Seks Pendampingan TINJAUAN PUSTAKA

Homans dalam Ali, 2004: 87 mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya. Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal senada juga dikemukan oleh Thibaut dan Kelley bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain http:belajarpsikologi.compengertian-interaksi-sosial oleh Haryanto, S.Pd diakses pada tanggal 1 September 2014.

2.3 Seks

Seks secara harafiah memiliki arti berkenaan dng seks jenis kelamin atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Istilah “seks” secara etimologis, berasal dari bahasa Latin “sexus” kemudian diturunkan menjadi bahasa Perancis Kuno “sexe”. Istilah ini merupakan teks bahasa Inggris pertengahan yang bisa dilacak pada periode 1150-1500 M. Seks secara leksikal makna dasar bisa berkedudukan sebagai kata benda noun, kata sifat adjective, maupun kata kerja transitif verb of transitive. Secara terminologis seks adalah nafsu syahwat, yaitu suatu kekuatan pendorong hidup yang biasanya disebut dengan insting naluri Universitas Sumatera Utara yang dimiliki oleh setiap manusia, baik dimiliki laki-laki maupun perempuan yang mempertemukan mereka guna meneruskan kelanjutan keturunan manusia. http:kbbi.web.idseksual , diakses tanggal 27 Mei 2014 pukul 20.00 Wib

2.3 Perempuan Pekerja Seks PPS

2.4.1 Pengertian

Pelacur, lonte, Pekerja Seks komersial PSK, wanita tuna susila WTS, prostitute adalah kata lain sebutan dari perempuan pekerja seks PPS yang diunjukkan pada sesosok perempuan penjaja seks. Istilah pelacur berkata dari “lacur” yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi, kata lacur juga memiliki arti buruk laku. Kamus Besar Bahasa indonesia,2001:265. Berangkat dari kata-kata tersebut pengertian dari Pekerja seks komersial itu sendiri dapat disimpulkan adalah para pekerja yang bertugas melayani dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah memakai jasa mereka tersebut Koentjoro, 2004:26. Atau dengan kata lain adalah wanita yang melakukan hubungan seksual dengan banyak laki – laki di luar pernikahan dan sang wanita memperoleh imbalan dari laki – laki yang menyetubuhin Siregar, 1983:11 Biasanya pekerja seks komersial yang berada di bordil-bordil ini dipelihara oleh seseorang yang dinamakan germo atau mucikari. Ada pula pekerja seks komersial yang hanya melayani panggilan ke tempat tertentu seperti di hotel, pesanggrahan atau rumah tertentu. Pekerja seks komersial jenis ini dinamakan “call girl” wanita panggilan. Pekerja seks komersial tersebut diperoleh dari tempat penampungan milik germo dan sulit ditelusuri keberadaannya. Dari hal-hal tersebut di atas dapat ditelaah bahwa PSK sangat erat hubungannya dengan Universitas Sumatera Utara pelacuran. PSK menunjukkan kepada “orang”nya, sedangkan pelacuran menunjukkan kepada “perbuatan”.

2.4.2 Kategori Pelacuran

Pelacuran dapat dikategorikan dengan kelas-kelas seperti berikut : a. Pelacuran kelas rendahan seperti jalanan, bordil-bordil murahan b. Pelacuran kelas menengah seperti yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersih dan pelayanannya baik c. Pelacuran kelas tinggi :biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri terselubungtersembunyi dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit dilacak keberadaannya dan biasanya memasang tarif mahal.

2.4.3 Sejarah Perempuan Pekerja Seks PPS atau Perempuan Pekerja Seks PSK

Pelacuran sejak jaman dahulu telah hadir dan berkembang di kehidupan manusia, karena seiring dengan hadirnya manusia di muka bumi ini. Seperti menurut Hull 1997: 5 menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan-kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan setelah kemerdekaan. Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian akan dimasukan dalam dunia pelacuran terkait dengan sebuah sistem pemerintahan yang feodal. Bentuk pelacuran ini disebabkan oleh konsep kekuasaan raja yang bersifat agung, mulia dan tak terbatas, sehingga mendapatkan banyak selir. Muncul pula anggapan bahwa, semakin banyak selir yang dimiliki raja maka semakin kuat pula posisi raja di mata masyarakat. Sistem feodal tidak sepenuhnya Universitas Sumatera Utara menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti masyarakat modern ini, meskipun apa yang dilakukan pada masa itu dapat membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang sekarang. Setelah masa kerajaan, pelacuran muncul kembali dengan gaya yang berbeda dalam masa penjajahan Belanda. Pada periode penjajahan Belanda, bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan pemuasaan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia, dengan melalui adanya selir-selir. Juga adanya dasar alasan lain mengapa pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat, yaitu sistem perbudakan tradisional. Contohnya dalam pertumbuhan industri seks di pulau Jawa dan Sumatera, berkembang seiring pendirian perkebunan-perkebunan. Para pekerja perkebunan dengan mayoritas laki-laki akan menciptakan permintaan aktivitas prostitusi. Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang, selama pendudukan Jepang antara tahun 1941-1945, semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan dan dijadikan satu dalam rumah-rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya memang sebagai wanita penghibur saja yang masuk ke rumah bordir, di masa pemerintahan Jepang banyak pula wanita yang tertipu ataupun terpaksa melakukan hal tersebut Hull, 1997:13. Terdapat kaitan antara ekonomi dengan pelacuran, Hull 1997: 43 yang menyatakan bahwa ada dua perbedaan perekonomian yang berkembang di daerah-daerah kota. Perekonomian yang pertama, kelompok perekonomian yang sifatnya komersil dimana perdagangan dan industri berlangsung dengan cara tidak melakukan kontak langsung dengan pelaku-pelaku ekonomi. Perekonomian yang ke dua adalah, ekonomi bazaar terdiri dari berbagai macam kegiatan ekonomi ditujukan untuk melayani kebutuhan konsumen dan dikelola oleh sekolompok penjual Universitas Sumatera Utara yang berkompetisi ketat, dan saling berkomunikasi melalui transaksi. Masa penjajahan, komersialisasi seks diikuti oleh bentuk perdagangan seks yang berkembang mencerminkan dualistik dari struktur perdagangan ekonomi komersial dan bazaar. Terdapat perbedaan kehidupan wanita tuna susila dari kedua masa penjajahan tersebut Belanda dan Jepang, yang ditegaskan dalam sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah mingguan Tempo 1992:7:45 yang menyebutkan bahwa wanita-wanita yang dijadikan pelacur pada kedua masa penjajahan tersebut lebih menyukai kehidupannya yang nyaman pada masa penjajahan Belanda dibanding dengan masa penjajahan Jepang. Hal ini dikarenakan banyak Sinyo yang memberi hadiah pakaian, uang, perhiasan, tempat tinggal, sedangkan orang Jepang terkenal pelit dan lebih suka kekerasan Hull, 1997:15. Kemudian pelacuran lebih bervariatif pada tahun 1980-an dengan diawali munculnya fenomena baru yaitu hadirnya perek , yang biasa diartikan sebagai perempuan eksperimental. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah, masih bersekolah, dan bekerja sebagai pekerja seks. Menurut Hull 1997:31 menyatakan bahwa mereka menekankan kepentingan diri sendiri, secara bebas melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang mereka inginkan, dengan atau tanpa bayaran. Biasanya seorang perek adalah seseorang wanita muda, dengan memiliki jiwa petualang dan mempunyai sikap melawan. Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan, tidak sedikit mengangkat wacana seksualitas. Penelitian bertemakan seksualitas biasanya dibalut dengan isu politik, gender, kemiskinan, budaya, kesenian, agama, mata pencaharian, gaya hidup, dan masih banyak lainnya. Universitas Sumatera Utara

2.4.4 Ciri-Ciri Perempuan Pekerja Seks PPS

Kartono Kartini 2005:209 menyebutkan beberapa cirri khas dari Pekerja Seks Komersial ialah sebagai berikut : 1. Wanita, lawan pelacur adalah gigolo pelacur pria, lonte laki-laki. 2. Cantik, molek, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa merangsang selera seks kaum pria 3. Masih muda-muda 5 dari pelacur di kota-kota ada dibawah usia 30 tahun. Yang terbanyak adalah usia 17-25 tahun 4. Pakaiannya sangat mencolok, beraneka warna, sering aneh-aneh eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria. Mereka sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu wajah, rambut, pakaian, alat-alat kosmetik dan parfum yang wangi semerbak. 5. Bersifat sangat mobil, kerap berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Biasanya mereka memakai nama samara dan sering berganti nama, juga berasal dari tempat lain, bukan di kotanya sendiri agar tidak dikenal oleh banyak orang 6. Mayoritas berasal dari strata ekonomi social rendah. Mereka umumnya tidak memiliki keterampilan skill khusus dan kurang pendidikannya. Modalnya adalah kecantikan dan kemudaaannya. Pada umumnya seorang PSK adalah wanita yang memiliki kesempurnaan secara fisik. Hal ini mutlak dibutuhkan karena merupakan modal dasar perempuan tersebut untuk terjun, hidup dan laku sebagai PSK. Mereka dituntut untuk tetap mempertahankan kecantikan agar tetap bertahan pada profesinya tersebut. Universitas Sumatera Utara

2.4.5 Faktor-Faktor Penyebab Pelacuran

Faktor-faktor penyebab wanita terjun kedunia pelacuran sangat beragam. Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia pelacuran Koentjoro, 2004:16, yaitu: 1. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan sosial. 2. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini yang dimaksud adalah uang 3. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua. Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di luar nikah. Berbeda dengan pendapat di atas, Koentjoro, 2004:34 mengemukakan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-macam pria, dan sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Sedangkan Supratiknya 1995:27 berpendapat bahwa secara umum alasan wanita menjadi pelacur adalah demi uang. Alasan lainya adalah wanita-wanita yang pada akhirnya harus Universitas Sumatera Utara menjadi pelacur bukan atas kemauannya sendiri, hal ini dapat terjadi pada wanita-wanita yang mencari pekerjaan pada biro-biro penyalur tenaga kerja yang tidak bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di dalam atau pun di luar negeri namun pada kenyataannya dijual dan dipaksa untuk menjadi pelacur. Kemudian secara rinci Kartini Kartono 2005:34 menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut: 1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran. 2. Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu priasuami 3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik 4. Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian- pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja. 5. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negative, terutama sekali tarjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya 6. Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan banditbandit seks. Universitas Sumatera Utara 7. Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja , mereka lebih menyukai pola seks bebas 8. Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan ada premarital sexrelation untuk sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda 9. Gadis-gadis dari daerah slum perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila. Lalu menggunakan mekanisme promiskuitaspelacuran untuk mempertahankan hidupnya. 10. Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi 11. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan lain-lain. 12. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya. 13. Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan- pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin 14. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat Universitas Sumatera Utara sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran 15. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya. 16. Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus 17. Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam bermacam-macam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang. 18. Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilanskill, tidak memerlukan inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian. 19. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu, likeurminuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut. 20. Oleh pengalaman-pengalaman traumatis luka jiwa dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks. 21. Ajakan teman-teman sekampungsekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami. Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban Universitas Sumatera Utara penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.

2.5 Pendampingan

Pengertian pendampingan dikalangan dunia pengembangan masyarakat istilah “pendampingan” merupakan istilah baru yang muncul sekitar 90-an, sebelum itu istilah yang banyak dipakai adalah “pembinaan”. Ketika istilah pembinaan ini dipakai terkesan ada tingkatan yaitu ada Pembinaan dan yang dibina, pembinaan adalah orang atau lembaga yang melakukan pembinan sedangkan yang dibina adalah masyarakat. Kesan lain yang muncul adalah pembinaan sebagai pihak yang aktif sedang yang dibina pasif atau pembinaan adalah sebagi subjek yang dibina adalah objek. Oleh karena itu istilah pendampingan dimunculkan, langsung mendapat sambutan positif dikalangan praktisi Pengembangan Masyarakat . Karena kata pendampingan menunjukan kesejajaran tidak ada yang satu lebih dari yang lain, yang aktif justru yang didampingi sekaligus sebagai subjek utamanya, sedang pendamping lebih bersifat membantu saja. Dengan demikian pendampingan dapat diartikan sebagai satu interaksi yang terus menerus antara pendamping dengan anggota kelompok atau masyarakat hingga terjadinya proses perubahan kreatif yang diprakarsai oleh anggota kelompok atau masyarakat yang sadar diri dan terdidik tidak berarti punya pendidikan formal Pendampingan adalah suatu proses pemberian kemudahan fasilitas yang diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kemandirian klien secara berkelanjutan dapat diwujudkan Direktorat Bantuan Sosial, 2007:4 Universitas Sumatera Utara Pendampingan sosial merupakan suatu proses relasi sosial antara pendamping dengan klien yang bertujuan untuk memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta meningkatkan akses klien terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja, dan fasilitas pelayanan publik lainnya Departemen Sosial RI, 2009:122 Pendampingan merupakan suatu upaya yang terus menerus berkelanjutan dan sistematis dalam menfasilitasi individu kelompok komunitas anak-anak untuk mengembangkan diri mereka, memberikan ketrampilan dalam mengatasi permasalahan dan membantu menyiapkan kemampuan-kemampuan dan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk masa depan mereka dan juga individu kelompok komunitas orang dewasa untuk membantu mereka menciptakan lingkungan yang mendukung dan menguatkan bagi anak. http: kamuspsikososial.wordpress.com-tagdefinisi-pendampingan, diakses tanggal 25 Mei 2014 pukul 17.00 Wib Oleh karena itu kegiatan pendampingan sebagai upaya strategis sangat menarik untuk dikembangkan kepada wanita pekerja seks komersial dilokalisasi. Keterlibatan pekerja seks komersial sebagai dampingan yang membutuhkan pengetahuan dan informasi tentang resiko dari pekerjaannya, sangat dipengaruhi oleh tenaga pendamping Outreach Worker dilapangan yang berperan sebagai fasilitator, komunikator dan dimanisator.

2.6 Kesejahteraan Sosial