Teknik Pengolahan Data Sejarah Masuknya Masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia Perkembangan Masyarakat Tionghoa di Medan

3.5 Teknik Pengolahan Data

1. Semua data yang bersumber dari kepustakaan serta lapangan dikumpulkan menjadi satu. 2. Data disusun dan diklasifikasikan berdasarkan konsep atau struktur yang telah ditentukan penulis. 3. Data dibagi berdasarkan berbagai fungsi dan makna meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha Theravada

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, maka teknik analisis yang dilakukan berhubungan dengan fungsi dan makna meditasi pada kebaktian keagamaan Buddha bagi masyarakat Tionghoa di Medan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1. Setelah data sekunder dan primer diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan penelitian, maka dilakukan analisis dengan menggunakan teori fungsionalisme menurut Bronislaw Malinowski dan teori semiotik menurut Roland Barthes. 2. Menganalisa fungsi dan makna dari tiap tahapan meditasi pada kebaktian kegamaan Buddha.

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

4.1 Sejarah Masuknya Masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia

Masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak berasal dari satu daerah di daratan Cina, tetapi terdiri beberapa suku yang berasal dari 2 daerah yaitu Fujian dan GuangDong. Hal ini dapat terlihat dari bahasa setiap suku tersebut, Hokkian, Tiociu, Hakka dan Kanton. Setiap bahasa tidak dapat dimengerti oleh pemilik bahasa yang lain. Menurut Koentjaraningrat, 2004 : 353, “…Imigrasi Tionghoa yang terbesar ke Indonesia dimulai pada abad ke-16 sampai pada pertengahan abad ke-19”. Asal suku bangsa Hokkian berasal dari provinsi Fujian Selatan, daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan Cina ke Indonesia. Bangsa Hokkian merupakan suku yang sangat ulet dan rajin dalam berdagang. Imigran Tionghoa yang lain adalah Tiociu yang berasal dari Pantai Selatan Cina di daerah pedalaman bagian Timur Provinsi GuangDong, dan Hakka yang berasal dari pedalaman gunung-gunung tandus di GuangDong. Tiociu dan Hakka banyak yang menjadi kuli perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka dan Belitung. Koentjaraningrat, 2004 :354, menyatakan bahwa “…Di sebelah Barat dan Selatan daerah asal orang Hakka terdapat orang Kanton atau disebut Konghu, seperti orang Hakka, masyarakat Kanton juga dikenal sebagai kuli pertambangan, namun juga dikenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko besi dan industri kecil di Indonesia”. Saat ini keempat suku tersebut telah tersebar ke seluruh Indonesia termasuk di kota Medan yang terkenal dalam sektor perdagangan dan perkebunan sejak abad ke-19.

4.2 Perkembangan Masyarakat Tionghoa di Medan

Kota Medan merupakan kota yang berkembang berkat Sumber Daya Alam perkebunannya sejak abad ke-19, namun terdapat bukti sejarah yang menunjukkan aktivitas masyarakat Tionghoa di Medan sejak abad ke-7. Di Belawan dekat Labuhan Deli, jejak sejarah masyarakat Tionghoa terdapat di sebuah kampung yang bernama Kotacina yang menjadi salah satu bandar penting kerajaan Haru. Antara kampung sungai Deli dengan sungai BuluhCina, juga ditemukan barang-barang peninggalan Tionghoa yang jumlahnya lebih banyak dan variatif. Arca Buddha dan Syiwa ditemukan dalam berbagai ukuran, inskripsi, pecahan dan tembikar utuh dan berbagai artefak Tionghoa lainnya.Benda peninggalan artefak Tionghoa ini ditemukan di kedalaman 1 meter di bawah permukaan tanah. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Tionghoa telah melakukan kegiatan perdagangan dan berbaur dengan masyarakat pribumi di kota Medan pada abad ke-7 Masehi. Menurut Sinar, 2001 : 5, “…Keberadaan Masyarakat Tionghoa di Medan disandarkan kepada penemuan benda-benda arkeologis, disebutkan Masyarakat Tionghoa sudah membangun pemukiman sendiri di sekitar Labuhan Deli dan Deli Tua, Pusat Kerajaan Haru.”. Kerajaan Haru merupakan kerajaan yang terdapat di Tanah Karo Simalem dan dihuni oleh suku Batak Karo dari marga Karo-Karo. Dua lokasi tersebut, ditemukan piring porselen dan mata uang Cina kuno yang berangka tahun 756 Masehi. Berita mengenai Masyarakat Tionghoa di Labuhan Deli telah diketahui melalui catatan John Anderson, yang melawat ke Sumatera Timur tahun 1823. Dalam bukunya, Mission in East Coast of Sumatra in 1823 1826, Anderson menyebut sudah ada komunitas Tionghoa di Labuhan Deli. Mereka adalah 20 pedagang Tionghoa dari Semenanjung yang menetap dan membuka kedai-kedai di Labuhan. Meskipun jumlahnya sedikit, masyarakat Tionghoa di Labuhan Deli menguasai perdagangan dan mengendalikan kegiatan ekspor dan impor di Selat Malaka. Seiring berkembangnya perdagangan di Semenanjung Labuhan, orang- orang Tionghoa semakin memegang peranan yang besar terhadap ekonomi di Semenanjung, hingga dianggap sebagai mitra niaga para sultan. Oleh sebab itu, hampir di setiap kerajaan masyarakat Tionghoa diberi izin menetap dan secara khusus bekerja untuk sultan. Menurut Pelzer 1985 : 29 “…Di Bandar Asahan, pemukim Cina diberi wewenang untuk mengutip cukai di pelabuhan, menanam dan menjual candu, serta menyelenggarakan perjudian.” Bagi para sultan bekerjasama dengan Cina berarti mendatangkan keuntungan. Muncul pemeo “Bertambahnya unsur Cina berarti meluasnya kemakmuran”. Hal ini dapat dilihat dari Sultan Deli yang sangat mempercayai etnis Tionghoa dalam melakuka berbagai aktivitas. Hamdani 2012 : 28 menyatakan bahwa “…memberikan izin menetap sementara dan membuka kedai pada orang-Masyarakat Tionghoa yang berdagang di Labuhan. Selama itu juga Sultan Deli memperoleh cukai ekspor impor berbagai komoditas, serta penjualan hasil kebun lada, kelapa dan daun tembakau milik Sultan”. Selain pedagang banyak masyarakat Tionghoa yang bekerja dalam perkebunan dan pertukangan di kota Medan. Hamdani 2012 : 27 menyatakan bahwa “…Pada tahun 1920-an masyarakat Tionghoa berbondong-bondong datang dan bermukim di pantai timur Sumatera. Mereka datang karena adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh, serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat”. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang susah, namun karena etos kerja yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti kehidupan berubah menjadi pedagang yang sangat sukses. Mereka memperluas jenis usaha demi meningkatkan taraf hidup mereka, hingga dapat terus bertahan sampai saat ini. Dapat dikatakan masyarakat Tionghoa merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi di Kota Medan .

4.3 Sistem Mata Pencaharian