Syarat Sahnya Perjanjian Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian

nampak pada alam pemikiran dan akan perasaan kedua belah pihak. Disitulah letak kejujuran dan kepatuhan yang harus dikejar dalam melaksanakan perjanjian. 33

b. Syarat Sahnya Perjanjian

Bagi kebanyakan orang kata perjanjian atau “contract” menjelaskan suatu kunjungan ke kantor penasihat hokum dan di sana menandatangani surat resmi yang mengandung bahasa yang tidak dapat dipahami. Anggapan ini jauh dari kebenaran. Kebanyakan orang membuat perjanjian setiap hari dalam kehidupannya, biasanya tanpa disadari. Setiap kali mereka membeli suatu barang, atau membayar suatu jasa seperti memotong rambut, mereka sebenarnya melakukan suatu perjanjian, sedangkan soal-soal yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, seperti liburan, upah, jam kerja, sebagian diatur oleh perjanjian yang telah mereka buat bersama dengan majikan mereka. 34 Anggapan lain yang dikenal ialah bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis. Hal ini sebenarnya tidaklah demikian, kecuali dalam hal-hal tertentu yang telah diatur oleh undang-undang. Kebanyakan perjanjian dibuat secara lisan. Mungkin sebagian orang sangat memerlukan supaya perjanjian itu dibuat secara tertulis untuk jangka waktu tertentu dan ini banyak dipersoalkan, atau untuk jangka waktu yang lama tetapi ini hanya untuk tujuan praktis mengenai pembuktian, dan biasanya menurut hukum tidak perlu. 33 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit hal. 84 34 S.B. Marsh dan J. Soulby Hukum Perjanjian, Bandung : PT. Alumni, 2006, hal. 93 Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha, dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja. 35 Hukum tidak akan mengakui semua perjanjian. Hukum perjanjian terutama berkenaan dengan pemberian suatu kerangka sehingga usaha dapat berjalan; jika perjanjian dapat dilanggar dengan bebas tanpa hukuman, orang- orang yang tidak bermoral dapat menciptakan kekacauan. 36 Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang terdapat pada setiap perjanjian, dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut maka suatu perjanjian dapat berlaku sah. Adapun keempat syarat tersebut adalah: 37 1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut 35 Ibid. hal. 93 36 Ibid. hal. 93-94 37 R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1999, hal.57 dengan istilah overeenskomsrecht. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang- undangan, traktat, dan yurisprudensi. Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu : 38 1. Syarat subyektif, yaitu suatu syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, dimana dalam hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian itu. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif 38 Ibid. dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu ada tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. 2. Syarat obyektif, yaitu syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian. Ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum dengan kata lain batal sejak semula dan dianggap tidak pernah ada perjanjian.

c. Asas-asas Hukum Perjanjian