rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak etiga mendapat manfaat karenanya; selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata.
d. Perjanjian Baku
Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract” atau “standard voorwaarden”. Di luar negeri
belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian baku. Kepustakan Jerman mempergunakan istilah “Allgemeine Geschafts
Bedingun”, “standard vertrag”, “standaardkonditionen”. Dan Hukum Inggris menyebut dengan “standard contract”.
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standart contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan
dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak
ekonomi lemah.
42
Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk
tulisan yang sudah dibakukan. Salah satu pihak dalam perjanjian itu, yaitu pihak yang secara ekonomis kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara
sepihak. Oleh karena itu perjanjian baku itu pada prinsipnya ditetapkan tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan pihak yang lainnya.
43
42
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT.Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2006, hal.145
43
Ari Purwadi, Hukum dan Pembangunan, Majalah Hukum, Nomor 1 Tahun XXV, 1995, hal. 58
Mariam Darus Badruzaman, menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, baku berarti patokan, ukuran, acuan. Olehnya jika bahsa hukum dibakukan,
berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.
44
Sebagaimana halnya dalam pemakaian istilah yang tidak seragam tersebut diatas, dijumpai pula adanya
beberapa pengertian mengenai perjanjian baku, antara lain adalah : Pengertian menurut Mariam Darus Badrulzaman : “perjanjian baku adalah
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.”
45
Pengertian menurut Sutan Remy Sjahdeini : “Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya
dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang hanyalah beberapa hal saja,misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,.warna, tempat, waktu dan
beberapa hal lain nya yang spesifik dari obyjek yang diperjanjikan.Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya.
Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notarie, bila dibuat oleh notaries dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul
yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-
klausul itu,maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itupun adalah juga perjanjian baku.
46
44
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku Standard, Perkembangannya di Indonesia, Bandung : Alumni, 1994, hal. 46
45
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal. 47- 48
46
Salim HS, Op.cit, hal.146
Handius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut: “Standaardvoorwaarden zijnschriftelijke concept bedingen welke zijn opgesteld
om zonder orderhandelingen omtrent hun inhoud obgenomen te worden Indonesia een gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenkomsten van bepaald
aard” artinya: “Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimya dtuangkan dalam sejumlah perjanjian
tidak terbatas yang sifatnya tertentu”.
47
Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif dari perjanjian baku “Vera Bolger” menamakannya sebagai “take it or leave it contract”. Maksudnya adalah
jika debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk
mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada. Rijken mengatakan bahwa perjanjian baku adalah klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian
dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar
janji atau perbuatan melawan hukum.
48
Perkembangan perjanjian baku dalam praktek kehidupan sehari-hari merupakan kenyataan yang tidak dapat
dihindari,hal ini disebabkan karena adanya tuntutan kepentingan bisnis.Dalam dunia bisnis para pelakunya selalu mengutamakan bagaimana cara memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya,secara efektif dan efesien baik dalam hal tenaga,waktu,maupun biaya.
47
Mariam Darus Badruzaman, Perjanjian Baku Standard, Perkembangannya di Indonesia, Op. cit. hal. 47
48
Pengacara Online, Op.cit.
Menurut Mariam Darulzaman, perjanjian baku dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu :
49
1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat
dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku
yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang
diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104Dja1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta
hipotik model 1045055 dan sebagainya. 3.
Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam
kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”.
Dari Jenis-jenis perjanjian baku yang terdapat di dalam masyarakat dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut:
50
49
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit hal. 49-50
50
Mariam Badruldjaman, Perjanjian Baku Standard perkembangannya di Indonesia, Op.cit. hal. 65
1. perjanjian dibuat dalam bentuk berupa formulir yang sudah dicetak,
2. formulir itu dipersiapkan terlebih dahulu dan diperuntukkan kepada setiap
orang tanpa perbedaan, 3.
Isi perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki kekuatan posisi ekonomi,
4. pihak yang mengikatkan diri terhadap formulir itu tidak mempunyai
kebebasan mengubah kehendak pihak yang lain, 5.
adanya suatu kepentingan yang sangat dibutuhkan oleh pihak yang posisi ekonominya lemah,
6. pengaturan hak dan kewajiban yang tidak seimbang.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian
diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri
kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan.
51
Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam
dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan bahwa
51
Subekti, Op. cit., hal. 13
apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan
berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku standard contract bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Dalam setiap perjanjian selalu diasumsikan bahwa kedudukan kedua belah pihak membuat perjanjian adalah sama, baik dalam hal kekuatan maupun
pengetahuan para pihak tentang isi perjanjian, akan tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sering terjadi dalam pembuatan suatu perjanjian salah satu
puhak memiliki kedudukan atau posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan pihak yang lain.Hal ini menyebabkan pihak yang lemah hanya memiliki dua
pilihan,yaitu menerima begitu saja syarat atau ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya, atau menolaknya.
Pihak yang secara sepihak membuat perjanjian baku pada hakekatnya merupakan pembuat undang-undang swasta, sebab menurut pasal 1338 KUH
Perdata suatu perjanjian mengikat sebagai undang-undang ini disalah gunakan dengan membebani suatu kontrak standar dengan syarat-syarat merugikan pihak
lain konsumen. Asas kebebasan berkontrak ini berhubungan dengan isi perjanjian yang
telah dibuat oleh kedua belah pihak. Asas ini terkandung pada pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Dengan adanya asas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembuatan suatu perjanjian menganut sistem terbuka, artinya bahwa para pihak boleh
mengadakan perjanjian apa saja meskipun belum diatur dalam KUH Perdata.
Namun kebebasan itu tidak bersifat mutlak melainkan adanya batasannya seperti yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata, yaitu :
1. Tidak dilarang oleh Undang-Undang.
2. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Dalam hukum kontrak dikenal tiga asas yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yakni asas konsensualisme the principle of consensualisme,
asas kekuatan mengikat kontraknya the principle of the binding force of contract, dan asas kebebasan berkontrak the principle of freedom of contract.
52
Kebebasan berkontrak dalam hukum kontrak memiliki makna kebebasan berkontrak yang positif dan negatif. Kebebasan berkontrak yang positif adalah
bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk membuat kontrak yang mengikat yang mencerminkan kehendak bebas para pihak. Kebebasan berkontrak negatif
bermakna bahwa para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang mengikat itu tidak mengaturnya.
53
Dalam pelbagai literature tentang Hukum Perjanjian senantiasa dapat ditemukan pembahasan tentang asas kebebasan berkontrak. Asas ini mengandung
makna bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka. Kebebasan yang dimaksud meliputi:
54
52
Abdul Halim Barkatulah , Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, Banjarmasin : FH Unlam Press, 2008, hal. 86
53
Ibid hal. 87
54
Syahmin AK, Op.cit. hal 154
1. kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat
perjanjian atau tidak membuat perjanjian; 2.
kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian;
3. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian;
4. kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian;
5. kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Berdasarkan prinsip “Kebebasan berkontrak”, tiap-tiap perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak, mereka tidak dapat
membatalkanmengakhirinya tanpa persetujuan kedua belah pihak. Kebebasn berkontrak adalah begitu esensial, baik bagi individu untuk mengembangkan didi
di dalam kehidupan pribadi dan di dalam lalu lintas kemasyarakatan serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta kekayaan, maupun bagi masyarakat
sebagai suatu kesatuan, sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatau hak dasar. Asas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber
pada moral.
55
Kaitannya dengan pertanyaanmasalah tersebut, sebagaimana juga yang telah dituangkan dalam kerangka teori, bahwa unsur yang menjadi syarat sahnya
suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata ada empat, yaitu :
a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;
55
Abdul Halim Barkatulah, Op.cit. hal 87-88
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal yang tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan mereka para pihak mengikatkan diri adalah merupakan asas esensial dari hukum perjanjian, yang juga biasa disebut dengan asas
konsensualisme, yang menentukan “ada”nya perjanjian. Asas kebebasan ini juga tidak hanya terdapat atau milik KUH Perdata saja, akan tetapi asas ini berlaku
secara universal, bahkan asas ini juga dikenal dalam hukum Inggris. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti
“kemauan” will para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan vertrouwen bahwa perjanjian itu
dipenuhi.
56
Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum perjanjian telah berhasil memberikan pelayanan yang baik dan bermanfaat bagi kegiatan perekonomian
liberal laissez faire, hingga kemudian muncul perusahaan-perusahaan raksasa pemegang monopoli dalam pelbagai bidang sebagai akibat revolusi industri.
57
Dalam bidang ekonomi berkembang aliran laissez faire yang dipelopori oleh Adam Smith yang menekankan adanya ideologi free choice juga memiliki
pengaruh besar bagi pertumbuhan asas kebebasan berkontrak tersebut. Bagi para pelopor ekonomi laissez faire, seperti Adam Smith berkeyakinan bahwa peraturan
56
Pengacara Online, Op.cit.
57
Syahmin AK, Op.cit. hal 156
perundang-undangan seyogyanya tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak, karena kebebasan berkontrak penting artinya bagi kelanjutan
perdagangan industri.
58
Kebebasan berkontrak atau prinsip party autonomy telah diakui oleh hampir seluruh negara.
59
Kebebasan berkontrak atau party autonomy adalah ”the moral force behind contract as promise. The parties are bound to their contract because they
have chosen to be ”.
60
Hukum kontrak adalah salah satu dasar dan institusi yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat yang dominasinya sangat luas dan
kompleks meliputi segala macam bidang. Asas kebebasan berkontrak juga berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu
kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Dan perjanjian yang dibuat trsebut sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata ini
mempunyai kekuatan mengikat. Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” pada perjanjian baku, maka secara teoretis yuridis perjanjian tersebut
standard contract tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Dikatakan demikian sebab jika melihat bahwa perbedaan
posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan para debitur untuk mengadakan “real bergaining” dengan pengusaha kreditur.
Debitur dalam keadaan ini tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku tersebut, dan hal
ini bertentangan dengan pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata di atas.
58
Abdul Halim Barkatulah, Op.cit., hal. 88-89
59
Ibid, hal 90
60
Ibid, hal 91
Konsep modern dari kebebasan berkontrak tetap mempertahankan asas yang signifikan dalam kamus hukum kontrak, yang menandakan bahwa para
pihak dalam pembuatan suatu perjanjian, berhak dan mandiri untuk memberikan gagasan, tawar-menawar antara mereka sendiri dan tetap mempertahankan
prestasi mereka yang benar dan nyata. Namun, autonomy para pihak dibatasi oleh peraturan tertentu.
61
Jika suatu kontrak tidak menentukan pilihan hukum yang akan dipergunakan, pengadilan harus membuat keputusan. Dalam hal ini, pengadilan
harus mempertimbangkan keseimbangan sosial yang seragam dan dapat diprediksi melawan keadilan individu, perlindungan kepentingan sosial memerlukan
keseimbangan dalam pengajuan peraturan yang kaku. Seperti telah diuraikan diatas, pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan
kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum pemenuhan syarat subjektif untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas pemenuhan syarat
objektif. Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang
“tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Dalam praktik dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan”
kedudukan tersebut yang merupakan pembuatan perjanjian baku atau klausula
61
Ibid. hal. 92
baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya.
Dikatakan bersifat “baku” karena baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dibegosiasikan atau ditawar-tawar oleh
pihak lainnya. Take it or leave it.
62
Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut.
Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang ada berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk
membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.
Di Belanda perjanjian standar dimasukkan pengaturannya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Baru. Dinyatakan bahwa bidang-bidang usaha
yang boleh menerapkan perjanjian standar harus ditentukan dengan peraturan, dan perjanjian itu baru dapat ditetapkan, diubah, atau dicabut setelah mendapatkan
persetujuan Mentri Kehakiman. Kemudian penetapan, perubahan, atau pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hukum setelah mendapat persetujuan RajaRatu
yang dituangkan dalam Berita Negara. Ketentuan lain menyatakan bahwa perjanjian standar ini dapat pula dibatalkan, jika pihak produsenpenyalur produk
penjual atau kreditur mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak konsumen tidak akan menerima perjanjian tersebut jika ia mengetahui isinya.
63
62
Ibid. hal. 96
63
Ibid, hal 99
Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham
pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan
sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham
kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu,
berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
64
Penulis sendiri dalam hal ini tidak memihak pada salah satu dari kedua paham tersebut. Di satu sisi penulis lebih melihat bahwa perjanjian baku secara
teoretis yuridis bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak terpenuhinya ketentuan undang-undang yang mengatur. Namun di sisi lain
kitapun tak dapat menutup mata akan perkembangan yang terjadi mengenai hal ini, dimana dalam kenyataannya, kebutuhan masyarakat cenderung berjalan dalam
arah yang berlawanan dengan keinginan hukum bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan, dengan
mempertimbangkan faktor efesiensi baik dari segi biaya, tenaga dan waktu, dan lainnya.
64
Pengacara Online, Op.cit.
e. Ciri-ciri Perjanjian Baku