Sistem Mata Pencaharian Simpulan

perkebunan tembakau, karet, dan teh, serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat”. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang susah, namun karena etos kerja yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti kehidupan berubah menjadi pedagang yang sangat sukses. Mereka memperluas jenis usaha demi meningkatkan taraf hidup mereka, hingga dapat terus bertahan sampai saat ini. Dapat dikatakan masyarakat Tionghoa merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi di Kota Medan .

4.3 Sistem Mata Pencaharian

Berdasarkan data yang dimuat dalam jurnal elektronik Rubrik Medan tahun 2014, Masyarakat Tionghoa di Medan umumnya bekerja sebagai pedagang, buruh, karyawan di pabrik atau industri. Mereka biasanya berdagang sembako, membuka toko elektronik, counter handphone, bengkel motor atau mobil, dan juga membuka rumah makan atau restoran. Dokter juga salah satu profesi yang banyak dilakoni oleh masyarakat Tionghoa di Medan. Kebanyakan dari mereka juga ada yang berprofesi sebagai sales dan karyawan bank. Masyarakat Tionghoa di Medan dikenal sebagai orang-orang yang ulet bekerja, dan tahu caranya menjalankan usaha dengan baik. Mereka dikenal sebagai pribadi-pribadi yang optimis dan tidak kenal lelah. Maka dari itu setiap usaha yang mereka jalani selalu dikerjakan dengan serius. Mereka juga menjalin hubungan baik antara sesama etnis Tionghoa baik dari segi komunikasi seperti menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa hokkien , namun mereka juga tidak menutup diri terhadap pribumi.

4.4 Sistem Kepercayaan

Kementrian Agama menetapkan agama yang resmi yang di akui di Indonesia adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Atas dasar Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenal penduduk. Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa di Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan. Meski penduduk Indonesia mayoritas beragama Muslim, tetapi etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di Tahun 2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen Etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam, Ananta, Arifin dan Bakhtiar dalam Siahaan, 2012 : 34. Namun, etnik Tionghoa masih dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan turun-temurun dari leluhur mereka. Beberapa ajaran atau kepercayaan itu adalah Konfusianisme, Taoisme. Berdasarkan data BPS kota Medan tahun 2010, terdapat 202.839 jiwa etnis Tionghoa di Kota Medan dan mayoritas sebanyak 112.456 jiwa beragama Buddha. Sisanya menganut agama lain seperti kristen protestan, katolik, islam, taoisme dan konghucu. Masyarakat Tionghoa Penganut Buddhisme di Kota Medan pun terdiri dari beberapa aliran seperti Therav āda, Mahāyāna, dan Maitreya, namun penganut Buddhisme terbanyak di Medan berasal dari aliran Ma hāyāna. Pada ketiga aliran Buddhisme tersebut, ada yang melakukan meditasi dan ada yang tidak. Aliran yang melakukan meditasi dan menjadikannya kewajiban adalah penganut Buddhisme aliran Therav āda, sedangkan pada aliran Mahāyāna terdapat meditasi tetapi tidak wajib dilakukan dan pada aliran Maitreya tidak terdapat meditasi.

4.4.1 Buddhisme

Agama Buddha berasal dari India bagian utara yang dipelopori oleh Buddha Gautama atau Bhagava. Beliau adalah seorang pangeran yang dinamai Siddharta. Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM, sekitar 2600 tahun yang lalu. Konsep ajaran agama Buddha yang terkenal adalah kepercayaan mereka tentang teori karma. Kata karma diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai did perbuatan atau action tindakan, tetapi arti yang sebenarnya lebih luas dari pada itu, cakupannya tidak hanya sebatas tindakan yang bersifat lahiriah, tetapi juga termasuk segala yang ada dalam ucapan dan pikiran seorang individu. Menurut Buddhisme, semua fenomena yang terjadi pada alam semesta atau lebih spesifik pada individu, merupakan manifestasi dari jiwanya. Kapan pun individu itu bertindak, berbicara atau bahkan berpikir, maka jiwanya saat itu juga sedang berbuat sesuatu, dan sesuatu yang diperbuatnya itu pasti akan menghasilkan akibatnya, entah kapan pun waktunya di masa yang akan datang. Akibatnya itu merupakan balasan Karma. Karma adalah sebab dan balasannya adalah akibat. Keberadaan seorang individu disusun dari rangkaian sebab dan akibat. Hidup yang berlangsung saat ini hanya merupakan satu aspek dari keseluruhan proses yang ada. Kematian bukan akhir dari keberadaan, melainkan hanya aspek lain dari proses yang ada. Menjadi apa seorang individu dalam hidupnya saat ini, merupakan akibat dari perbuatan yang telah ia lakukan di masa lampau, dan apa yang dilakukannya saat ini akan menentukan keberadaannya di masa yang akan datang. Rangkaian kausa ini disebut Samsara dan Roda Kelahiran . Inilah sumber utama timbulnya penderitaan hidup dalam keberadaan individu, Robert, 2010:150. Di Indonesia, penyebaran agama Buddha dimulai di masa pemerintahan Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit. Agama buddha berkembang dengan pesat . Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan masyarakat setempat di Indonesia tercermin lewat bangunan candi-candi bercorak Buddhis yang dibangun dengan megah pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Syailendra. Pembangunan candi-candi bercorak agama buddha seperti Borobudur, Mendut dan Pawon menunjukkan kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat tinggi, Robert, 2010:152. Agama buddha di Medan diakui keberadaannya oleh penduduk setempat. Banyak masyarakat Tionghoa di Medan memeluk agama Buddha sebagai kepercayaan mereka. Tempat-tempat beribadah bagi penganut agama Buddha juga banyak didirikan di wilayah sekitar kota Medan. Masyarakat Tionghoa di Medan yang memeluk agama Buddha merayakan hari besar atau hari suci mereka setiap tahun, yang disebut dengan Hari Waisak dan dijadikan sebagai hari libur nasional. Terdapat beberapa aliran agama Buddha di Medan, di antaranya Therav āda, Mahāyāna, dan Maitreya. Berdasarkan data departemen keagamaan Buddha Sumatera utara tahhu 2010, Vihara di Medan di dominasi oleh aliran Ma hāyāna, hal ini mungkin didukung oleh kultur budaya dan upacara penghormatan leluhur yang menjadi kepercayaan etnis Tionghoa di Medan masih kental. Aliran Ma hāyāna terbuka terhadap upacaraa-upacara yang dilakukan para penganutnya yang berkaitan dengan kebudayaan lokal. Berbeda dengan aliran Therav āda yang hanya menitikberatkan kepada ritual keagamaan saja dan tidak terbuka terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Penganut Maitreya juga terbilang cukup banyak karena salah satu Vihara Maitreya terbesar di Asia Tenggara, terdapat di Medan yaitu Maha Vihara Maitreya yang terdapat di kompleks cemara asri.

4.4.1.1 Therav

āda Therav āda adalah kata dalam bahasa Pāli yang secara harfiah berarti Ajaran Sesepuh atau Pengajaran Dahulu, merupakan mazhab tertua Agama Buddha yang masih bertahan dan ditemukan di India. Therav āda mempromosikan konsep Vibhajjavada, yang secara harfiah berarti “Pengajaran Analisis”. Doktrin ini mengatakan bahwa wawasan harus datang dari pengalaman, penerapan pengetahuan, dan penalaran kritis siswa. Therav āda juga hanya mengakui Buddha Gotama atau sakyamuni sebagai Buddha sejarah yang hidup pada masa sekarang . Meskipun demikian Therav āda mengakui pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya, Gombrich, 1996:150. Berdasarkan data dari CIA World Factbook Tahun 2006, Therav āda tersebar paling banyak di Sri langka dengan penganut 70 dari total jumlah penduduk, dan sebagian besar benua di Asia Tenggara yaitu Kambodia, Laos, Myanmar, dan Thailand. Mazhab Theravada juga dijalankan oleh sebagian minoritas dari Barat Daya Cina oleh etnik Shan dan Tai, Vietnam, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan yang belakangan ini mendapatkan lebih banyak popularitas di Singapura dan Negara Barat. Penyebaran agama Buddha Therav āda di Indonesia dimulai atas prakarsa Bapak Tri-Dharma Kwee Tek Hoay pada tahun 1934 yang diawali dengan kunjungan Bhante Narada dari Srilangka ke Candi Borobudur untuk penanaman pohon bodhi. Disinilah cikal bakalnya penyebaran agama Buddha dimulai, Sudirman, 2010. Penganut Buddha Therav āda di Medan terbilang tidak terlalu banyak, hal ini dibuktikan oleh vihara-vihara aliran Therav āda yang terdapat di Medan berjumlah lebih sedikit daripada Vihara aliran lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh aliran Therav āda yang lebih menekankan kepada unsur realitas dan menitikberatkan pada usaha untuk pencapaian nibbana, berbeda dengan Ma hāyāna yang amat terbuka dan menerima tradisi masyarakat setempat khususnya Tionghoa serta pemujaan terhadap dewa-dewi. Meditasi adalah salah satu kewajiban dalam aliran Therav āda, karena tujuan utama dari meditasi adalah pemutusan reinkarnasi dan pencapaian nibbana atau kelenyapan. Meditasi dalam Therav āda dibagi atas dua jenis, yaitu samatha dan vipassana. Samatha adalah meditasi untuk ketenangan batin sedangkan vipasssana adalah meditasi untuk pengembangan wawasan. Masyarakat Tionghoa penganut Therav āda di kota Medan, kebanyakan rutin menyempatkan diri untuk melakukan meditasi. Vihara-vihara aliran Therav āda di Medan pun memiliki jadwal tertentu untuk meditasi. Tak hanya meditasi samatha, vihara-vihara aliran Therav āda juga mengadakan retret meditasi vipassana atau sebagai ujian meditasi yang biasanya dilakukan selama seminggu tanpa berbicara kepada siapapun dan berkonsentrasi terus terhadap objek meditasi yang ditentukan misalnya nafas. Tak hanya meditasi rutin di Vihara seperti meditasi samatha, retret meditasi vipassana juga diikuti oleh penganut Buddhisme Therav āda di Medan dengan antusias.

4.4.1.2 Ma

hāyāna Ma hāyāna adalah kata dalam bahasa sanskerta yang terdiri dari dua kata yakni mah ā besar dan yāna kendaraan, jadi secara etimologis berarti kendaraan besar. Aliran Buddhisme ini disebut dengan Ma hāyāna karena dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan sebagai sebuah kereta besar yang memuat penumpang banyak. Aliran ini mempercayai adanya dewa-dewa lain yang berperan dalam kehidupan mereka, seperti Dewa Bumi, Dewi Kasih Sayang, Dewa Langit dan sebagainya. Hal ini dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan tempatnya berkembang, seperti Cina yang sejak berabad-abad sebelumnya telah memiliki keyakinan yang kuat terhadap dewa-dewa penjaga alam dan arwah leluhur; dan lain sebagainya, Dewi, 2010. Menurut Harvey 2010, dalam jurnalnya yang berjudul Introduction to Buddhism, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea , Vietnam serta Tibet. Ajaran Ma hāyāna di Indonesia erat dengan sekte Zen. Hal ini dikarenakan perantau Tionghoa yang datang ke Indonesia mayoritas berasal dari Fujian dan Guan Dong, Tiongkok Selatan dimana sekte ini sangat dominan di propinsi tersebut. Penganut Ma hāyāna di Kota Medan terbilang banyak, hal ini dibuktikan oleh Vihara-Vihara aliran Ma hāyāna yang tersebar di Medan. Asal- usul Masyarakat Tionghoa di Medan pada umumnya berasal dari daerah fujian, dimana di daerah tersebut sekte Ma hāyāna sangat dominan, jadi tidak heran mengapa suku Tionghoa di Medan banyak yang menganut agama Buddha aliran Ma hāyāna. Meditasi juga terdapat dalam aliran Ma hāyāna, tetapi jenisnya berbeda dengan aliran Buddhisme lain. Dalam aliran Ma hāyāna terdapat meditasi nianfo, yaitu meditasi yang menekankan kepada keBuddhaan. Ada terdapat beberapa cara dalam melakukan meditasi ninafo, yaitu melafalkan nama Buddha, melihat objek Patung Buddha sambil mengucapkan nama Buddha di dalam hati, mengeja nama Buddha dengan suara lantang, dan lain sebagainya. Para penganut Ma hāyāna di kota Medan tidak terlalu menekankan peribadatan meditasi, mereka kebanyakan lebih menekankan kepada bentuk ibadah lain seperti pelimpahan jasa, puja bakti, bahkan upacara-upacara adat yang sebenarnya tidak berkenaan dengan keagamaan seperti penghormatan leluhur, dan lain sebagainya. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakwajiban bermeditasi dalam paham Ma hāyāna.

4.4.1.3 Maitreya

Dalam agama Buddha, BodhisattvaMaitreya adalah Buddha yang akan datang. Istilah Maitreya Sankserta atau Metteyya Pali berasal dari kata metta atau cinta kasih ini adalah Buddha masa depan yang sangat dinantikan tetapi hingga saat ini belum dilahirkan. Dalam bahasa Tionghoa, Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa 彌勒菩薩. Dalam agama Buddha diajarkan bahwa buddha merupakan sebuah gelar, sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada Buddha Sakyamuni saja. Menurut Sudirman 2010, Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai bodhisattva calon Buddha. Maitreya bertempat tinggal di surga Tusita, yang merupakan tempat tinggal bagi para bodhisatva sebelum mencapai tingkat ke-buddha-an. Buddha Sakyamuni juga bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama di dunia. Penyebaran aliran Maitreya di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar Tahun 1950-an. Di taiwan, aliran Maitreya berdiri sendiri sebagai sebuah agama baru dan tidak mendompleng agama Buddha dan mereka menyebutnya sebagai agama I Kuan Tao, Hendrik, 2008. Penganut aliran maitreya di Medan terbilang cukup banyak. Salah satu vihara aliran Maitreya terbesar di Asia tenggara yaitu Maha Vihara Maitreya yang berada di kompleks Cemara Asri terdapat di Kota ini. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa tidak sedikit penganut aliran maitreya yang terdapat di Kota Medan. Tidak ada ajaran yang jelas mengenai meditasi dalam aliran Maitreya, mereka beranggapan bahwa meditasi bukanlah suatu kewajiban karena misi utama Maitreya adalah mengahadirkan dunia yang aman sentosa di Bumi ini. Menurut Jhon, 2014, bermeditasi adalah menyelamatkan diri sendiri menurut pandangan aliran maitreya, maka hal tersebut tidak diajarkan. Sesuai dengan perkataan sang Buddha yaitu “dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain, dengan melindungi orang seseorang melindungi diri sendiri”. Meditasi dianggap suatu bentuk keegoisan karena hanya bermanfaat bagi diri sendiri. 4.5 Masyarakat Tionghoa di Vihara Dhammadayada Vihara Dhammadayada adalah Vihara Buddha dengan aliran Therav āda. Masyarakat penganut aliran Therav ādadi Vihara ini hampir keseluruhannya adalah etnis Tionghoa dari berbagai marga. Selain dipersakutan oleh ikatan agama dan etnis, mereka juga dipersatukan oleh sebuah Badan amal Vihara Dhammadayada dengan misi menjalankan Dhamma seperti yang diajarkan oleh sang Buddha. Mereka rutin melakukan kegiatan amal seperti memberikan bantuan berupa sembako ataupun pakaian ke panti asuhan dan panti jompo. Selain itu terkadang mereka juga membagikan sembako kepada tukang becak, gelandangan, dan pengemis di jalanan. Terdapat beberapa kegiatan di Vihara Dhammadayada yang rutin dilakukan setiap harinya, yaitu dana makan pagi, dana makan siang, dan meditasi. Danaadalah memberikan sesuatu, baik itu berupa bantuan materil ataupun bantuan moril. Dalam hal ini, dana maksudnya adalah memberikan makanan kepada para bhikku dan sayalay yang berada di Vihara Dhammadayada. Seperti peraturan yang telah dijalani oleh para bhikku dan sayalay, mereka hanya dapat makan ketika terbit fajar hingga tengah hari, tidak boleh menyimpan makanan sendiri maka umat seharusnya berdana pada mereka. Karena hal tersebut, dana makan pagi dilakukan pukul 06.00 dan dana makan siang dilakukan pukul 11.00 agar sesuai dengan peraturan makan yang dijalani oleh para bhikku dan sayalay. Bhikku dan sayalay yang datang sebagai guru meditasi di Vihara Dhammadayada selalu didatangkan dari Pa-Auk Meditation center Myanmar. Hal ini disebabkan oleh Pa-Auk Meditation center adalah salah satu pusat pelatihan meditasi untuk para Bhikku atau sayalay yang diklaim sebagai salah satu yang terbaik di dunia dari seluruh pusat pelatihan meditasi untuk para Bhikku dan Sayalay dari aliran Therav ādalainnya. Meditasi dilakukan setiap harinya pukul 07.00 malam di aula utama yang berada di lantai dua Vihara. Umat rutin mengikuti ibadah meditasi ini karena meditasi merupakan salah satu jalan untuk mencapai nibbana.

BAB V FUNGSI DAN MAKNA MEDITASI PADA KEBAKTIAN KEAGAMAAN

BUDDHA THERAV ĀDABAGI MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

5.1 Fungsi Meditasi pada Kebaktian Keagamaan Buddha Therav

āda Pada Masyarakat Tionghoa di Medan Pada bab ini penulis akan membagi fungsi meditasi ke-tiga bagian yaitu Namak āra atau persujudan, pembacaan Paṭṭhāna untuk mengetahui kondisi yang bersangkutan dengan meditasi, dan meditasi samatha dengan menggunakan subjek ānāpānasati. Penulis membagi kepada tiga tahapan berdasarkan kepada isi dan kondisi pada tiap tahapan meditasi, karena disetiap awal kegiatan peribadatan apapun dalam agama Buddha, umat selalu melakukan Namak āra terlebih dahulu sebagai bentuk penghormatan dan adab memulai peribadatan. Membaca Pa ṭṭhānasebagai bentuk persiapan sebelum memulai meditasi agar umat mengetahui dan mengenal kondisi-kondisi kehidupan yang berkaitan dengan proses meditasi, dan diakhiri dengan meditasi dengan satu objek saja yaitu ānāpānasati agar umat dapat fokus melatih ketenangan batin dan menjadi pribadi yang lebih baik.

5.1.1. Fungsi Namak

āra Namak āra adalah kata dalam bahasa Pāli yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah penghormatan atau persujudan. Terdapat dua tahapan dalam melakukan namak āra. Pertama umat melakukan posisi berlutut dengan kedua lutut menyentuh lantai, dan mempertemukan kedua telapak tangan di depan dahi, lalu membaca namak ārapātha atau kalimat persujudan, seperti pada gambar 5.1. Gambar 5.1 Posisi melakukan tahap awal namak āra Sumber: dokumentasi Camelia:2015 Kemudian diakhiri dengan tahapan kedua yaitu dengan posisi bersujud dimana umat bersujud dengan posisi kedua telapak tangan berada disamping kepala dan menyentuh lantai, dan dahi menyentuh lantai, seperti pada gambar 5.2. Gambar 5.2 Posisi melakukan tahap akhir namak āra Sumber: dokumentasi Camelia:2015 Setiap melakukan namak āra, adalah menyebutnamakārapātha yaitu kalimat persujudan. Seorang pemimpin meditasi baik bhikku ataupun sayalay biasanya mengucapkan namak āra Pātha dalam Bahasa Pāli. Dalam hal ini, guru atau pemimpin meditasi mengucapkan tiga kalimat. Kalimat pertama ditujukan kepada sang Buddha, yaitu: Tabel 5.1 Kalimat kedua ditujukan kepada Dhamma, yaitu:. Tabel 5.2 Kalimat ketiga ditujukan kepada Sa ṅgha, yaitu: Tabel 5.3 Tiap kali umat melakukan tahap awal namak āra, selalu mengucapkan namak āra Pātha dan dilanjutkan dengan tahap akhir namakāra, begitu Teks Sumber Tsu Teks Sastra Tsa Araha ṃsammāsambuddho bhagavā Sang Bhagava, Yang Mahasuci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna. Buddha ṃbhagavantaṃ abhivādemi. Aku bersujud di hadapan sang Buddha, Sang Bhagava Teks Sumber Tsu Teks Sastra Tsa Sv ākkhato bhagavatā dhammo Dhamma telah sempurna dipaparkan oleh Sang Bhagava. Dhamma ṃ namassāmi Aku bersujud di hadapan Dhamma. Teks Sumber Tsu Teks Sastra Tsa Supa ṭipano bhagavato s āvakasaṅgho. Sa ṅghasiswa sang Bhagava telah bertindak sempurna. Sa ṅghaṃ namāmi. Aku bersujud di hadapan Sangha seterusnya. Kalimat pertama diucapkan hingga kalimat terakhir dengan posisi yang sama . Namak āra berperan sebagai salah satu bentuk pranata sosial yang terdapat dalam Buddhisme. Yang dimaksud dengan pranata sosial adalah sistem atau tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam masyarakat, dalam hal ini pranata sosialnya tergolong dalam pelaksanaan ajaran agama. Namak āra dilakukan untuk tujuan menghormati Buddha, Dhamma, dan Sa ṅgha.Menurut ajaran Buddhisme ketiga golongan tersebut harus dihormati, maka dalam melakukan Namak āradiucapkanlah kalimat persujudan yang merupakan bentuk rasa hormat kepada mereka. Ajaran Buddha menempatkan Buddha pada posisi pertama sebagai golongan yang patut dihormati karena sang Buddha Gautama merupakan guru tertinggi yang menyebarkan ajaran Buddha yang harus dijadikan panutan dalam kehidupan. Dhamma berada pada golongan kedua yang patut dihormati karena Dhamma merupakan ajaran yang disebarkan oleh sang Buddha dan menjadi pedoman hidup seorang penganut Buddhisme dalam menjalankan kehidupan. Sedangkan Sa ṅghaberada pada golongan ketiga karena Saṅghaadalah persaudaraan para bhikku yang merupakan wakil-wakil sang Buddha yang terus menjalankan dan menyebarkan ajaran sang Buddha kepada setiap manusia di bumi ini, maka dari itu mereka juga harus dihormati. Menurut Malinowski dalam teorinya, fungsi sosial dibagi kepada tiga tingkatan abstraksi, yaitu: pertama, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berpengaruh terhadap adat, tingkah laku, dan pranata sosial lain dalam masyarakat. Kedua, suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berpengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata sosial lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, suatu adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan lain berpengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegerasi dari suatu sistem sosial tertentu. Berdasarkan penjelasan tersebut, fungsi Namak āraberada pada tingkatan abstraksi pertama. Namak āra dianggap sebagai suatu bentuk pranata sosial yang berpengaruh dalam perilaku seorang penganut Buddhisme. Seorang penganut Buddhisme otomatis akan melakukan Namak āra ketika hendak memulai kegiatan ibadah karena Namak āradianggap sebagai adab sebelum memulai segala bentuk ibadah. Meskipun sang Buddha telah lama wafat, ia akan selalu dikenang dan dihormati oleh penganut Buddhisme karena dianggap sebagai sang pencerah yang telah menyebarkan ajaran Buddha kepada manusia. Melakukan Namak āra sebelum memulai ibadah, berarti seorang penganut Buddhisme memberikan penghormatan pada sang Buddha dan Dhamma atau ajarannya. Selain itu, ketika bertemu dengan para pemuka agama seperti Bhikku, ataupun sayalay, baik itu di Vihara ataupun ditempat lain, apabila kondisinya memungkinkan, seorang penganut Buddhisme juga otomatis akan melakukan Namak āratanpa ada suruhan ataupun aba-aba terlebih dahulu. Perilaku tersebut diajadikan suatu bentuk penghormatan atas peran mereka dalam menyebarkan agama Buddha. Sa ṅgha atau persaudaraan para bhikku dalam Buddhisme sangat dihormati, karena setelah wafatnya sang Buddha. Mereka dianggap sebagai para wakil Buddha yang terus menyebarkan ajarannya kepada umat manusia di Bumi. Dengan demikian, Namak āraberada pada tingkatan abstraksi pertama menurut teori fungsionalisme Malinowski.

5.1.2 Fungsi Pembacaan Pa

ṭṭhāna Pa ṭṭhāna adalah salah satu dari ke-tujuh kitab Abhidhamma Piṭaka yang terpenting dan terpanjang dalam Abhidhamma Pi ṭaka. Menurut paham Buddhisme, Orang yang dengan sabar membacanya akan mengagumi kebijaksanaan sempurna dan pandangan yang mendalam dari Sang Buddha. Istilah Pa ṭṭhāna berasal dari kata pa berbagai dan ṭhānakeadaan atau paccaya. Disebut demikian karena menguraikan dua puluh empat cara hubungan sebab-akibat antara batin dan jasmani yang terdapat dalam kehidupan. Dalam meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha, pada umumnya umat membaca Paritta suci, namun di Vihara Dhammadayada yang dibaca adalah Pa ṭṭhāna. Sayalay yang memimpin meditasi mengemukakan bahwa lebih cocok untuk membaca Pa ṭṭhānakarena di Vihara Dhammadayada yang menjadi subjek meditasi adalah ānāpānasati. Dengan membaca Paṭṭhāna, umat dapat lebih memahami kondisi hubungan sebab-akibat antara batin dan jasmani yang nantinya akan berguna dalam melatih konsentrasi dan ketenangan dalam melakukan meditasi ānāpānasati. Selain itu, pembacaan Paṭṭhānajuga dilakukan dengan tujuan perlindungan diri dari hal-hal buruk. Setelah selesai melakukan Namak āra, umat duduk di atas matras duduk dengan posisi duduk senyaman mungkin, namun tetap dengan posisi duduk yang sopan seperti duduk bersila. Kemudian umat mengambil lembaran teks Pa ṭṭhāna yang sejak awal telah diletakkan di depan matras duduk. Selanjutnya, umat membaca teks Pa ṭṭhānatersebut bersamaan dengan sayalay yang mempimpin kebaktian meditasi. Situasi pembacaan Pa ṭṭhānayang dilakukan di Vihara Dhammadayada adalah seperti pada gambar 5.3. Gambar 5.3 Pembacaan Pa ṭṭhānadi Vihara Dhammadayada sumber: dokumentasi camelia:2015 Pa ṭṭhāna yang dibaca memuat ke-24 kondisi hubungan sebab-akibat dalam kehidupan, yaitu:hetu-paccayo kondisi akar, ārammana-paccayo kondisi objek, adhipati-paccayo kondisi superioritas, anantara- paccayokondisi rangkaian, samanantara-paccayo kondisi kesegeraan, sahaj āta-paccayo kondisi kemunculan berdampingan, aññamañña-paccayo kondisi ketimbal-balikan, nissaya-paccayo kondisi ketergantungan, upanissaya-paccayo kondisi ketergantungan yang kuat, purej āta-paccayo kondisi muncul di awal, pacch ājāta-paccayo kondisi muncul belakangan, āsevana-paccayo kondisi pengulangan, kamma-paccayo kondisi kamma, vip āka-paccayo kondisi hasil kamma, āhāra-paccayo kondisi sari makanan, indriya-paccayo kondisi pengendalian indriya, jh āna-paccayo kondisi jhana, magga-paccayo kondisi jalan, sampayutta-paccayo kondisi persekutuan, vipayutta-paccayo kondisi pemisahan, atthi-paccayo kondisi kehadiran, natthi-paccayo kondisi ketidakhadiran, vigata-paccayo kondisi ketidaktampakan dan avigata-paccayo kondisi bukan ketidaktampakan. Kondisi-kondisi tersebut secara rinci menjelasakan hubungan sebab-akibat yang terjadi antara batin dan jasmani dalam kehidupan. Diawali dari penjelasan tentang kondisi akar. Akar berarti sifat-sifat yang pasti dimiliki oleh seorang individu sejak lahir yaitu lobha keserakahan, dosa kemarahan, moha ketidaktahuan, alobha ketidakserakahan, adosa ketidakmarahan, dan amoha pengetahuan. Keenam akar inilah yang nantinya akan berkembang dan menyokong citta kesadaran dan cetasika faktor-faktor mental dalam kehidupan. Kondisi akar merupakan awal kehidupan, dan diakhiri dengan kondisi bukan ketidaktampakan. Kondisi bukan ketidaktampakan adalah jika sesuatu itu ada, maka ia tidak lenyap. Sesuatu yang ada tidak harus dapat dilihat maka dari itu disebut dengan kondisi bukan ketidaktampakan. Sebagai contoh, samudera yang luas tak dapat dilihat secara langsung, telah memberikan kontribusi bagi makhluk-makhluk hidup di dalamnya. Ada sesuatu yang diberikan meskipun sesuatu tersebut tidak terlihat, hal ini lah yang disebut dengan kondisi bukan ketidaktampakan. Berdasarkan teori Malinowski, fungsi pembacaanPa ṭṭhānaberada pada tingkatan abstraksi kedua, yaitufungsi dari suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan berpengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata sosial lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga, masyarakat yang bersangkutan. Pengertian yang dikonsepsikan oleh warga dan masyarakat bersangkutan pada pembacaan Pa ṭṭhāna adalah bertujuan untuk meminimalisir gangguan-gangguan yang akan dihadapi ketika melakukan meditasi ānāpānasati. Artinya, seorang yogi atau yogini telah memiliki persiapan yang matang sebelum melanjutkan proses meditasi ānāpānasati. Yogi atau yogini yang memahami dengan baik hubungan sebab-akibat antara batin dan jasmani, akan lebih mawas diri dan dapat mengendalikan emosi dan membuang segala kekotoran batin dalam dirinya. Setiap kondisi dalam Pa ṭṭhānadijelaskan sebab-akibat hubungan antara batin dan jasmani oleh seseorang. Melakukan pembacaan Pa ṭṭhānaterus menerus, seorang yogi atau yogini akan akan lebih bijak dalam menyikapi kehidupan. Dengan demikian, kekotoran batin dan nafsu duniawi dapat dilenyapkan . Selain itu, pembacaan Pa ṭṭhāna juga ditujukan untuk keberhasilan dalam mencapai meditasi ānāpānasati. Memahami kondisi-kondisi hubungan sebab- akibat dalam kehidupan, maka akan timbul kebijaksanaan. Seseorang harus terlebih dahulu menjadi bijak dan mampu mengendalikan emosi, membuang kekotoran batin dan segala keburukan dari dalam diri. Apabila kebijaksanaan telah dimiliki seseorang, tentu pengendalian diri tidaklah sulit. Selain hal tersebut di atas, Meditasi ānāpānasatijuga merupakan latihan pengendalian diri karena dibutuhkankesabaran dan konsentrasi yang tinggi. Untuk itu, kebaktian meditasi haruslah dilakukan pembacaan Pa ṭṭhāna terlebih dahulu. Dengan demikian, pembacaan Pa ṭṭhāna berada pada tingkatan abstraksi kedua menurut teori fungsionalisme Malinowski.

5.1.3 Fungsi Meditasi Samathadengan Objek

Ānāpānasati Meditasi ānāpānasati menekankan perhatian penuh pada nafas. Para guru meditasi di Vihara Dhammadayada Medan seperti Sayalay Santagavesi dan Sayalay Nanika memilih fokus kepada objek ānāpānasati ketika melakukan meditasi Samatha. Para sayalay di Vihara Dhammadayada berpendapat bahwa ānāpānasati adalah subjek yang sederhana namun tidak terlalu sulit dipelajari dan dapat meningkatkan konsentrasi seorang yogi atau yoginidengan baik. Ketika melakukan meditasi ānāpānasati, seorang yogi atau yogini duduk bersila diatas matras duduk dengan kaki kanan diletakkan diatas kaki kiri dan kedua tangan diletakkan di atas paha dengan posisi telapak tangan kanan menghadap ke atas dan telapak tangan kiri berada di bawahnya. Posisi tubuh tegak namun tetap rileks, dan menutup mata. Apabila seorang yogi atau yogini merasa lelah atau kurang nyaman, dapat mengganti posisi duduk dengan perlahan-lahan tanpa menimbulkan kebisingan dan mengganggu konsentrasi. Proses meditasi ānāpānasati, ruangan diusahakan minim cahaya dan suara agar konsentrasi tidak terganggu. Posisi duduk saat melakukan meditasi ānāpānasati diilustrasikan seperti pada gambar 5.4. Gambar 5.4 Posisi duduk ketika melakukan meditasi ānāpānasati Sumber:dokumentasi Camelia:2015 Tidak ada gerakan yang nyata ketika melakukan ānāpānasati, hanya fokus pada gerakan arus nafas di saat nafas masuk dan keluar. Nafas yang berada di antara kedua lubang hidung yang terbuka dan atas bibir merupakan objek yang harus difokuskan dan dikonsentrasikan. Setelah mendeteksi gerakan nafasmasuk dan nafas keluar, yogi atau yogini dapat memilih fokus pada salah satu sisi lubang hidung saja pada awal latihan agar lebih mudah. Melakukan meditasi ānāpānasati,yogi atau yogini dapat benar-benar menyadari nafas konseptual massa nafas, sehingga lama kelamaan seorang yogi atau yogini dapat melihat objek berupa cahaya atau yang disebut dengan nimitta. Nimitta merupakan tanda seseorang telah memasuki kesadaran mentalnya. Yogi atau yogini telah dapat membuka mata batinnya dan lama kelamaan akan semakin jelas penglihatannya. Meditasi merupakan salah satu dari ketiga jalan untuk mencapai nibbana atau pencapaian akhir bagi penganut Buddhisme Therav āda. Karena untuk mencapai nibbana, harus terlebih dahulu melalui jalan pertama, yaitu mampu menjalankan sila dengan baik, jalan kedua adalah dengan bermeditasi, dan jalan ketiga adalah kebijakan luhur atau panna, dan ketiganya secara terintegerasi berhubungan dalam prosesnya. Menurut teori Malinowski, fungsi meditasi ānāpānasati berada pada tingkat abstraksi ketiga, yaitu suatu adat, pranata sosial, dan unsur kebudayaan berpengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegerasi dari suatu sistem sosial tertentu. Ānāpānasati sebagai suatu bentuk pranata sosial dilakukan dengan tujuan mutlak bagi setiap penganut Buddhisme Therav āda, yaitu agar mencapai nibbana. Nibbana adalah pencapaian tertinggi seorang penganut Buddhisme dan harapan bagi setiap penganut Buddhisme untuk memutus reinkarnasi. Pengertian Nibbana cukup luas. Mehm 2012 menyatakan pendapatnya mengenai nibbana, yaitu: “... Nibbana berarti sesuatu yang melampaui ke-31 alam kehidupan, melampaui dunia dari batin dan jasmani, keadaan dimana kekotoran batin telah secara sempurna dihapuskan melalui jalan kebijaksanaan, dan penderitaan juga telah dibinasakan. Selanjutnya hanya kebahagiaan dan kedamaian yang hadir dalam arus mental”. Sepanjang seseorang terjerat oleh nafsu keinginan, ia terus menerus akan mengalami kelahiran dan kematian baru secara berulang-ulang, baik terlahir kembali secara manusia, hewan, ataupun makhluk lain. Pada saat semua nafsu dan keinginan telah dapat dimusnahkan secara sempurna, ia akan terbebas dari siklus kelahiran dan kematian. Ketika hal ini terjadi, seseorang dapat dikatakan telah mencapai nibbana. Pencapaian nibbana tidak hanya dilalui oleh satu tahap saja, melainkan tiga tahap yang keseluruhannya terintegerasi dalam pelaksanaannya yaitu menjalankan sila dengan baik, melakukan meditasi, dan memiliki kebijakan luhur atau panna. Pengertian menjalankan sila dengan baik adalah seorang Buddhis harus menerapkan dan menjalankan pancasila Buddhis dalam hidupnya. Kekotoran batin dapat dihilangkan dan lama kelamaan nafsu duniawi dapat disingkirkan secara sempurna agar lebih dekat menuju pencapaian nibbana dengan sungguh sungguh menjalankan pancasila Buddhis tersebut. Pancasila Buddhis adalah lima aturan moral yang menjadi pedoman hidup dan harus ditaati bagi setiap penganut Buddhis, yaitu: tidak membunuh termasuk membunuh atau menyembelih hewan dengan tujuan dimasak dan dikonsumsi, tidak mencuri, tidak berbicara yang buruk, tidak meminum minuman keras, dan tidak berbuat asusila. Menjalankan Pancasila Buddhis dengan sungguh-sungguh merupakan jalan pertama dalam pencapaian nibbana, sehingga ketika sila telah ditaati dengan baik tentu jalan kedua dan jalan ketiga untuk mencapai nibbana akan lebih mudah dilalui. Jalan kedua dalam pencapaian nibbana adalah melakukan meditasi. Melakukan meditasi berarti seorang Buddhis berusaha memfokuskan perhatian hanya pada satu objek saja misalnya nafas, dan terus menerus hanya memikirkan objek tersebut, tujuannya adalah agar pikiran-pikiran tentang hal lain akan hilang. Kesadaran yang telah dapat dikendalikan dengan baik dengan melakukan meditasi, menjadikan seorang Buddhis terbebas dari kekotoran-kekotoran batin dan rintangan-rintangan batin sehingga lebih dekat kepada kesucian. Ketika meditasi ketenangan batin atau meditasi samatha telah berhasil dilakukan, keadaan batin yang tidak dapat digoncangkan, ketenangan, dan kedamaian akan didpaatkan. Ketika batin tidak dapat tergoncangkan, seorang Buddhis akan dapat melanjutkan dengan meditasi pandangan terang atau meditasi vipassana. Pandangan terang adalah langsung membawa seseorang ke tingkat kesucian. Pandangan terang telah muncul, maka terusirlah kegelapan dan kebodohan dan terbitlah cahaya kebijaksanaan. Dengan demikian, meditasi merupakan jalan yang harus dilalui jika ingin mencapai nibbana. Kebijaksanaan luhur adalah keadaan dimana seorang Buddhis telah dapat menembus anicca ketidakpuasan, dukha ketidakkekalan dan anatta tidak adanya aku. Untuk melenyapkan penderitaan, keinginan atau ketidakpuasan terhdapa sesuatu harus diatasi dengan sempurna dan dilenyapkan untuk selama- lamanya. Kuatnya keinginan akan menimbulkan kejahatan, hal tersebut dapat dihindari dengan pelaksanaan sila. Lawan keinginan dan ketidakpuasan tersebut dengan bermeditasi, dan lenyapkan secara sempurna keinginan dengan menembus kebijaksanaan tertinggi, itulah panna. Ketika kebijaksanaan luhur telah didapat dengan serangkaian jalan dan proses tersebut, pencapaian nibbana tentu tidaklah begitu sulit. Oleh karena itu, ketiga jalan tersebut yaitu menjalankan sila dengan baik, melakukan meditasi, dan kebijakan luhur, berpengaruh terhadap kebutuhan mutlak penganut agama Buddha yaitu pencapaian nibbana untuk berlangsungnya secara terintegerasi dalam paham Buddhisme. Dengan demikian, meditasi ānāpānasati berada pada tingkatan abstraksi ketiga menurut teori fungsionalisme Malinowski. 5.2 Makna Meditasi pada Kebaktian Keagamaan Buddha bagi Masyarakat Tionghoa di Medan 5.2.1 Makna Namak āra Penulis membagi makna Namak āra kepada tiga bagian, yaitu makna mengucapkan Namak ārapāṭha, makna tahap awal Namakāra, dan makna tahap akhir Namak āra. Pembagian berdasarkan penanda dan petanda yang berbeda pada ketiga bagian Namak āra tersebut ditinjau menggunakan teori semiotik Barthes.

5.2.1.1 Makna Mengucapkan Namak

āraPāṭha Sebelum Melakukan serangkaian posisi Namak āra, terlebih dahulu seorang Buddhis mengucapkan Namak āra pāṭha atau kalimat penghormatan. Mengucapkan Namak āra pāṭha pada posisi berlutut dan kedua telapak tangan dipertemukan, lalu diletakkan di depan dada. Namak āra pāṭha pertama ditujukan kepada Buddha, Namak āra pāṭha kedua ditujukan kepada Dhamma, dan Namak āra pāṭha ketiga ditujukan untuk Sangha. Setelah selesai mengucapkan Namak āra pāṭhayang pertama, kemudian kedua telapak tangan yang dipertemukan di depan dada diletakkan di atas dahi, lalu bersujud dan kembali kepada posisi semula seperti ketika akan mengucapkan Namak āra pāṭha. Hal yang sama juga dilakukan ketika mengucapkan Namak āra pāṭha yang kedua dan yang ketiga. Berdasarkan teori Barthes, pengucapan kalimat Namak āra pāṭhaadalah penanda yang merupakan petanda memanjatkan puji syukur kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Berlutut adalah penanda yang merupakan petanda merendahkan diri di hadapan ketiga golongan tersebut. Kedua telapak tangan yang dipertemukan adalah penanda tiratana atau tiga permata. dan meletakkan kedua telapak tangan di depan dada berarti mengganggap ketiga golongan tersebut berada di hati penganut Buddhisme. Posisi kedua telapak tangan yang dipertemukan adalah penanda dari tiratana atau tiga permata. Tiratana tersebut merupakan petanda tiga golongan yang sangat dihormati dalam Buddhisme yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ketiga golongan tersebut diibaratkan sebagai tiga permata yang bercahaya yang menyinari kehidupan dan memancarkan kerberkahan dalam kehidupan seorang penganut Buddhisme. Kedua telapak tangan dipertemukan lalu diletakkan diatas dahi. Posisi telapak tangan yang dipertemukan divisualisasikan seperti gambar 5.5 dibawah. Gambar 5.5 Posisi tangan membentuk tiratana atau tiga permata sumber:dokumentasi Camelia:2015 Berlutut ketika mengucapkan Namak āra pāṭha penanda yang merupakan petanda memposisikan diri berada di bawah ketiga golongan tersebut. Karena menurut paham Buddhisme ketiga golongan tersebut yang tertinggi dan sangat dihormati. Tiratana diletakkan di depan dada pada saat mengucapkan Namak āra p āṭhaadalah penanda yang merupakan petanda bahwa ketiga golongan tersebut selalu hidup dan tumbuh dalam hati seorang penganut Buddhisme. Buddha diletakkan pada golongan pertama yang dihormati ketika mengucapkan Namak āra pāṭhaatau melakukan Namakāra. Buddha adalah penanda yang merupakan petanda sang pencerah Yang Maha Suci. Posisinya paling tinggi dari semua makhluk dalam Buddhisme. Buddha telah mencapai penerangan sempurna, mengalahkan segala kekotoran batin, melenyapkan segala keburukan dan keinginan dalam dirinya. Telah menembus ketidakkekalan dan ketidakpuasan, serta telah membuang sifat kemelakatan dalam diri. Sang Buddha juga telah memberi pencerahan pada umat manusia dan menuntun umat manusia pada jalan kebenaran makan dari itu Buddha diletakkan pada golongan pertama. Dhamma diletakkan pada golongan kedua yangdihormati ketika mengucapkanNamak āra pāṭhaatau melakukan Namakāra. Dhammaadalah ajaran yang telah sempurna dipaparkan oleh sang Buddha dan dijadikan sebagai bentuk refleksi kesempurnaan dirinya meskipun beliau telah wafat. Dhamma dianggap sebagai pedoman hidup yang wajib ditaati bagi seorang penganut Buddhisme. Dhamma berisi penalaran-penalaran sang Buddha selama hidup mengenai segala hal, sehingga jika dipahami dan ditaati Dhamma dapat menuntun seorang penganut Buddhisme kepada kesucian. Oleh karena itu, Dhamma berada pada golongan kedua yang patut dihormati setelah Buddha. Sangha diletakkan pada golongan ketiga yang patut dihormati ketika mengucapkanNamak āra pāṭhaatau melakukan Namakāra. Sangha adalah penerus hasil ajaran Sang Buddha. Sangha merupakan persaudaraan para Bhikku atau murid-murid Sang Buddha. Memiliki kemuliaan karena terus menyebarkan ajaran Buddha meskipun beliau telah wafat. Tanpa kehadiran Sangha, tentu agama Buddha tidak dapat secara sempurna disebarkan terhadap umat manusia setelah wafatnya Sang Buddha. Oleh karena itu Sangha menjadi golongan ketiga yang patut dihormati dalam Buddhisme. Dengan demikian, mengucapkan Namak āra pāṭhaadalah penanda yang merupakan petanda rasa syukur dan menghormati ketiga golongan yang sangat dihormati dalam Buddhisme yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha menurut teori semiotik Barthes.

5.2.1.2 Makna tahap awal Namak

āra Posisi tahap awal Namak āra adalah dengan berlutut, tangan dibuka selebar bahu, dan kedua telapak tangan yang dipertemukan atau tiratana diletakkan di depan dahi. Posisi tersebut divisualisasikan seperti pada gambar 5.6 di bawah. Gambar 5.6 Posisi tahap awal Namak āra Sumber:dokumentasi Camelia:2015 Berdasarkan teori Barthes, posisis tahap awal Namak āra adalah penanda yang merupakan petanda bahwa seorang penganut Buddhisme menjunjung tinggi ketiga golongan yang patut dihormati yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha. Posisi tahap awal Namak ārajuga menjadi petanda bahwa seorang penganut Buddhisme menerima berkah yang diberikan ketiga golongan tersebut. Dengan demikian, posisi tahap awal Namak āra adalah penanda yang merupaan petanda seorang penganut Buddhisme menjunjung tinggi Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta menerima berkah ayang diberikan oleh mereka menurut teori semiotik Barthes.

5.2.1.3 Makna tahap akhir Namak

āra Posisi tahap akhir Namak āra adalah dengan posisi bersujud yaitu kedua lutut menyentuh lantai, tangan dibuka selebar bahu, kedua telapak tangan dan dahi menyentuh lantai. Posisi tersebut divisualisasikan seperti pada gambar 5.7 di bawah Gambar 5.7 Posisi tahap akhir Namak āra sumber: dokumentasi Camelia:2015 Berdasarkan teori Barthes, posisi bersujud dengan kedua lutut, kedua telapak tangan, dan dahi menyentuh lantai adalah penanda lima titik penting dalam Buddhisme. Kelima titik tersebut menandakan tubuh, ucapan, pikiran, dan kualitas, dan aktivitas sang Buddha. Melakukan posisi sujud tersebut, juga berarti petanda penghapusan kelima racun dalam diri yaitu keinginan, kebencian, kebodohan, keserakhan, dan iri hati, seperti sifat luhur sang Buddha yang bersih dari kelima racun tersebut. Dengan demikian, posisi tahap akhir Namak āra adalah penanda yang merupakan petanda penghapusan kelima racun dalam diri yaitu keinginan, kebencian, kebodohan, keserakahan, dan iri hati menurut teori semiotik Barthes.

5.2.2 Makna Pembacaan Pa

ṭṭhāna Pa ṭṭhāna merupakan kitab yang menjelaskan secara rinci tentang ke-24 kondisi hubungan sebab-akibat antara batin dan jasmani dalam kehidupan. Ke- 24 kondisi yang dijelaskan dalam Pa ṭṭhāna keseluruhannya berkaitan satu sama lain. Pengertian kondisi dalam Pa ṭṭhāna adalah keadaan atau siklus perputaran sebab-akibat yang berkaitan antara jasmani dan batin dari masa lampau, masa sekarang, hingga masa depan yang mengakibatkan kelahiran kembali atau reinkarnasi. Berdasarkan teori Barthes, melakukan pembacaan Pa ṭṭhānaadalah penanda yang merupakan petanda bahwa seorang yogi atau yogini belajar memahami siklus perputaran kehidupan yang berkaitan antara jasmani dan batin yang mengakibatkan kelahiran kembali atau reinkarnasi. Pada kitab Pa ṭṭhānadibahas mengenai kondisi atau keadaan yang berputar antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Seseorang terlahir menjadi manusia karena ia mengalami reinkarnasi. Hal tersebut berarti pada keadaan masa lampau, belum berhasil mencapai nibbana atau kelenyapan. Terlahir sebagai seorang manusia, seseorang pasti membawa enam akar dalam dirinya yaitu lobha keserakahan, dosa kemarahan, moha ketidaktahuan, alobha ketidakserakahan, adosa ketidakmarahan, dan amoha pengetahuan. Keenam akar inilah yang nantinya akan berkembang dan menyokong citta kesadaran dan cetasika faktor-faktor mental dalam kehidupan. Kondisi tersebut disebut dengan kondisi akar. Berawal dari kondisi akar tersebut, selanjutnya seorang manusia akan mengalami kondisi-kondisi lain dalam perputaran siklus kehidupan seperti yang dibahas dalam kitab Pa ṭṭhāna. Masa transisi dari kegagalan pencapaian nibbana pada kehidupan sebelumnya hingga muncul kelahiran kembali disebut dengan masa lampau. Masa ketika seirang manusia masih hidup disebut dengan masa sekarang. Kehidupan baru setelah kematian tersebutadalah masa depan. Dengan demikian, pembacaan Pa ṭṭhāna adalah penanda yang merupakan petanda pemahaman mengenai ke-24 kondisi antara batin dan jasmani yang menjadi siklus perputaran masa lampau, masa sekarang, dan masa depan yang mengakibatkan reinkarnasi menurut teori semiotik Barthes.

5.2.3 Makna Meditasi Samathadengan objek

Ānāpānasati Penulis membagi makna meditasi samatha dengan objek Ānāpānasatikepada dua bagian, yaitu makna posisi lotus atau teratai, dan makna melakukan meditasi Ānāpānasati. Pembagian berdasarkan penanda dan petanda yang berbeda pada kedua bagian meditasi samatha dengan objek Ānāpānasatitersebut ditinjau menurut teori semiotik Barthes. 5.2.3.1 Makna Posisi lotus atau teratai Sebelum melakukan meditasi samatha dengan subjek Ānāpānasati, seorang yogi atau yogini terlebih dahulu memulai dengan posisi duduk. Terdapat posisi duduk ketika melakukan meditasi Ānāpānasati, yaitu dengan duduk bersila diatas matras duduk dengan posisi lotus atau teratai. Posisi lotus yaitu Kaki kanan diletakkan diatas kaki kiri, kedua tangan diletakkan di atas paha dengan posisi telapak tangan kanan menghadap ke atas dan telapak tangan kiri berada di bawahnya. Posisi tubuh tegak namun tetap rileks, dan menutup mata. Apabila seorang yogi atau yogini merasa lelah atau kurang nyaman, dapat mengganti posisi duduk dengan perlahan-lahan tanpa menimbulkan kebisingan dan mengganggu konsentrasi. Posisi lotus saat melakukan meditasi ānāpānasati diilustrasikan seperti pada gambar 5.8 di bawah. Gambar 5.8 Posisi lotus atau teratai sumber: http:susanshancyu.blogspot.co.id201207meditasi-anapanasati.html Berdasarkan teori Barthes, duduk dengan posisi lotus adalah penanda yang merupakan petanda lotus atau bunga teratai. Bunga teratai adalah petanda dari kesempurnaan ajaran yang diajarkan sang Buddha. Bunga teratai adalah lambang kesempurnaan dalam Buddhisme. Teratai dapat tumbuh keatas meskipun akarnya berada dibawah lumpur. Hal tersebut merupakan petanda pencerahan spiritual. Meskipun akarnya berada di dalam lumpur, teratai tumbuh ke atas dan naik menuju cahaya, ibarat perjalanan dari kegelapan menuju terang yang penuh dengana pengetahuan dan kebijaksanaan. Tangan kanan melambangkan nibbbana sedangkan tangan kiri melambangkan samsara atau siklus perputaran kehidupan. Telapak tangan kanan yang diletakkan di atas adalah penanda yang merupakan petanda bahwa nibbana adalah jalan tertinggi atau pencapaian tertinggi dalam Buddhisme. Telapak tangan kiri yanag diletakkan di bawah adalah penanda yang merupakan petanda samsara atau siklus perputaran kehidupan yang terus menerus berlangsung dapat dihentikan dengan tercapainya nibbana. Dengan demikian, duduk dengan posisi lotus atau terartai adalah penanda yang merupakan petanda kesempurnaan ajaran sang Buddha yaitu dapat mencapai pencerahan meskipun menghadapi segala bentuk kekotoran batin menurut teori semiotik Barthes. 5.2.3.2 Makna melakukan meditasi Ānāpānasati Meditasi Ānāpānasati adalah meditasi perhatian penuh pada nafas.Objek yang difokuskan dalam meditasi Ānāpānasatiadalah nafas, sehingga seorang yogi atau yogini hanya boleh berkonsentrasi pada nafas tanpa memikirkan hal apapun. Tujuannya adalah agar konsentrasi tidak terpecah dan lama kelamaan dapat memasuki jhana atau arus mental. Jhana memiliki empat tingkatan, jika telah sampai pada jhana tingkat keempat, maka akan timbul kebijaksanaan atau panna. Tercapainya panna merupakan tanda akan tercapainya nibbana dan pemutusan reinkarnasi. Berdasarkan teori barthes, melakukan meditasi Ānāpānasati atau perhatian penuh pada nafas adalah penanda yang merupakan petanda bahwa kesadaran dapat dikendalikan dengan menyadari nafas, sehingga lama kelamaan pikiran akan dapat dengan mudah fokus atau berkonsentrasi pada suatu objek saja, yaitu nafas. Menyadari nafas dan tidak memikirkan hal apapun selain nafas, berarti seseorang telah mampu mengendalikan kesadarannya secara penuh. Meditasi Ānāpānasatiadalah salah satu dari ketiga jalan menuju nibbana. Melakukan meditasi Ānāpānasati berarti seorang yogi atau yogini berusaha mencapai nibbana dengan mengendalikan kesadarannya secara penuh terhadap nafas. Apabila seseorang telah mampu mengendalikan kesadarannya secara penuh, otomatis batinnya akan mendapatkan ketenangan. Batin yang tenang akan menjauhkan seorang yogi atau yogini dari segala bentuk kekotoran batin seperti kebencian, keserakahan, dan lain sebagainya. Memasuki jhana, berarti seorang yogi atau yogini telah benar benar berkonsentrasi penuh dan memasuki arus mental atau kesadarannya. Memasuki jhana tingkat pertama, seorang yogi atau yogini telah mampu melihat cahaya yang statis dan tidak bergerak-gerak ketika melakukan meditasi Ānāpānasati, cahaya merupakan tanda memasuki jhana atau yang disebut dengan nimitta. Hal tersebut merupakan pertanda bahwa seorang yogi atau yogini telah memasuki kesadaran awalnya. Hal tersebut berlangsung hingga memasuki jhana tingkat keempat. Memasuki jhana tingkat keempat, seorang yogi atau yogini telah dapat melihat nafasnya sebagai suatu objek yang jelas bentuknya, warnanya, serta sifatnya ketika melakukan meditasi Ānāpānasati. Dengan keadaan tersbut, seorang yogi atau yogini telah benar benar dapat memasuki kesadarannya secara penuh dan tidak akan terpengaruh dengan gangguan-gangguan batin yang dapat merusak konsentrasi. Tercapainya kesadaran manunggal, adalah tanda munculnya panna atau kebijaksanaan. Kesadaran manunggal artinya kesadaran yang telah benar benar dapat dimasuki secara penuh, kesadaran hanya pada satu objek saja tanpa terpecah dan terbagi pada objek lain. Kebijaksanaan yang dimaksud adalah mengetahui apa saja bentuk kekotoran batin dan bagaimana cara menghilangkannya serta bersumber darimana kekotoran batin tersebut. Seorang yogi atau yogini yang telah memiliki kebijkasanaan atau panna, tentu telah dapat dikatakan mencapai arahat atau kesucian. Ketika telah menjadi arahat, maka pada saat meninggal seseorang telah dapat dikatakan mencapai nibbana dan memutuskan reinkarnasi. Dengan demikian, melakukan meditasi Ānāpānasatiatau perhatian penuh pada nafas adalah penanda. Petanda bahwa kesadaran dapat dikendalikan dengan menyadari nafas, sehingga lama kelamaan pikiran akan dengan mudah fokus hanya pada satu objek saja, dan mencapai kesadaran manunggal. Tercapainya kesadaran manunngal menimbulkan panna atau kebijaksanaan yang menjadikan seorang yogi atau yogini mencapai arahat atau kesucian. Menjadi arahat, petanda bahwa seorang akan mencapai nibbana ketika ia wafat dan tidak akan terlahir kembali atau bereinkarnasi.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Fungsi dari meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan dibagi kepada tiga bagian berdasarkan isi dan kondisi yaitu fungsi Namak āra , fungsi pembacaan Pa ṭṭhāna , dan fungsi meditasi samatha dengan objek ānāpānasati. Ketiga fungsi tersbut ditinjau berdasarkan teori fungsionalisme Malinowski. Fungsi Namak āraberada pada tingkatan abstraksi pertama . Namak āra dianggap sebagai suatu bentuk pranata sosial yang berpengaruh dalam perilaku seorang penganut Buddhisme. Fungsi pembacaan Pa ṭṭhānaberada pada tingkatan abstraksi kedua. Pengertian yang dikonsepsikan oleh warga dan masyarakat bersangkutan pada pembacaan Pa ṭṭhāna adalah bertujuan untuk meminimalisir gangguan-gangguan yang akan dihadapi ketika melakukan meditasi ānāpānasati.Fungsi meditasi ānāpānasatiberada pada tingkatan abstraksi ketiga. Meditasi Ānāpānasati sebagai suatu bentuk pranata sosial dilakukan dengan tujuan mutlak bagi setiap penganut Buddhisme, yaitu agar mencapai nibbana. Makna dari meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan dibagi kepada tiga bagian berdasarkan isi dan kondisi, yaitu makna Namak āra, makna pembacaan Paṭṭhāna, dan makna meditasi samatha dengan objek ānāpānasati. Ketiga makna tersebut ditinjau berdasarkan teori semiotik Barthes. Penulis kemudian membagi lagi makna Namak ārakepada tiga bagian dan makna meditasi samatha dengan objek ānāpānasati kepada dua bagian berdasarkan perbedaan penanda dan petanda. Serangkaian posisi dan ketiga kalimat yang diucapkan pada Namak āra p āṭha dan Namakāra adalah penanda. Petanda memposisikan diri berada di bawah ketiga golongan yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha serta selalu menempatkan mereka dalam hati. Selain itu mereka dijunjung tinggi dan dijadikan panutan karena memberi berkah. . Pembacaan Pa ṭṭhānaadalah penanda. Petanda yogi atau yogini belajar memahami tentang hubungan sebab akibat antara batin dan jasmani dari masa lampau, masa sekarang, hingga masaa depan yang mengakibatkan kelahiran kembali atau reinkarnasi. Posisi lotus atau teratai, adalah penanda. Petanda kesempurnaan ajaran sang Buddha yaitu dapat mencapai pencerahan meskipun menghadapi segala bentuk kekkotoran batin ibarat bunga teratai. Meditasi Ānāpānasati adalah penanda. Petanda menyadari nafas dan memasuki kesadaran sendiri. Menyadari nafas lama kelamaan akan menumbuhkan kesadaran pikiran hingga tercipta kesadaran manunggal yang pada akhirnya akan menjadikan seorang penganut Buddhisme lebih dekat kepada pencapaian nibbana.

6.2. Saran