pelacuran. PSK menunjukkan kepada “orang”nya, sedangkan pelacuran menunjukkan kepada
“perbuatan”.
2.4.2 Kategori Pelacuran
Pelacuran dapat dikategorikan dengan kelas-kelas seperti berikut : a.
Pelacuran kelas rendahan seperti jalanan, bordil-bordil murahan b.
Pelacuran kelas menengah seperti yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersih dan pelayanannya baik
c. Pelacuran kelas tinggi :biasanya
para pelacur tinggal di rumah sendiri
terselubungtersembunyi dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit dilacak keberadaannya dan biasanya memasang tarif mahal.
2.4.3 Sejarah Perempuan Pekerja Seks PPS atau Perempuan Pekerja Seks PSK
Pelacuran sejak jaman dahulu telah hadir dan berkembang di kehidupan manusia, karena seiring dengan hadirnya manusia di muka bumi ini. Seperti menurut Hull 1997: 5 menyatakan
bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan-kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan setelah
kemerdekaan. Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian akan dimasukan dalam
dunia pelacuran terkait dengan sebuah sistem pemerintahan yang feodal. Bentuk pelacuran ini disebabkan oleh konsep kekuasaan raja yang bersifat agung, mulia dan tak terbatas, sehingga
mendapatkan banyak selir. Muncul pula anggapan bahwa, semakin banyak selir yang dimiliki raja maka semakin kuat pula posisi raja di mata masyarakat. Sistem feodal tidak sepenuhnya
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti masyarakat modern ini, meskipun apa yang dilakukan pada masa itu dapat membentuk landasan bagi perkembangan industri seks
yang sekarang. Setelah masa kerajaan, pelacuran muncul kembali dengan gaya yang berbeda dalam masa
penjajahan Belanda. Pada periode penjajahan Belanda, bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan pemuasaan seks masyarakat Eropa
yang ada di Indonesia, dengan melalui adanya selir-selir. Juga adanya dasar alasan lain mengapa pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat, yaitu sistem perbudakan tradisional.
Contohnya dalam pertumbuhan industri seks di pulau Jawa dan Sumatera, berkembang seiring pendirian perkebunan-perkebunan. Para pekerja perkebunan dengan mayoritas laki-laki akan
menciptakan permintaan aktivitas prostitusi. Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang, selama pendudukan Jepang antara
tahun 1941-1945, semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan dan dijadikan satu dalam rumah-rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya
memang sebagai wanita penghibur saja yang masuk ke rumah bordir, di masa pemerintahan Jepang banyak pula wanita yang tertipu ataupun terpaksa melakukan hal tersebut Hull,
1997:13. Terdapat kaitan antara ekonomi dengan pelacuran, Hull 1997: 43 yang menyatakan
bahwa ada dua perbedaan perekonomian yang berkembang di daerah-daerah kota. Perekonomian yang pertama, kelompok perekonomian yang sifatnya komersil dimana perdagangan dan industri
berlangsung dengan cara tidak melakukan kontak langsung dengan pelaku-pelaku ekonomi. Perekonomian yang ke dua adalah, ekonomi bazaar terdiri dari berbagai macam kegiatan
ekonomi ditujukan untuk melayani kebutuhan konsumen dan dikelola oleh sekolompok penjual
Universitas Sumatera Utara
yang berkompetisi ketat, dan saling berkomunikasi melalui transaksi. Masa penjajahan, komersialisasi seks diikuti oleh bentuk perdagangan seks yang berkembang mencerminkan
dualistik dari struktur perdagangan ekonomi komersial dan bazaar. Terdapat perbedaan kehidupan wanita tuna susila dari kedua masa penjajahan tersebut
Belanda dan Jepang, yang ditegaskan dalam sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah mingguan Tempo 1992:7:45 yang menyebutkan bahwa wanita-wanita yang dijadikan pelacur
pada kedua masa penjajahan tersebut lebih menyukai kehidupannya yang nyaman pada masa penjajahan Belanda dibanding dengan masa penjajahan Jepang. Hal ini dikarenakan banyak
Sinyo yang memberi hadiah pakaian, uang, perhiasan, tempat tinggal, sedangkan orang Jepang terkenal pelit dan lebih suka kekerasan Hull, 1997:15.
Kemudian pelacuran lebih bervariatif pada tahun 1980-an dengan diawali munculnya fenomena baru yaitu hadirnya perek , yang biasa diartikan sebagai perempuan eksperimental.
Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah, masih bersekolah, dan bekerja sebagai pekerja seks. Menurut Hull 1997:31 menyatakan bahwa mereka
menekankan kepentingan diri sendiri, secara bebas melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang mereka inginkan, dengan atau tanpa bayaran. Biasanya seorang perek adalah seseorang
wanita muda, dengan memiliki jiwa petualang dan mempunyai sikap melawan. Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan, tidak sedikit mengangkat wacana
seksualitas. Penelitian bertemakan seksualitas biasanya dibalut dengan isu politik, gender, kemiskinan, budaya, kesenian, agama, mata pencaharian, gaya hidup, dan masih banyak lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Ciri-Ciri Perempuan Pekerja Seks PPS