Tiga Mode Dunia Analisis Eksistensial

eksesif. Pada saat yang sama, muncullah eksponen profetik seperti Kierkegaard, Nietzche dan Marx May, 1967. Lewat eksplorasi para eksponen profetik ini, May 1958 menguraikan bahwa manusia kehilangan sense of being dan kemudian kehilangan dunianya. Tidak hanya mengalami pengalaman alienasi dari dunia manusia sekitarnya, namun manusia juga mengalami penderitaan di dalam dirinya. Dia menjadi asing dengan dunia naturalnya alienasi epistemologis. Ada yang menarik secara historis dari kondisi psikologis manusia. Pada jaman Freud abad ke-19 dan transisi ke abad ke- 20, histeria menjadi masalah utama dalam masyarakat. Pada abad ke-20, masalah berupa skizoid lebih mendominasi dibandingkan histeria. Ini berarti menunjukkan bahwa setiap waktu dan ruang sosiopsikologis tertentu memiliki sekaligus mengusung problema yang berbeda. Dengan kata lain, meminjam bahasa May 1958, ―World is never something static…It is rather dynamic pattern.”

2. Tiga Mode Dunia

Menurut perspektif psikologi eksistensial, dasein yang berada dalam kondisi being-in-the-world merupakan indikator yang menentukan orang sehat. Karena kita hidup dalam dunia world yang kompleks, maka ketika kita membicarakan mengenai being-in-the-world maupun dasein otomatis akan berhadapan dengan konteks world . Ada tiga mode dunia yang secara simultan menjadi formatur dasein , yakni; Umwelt , Mitwelt , dan Eigenwelt uraian mengenai mode dunia ini telah didahului oleh Binswanger dan Boss. Sebagaimana dikatakan May 1958 bahwa ketiganya sama sekali bukan dunia, melainkan tiga mode yang secara simultan membentuk kondisi dasein being-in-the- world . Secara literal, Umwelt berarti ― world around ‖ atau ―dunia sekitar‖. Umwelt dipahami sebagai dunia internal dan eksternal objek yang membentuk kita secara fisiologis dan lingkungan secara fisik. Pada umumnya disebut sebagai dunia biologis manusia May, 1958. Menurut May 1958, semua organisme memiliki dunia natural ini. Dalam animal beings dan human beings , Umwelt meliputi kebutuhan biologis needs , dorongan drives , insting instincts . Dengan demikian, meskipun manusia tidak memiliki self-consciousness maka dia juga tetap akan eksis di dunia ini. May 1958 mengelaborasi bahwa Umwelt adalah dunia berisi hukum alam, siklus alam, tidur dan bangun, dilahirkan dan mati, hasrat dan pelepasan, dunia keterbatasan dan determinisme biologis, dunia tempat manusia mengalami ke-terlempar-an dan setiap dari kita harus menyesuaikan diri dalam cara-cara tertentu. Umwelt berkaitan erat dengan psikoanalisis Freud yang menjadi kajian sebelumnya dari May. Oleh karena itu Umwelt meliputi berbagai macam aspek biologis seperti yang telah dipaparkan di atas. Dalam dunia ini manusia dipandang semata- mata sebagai objek determinisme. Namun kita tidak hanya hidup dalam Umwelt . Kita juga hidup dalam Mitwelt . Mitwelt , secara literal, berarti ― with-world ‖ atau ―dengan-dunia‖ atau dunia sosial bersama orang lain. Feist Feist 2008 menyatakan bahwa kita harus berrelasi dengan orang lain selayaknya orang. Jika kita menganggap mereka objek, maka kita melulu hidup dalam ranah Umwelt . Pengaruh Interpersonal Theory Sullivan ditemukan dalam kajian mengenai Mitwelt . Gagasan Sullivan mengenai need for others dapat dipahami dalam kehidupan manusia yang berada pada ranah dunia sosial yang notabene membantunya proses perkembangan psikologis Ewen, 2003. ―Personality”, kata Sullivan dalam Ewen, 2003 , “ can never be isolated from the complex of interpersonal relationships in which the person lives”. Oleh karena itu, semua kegiatan manusia adalah kegiatan sosial, baik itu proses fisik maupun proses mental seperti mimpi dan fantasi. Dengan demikian, menurut Sullivan, hubungan interpersonal menerima tokoh fiktif sebagai lawan relasi manusia Hall Lindzey, 1978. Ketiga adalah Eigenwelt yang secara literal berarti ― own- world ‖ atau ―dunia pribadi‖. Eigenwelt adalah dunia psikologis dari diri seseorang, kekuatan potensialitas, dan nilai-nilainya. Dunia ini secara singkat merupakan bentuk relasi dengan oneself . Dalam dunia ini, sisi humanistik dari psikologi eksistensial sangat kentara. Seperti apa yang menjadi konsentrasi Rogers dan Frankl bahwa manusia merupakan subjek aktif yang memiliki kapasitas untuk mengatasi problemanya. Eigenwelt mensyaratkan self-awareness , self-relatedness yang secara unik hadir dalam human being . Dalam mode ini, kita memahami bahwa kita adalah pusat dari eksistensi kita serta mengenal potensi-potensi khusus kita. Potensi-potensi yang dimaksud adalah seperti kapasitas menilai, memilih, dan nilai- nilai. Ketika kita menggunakan potensi kita, maka peneguhan terhadap eksistensi diri akan dicapai. Lebih jauh lagi, mode ini menjadi jelas ketika kita menilai dengan akurat apa yang kita suka atau tidak suka, apa yang kita butuhkan atau tidak butuhkan, yang secara personal mengevaluasi pengalaman. Pengaruh Carl Rogers dengan Person-Centered Theory -nya seirama dengan Eigenwelt . Rogers 1961 memandang bahwa ada tendensi bawaan yang mengembangkan sifat konstruktif pada manusia; potensialitas untuk menjadi sehat. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah aktualisasi diri. Oleh karena itu, jika dilihat dari perspektif Rogers, maka perilaku bukan disebabkan karena sesuatu yang terjadi di masa lalu, melainkan disebabkan oleh tegangan dan kebutuhan saat ini. Ini menunjukkan bahwa mode Eigenwelt vis-a-vis dengan mode Umwelt . Dalam Love and Will , May 1969 membentangkan bentuk cinta beserta eksistensinya dalam tiga dunia yang secara simultan membentuk dasein . Tradisi barat Western tradition mengenal empat macam cinta, yakni; sex , eros , philia , dan agape . Sex dan eros termasuk dalam dunia biologis manusia atau berarti dalam Umwelt . Philia atau cinta terhadap teman berada dalam ranah dunia sosial manusia, yang berarti berada dalam Mitwelt . Terakhir agape yang berada dalam Eigenwelt . Lebih jauh lagi May mencapai kesimpulan bahwa setiap pengalaman cinta yang otentik merupakan paduan dari empat bentuk cinta tersebut dengan komposisi yang berbeda. Atau Gambar 3. Orang yang sehat hidup secara simultan di Umwelt , Mitwelt , dan Eigenwelt Sumber : Feist Feist, 2008 dengan kata lain merupakan hasil dinamika yang simultan antara Umwelt , Mitwelt , dan Eigenwelt . 3. Being dan Nonbeing Manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia yang sadar suatu saat mereka akan mati… Meskipun manusia mengetahui hari mereka di dunia terbatas dan semua akan berakhir di saat mereka tak mengharapkannya, manusia membuat hidupnya laksana pertempuran yang senilai makhluk yang hidup kekal…Mereka tak punya apapun untuk dipertaruhkan — karena kematian tidak bisa dihindari. —Paulo Coelho, The Pilgrimage Kematian adalah kecemasan paling fundamental pada manusia. Manusia tidak bisa memilih untuk lahir, namun dia bisa memilih untuk mati; bahkan tanpa memilih, suatu saat dia akan mati. Menurut Herman Feifel 1961, penyelidikan lebih lanjut mengenai sikap terhadap kematian dapat memperkaya dan memperdalam pemahaman kita mengenai reaksi adaptif maupun maladaptif terhadap stres dan teori kepribadian pada umumnya. Feifel 1961 mengumpulkan berbagai literatur mengenai sikap terhadap kematian dan mendapatkan bukti yang menegaskan bahwa kematian merupakan hal paling nyata yang membawa manusia ke status nonbeing . Oleh karena itu, yang menjadi kecemasan manusia paling riil dalam kehidupannya adalah kematian. Yalom 1980 mengklaim bahwa sebagian besar energi manusia digunakan untuk melakukan penyangkalan terhadap kematian. May dalam Feist Feist, 2008 mengklaim bahwa kematian bukanlah sebuah fakta yang relatif, melainkan absolut. Kesadaran dari kematian memberikan eksistensi dan sebuah kualitas absolut mengenai apa yang akan dilakukan setiap waktu. Hidup menjadi terasa lebih vital dan berarti ketika kita menghadapkannya pada kemungkinan terhadap kematian. Senada dengan apa yang disampaikan May, Yalom 1980 berpendapat bahwa kesadaran akan kematian menjadi onset manusia untuk ―mencelupkan‖ diri dalam kehidupan. Kecemasan terhadap kematian ini dalam pembentukan struktur karakter manusia dan menghasilkan kecemasan yang memberi tekanan nyata dalam pembangunan pertahanan psikologis. Melalui kajian berbagai literatur sejarah manusia, Feifel 1961 berpendapat bahwa gagasan mengenai kematian merupakan misteri eternal dalam berbagai sistem pemikiran religius maupun filsafat. Ini membuktikan bahwa kapasitas manusia untuk memahami konsep masa depan dan, tentu saja, kematian yang tidak dapat terhindarkan. Karena sifatnya yang tidak terhindarkan, maka kematian berimplikasi terhadap reaksi universal terhadap realita bahwa tidak seorangpun terbebas dari hal tersebut. Kemudian dalam bidang psikologi, muncul Freud yang mengklaim bahwa ketidaksadaran terhadap kematian terproyeksikan dalam diri manusia yang kemudian muncul lewat tendensi self-destruction . Kecemasan sendiri memiliki sumber yang berbeda dengan ketakutan. Jika kecemasan berasal dari ancaman mental, maka ketakutan berasal dari ancaman fisik. Dalam bahasa Yalom 1980 dikatakan bahwa ketakutan menyerang bagian permukaan manusia, bukan pondasi manusia. Dengan demikian, dinamika kecemasan dipahami secara ontologis; berhubungan dengan eksistensi manusia. Sama seperti Heidegger maupun Binswanger, secara ontologis, May 1958 memahami kecemasan sebagai ancaman terhadap dasein . Berbeda dengan Freud yang mengeksplorasi kecemasan dari tiga sumber yang berbeda, konsep kecemasan dalam psikologi eksistensial diderivasikan dari perselisihan antara being dan ancaman nonbeing . Tidak ada batasan pasti mengenai intensitas kecemasan yang sehat dengan yang tidak. Hanya saja, manusia yang sehat secara mental tidak kehilangan fungsi diri sebagai makhluk yang mengatasi kodrat dan keadaannya alloplastic . Being dan nonbeing adalah negasi. Dalam bahasa Sartrean nonbeing memiliki padanan kata dengan nothingness . Menurut Sartre 1956, secara konstitutif, pendek kata nothingness dapat dipahami sebagai berikut : Nothingness does not itself have being, yet it is supported by being. It comes into the world by the for-itself and is the recoil from fullness of self- contained being which allows consciousness to exist as such. hal.551 May 1958 mengklaim bahwa nonbeing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari being . Untuk memahami konsep eksis, seseorang juga perlu menyadari fakta bahwa ada kemungkinan dia tidak eksis. Dalam setiap momen, dia menempuh pinggiran jurang yang terjal dengan kemungkinan untuk binasa annihilation . Dia tidak pernah dapat melarikan diri dari fakta kematian yang akan tiba pada waktu yang tidak tentu di masa depan. Eksistensi selalu dibayang-bayangi oleh nonbeing . Konfrontasi dengan nonbeing membuat eksistensi memiliki vitalitas vitality dan kesiapan immediacy serta menaikkan tingkat consciousness terhadap dirinya, dunianya, dan segala sesuatu di sekitarnya. Namun, konfrontasi selalu diikuti dengan status. May 1958 mengelaborasi bahwa kegagalan dalam menghadapi nonbeing adalah munculnya konformisme. Konformisme memunculkan karakter manusia yang membiarkan dirinya terendam dalam lautan respon dan sikap yang kolektif, ditelan oleh das Man , serta secara bersamaan kehilangan kesadaran awareness , potensialitas, dan karakteristik apapun yang membuat dia unik dan menjadi seorang original being . Kapasitas untuk menghadapi nonbeing terilustrasikan dalam kemampuan seseorang untuk menerima kecemasan anxiety , permusuhan hostility , dan agresi aggresion ; bahwa hal tersebut ada di dalam samudra kejiwaan manusia. Menerima memiliki arti yang tidak dangkal. Menerima berarti toleran tanpa adanya unsur represi dan dapat menggunakannya sejauh hal tersebut konstruktif. Sepanjang pengalamannya bersama klien dan dalam kiblatnya terhadap Freudian, Wolson 2005 menemukan bahwa manifestasi kecemasan memiliki akar yang sama; ketakutan terhadap kematian secara psikis, atau dengan kata lain; nonbeing . Implikasinya, kebutuhan mendasar manusia adalah psychic survival . Hal ini telah terlihat sepanjang perjalanan kehidupan manusia. Bayi menghadapi ketakutan kematian psikis dengan mengembangkan struktur psikis self dan object-relations dan tindakan defensif untuk memastikan psychic survival -nya. Pengembangan struktur psikis dan tindakan defensif tersebut menjadi sarana pembentukan sense of being . Dengan demikian, kehidupan manusia adalah dialektika tanpa henti dari being untuk mengatasi nonbeing . C. State of Being Fundamentalisme Agama Dalam sebuah perjumpaan, maka akan terjadi perubahan dalam diri masing-masing aktor. Ketika antar manusia mengalami relasi interpersonal, tegangan atau konflik akan muncul diikuti kecemasan. Kierkegaard 1997 mengilustrasikan kecemasan sebagai ― the dizziness of freedom, the awareness of the possibility of being able . ‖ Kecemasan adalah kebebasan yang sedang bingung, kesadaran bahwa ada kemungkinan untuk menjadi lebih mampu. Lebih jauh lagi Kierkegaard mengatakan bahwa kecemasan adalah realitas kebebasan sebagai sebuah potensialitas sebelum kebebasan tersebut terwujud. Goldstein dalam May, 1963 mengelaborasi bahwa kebebasan dikapitulasikan, secara individual maupun kolektif, dengan harapan agar bisa mengatasi kecemasan yang tidak tertanggungkan. Kecemasan tidak tertanggungkan inilah yang kemudian mendorong Fromm 1955 yang secara menarik menyatakan bahwa di abad ke-20 manusia kehilangan individualitasnya — man is dead Fromm 1942 menguraikan bahwa kecemasan yang tidak tertanggungkan dan individualitas yang hilang ini mewujud dalam kesendirian yang tidak tertanggungkan unbearable aloneness dan ketidakberdayaan yang tidak tertanggungkan unbearable powerlessness . Kesendirian dan ketidakberdayaan ini kemudian menciptakan perasaan inferior terhadap sekitar. Inferioritas ini mendorong individu untuk menggabungkan diri ke dalam sesuatu yang lebih besar dibanding dengan dirinya sendiri atau sesuatu yang dianggap lebih superior. Penggabungan individu ini menunjukkan bahwa ada kekuatan lebih tinggi di luar dirinya. Kekuatan superior ini menuntut individu untuk mematuhinya Fromm, 1942. Inilah yang kemudian mewujud dalam istilah ―hukum alam‖, ―nasib manusia‖, maupun ―kehendak Tuhan‖. Oleh karena itu, melalui indoktrinasinya, agama memenuhi syarat untuk menjadi salah satu kekuatan superior. Tidak heran apabila pola penggabungan diri ke dalam yang lebih superior kemudian juga muncul pada para fundamentalis agama. Ketakutan manusia akan ketiadaan dalam bentuk ketidakberdayaan dan kesendirian mendorong manusia untuk mengatasinya lewat figur yang lebih superior dan sempurna. Figur ini kemudian dihadirkan dalam wujud Tuhan —yang dalam bahasa Freud adalah the exalted father . Tuhan kemudian diorganisasikan sehingga menghadirkan sebuah wujud pasti dari organisasi kehidupan berupa agama. Menurut Fromm 1992, pembentukan lembaga, organisasi, atau kelompok-kelompok tertentu merupakan cara menyalurkan agresi. Tidak jarang cara ini menyebabkan ketertundukan terhadap berhala baru sebagai imbas dari hubungan otoritatif yang tidak membebaskan otoritas irasional. Masih berkaitan dengan otoritas agama, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Moaddel Karabenick 2008, dengan subjek fundamentalis agama di Mesir dan Arab Saudi, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan apa yang diklaim oleh Fromm. Individu dengan level fundamentalisme yang cenderung tinggi bersandar pada otoritas agama sebagai sumber pengetahuan mengenai peran sosio-politis agama, mendukung hukum agama, fatalistik, dan merasa tidak aman. Kondisi fatalistik ini kemudian mengantar pada ketidakberdayaan dan menciptakan sebuah kondisi kebahagian yang tidak terrealisasikan unrealizability of happiness . Sedangkan perasaan tidak aman ditampilkan dalam pandangan hidup responden yang cenderung tidak aman dan tidak dapat diprediksi. Kebahagiaan yang tidak terrealisasikan serta sikap fatalistik ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak sehat dan individu dirugikan Fromm, 1942. Konformitas yang tinggi dan destruksi kepribadian menjadi tera bahwa masyarakat tidak sehat dan cenderung merugikan individu. Akar konformitas dan destruksi kepribadian tersebut adalah intensitas sense of being yang meredup akibat adanya kekuatan luar yang mengendalikan individu. Meredupnya sense of being ini diikuti terciptanya massa anonim dan kaum konformis yang mengalami alienasi dari dunianya May, 1958. Sebaran penelitian e.g. Altemeyer, 2004; Ji Ibrahim, 2007; Moaddel Karabenick, 2008 menunjukkan bahwa pola serupa juga ditemukan dalam ideologi yang cenderung rigid seperti fundamentalisme. Massa yang anonim dan kaum konformis inilah yang kemudian dikendalikan oleh kekuatan mahadahsyat yang tidak terlihat dalam wujud perintah sosial dogma agama. Sebagaimana elaborasi May 1958, konformisme merupakan manifestasi dari nonbeing . Meredupnya sense of being menyulut kemerosotan karakter manusia yang membiarkan dirinya terendam dalam lautan respon dan sikap yang kolektif. Manusia ditelan oleh das Man . Secara simultan, manusia mulai kehilangan kesadaran awareness , potensialitas, dan karakteristik lainnya. Manusia menjadi tidak unik dan bukan lagi seorang original being . Kapasitas untuk menghadapi nonbeing yang tidak mumpuni menjadi pematik yang memunculkan kecemasan anxiety , permusuhan hostility , dan agresi aggresion yang tidak sehat secara mental. Secara ontologis, kecemasan sudah ada dibarengi dengan manusia terlahir ke dunia. Kecemasan ini kemudian mengalami represi ke dalam unconsciousness . Akibatnya, kesadaran bahwa hal tersebut sudah ada dalam samudra kejiwaan manusia semakin dangkal. Tingkat kesadaran yang terhambat ini diikuti dengan terhambatnya penerimaan keadaan secara toleran sehingga cara mengatasi kecemasan cenderung kurang konstruktif. Ketidakmampuan menerima dengan sehat ini menyebabkan terhambatnya proses self-transcending transendensi diri. Dalam keadaan ini, proses psikis berjalan begitu defensif. Struktur psikis yang seharusnya berkembang dalam dunia eksistensial manusia mengalami disturbansi. Disturbansi eksistensial yang bekerja dalam proses mental manusia mengalami pergolakan. Konflik internal ini mempengaruhi tiga mode dunia yang secara simultan membentuk kondisi dasein being-in- the-world , yakni; Umwelt , Mitwelt , dan Eigenwelt . Sama halnya dengan manusia pada umumnya, konstelasi kebutuhan biologis, dorongan, maupun insting terus-menerus berdinamika dalam Umwelt para fundamentalis. Sebagai contohnya adalah agresi, yang dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dorongan. Agresi, yang dasarnya bersifat netral dan mengarahkan manusia kepada kehidupan, mengalami penyimpangan dan cenderung menjadi destruktif. Para fundamentalis cenderung memiliah-milah mana yang out-group dan in-group Gribbins Vandenberg, 2011; Herriot, 2009. Proses mental yang defensif dengan mudah terbentuk dalam kondisi ini. Di sisi lain, Sullivan mengklaim bahwa need for others mendorong manusia untuk tetap tergabung dalam komunitas Ewen, 2003. Demikian juga dengan apa yang terjadi terhadap para fundamentalis. Kecenderungan untuk membentuk eksklusivitas dengan anggota yang memiliki cara pandang dunia yang sama sangatlah besar. Komunitas eksklusif yang terbentuk ini memiliki karakter yang sama dengan karakter individu yang menjadi anggotanya; memiliki resistensi terhadap kebaruan, reaktif, serta defensif. Resistensi dan proses defensif akan membuat batasan tertentu di dalam Mitwelt . Hal ini dapat dipahami dalam kecenderungan seorang fundamentalis yang lebih memilih untuk menolong in-group . Dalam kasus ini konsep extrinsic religious orientation Allport Ross 1967 mengambil peranan penting terhadap manifestasi proses mental dalam perilaku. Proses terbentuknya konformitas yang reaktif dan defensif dapat dipahami dalam konteks ini. Status manusia sebagai entitas utuh bermain peran yang besar dalam terciptanya paham fundamentalisme. Manusia menempatkan diri dan melihat yang lainnya sebagai eksistensi yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam keadaan tertentu manusia menempatkan diri sebagai subjek dan objek bagi dunia yang telah dicipta dan dimakna oleh dirinya sendiri sebagai eksistensi yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, proses pemaknaan yang dinamis terus berlangsung dalam ranah Eigenwelt . Masalahnya adalah sumber makna para fundamentalis yang terbatas. Sesuatu yang menyatukan mereka dalam in-group , misalnya kitab suci. Ciri intratextual pada para fundamentalis membatasi dan semakin mengaburkan fungsi dirinya sebagai sebuah being yang berdiri di antara being di sekitarnya. Separasi eksistensi dari individu lain diikuti dengan separasi terhadap dunianya sendiri menjadi akibat wajar dari kiblatnya pada intratextual . Alhasil, fundamentalis memiliki dunia eksistensial baru yang terbentuk lewat pemaknaan yang holistis dari tiga mode dunia yang bekerja secara simultan. Dunia ini begitu rapat, namun bukan berarti tidak permeabel. Pilihan eksistensial para fundamentalis untuk sementara waktu dikendalikan oleh frame of reference yang didasarkan pada teks suci, konservatisme, cara pandang yang kaku, intoleransi, dan kebenaran mutlak pada kelompok. Meskipun demikian, inner dynamism terus berdinamika sepanjang si individu hidup. Sifat dunia eksistensial yang terbentuk ini juga sama seperti dunia eksistensial pada umumnya; dinamis. Sebagaimana dunia eksistensial yang cenderung dinamis, pemahaman religius juga memuat dinamisme di dalam dunia eksistensial manusia. Beberapa sumber menyampaikan ada satu dunia yang bersifat religius dan transpersonal yang erat kaitannya dengan tiga mode dunia lainnya, yakni Uberwelt Rowan, 2012. Pemahaman religius ini menciptakan pengalaman transformasional yang erat melekat dalam tiga mode dunia. Persinggungan selalu terjadi dalam perubahan sebagaimana tegangan dan konflik selalu terjadi dalam pertemuan. Mengacu pada James 1902, dalam kondisi seperti ini konversi bisa terjadi secara gradual; setiap saat dan setiap waktu. Ekuivalen dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya, fundamentalisme merupakan wujud dari merosotnya sense of being manusia. Manusia tidak secara aktif produktif menciptakan makna atau mencari makna dari sekitarnya sehingga berakibat fatal pada tidak terbaharuinya frame of reference . Penerimaan secara sehat terhadap kebaruan modernisasi disertai nilai-nilainya tidak berjalan dengan baik. Unsur represi dan karakter yang destruktif kemudian mudah terbentuk dari tendensi konservatif. Dalam hal ini, resistensi terhadap nilai baru yang tidak sesuai dengan frame of reference dengan mudah akan muncul. Lebih jauh lagi, produk nilai modernisme menciptakan manusia yang inferior secara psikis dan cenderung takut untuk bebas Fromm, 1942; 1955. Keterikatannya terhadap objek tertentu yang menjadi produknya sendiripun semakin kuat. Objek inilah yang lalu oleh Fromm disebut berhala. Berhala di sini memiliki antonim dengan fungsi agama sebagai ―jalan‖ bagi kehidupan manusia. Fungsi agama tidak lagi seperti apa yang disampaikan Jung sebagai sebuah jalan menuju individuasi atau dalam eksistensialisme menjadi jalan menuju the existing person , namun justru suatu produk yang melanggengkan depersonalisasi. Schumaker 1995 benar ketika menyebutkan bahwa, seperti apa yang disampaikan Freud, agama merupakan wujud ketidakberdayaan manusia. Di lain pihak, dalam konteks ini, Schumaker 1995 salah ketika mengklaim bahwa agama meningkatkan kesehatan mental. Hal tersebut bukanlah sebuah keniscayaan. Tidak semua penganut agama selamat; dalam konteks semakin meningkat kesehatan mentalnya. Dengan tepat Fromm 1955 menggambarkan bahwa semangat dunia modern adalah abstraksifikasi dan kuantifikasi. Abstraksifikasi dan kuantifikasi ini menunjukkan bahwa dunia merupakan sesuatu yang diperintah logika dan rasionalitas manusia. Ketika dihadapkan dengan pemaknaan agama yang semata-mata bersumber pada logika, transitional object yang menjadi esensi keberadaan agama sebagai sumber makna semakin menjauhkan manusia dari penyadaran diri. Atau dengan kata lain, tidak semua individu yang menganut agama mengalami peningkatan kesadaran yang dalam literatur psikologi disebutkan sebagai “aha” experience May, 1958. Modern World dan Nilai-nilai yang dibawa Persinggungan dengan frame of reference Pencarian makna sebagai pegangan dan filosofi hidup Berpedoman terhadap kitab sucidogma - Konservatisme - Rigiditas - Anti modernisme - Intoleransi Penemuan makna, frame of reference menjadi ketat FUNDAMENTALISME Kuantifikasi dan Abstraksifikasi Inner dynamism dalam tiga mode dunia: Umwelt , Mitwelt , Eigenwelt Manusia yang kehilangan sense of being dan kehilangan dunianya Kecemasan terhadap NONBEING Proses BEING-SOMETHING

D. Peta Konsep Penelitian