimaksud adalah seperti kapasitas menilai, memilih, dan

nilai-nilai. Ketika kita menggunakan potensi kita, maka peneguhan

terhadap eksistensi diri akan dicapai. Lebih jauh lagi, mode ini

menjadi jelas ketika kita menilai dengan akurat apa yang kita suka

atau tidak suka, apa yang kita butuhkan atau tidak butuhkan, yang

secara personal mengevaluasi pengalaman.

Pengaruh Carl Rogers dengan Person-Centered Theory-nya seirama dengan Eigenwelt. Rogers (1961) memandang bahwa ada tendensi bawaan yang mengembangkan sifat konstruktif pada

manusia; potensialitas untuk menjadi sehat. Hal ini kemudian

dikenal dengan istilah aktualisasi diri. Oleh karena itu, jika dilihat

dari perspektif Rogers, maka perilaku bukan disebabkan karena


(46)

tegangan dan kebutuhan saat ini. Ini menunjukkan bahwa mode

Eigenwelt vis-a-vis dengan mode Umwelt.

Dalam Love and Will, May (1969) membentangkan bentuk cinta beserta eksistensinya dalam tiga dunia yang secara simultan

membentuk dasein. Tradisi barat (Western tradition) mengenal empat macam cinta, yakni; sex, eros, philia, dan agape. Sex dan

eros termasuk dalam dunia biologis manusia atau berarti dalam

Umwelt. Philia atau cinta terhadap teman berada dalam ranah

dunia sosial manusia, yang berarti berada dalam Mitwelt. Terakhir

agape yang berada dalam Eigenwelt.

Lebih jauh lagi May mencapai kesimpulan bahwa setiap

pengalaman cinta yang otentik merupakan paduan dari empat

bentuk cinta tersebut dengan komposisi yang berbeda. Atau

Gambar 3. Orang yang sehat hidup secara simultan di Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt Sumber : Feist & Feist, 2008


(47)

dengan kata lain merupakan hasil dinamika yang simultan antara

Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt.

3. Being dan Nonbeing

Manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia yang sadar suatu saat mereka akan

mati…Meskipun manusia mengetahui hari mereka di dunia terbatas dan semua akan

berakhir di saat mereka tak

mengharapkannya, manusia membuat

hidupnya laksana pertempuran yang senilai

makhluk yang hidup kekal…Mereka tak

punya apapun untuk dipertaruhkan—karena

kematian tidak bisa dihindari.

—Paulo Coelho, The Pilgrimage

Kematian adalah kecemasan paling fundamental pada

manusia. Manusia tidak bisa memilih untuk lahir, namun dia bisa

memilih untuk mati; bahkan tanpa memilih, suatu saat dia akan

mati. Menurut Herman Feifel (1961), penyelidikan lebih lanjut

mengenai sikap terhadap kematian dapat memperkaya dan

memperdalam pemahaman kita mengenai reaksi adaptif maupun

maladaptif terhadap stres dan teori kepribadian pada umumnya.

Feifel (1961) mengumpulkan berbagai literatur mengenai

sikap terhadap kematian dan mendapatkan bukti yang

menegaskan bahwa kematian merupakan hal paling nyata yang

membawa manusia ke status nonbeing. Oleh karena itu, yang menjadi kecemasan manusia paling riil dalam kehidupannya


(48)

energi manusia digunakan untuk melakukan penyangkalan

terhadap kematian.

May (dalam Feist & Feist, 2008) mengklaim bahwa

kematian bukanlah sebuah fakta yang relatif, melainkan absolut.

Kesadaran dari kematian memberikan eksistensi dan sebuah

kualitas absolut mengenai apa yang akan dilakukan setiap waktu.

Hidup menjadi terasa lebih vital dan berarti ketika kita

menghadapkannya pada kemungkinan terhadap kematian. Senada

dengan apa yang disampaikan May, Yalom (1980) berpendapat

bahwa kesadaran akan kematian menjadi onset manusia untuk

―mencelupkan‖ diri dalam kehidupan. Kecemasan terhadap

kematian ini dalam pembentukan struktur karakter manusia dan

menghasilkan kecemasan yang memberi tekanan nyata dalam

pembangunan pertahanan psikologis.

Melalui kajian berbagai literatur sejarah manusia, Feifel

(1961) berpendapat bahwa gagasan mengenai kematian

merupakan misteri eternal dalam berbagai sistem pemikiran

religius maupun filsafat. Ini membuktikan bahwa kapasitas

manusia untuk memahami konsep masa depan dan, tentu saja,

kematian yang tidak dapat terhindarkan. Karena sifatnya yang

tidak terhindarkan, maka kematian berimplikasi terhadap reaksi

universal terhadap realita bahwa tidak seorangpun terbebas dari


(49)

yang mengklaim bahwa ketidaksadaran terhadap kematian

terproyeksikan dalam diri manusia yang kemudian muncul lewat

tendensi self-destruction.

Kecemasan sendiri memiliki sumber yang berbeda dengan

ketakutan. Jika kecemasan berasal dari ancaman mental, maka

ketakutan berasal dari ancaman fisik. Dalam bahasa Yalom

(1980) dikatakan bahwa ketakutan menyerang bagian permukaan

manusia, bukan pondasi manusia. Dengan demikian, dinamika

kecemasan dipahami secara ontologis; berhubungan dengan

eksistensi manusia.

Sama seperti Heidegger maupun Binswanger, secara

ontologis, May (1958) memahami kecemasan sebagai ancaman

terhadap dasein. Berbeda dengan Freud yang mengeksplorasi kecemasan dari tiga sumber yang berbeda, konsep kecemasan

dalam psikologi eksistensial diderivasikan dari perselisihan antara

being dan ancaman nonbeing. Tidak ada batasan pasti mengenai

intensitas kecemasan yang sehat dengan yang tidak. Hanya saja,

manusia yang sehat secara mental tidak kehilangan fungsi diri

sebagai makhluk yang mengatasi kodrat dan keadaannya

(alloplastic).

Being dan nonbeing adalah negasi. Dalam bahasa Sartrean


(50)

Sartre (1956), secara konstitutif, pendek kata nothingness dapat dipahami sebagai berikut :

Nothingness does not itself have being, yet it is supported by being. It comes into the world by the for-itself and is the recoil from fullness of self-contained being which allows consciousness to

exist as such. (hal.551)

May (1958) mengklaim bahwa nonbeing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari being. Untuk memahami konsep eksis, seseorang juga perlu menyadari fakta bahwa ada kemungkinan

dia tidak eksis. Dalam setiap momen, dia menempuh pinggiran

jurang yang terjal dengan kemungkinan untuk binasa

(annihilation). Dia tidak pernah dapat melarikan diri dari fakta

kematian yang akan tiba pada waktu yang tidak tentu di masa

depan. Eksistensi selalu dibayang-bayangi oleh nonbeing. Konfrontasi dengan nonbeing membuat eksistensi memiliki vitalitas (vitality) dan kesiapan (immediacy) serta menaikkan tingkat consciousness terhadap dirinya, dunianya, dan segala sesuatu di sekitarnya.

Namun, konfrontasi selalu diikuti dengan status. May

(1958) mengelaborasi bahwa kegagalan dalam menghadapi

nonbeing adalah munculnya konformisme. Konformisme

memunculkan karakter manusia yang membiarkan dirinya

terendam dalam lautan respon dan sikap yang kolektif, ditelan


(51)

(awareness), potensialitas, dan karakteristik apapun yang membuat dia unik dan menjadi seorang original being. Kapasitas untuk menghadapi nonbeing terilustrasikan dalam kemampuan seseorang untuk menerima kecemasan (anxiety), permusuhan

(hostility), dan agresi (aggresion); bahwa hal tersebut ada di

dalam samudra kejiwaan manusia. Menerima memiliki arti yang

tidak dangkal. Menerima berarti toleran tanpa adanya unsur

represi dan dapat menggunakannya sejauh hal tersebut

konstruktif.

Sepanjang pengalamannya bersama klien dan dalam

kiblatnya terhadap Freudian, Wolson (2005) menemukan bahwa

manifestasi kecemasan memiliki akar yang sama; ketakutan

terhadap kematian secara psikis, atau dengan kata lain; nonbeing. Implikasinya, kebutuhan mendasar manusia adalah psychic

survival. Hal ini telah terlihat sepanjang perjalanan kehidupan

manusia. Bayi menghadapi ketakutan kematian psikis dengan

mengembangkan struktur psikis (self dan object-relations) dan tindakan defensif untuk memastikan psychic survival-nya. Pengembangan struktur psikis dan tindakan defensif tersebut

menjadi sarana pembentukan sense of being. Dengan demikian, kehidupan manusia adalah dialektika tanpa henti dari being untuk mengatasi nonbeing.


(52)

C. State of Being Fundamentalisme Agama

Dalam sebuah perjumpaan, maka akan terjadi perubahan dalam diri

masing-masing aktor. Ketika antar manusia mengalami relasi interpersonal,

tegangan atau konflik akan muncul diikuti kecemasan.

Kierkegaard (1997) mengilustrasikan kecemasan sebagai ―the dizziness

of freedom, the awareness of the possibility of being able.‖ Kecemasan adalah

kebebasan yang sedang bingung, kesadaran bahwa ada kemungkinan untuk

menjadi lebih (mampu). Lebih jauh lagi Kierkegaard mengatakan bahwa

kecemasan adalah realitas kebebasan sebagai sebuah potensialitas sebelum

kebebasan tersebut terwujud. Goldstein (dalam May, 1963) mengelaborasi

bahwa kebebasan dikapitulasikan, secara individual maupun kolektif, dengan

harapan agar bisa mengatasi kecemasan yang tidak tertanggungkan.

Kecemasan tidak tertanggungkan inilah yang kemudian mendorong Fromm

(1955) yang secara menarik menyatakan bahwa di abad ke-20 manusia

kehilangan individualitasnya—man is dead!

Fromm (1942) menguraikan bahwa kecemasan yang tidak

tertanggungkan dan individualitas yang hilang ini mewujud dalam kesendirian

yang tidak tertanggungkan (unbearable aloneness) dan ketidakberdayaan yang tidak tertanggungkan (unbearable powerlessness). Kesendirian dan ketidakberdayaan ini kemudian menciptakan perasaan inferior terhadap

sekitar. Inferioritas ini mendorong individu untuk menggabungkan diri ke

dalam sesuatu yang lebih besar dibanding dengan dirinya sendiri atau sesuatu


(53)

Penggabungan individu ini menunjukkan bahwa ada kekuatan lebih

tinggi di luar dirinya. Kekuatan superior ini menuntut individu untuk

mematuhinya (Fromm, 1942). Inilah yang kemudian mewujud dalam istilah

―hukum alam‖, ―nasib manusia‖, maupun ―kehendak Tuhan‖. Oleh karena itu, melalui indoktrinasinya, agama memenuhi syarat untuk menjadi salah satu

kekuatan superior.

Tidak heran apabila pola penggabungan diri ke dalam yang lebih

superior kemudian juga muncul pada para fundamentalis agama. Ketakutan

manusia akan ketiadaan (dalam bentuk ketidakberdayaan dan kesendirian)

mendorong manusia untuk mengatasinya lewat figur yang lebih superior dan

sempurna. Figur ini kemudian dihadirkan dalam wujud Tuhan—yang dalam bahasa Freud adalah the exalted father. Tuhan kemudian diorganisasikan sehingga menghadirkan sebuah wujud pasti dari organisasi kehidupan berupa

agama. Menurut Fromm (1992), pembentukan lembaga, organisasi, atau

kelompok-kelompok tertentu merupakan cara menyalurkan agresi. Tidak

jarang cara ini menyebabkan ketertundukan terhadap berhala baru sebagai

imbas dari hubungan otoritatif yang tidak membebaskan (otoritas irasional).

Masih berkaitan dengan otoritas agama, sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Moaddel & Karabenick (2008), dengan subjek fundamentalis

agama di Mesir dan Arab Saudi, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda

dengan apa yang diklaim oleh Fromm. Individu dengan level fundamentalisme

yang cenderung tinggi bersandar pada otoritas agama sebagai sumber


(54)

fatalistik, dan merasa tidak aman. Kondisi fatalistik ini kemudian mengantar

pada ketidakberdayaan dan menciptakan sebuah kondisi kebahagian yang

tidak terrealisasikan (unrealizability of happiness). Sedangkan perasaan tidak aman ditampilkan dalam pandangan hidup responden yang cenderung tidak

aman dan tidak dapat diprediksi. Kebahagiaan yang tidak terrealisasikan serta

sikap fatalistik ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak sehat dan

individu dirugikan (Fromm, 1942).

Konformitas yang tinggi dan destruksi kepribadian menjadi tera bahwa

masyarakat tidak sehat dan cenderung merugikan individu. Akar konformitas

dan destruksi kepribadian tersebut adalah intensitas sense of being yang meredup akibat adanya kekuatan luar yang mengendalikan individu.

Meredupnya sense of being ini diikuti terciptanya massa anonim dan kaum konformis yang mengalami alienasi dari dunianya (May, 1958). Sebaran

penelitian (e.g. Altemeyer, 2004; Ji & Ibrahim, 2007; Moaddel & Karabenick,

2008) menunjukkan bahwa pola serupa juga ditemukan dalam ideologi yang

cenderung rigid seperti fundamentalisme. Massa yang anonim dan kaum konformis inilah yang kemudian dikendalikan oleh kekuatan mahadahsyat

yang tidak terlihat dalam wujud perintah sosial (dogma agama).

Sebagaimana elaborasi May (1958), konformisme merupakan

manifestasi dari nonbeing. Meredupnya sense of being menyulut kemerosotan karakter manusia yang membiarkan dirinya terendam dalam lautan respon dan

sikap yang kolektif. Manusia ditelan oleh das Man. Secara simultan, manusia mulai kehilangan kesadaran (awareness), potensialitas, dan karakteristik


(55)

lainnya. Manusia menjadi tidak unik dan bukan lagi seorang original being. Kapasitas untuk menghadapi nonbeing yang tidak mumpuni menjadi pematik yang memunculkan kecemasan (anxiety), permusuhan (hostility), dan agresi

(aggresion) yang tidak sehat secara mental.

Secara ontologis, kecemasan sudah ada dibarengi dengan manusia

terlahir ke dunia. Kecemasan ini kemudian mengalami represi ke dalam

unconsciousness. Akibatnya, kesadaran bahwa hal tersebut sudah ada dalam

samudra kejiwaan manusia semakin dangkal. Tingkat kesadaran yang

terhambat ini diikuti dengan terhambatnya penerimaan keadaan secara toleran

sehingga cara mengatasi kecemasan cenderung kurang konstruktif.

Ketidakmampuan menerima dengan sehat ini menyebabkan terhambatnya

proses self-transcending (transendensi diri).

Dalam keadaan ini, proses psikis berjalan begitu defensif. Struktur

psikis yang seharusnya berkembang dalam dunia eksistensial manusia

mengalami disturbansi. Disturbansi eksistensial yang bekerja dalam proses

mental manusia mengalami pergolakan. Konflik internal ini mempengaruhi

tiga mode dunia yang secara simultan membentuk kondisi dasein (

being-in-the-world), yakni; Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt.

Sama halnya dengan manusia pada umumnya, konstelasi kebutuhan

biologis, dorongan, maupun insting terus-menerus berdinamika dalam Umwelt para fundamentalis. Sebagai contohnya adalah agresi, yang dalam konteks ini

dipahami sebagai sebuah dorongan. Agresi, yang dasarnya bersifat netral dan


(56)

cenderung menjadi destruktif. Para fundamentalis cenderung memiliah-milah

mana yang out-group dan in-group (Gribbins & Vandenberg, 2011; Herriot, 2009). Proses mental yang defensif dengan mudah terbentuk dalam kondisi

ini.

Di sisi lain, Sullivan mengklaim bahwa need for others mendorong manusia untuk tetap tergabung dalam komunitas (Ewen, 2003). Demikian juga

dengan apa yang terjadi terhadap para fundamentalis. Kecenderungan untuk

membentuk eksklusivitas dengan anggota yang memiliki cara pandang dunia

yang sama sangatlah besar. Komunitas eksklusif yang terbentuk ini memiliki

karakter yang sama dengan karakter individu yang menjadi anggotanya;

memiliki resistensi terhadap kebaruan, reaktif, serta defensif. Resistensi dan

proses defensif akan membuat batasan tertentu di dalam Mitwelt. Hal ini dapat dipahami dalam kecenderungan seorang fundamentalis yang lebih memilih

untuk menolong in-group. Dalam kasus ini konsep extrinsic religious

orientation Allport & Ross (1967) mengambil peranan penting terhadap

manifestasi proses mental dalam perilaku. Proses terbentuknya konformitas

yang reaktif dan defensif dapat dipahami dalam konteks ini.

Status manusia sebagai entitas utuh bermain peran yang besar dalam

terciptanya paham fundamentalisme. Manusia menempatkan diri dan melihat

yang lainnya sebagai eksistensi yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam keadaan

tertentu manusia menempatkan diri sebagai subjek dan objek bagi dunia yang

telah dicipta dan dimakna oleh dirinya sendiri sebagai eksistensi yang berdiri


(57)

dalam ranah Eigenwelt. Masalahnya adalah sumber makna para fundamentalis yang terbatas. Sesuatu yang menyatukan mereka dalam in-group, misalnya kitab suci. Ciri intratextual pada para fundamentalis membatasi dan semakin mengaburkan fungsi dirinya sebagai sebuah being yang berdiri di antara being di sekitarnya. Separasi eksistensi dari individu lain diikuti dengan separasi

terhadap dunianya sendiri menjadi akibat wajar dari kiblatnya pada

intratextual.

Alhasil, fundamentalis memiliki dunia eksistensial baru yang terbentuk

lewat pemaknaan yang holistis dari tiga mode dunia yang bekerja secara

simultan. Dunia ini begitu rapat, namun bukan berarti tidak permeabel. Pilihan

eksistensial para fundamentalis untuk sementara waktu dikendalikan oleh

frame of reference yang didasarkan pada teks suci, konservatisme, cara

pandang yang kaku, intoleransi, dan kebenaran mutlak pada kelompok.

Meskipun demikian, inner dynamism terus berdinamika sepanjang si individu hidup. Sifat dunia eksistensial yang terbentuk ini juga sama seperti dunia

eksistensial pada umumnya; dinamis.

Sebagaimana dunia eksistensial yang cenderung dinamis, pemahaman

religius juga memuat dinamisme di dalam dunia eksistensial manusia.

Beberapa sumber menyampaikan ada satu dunia yang bersifat religius dan

transpersonal yang erat kaitannya dengan tiga mode dunia lainnya, yakni

Uberwelt (Rowan, 2012). Pemahaman religius ini menciptakan pengalaman

transformasional yang erat melekat dalam tiga mode dunia. Persinggungan


(58)

terjadi dalam pertemuan. Mengacu pada James (1902), dalam kondisi seperti

ini konversi bisa terjadi secara gradual; setiap saat dan setiap waktu.

Ekuivalen dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya,

fundamentalisme merupakan wujud dari merosotnya sense of being manusia. Manusia tidak secara aktif produktif menciptakan makna atau mencari makna

dari sekitarnya sehingga berakibat fatal pada tidak terbaharuinya frame of

reference. Penerimaan secara sehat terhadap kebaruan (modernisasi disertai

nilai-nilainya) tidak berjalan dengan baik. Unsur represi dan karakter yang

destruktif kemudian mudah terbentuk dari tendensi konservatif. Dalam hal ini,

resistensi terhadap nilai baru yang tidak sesuai dengan frame of reference dengan mudah akan muncul.

Lebih jauh lagi, produk nilai modernisme menciptakan manusia yang

inferior secara psikis dan cenderung takut untuk bebas (Fromm, 1942; 1955).

Keterikatannya terhadap objek tertentu yang menjadi produknya sendiripun

semakin kuat. Objek inilah yang lalu oleh Fromm disebut berhala. Berhala di

sini memiliki antonim dengan fungsi agama sebagai ―jalan‖ bagi kehidupan manusia. Fungsi agama tidak lagi seperti apa yang disampaikan Jung sebagai

sebuah jalan menuju individuasi atau dalam eksistensialisme menjadi jalan

menuju the existing person, namun justru suatu produk yang melanggengkan depersonalisasi.

Schumaker (1995) benar ketika menyebutkan bahwa, seperti apa yang

disampaikan Freud, agama merupakan wujud ketidakberdayaan manusia. Di


(59)

bahwa agama meningkatkan kesehatan mental. Hal tersebut bukanlah sebuah

keniscayaan. Tidak semua penganut agama selamat; dalam konteks semakin

meningkat kesehatan mentalnya.

Dengan tepat Fromm (1955) menggambarkan bahwa semangat dunia

modern adalah abstraksifikasi dan kuantifikasi. Abstraksifikasi dan

kuantifikasi ini menunjukkan bahwa dunia merupakan sesuatu yang diperintah

logika dan rasionalitas manusia. Ketika dihadapkan dengan pemaknaan agama

yang semata-mata bersumber pada logika, transitional object yang menjadi esensi keberadaan agama sebagai sumber makna semakin menjauhkan

manusia dari penyadaran diri. Atau dengan kata lain, tidak semua individu

yang menganut agama mengalami peningkatan kesadaran yang dalam literatur


(60)

Modern World dan Nilai-nilai yang dibawa Persinggungan dengan frame of reference

Pencarian makna sebagai

pegangan dan

filosofi hidup Berpedoman

terhadap kitab suci/dogma - Konservatisme

- Rigiditas - Anti modernisme

- Intoleransi

Penemuan makna, frame of reference

menjadi ketat

FUNDAMENTALISME Kuantifikasi

dan Abstraksifikasi

Inner dynamism dalam tiga mode dunia:

Umwelt, Mitwelt, Eigenwelt

Manusia yang kehilangan sense of being dan kehilangan dunianya

Kecemasan terhadap NONBEING

Proses

BEING-SOMETHING D. Peta Konsep Penelitian


(1)

Individual Structural Descriptions

Individual Structural Description of Yusuf’s Being Fundamentalist

Pada bagian ini akan disajikan gambaran jelas yang mendasari dinamika pengalaman. Gambaran ini berupa tema dan kualitas yang digambarkan oleh pengalaman. Struktur pengalaman diekspresikan dalam sebuah frame of reference sebagai impak atas kesalingterhubungan antara Mitsein-Mitdasein dengan Umwelt, Mitsein-Mitdasein dengan Mitwelt, serta Mitsein-Mitdasein dengan Eigenwelt. Masing-masing dinamika memiliki keunikan tersendiri yang secara simultan berdinamika di dalam eksistensi Yusuf.

Mitsein-Mitdasein merupakan dunia di luar exsistenz yang mempengaruhinya. Mitsein berupa Ada di sekitanya, sedangkan Mitdasein berupa dasein di sekitarnya. Dalam pengalaman Yusuf, Mitsein-Mitdasein ditunjukkan dengan adanya eksponen dan konflik, penguatan konsepsi-konsepsi yang sifatnya militan seperti harakah, dan roh-roh kolektif lain seperti hukum, empati, dan sumber informasi yang menjadi stimulus bagi penciptaan makna oleh Yusuf.

Umwelt diekspresikan dengan adanya kultur di luar diri yang tidak bisa dikontrol untuk membuat pilihan. Justru hal ini yang menjadi basis filosofis bagi Yusuf. Kultur itu terdapat dalam kitab suci dan konsepsi-konsepsi keagamaan. Dengan adanya batasan dari Umwelt, Yusuf mengalami ketertutupan terhadap hal-hal lain yang secara moral maupun sosial masih bisa dikembangkan.

Mitwelt diekspresikan secara kuat lewat kehilangan signifikansi dan rasa kebersamaan yang saling berjalin. Karena kehilangan signifikansi, rasa kebersamaan muncul sebagai solusi. Demikian juga, rasa kebersamaan yang lemah membuat Yusuf kehilangan signifikansi. Kosmpolitanisme muncul sebagai bentuk solusi atas rasa ketidakberartian dan berjalin dengan Umwelt dalam hal konsepsi agama. Perjuangan fisik dilakukan atas dasar sinergi antara konsepsi agama dan keinginan untuk berguna. Perjuangan fisik merupakan hal yang sah-sah saja selama itu berbasis kepentingan. Kepentingan ini merupakan bahasa teknis dari solidaritas. Selepas berjuang secara fisik, Yusuf tetap mengasah kemampuan sosialisasinya dan menjaga relasi dengan orang lain, termasuk dalam hal ini keluarga.

Eigenwelt diekspresikan lewat keyakinan terhadap being di luar dirinya; Tuhan. Keyakinan akan Tuhan memberikannya keberanian dan kekuatan disertai kepasrahan. Yusuf menjadi berani dan kuat sekaligus tunduk. Keinginan untuk

‗mengalami‘ menjadi penyempurnaan dalam menjalankan agama. Agama tidaklah

dipahami secara teoritis, tapi juga harus praktis. Praktis dalam hal ini adalah menjalankan agama secara ekstrinsik. Apa yang dia perjuangkan adalah semata-mata melawan ketidakadilan dari yang superior sehingga menumbangkan superior dan menegakkan apa yang didapatnya di Umwelt menjadi tujuan akhirnya.

Ada interelasi antara Mitsein-Mitdasein, Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt. Kehidupan yang dinamis tercermin dari Mitsein. Sebagai manusia, Yusuf adalah dasein yang yang menafsirkan tanda-tanda (afeksi, pikiran, maupun sikap) dan mengkonstruksinya menjadi sebuah basis filosofis dalam dirinya. Ketika Yusuf menafsirkannya lewat Umwelt, maka yang terbentuk adalah yang tak teratasi oleh pilihannya. Ketika dia menafsirkannya dalam ranah Mitwelt, maka kepentingan sekitar menjadi prioritas dalam hidupnya. Kemudian ketika ditafsirkan dalam


(2)

tataran Eigenwelt, maka Yusuf menciptakan keadaan berdasarkan hasil pilihan eksistensialnya.


(3)

248

LAMPIRAN 8


(4)

Textural-Structural Synthesis of Yusuf’s Being Fundamentalist

Bagian ini menyajikan integrasi yang dilakukan terhadap deskripsi tekstural dan struktural yang menghasilkan sebuah sintesis makna dan esensi dari pengalaman. Horizon pengalaman yang dialami Yusuf selama menjadi seorang fundamentalis dipetakan ke dalam empat aspek pokok. Aspek pertama adalah sebuah keadaan (circumtances) dari being di luar dasein Yusuf. Persaudaraan yang didasari oleh solidaritas dan hospitalitas (fellowship based on solidarity and friendliness) mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek-aspek sisanya. Aspek ini disebut sebagai Mitsein-Mitdasein. Mitsein jika berupa being lain, sedangkan Mitdasein jika berupa dasein. Tiga aspek lainnya merupakan dunia

mental-eksistensial sebagai wujud ‗pemaknaan atas‘ dan bekerja secara simultan

membentuk being-in-the-world Yusuf. Ketiga mode dunia itu adalah Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt. Aspek-aspek ini dimiliki setiap manusia, namun karena sifatnya yang unik dan dinamis tidak ada dua atau lebih manusia yang memiliki sintesis makna yang sama.

1. Mitsein-Mitdasein

Mitdasein diekspresikan dengan munculnya significant being yakni eksponen yang mengusung nilai-nilai agama sebagai wujud pencarian kebenaran dan kekecewaan terhadap dunia material. Interelasi dengan para eksponen ini memungkinkan keadaan transfer of power dalam hal pilihan, pembuatan keputusan, preferensi, maupun interpretasi terhadap suatu keadaan. Terciptalah suatu kondisi kolektif yang bersifat close-mindedness.

Pada waktu yang sama, terjadi transisi dari pemerintahan yang represif ke pemerintahan yang cenderung longgar (Mitsein). Hal ini membuat kondisi yang memungkinkan untuk mencuatnya nilai-nilai jihad dan konflik karena state of control yang melemah. Lingkungan, hasil transfer of power dan kondisi yang memungkinkan konflik dialami secara habitual, mengkonstruksi suatu dunia material sebagai hasil kristalisasi rasa solidaritas terhadap kaum muslim yang tertindas dan kecenderungan untuk memeluk Islam secara kafah. Secara simultan, rasa solidaritas dan kecenderungan untuk menjadi kafah melahirkan kosmpolitanisme.

2. Umwelt

Salah satu wujud Mitsein adalah arus global. Arus global sendiri menimpa semua orang. Ketika globalitas ini terbentur dengan act of valuing yang secara natural telah melekat pada manusia, dalam diri Yusuf terjadi dilema untuk membuat pilihan, pembuatan keputusan, preferensi, maupun interpretasi terhadap suatu keadaan. Arus global ini menciptakan sebuah keadaan (circumtances) yang tidak dapat dikontrol lewat pilihan Yusuf. Keadaan yang cenderung kolektivis ini menyebabkan ketidakmampuan mengontrol keadaan sehingga menciptakan ketidakmampuan diri (self-powerlessness). Dilema ini mendorong Yusuf mencari external value. External value diperoleh dari konsepsi yang disediakan oleh agama. Sifat value berubah dari yang memiliki dasar kehendak, perasaan, maupun harapan


(5)

Textural-Structural Synthesis

menjadi sebuah keharusan (have to). Keharusan ini muncul sebagai impak atas pemahaman terhadap konsepsi Tuhan agama yang sifatnya otoriter. Kebenaran yang muncul menjadi kebenaran yang tanpa cela (inerrant truth). Dengan dasar kebenaran yang tanpa cela ini, keyakinan untuk memeluk Islam secara kafah semakin dikuatkan.

3. Mitwelt

Pemahaman akan innerant truth yang sama menciptakan sebuah rasa kebersamaan (sense of togetherness). Selain itu, rasa kebersamaan juga muncul dari perpanjangan sorge; prihatin, memahami diri sendiri dan bertanggungjawab atas keberadaannya. Rasa kebersamaan ini dimanifestasikan dalam solidaritas dalam dunia yang terselimuti kosmopolitanisme. Karena kehilangan signifikansi terhadap diri sendiri, sebagai kompensasi; keharusan untuk menjadi signifikan terhadap orang lain. Dalam hal ini, Yusuf menemukan dirinya (identitas personal) lewat identitas sosial. Dengan menjadi berguna bagi orang lain, maka hidup akan lebih berarti.

Yusuf merasa tidak berarti ketika dia tidak tergabung dalam kelompok, kolektivitas di sini memegang peranan yang signifikan. Kolektivitas ini juga mendorong munculnya tradisi penghormatan terhadap individu dalam perjuangannya dalam agama. Tingkat prestise Yusuf naik dengan partisipasinya dalam perjuangan mencapai kebenaran agama. Demi mencapai identitas personalnya, Yusuf menjadi individu yang sarat akan rasa kesiapan (readiness) dan kesediaan (willingness). Siap dan sedia dalam istilah ini merujuk pada permusuhan terhadap mereka yang lain (otherness). Rasa kebersamaan ini menjadi solusi untuk mengatasi kecemasan sosial. Dengan menjadi berguna bagi orang lain, maka hidup akan lebih berarti.

Ketidakadilan terhadap muslim juga menjadi dasar perlawanan Yusuf secara anarkis. Hukum yang tidak pada prakteknya dan bernilai kosong

merupakan hal yang bertentangan dengan apa yang disebut ―kembali ke nabi‖. Diskrepansi ini menimbulkan anarkisme. Anarkisme merupakan wujud dari amar ma„ruf nahi munkar.

4. Eigenwelt

Rasa tertarik terhadap significant being membuat Yusuf cenderung untuk membuat identifikasi diri dengan mereka. Identifikasi diri membuat Yusuf menjadi kehilangan identitas personalnya, meskipun meningkatkan self-esteem di lain pihak. Dalam rangka pencarian identitas personalnya, Yusuf memiliki pegangan inerrant truth. Inerrant truth mengarah pada sesuatu yang sifatnya otoriter; yakni Tuhan. Akhirnya semua perbuatan kembali kepada otoritas ini dan hidupnya merupakan bentuk kepasrahan terhadap Tuhan lewat jalan iman. Iman bukanlah sesuatu yang mendatangkan kepastian akan suatu keadaan. Namun iman ini merupakan akibat dari adanya Tuhan. Dengan demikian, Yusuf mencoba mengatasi ketidakpastian dengan jalan kepastian. Yusuf memahami bahwa hidupnya adalah berkorban dan


(6)

menyerahkan diri ke Allah. Kepastian (atau kebenaran) ini memiliki nilai kebertujuan untuk melawan superioritas.

Pengalaman adalah hal yang nyata daripada sekadar kitab. Pemahaman ini mendorong realisasi nilai-nilai jihad ke dalam perbuatan. Personal concern terhadap aksi-aksi atau konflik meningkat dan menjadi penguatan tersendiri untuk mengeksekusi apa yang menjadi kehendaknya. Kehendak ini muncul sebagai kesadaran atas pentingya rasa untuk mengalami (to experiencing).

Kehendak untuk mengalami merupakan wujud dari menjalankan Islam secara kafah. Teori yang didapat selayaknya dipraktekkan ke dalam bentuk aksi. Yusuf menyadari adanya diversitas perjuangan antar mujahidin, otherness dan kecenderungan menciptakan konflik menjadi latar belakang pemahaman akan diversitas ini.