Landasan Teori Fungsi dan Makna Meditasi pada Kebaktian Keagamaan Buddha Theravada bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

2.1.5 Masyarakat Tionghoa

Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh bangsa Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa berarti orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia. Kata Tionghoa sebagai pengganti sebutan nonpri atau Cina. Di Medan, masyarakat Tionghoa termasuk golongan minoritas. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan masyarakat Tionghoa ini mulai diakui oleh masyarakat pribumi. Hal ini ditandai dengan adanya libur Nasional untuk Hari Raya Imlek dan diakui sebagai salah satu dari etnis di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai jenis kebudayaan dan tradisi yang unik dan menarik.

2.2 Landasan Teori

Teori adalah seperangkat konsep dan defenisi yang menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena dengan cara mendeskripsikan hubungan sebab-akibat yang terjadi. Menurut Koentjaraningrat, 1973:10Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Landasan teori adalah teori–teori yang sesuai yang dapat digunakan untuk menjelaskan variabel–variabel penelitian. Landasan teori juga berfungsi sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan, serta membantu dalam penyusunan instrumen penelitian. Teori – teori yang digunakan tersebut bukan sekedar pendapat dari pengarang saja, melainkan teori yang sudah teruji kebenarannya, Ridwan, 2004:19 .

2.2.1 Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis setiap pola kelakuan yang menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Bronislaw Malinowski, 1884-19422 mengajukan suatu orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme. Bronislaw Malinowski dalam Warsani, 1978:111 mengemukakan: “ ... Setiap kebudayaan yang hidup merupakan kesatuan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu,tidak ubahnya sebagai suatu tubuh yang hidup dimana setiap bahagian mempunyai fungsi yang berhubungan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dipelajari dan dipahami, kalau tidak dihubungkan dengan kebudayaan sebagi keseluruhan”. Menurut Malinowski dalam teorinya, fungsi sosial dibagi kepada tiga tingkatan abstraksi, yaitu: pertama, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berpengaruh terhadap adat, tingkah laku, dan pranata sosial lain dalam masyarakat. Kedua, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berpengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata sosial lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, suatu adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan lain berpengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegerasi dari suatu sistem sosial tertentu. Dalam mengkaji fungsi meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan, penulis mengklasifikasikan fungsi sosialnya berdasarkan ketiga tahapan dalam rangkaian kebaktian yaitu Namak āra, pembacaan Paṭṭhāna, dan meditasi ānāpānasati. Ketiga fungsi tersebut kemudian dianalisis dan dikategorikan sesuai dengan tingkatan abstraksi tersebut. Oleh karena itu penulis menggunakan teori fungsionalisme dalam mengkaji fungsi dari meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

2.2.2 Teori semiotik

Teori semiotik adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan makna yang terdapat dari tanda-tanda, sistem, kebiasaan atau perbuatan yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat mau`pun suatu kebudayaan. Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular, Endaswara, 2008:64. Selanjutnya Roland Barthes 1915-1980 mengatakan: “... teori signifiant-signifie adalah teori mengenai denotasi dan konotasi. Perbedaan pokoknya adalah pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu bukan individual. Semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Penggunaan istilah expression bentuk, ekspresi untuk signifiant dan contenu isi, untuk signifie”. Menurut Barthes dalam Kusumarini, 2006 denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Oleh karena itu penulis menggunakan teori semiotik dalam mengkaji makna meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

2.3 Tinjauan Pustaka