6.2. Saran
1. Rekomendasi Penelitian
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara IMT
dengan kadar serum PSA, sehingga diharapkan kedepannya untuk dilakukan penelitian untuk mecari tahu bagaimana IMT dapat
mempengaruhi kadar serum PSA dan mengkaji perbedaan pengaruh IMT pada kanker prostat dan BPH
b. Meskipun hasil penelitian ini signifikan namun kekuatan korelasinya
masih lemah, sehingga diharapkan kedepannya dapat dilakukan penelitian serupa dengan jangka penelitian cukup panjang dan jumlah
sampel yang cukup banyak. 2.
Klinisi Kesehatan a.
Melampirkan data rekam medik dengan lebih lengkap b.
Memperhatikan kemungkinan perubahan cut off kadar serum PSA yang lebih rendah pada pasien obese maupun IMT yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Massa Tubuh 2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh IMT atau indeks Quetelet, ditemukan antara 1830 dan 1850 oleh seorang Belgia yang bernama Adolphe Quetelet ketika
mengembangkan ilmu fisika sosial Eknoyan, 2008. IMT merupakan pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan.
IMT adalah indeks berat dibagi tinggi yang mudah dan sering digunakan untuk
menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas WHO, 2014.
IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan. Oleh karena itu, IMT menjadi
alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta merupakan metode skrining kategori berat badan dan tinggi badan yang mudah dilakukan.
Selain sebagai ukuran standar yang berhubungan dengan berat badan dan tinggi badan, IMT juga membantu dalam pengukuran resiko terjadinya kelainan
kesehatan dalam populasi. Batas atas IMT normal merupakan indikasi
peningkatan resiko untuk terjadinya gangguan. IMT telah digunakan oleh World
Health Organization WHO sebagai standar untuk mencatat statistik obesitas sejak awal 1980-an. Di Amerika Serikat, IMT juga digunakan sebagai ukuran
underweight, untuk penderita yang mengalami gangguan makan, seperti
anoreksia nervosa dan bulimia nervosa Garrow JS, 1985. 2.1.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
IMT merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuardrat dari tinggi
dalam meter kgm
2
. Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak tergantung pada umur maupun jenis kelamin. IMT mungkin tidak berkorenspondensi untuk derajat
Universitas Sumatera Utara
kegemukan pada populasi yang berbeda dikarenakan perbedaan proporsi tubuh pada mereka WHO, 2000.
Tabel 2.1. Klasifikasi internasional IMT untuk dewasa
Sumber: WHO, 2014 Tabel 2.2. Klasifikasi IMT Asia menurut IOTF
Katagori IMT kgm
2
Berat badan kurang 18.5
Berat badan normal 18.5 – 22.9
Berisiko Untuk Obesitas 23.0 – 24.9
Obes I 25.0 – 29.9
Obes II
≥30.0
Sumber: IOTF, International Obesity Taskforce Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini
berbeda dengan kawasan lain, sebagaimana penelitian yang dilakukan WHO 2004 menunjukkan bahwa indeks massa tubuh di China, Hong Kong, dan
Indonesia memiliki rata-rata 1,3 kgm
2
dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada wanita dan 1,4 kgm2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih
Universitas Sumatera Utara
pada pria. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik
Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kgm
2
dan etnik Polinesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kgm
2
dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand
adalah 1,9; 4,6; 3,2; dan 2,9 kgm
2
lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk obesitas yang spesifik untuk
populasi tertentu Soegondo, Sidartawan Purnamasari, Dyah, 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia telah melakukan penelitian di setiap provinsi di Indonesia dengan menggolongkan indeks massa tubuh menjadi 4 kategori.
Tabel 2.3. Klasifikasi indeks massa tubuh di Indonesia
Klasifikasi IMT kgm2
Kategori kurus 18,5
Kategori normal ≥18,5 - 24,9
Kategori BB lebih ≥25,0 - 27,0
Obese ≥27
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007 Indeks massa tubuh tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tapi hasil
riset telah menunjukan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung, seperti pengukuran dalam air dan Dual-energy X-Ray
Absorptiometry DXA. IMT adalah metode yang mudah dan tidak mahal untuk dilakukan dan memberikan indikator atas lemak tubuh, serta digunakan untuk
screening berat badan yang dapat mengakibatkan problema kesehatan Centers for Disease Control and Prevention, 2011.
2.1.3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh
IMT didefinisikan sebagai ukuran yang diperoleh dari berat badan individu kg dibagi dengan kuadrat tingginya m
2
. Berat badan yang telah diukur terlebih dahulu dengan timbangan dan tinggi badan diukur dengan alat pengukur tinggi
Universitas Sumatera Utara
badan, kemudian hasil pengukuran dimasukkan ke dalam formula rumus.
Formula yang universal digunakan adalah: Garrow JS, 1985
IMT =
Berat Badan kg Tinggi Badan Kuadrat m
2
Selain itu, penentuan IMT dapat juga dilakukan dengan menggunakan kurva IMT, yang menampilkan IMT sebagai fungsi berat badan sumbu horizontal dan
tinggi badan sumbu vertikal dengan menggunakan garis kontur untuk nilai dari IMT yang berbeda atau warna yang berbeda untuk kategori IMT, berdasarkan
grafik IMT CDC 2000 Eknoyan, 2008.
IMT memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan pengukuran lainnya untuk menentukan adipositas. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang
dinyatakan dalam IMT memberikan pengukuran yang reliabel dari kegemukan di populasi daripada pengukuran ketebalan lipatan kulit otot trisep. Reliabilitas
pengukuran antara interobserver dan intraobserver sangat sulit ditegakkan, semakin rendah reliabilitas semakin tinggi lemak tubuh, dan tidak ada metode
yang efisien untuk mengkaji reliabilitas dari berbagai survei. Garrow JS, 1985 dan Eknoyan, 2008.
2.2. Prostat 2.2.1. Anatomi Prostat
Prostat adalah organ genital yang hanya di temukan pada pria dan merupakan penghasil cairan semen. Dalam Smith’s General Urology 17
th
ed. 2008 disebutkan bahwa prostat berbentuk piramid, tersusun atas jaringan
fibromuskular yang mengandung kelenjar. Prostat pada umumnya memiliki berat normal sekitar 20 g dan ukuran panjang sekitar 2,5 cm, mengelilingi uretra pria.
Bagian anterior prostat didukung oleh ligamentum puboprostatika dan inferiornya oleh diafragma urogenital. Pada bagian depannya terdapat simfisis pubis yang
dipisahkan oleh lapisan ekstraperitoneal, yang dinamakan cave of Retzius atau ruangan retropubik. Bagian belakangnya dekat dengan rektum, dipisahkan oleh
Universitas Sumatera Utara
fascia Denonvilliers. Prostat juga berhubungan dengan duktus ejakulatorius pada posteriornya untuk pengosongan cairan ejakulat melalui verumontanum.
Sumber: K. OH, William 2000 Gambar 2.1. Rongga panggul pria
Sumber: Smith’s General Urology 17
th
ed. 2008 Gambar 2.2. Organ prostat
Berdasarkan klasifikasi Lowsley, prostat terdiri dari 5 lobus: anterior, posterior, median, lateral kanan, dan lateral kiri. Menurut McNeal 1972, prostat
memiliki zona perifer, zona sentral, dan zona transisi; segmen anterior; dan zona sfingter preprostatika Smith’s General Urology 17
th
ed., 2008.
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Smith’s General Urology 17
th
ed. 2008 Gambar 2.3. Zona pada prostat menurut McNeal
Secara histologi, prostat terdiri dari kapsul fibrosa tipis yang secara sirkuler berorientasi pada serat otot polos dan jaringan kolagen yang mengelilingi uretra
sfingter involunter. Pada lapisan dalam, stroma prostat terdiri dari jaringan ikat, jaringan elastis, dan serat otot polos yang terdapat epitel kelenjar. Sekret dari
kelenjar prostat mengalir ke saluran ekskretori utama yang terbuka didasar uretra antara verumontanum dan leher vesika Smith’s General Urology 17
th
ed., 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Sekresi Prostat
Sebagai kelenjar, prostat mengahasilkan beberapa produk protein yang biasa dijumpai pada cairan ejakulat. Seperti yang terlampir dalam Campbell-Walsh
Urology 10
th
ed. 2012, beberapa protein ejakulat tersebut adalah: Tabel 2.4. Protein sekresi mayor kelenjar aksesoris genitalia pria
Sumber: Campbell-Walsh Urology 10
th
ed., 2012
2.3. Prostate Specific Antigen PSA 2.3.1. Definisi Prostate Specific Antigen PSA
PSA adalah serine-kalikrein protease yang hampir seluruhnya diproduksi oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific.
PSA merupakan protein yang diproduksi oleh sel prostat untuk menjaga viskositas cairan semen. PSA diproduksi sel-sel kelenjar prostat baik sehat maupun yang
mengalami pembesaran jinak dan maligna. Oleh karena itu, pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar serum PSA Joseph E.,
1991 dan Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009 dan 2011.
Universitas Sumatera Utara
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat biopsi prostat atau TURP, pada retensi urine
akut, kateterisasi, BPH, keganasan prostat, dan bertambahnya usia. Pada pasien BPH pemeriksaan kadar serum PSA penting untuk meramalkan perjalanan
penyakit dari BPH Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009. Pada pasien kanker prostat pemeriksaan kadar serum PSA menjadi parameter berkelanjutan, semakin
tinggi kadarnya maka semakin tinggi kecurigaan kanker prostat Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2011.
Pemeriksaan PSA serum sangat diindikasikan pada pasien dengan gejala LUTS Lower Urinary Tract Symptoms. LUTS terdiri atas gejala obstruksi
voiding symptoms dan iritasi storage symptoms, yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus
intermitent, dan merasa tidak puas setelah miksi, yang kemudian menjadi retensi urine.
2.3.2. Jenis dan Nilai Kadar Serum PSA
Prostate Specific Antigen PSA merupakan suatu glycoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel pada asinus dan duktus dari kelenjar prostat. PSA
disekreasi kedalam cairan seminal oleh sel epitel luminal dari duktus prostat, asinus, dan kelenjar dari periuretral. Normalnya kadar serum PSA sangat rendah
karena terkonsenttrasi pada prostat. Namun, kerusakan pada arsitektur jaringan prostat normal seperti pada prostatic disease, inflamasi atau trauma akan
menyebabkan banyaknya jumlah PSA yang masuk ke dalam sirkulasi. Sehingga, peningkatan level PSA serum dijadikan sebagai marker penting pada beberapa
prostate disease, antara lain BPH, prostatitis, dan kanker prostat Montironi R. et al., 2000.
Penelitian juga telah menunjukan bahwa PSA yang terdapat dalam serum terdiri dari beberapa molekular Christensson A. et al., 1993 dalam Arneth, 2009.
Penelitian terdahulu menggambarkan keuntungan potensial pada penggunaan bentuk molekular PSA untuk meningkatkan manfaat klinis test PSA pada deteksi
dini kanker prostat. Penelitian juga telah memperlihatkan kegunaan bentuk PSA
Universitas Sumatera Utara
yang lebih spesifik yang terdapat pada serum yang dapat meningkatkan kemampuan dari PSA untuk membedakan antara pasien dengan kanker prostat
dan yang jinak Stenman U.H. et al., 1991 dalam Durmaz, 2014. Penemuan keberadaan PSA di serum dalam beberapa bentuk molekular menambah manfaat
klinik pada pemeriksaan PSA. Bentuk yang besar termasuk di dalamnya nonkomplek atau free PSA dan PSA komplek dengan serine protease inhibitor
α1-antichymotrypsin ACT dan α2-macroglobulin Christensson A. et al., 1993
dalam Arneth, 2009.
Tabel 2.5. Molecular Forms of Prostate-Specific Antigen
Sumber: Lilja H. et al., 1991 Biopsi prostat dianjurkan pada pasien dengan PSA 4.0 ngml atau DRE
yang abnormal. American Urologic Association merekomendasikan biopsi jarum prostat pada pria dengan nilai PSA lebih dari 4 ngml, atau pada DRE di jumpai
prostat yang tidak normal AUA Commentary, 2000. Kadar PSA secara tunggal adalah variabel yang paling bermakna dibandingkan colok dubur atau TRUS.
Sampai saat ini belum ada persetujuan mengenai nilai standar secara internasional, namun nilai baku PSA di Indonesia saat ini yang dipakai adalah 4ngml.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan kadar PSA bisa terjadi pada keadaan BPH, infeksi saluran kemih dan kanker prostat sehingga dilakukan penyempurnaan dalam interpretasi
nilai PSA yaitu PSA velocity atau perubahan laju nilai PSA, densitas PSA dan nilai rata – rata PSA, yang nilainya bergantung kepada umur penderita.
Tabel 2.6. Rata-rata nilai normal kadar PSA menurut umur
Umur tahun Rata – Rata Nilai Normal PSA ngmL
40 – 49 0.0 – 2.5
50 – 59 0.0 – 3.5
60 – 69 0.0 – 4.5
70 – 79 0.0 – 6.5
Sumber : Dawson C. dan Whitfield H., 1996 dalam Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2009
Pemeriksaan PSA di Negara Barat mempunyai hasil yang sangat sensitif namun tidak spesifik, yakni rata-rata mencapai tingkat sensitivitas lebih dari 90
dan spesifisitas kurang dari 25, untuk kadar nilai ambang PSA 4 ngml Brewer MK, 1999. Dan pada peningkatan nilai ambang PSA 10 ngml terjadi penurunan
sensitivitas menjadi lebih dari 75 sementara pada spesifisitas meningkat hampir dua kali lipat menjadi 48 Joseph E.,1991. Sedangkan di Indonesia sendiri,
penelitian mengenai nilai spesifisitas dan sensitivitas tentang pemeriksaan PSA baru dilakukan di RS Kariadi Semarang dengan hasil nilai spesifisitas meningkat
pada nilai ambang batas PSA 10 ngml dan nilai PSA 10 ngml menjadi nilai rekomendasi untuk dilakukan biopsi prostat sebelum diagnosis pasti kanker
prostat ditegakkan Erlangga N., 2007
2.3.3. Hal-hal yang Mempengaruhi Kadar Serum PSA
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar serum PSA, antara lain: a.
Usia Terjadi peningkatan kadar serum PSA seiring dengan bertambahnya usia.
Secara fisiologis, angka normal kadar PSA dalam darah meningkat sesuai dengan penambahan umur, yang disebut “age related PSA” Joseph E, 1991
dan Brawer MK, 1999. Hal ini terjadi karena terdapat penurunan fungsi
Universitas Sumatera Utara
kontrol metabolisme oleh tubuh dengan semakin bertambahnya usia Joseph E, 1991. Sehingga pemeriksaan PSA pada pasien yang sama jika dilakukan
secara rutin dan berkala, menunjukkan penurunan sensitivitas dan spesifisitas PSA terhadap kanker prostat.
b. Statin
Statin HMG-CoA reductase inhibitors merupakan preparat yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol. Hasil penelitian M. H. Hager et
al. 2006 menunjukkan bahwa pertumbuhan prostat dan kanker prostat dipengaruhi oleh metabolisme kolesterol yang abnormal, dimana makin tinggi
kolesterol maka pertumbuhan prostat semakin meningkat. Selanjutnya, L Zhuang et al. 2005 dan K. Pelton 2012 mendapati bahwa penurunan
bioavaibilitas kolesterol menginduksi apoptosis sel prostat. Sang Hun Lee et al., 2013
c. Insulin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Heiko Muller et al. 2009 mengenai “Hubungan Diabetes dan IMT terhadap PSA,” didapatkan hasil bahwa pasien
diabetes yang menggunakan pengobatan insulin cenderung memiliki kadar serum PSA yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien diabetes tanpa
pengobatan. Dimana pasien diabetes tanpa pengobatan ini memiliki kadar serum PSA yang relatif sama dengan pasien tanpa diabetes. Hal ini mugkin
dipengaruhi oleh insulin, bahkan pada penggunaan secara oral juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.
d. 5-
α-reductase inhibitors dan antiandrogen 5-
α-reductase inhibitors dapat menyebabkan sitoreduksi jaringan prostat Chiang et al., 2013 dan antiandrogen dapat menyebabkan penurunan kadar
testosterone yang berperan pada biokimia kelenjar prostat, sehingga penggunaan preparat ini dapat menurunkan kadar serum PSA.
Universitas Sumatera Utara
e. Trauma dan penyakit pada prostat dan saluran kemih
Akut retensi urine, akut atau kronik prostatitis, kateterisasi kurang dari 5 hari, dan operasi yang berhubungan dengan BPH kurang dari 3 bulan
merupakan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trauma pada prostat, sehingga terjadi peningkatan kadar serum PSA.
2.4. Hubungan IMT dengan Kadar Serum PSA
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan
menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada pria biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa obesitas menjadi faktor resiko terjadinya pembesaran prostat baik jinak maupun ganas.
Berdasarkan penelitian Peter Ka-Fung Chiu et al. 2011 dalam Asian Pacific Journal of Cancer Prevention vol. 12 melaporkan bahwa terjadi
penurunan kadar serum PSA pada pasien seiring dengan peningkatan IMT terutama obesitas sehingga dibutuhkan cutoff yang berbeda antara pasien yang
obesitas dengan IMT normal. Banez et al. 2007 dalam The Journal of the American Medical Association vol. 298 melaporkan bahwa kadar serum PSA
menurun secara signifikan dengan peningkatan IMT karena dilusi dari jumlah PSA yang tetap dalam volume plasma pada pasien dengan IMT yang lebih tinggi.
Namun, belum ada penelitian yang secara pasti mengenai penyebab terjadinya penurunan nilai kadar serum PSA pada penderita dengan IMT diatas
normal. Ohwaki et al. 2010 dan Grubb et al. 2009 dalam Peter Kang-Fu Chiu et al. 2011 mengemukakan bahwa hubungan terbalik IMT dengan PSA dapat
dijelaskan oleh hemodilusi karena volume plasma yang lebih tinggi pada pria obesitas. Penjelasan lain menyebutkan bahwa pria obesitas memiliki tingkat
androgen rendah. Androgen berperan penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi prostat normal, dengan demikian tingkat androgen rendah dapat menyebabkan
massa PSA lebih rendah. Namun, Banez et al. 2007 mengemukakan bahwa massa PSA pada pasien obesitas adalah sama atau bahkan lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan populasi normal, sehingga penjelasan androgenik kurang masuk akal. Rata-rata PSA dalam studi yang dipublikasikan berkisar antara 0.7-1.5
ngmL, nilai ini jauh dari cutoff yang diakui untuk dilakukan biopsi prostat yaitu 4 ngml. Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosa kanker prostat pada pasien
obesitas.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang