Analisis hubungan inflasi dan pengangguran di indonesia periode 1985-2008: pendekatan kurva phillips

(1)

ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN

DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:

PENDEKATAN KURVA PHILIPS

Oleh: SRI MULYATI

H14050975

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

RINGKASAN

SRI MULYATI. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI)

Teori kurva Phillips menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran. Penerapan teori kurva Phillips ini di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran.

Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3,3 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8,09 persen. Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Rata-rata tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985-1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7,9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58,3 persen dan setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia melalui pendekatan kurva Phillips mulai dari tahun 1985 hingga tahun 2008. Penelitian ini menggunakan metode regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 dengan menggunakan Chow Breakpoint Test.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien inflasi yang positif dan tidak signifikan. Jumlah angkatan kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 7.79 persen dari jumlah pengangguran sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Tingkat pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran saat ini. Jika tingkat pengangguran tahun lalu meningkat sebesar 1 persen, maka tingkat pengangguran tahun sekarang bertambah 0.57 persen dari jumlah tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus.

Uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas antara pengangguran dan inflasi. Selain itu, Uji Chow breakpoint menunjukkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 tidak berpengaruh pada tingkat pengangguran walaupun tingkat inflasi meningkat tajam. Hal ini juga dapat diamati dari tren tingkat pengangguran yang cenderung positif baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi 1997-1998. Selain itu, keberadaan sektor


(3)

pertanian dan sektor informal yang menyerap tenaga kerja saat krisis membuat tingkat pengangguran tidak meningkat tajam setajam peningkatan inflasi.

Pengangguran dan inflasi yang tidak memiliki hubungan kausalitas ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan inflation targeting tidak memberikan trade off pada RAPBN 2009. Selain itu, pemerintah perlu memperlambat laju pertumbuhan penduduk salah satunya dengan cara menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) karena hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja berpengaruh terhadap naiknya tingkat pengangguran. Peningkatan sektor-sektor potensial seperti misalnya sektor pertanian dan peningkatan infrastruktur yang bersifat padat karya perlu dikembangkan karena mampu mengurangi jumlah pengangguran.

Pengangguran sebaiknya tidak digunakan sebagai satu-satunya indikator untuk melihat dinamika pasar tenaga kerja karena pengangguran di Indonesia yang bersifat persisten. Penelitian selanjutnya dianjurkan untuk memperhitungkan penentuan tingkat pengangguran alamiah dan ekspektasi rasional dalam mencari hubungan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia


(4)

ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN

DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:

PENDEKATAN KURVA PHILLIPS

Oleh: SRI MULYATI

H14050975

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Sri Mulyati

Nomor Registrasi Pokok : H14050975 Departemen/Mayor : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Tanti Novianti, SP, M.Si. NIP. 19721117 199802 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 19641023 198903 2 002


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

Sri Mulyati H14050975


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sri Mulyati lahir pada tanggal 9 Januari 1988 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih. Penulis memulai sekolah pendidikan di SDN Balonggandu 3 pada tahun 1993. Pendidikan formal kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Jatisari dan SMA Negeri 1 Cikampek. Kemudian, penulis melanjutkan studi pada tahun 2005 di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama kuliah penulis memperoleh berbagai prestasi baik di bidang akademis maupun non akademis. Beberapa prestasi akademis yang pernah diraih adalah menjadi peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi tahun 2008, peringkat 1 Young Economist Icon Hipotex-R 2008, dan merupakan

peraih beasiswa Women‟s International Club (WIC Scholarship). Penulis juga aktif mengajar dan merupakan Asisten Praktikum Ekonomi Umum, Makroekonomi 1, dan Mikroekonomi 1. Prestasi non akademis yang pernah diraih adalah Juara 3 Teater Monolog Art IPB Day’s 2007, Best Script Writer Film Independen Art IPB Day’s, danJuara 2 Tulis Cerpen Sportakuler 2007. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai organisasi kampus sebagai Ketua Divisi Research dan Development HIPOTESA 2008 dan Ketua FEMous Theatre FEM IPB 2008.


(8)

Untuk seorang Ayah pekerja keras…

Untuk seorang Ibu penuh kasih sayang…

Menyertakan setiap ketulusan dan kebanggaan…


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini

adalah “Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode

1985 2008 : Pendekatan Kurva Phillips”. Skripsi ini merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Tanti Novianti, SP, MSi sebagai Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar dan baik memberikan bimbingan baik secara materi maupun moril.

2. M.P. Hutagaol, Ph.D sebagai Dosen Penguji Utama, serta Jaenal Effendi, MA sebagai Dosen Penguji Komdik yang telah memberikan berbagai masukan dan saran dalam perbaikan skripsi ini.

3. H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih sebagai orang tua serta seluruh keluarga penulis atas kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga bagi penulis.

4. Kakak kelas dan semua staf Dept. Ilmu Ekonomi: teh Dian V., teh Heni, Teh Diyaniati, Teh Lea, A Dado, dan A Irwan, A Heri, Bu Astrid, Bu Tini, Mbak Ati, Mas Anto, Mas Dede, Mas Ryan, dan Mas Anwar.

5. Keluarga „kedua‟: Rizki Wijaya, Tia, Sahata, Erwin, Yuda, Ilham, Wahyu, Maria, Aji, Ema, Rini, Tami, Tanjung, Merlynda, Ristia, Rian, Niar, Salam dan semua sahabat IE 42, Hipotesa 2008 dan FEMous Theatre.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Sri Mulyati H14050975


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 8

2.1. Pengangguran ... 8

2.2. Inflasi ... 9

2.3. Kurva Phillips ... 12

2.4. Inflation Targeting Framework ... 14

2.5. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ... 16

2.6. Penelitian Terdahulu ... 18

2.7. Kerangka Pemikiran ... 19

2.8. Hipotesis Penelitian ... 21

III. METODE PENELITIAN ... 22

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 22

3.2. Metode Analisis ... 22

3.2.1. Ordinary Least Square (OLS) ... 22

3.2.2. Uji Asumsi OLS ... 24

3.2.3. Uji Stabilitas Parameter ... 29

3.2.4. Uji Kausalitas Granger ... 30

IV. GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA ... 32

4.1. Gambaran Pengangguran di Indonesia ... 32


(11)

ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN

DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:

PENDEKATAN KURVA PHILIPS

Oleh: SRI MULYATI

H14050975

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

RINGKASAN

SRI MULYATI. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI)

Teori kurva Phillips menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran. Penerapan teori kurva Phillips ini di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran.

Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3,3 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8,09 persen. Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Rata-rata tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985-1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7,9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58,3 persen dan setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia melalui pendekatan kurva Phillips mulai dari tahun 1985 hingga tahun 2008. Penelitian ini menggunakan metode regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 dengan menggunakan Chow Breakpoint Test.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien inflasi yang positif dan tidak signifikan. Jumlah angkatan kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 7.79 persen dari jumlah pengangguran sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Tingkat pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran saat ini. Jika tingkat pengangguran tahun lalu meningkat sebesar 1 persen, maka tingkat pengangguran tahun sekarang bertambah 0.57 persen dari jumlah tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus.

Uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas antara pengangguran dan inflasi. Selain itu, Uji Chow breakpoint menunjukkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 tidak berpengaruh pada tingkat pengangguran walaupun tingkat inflasi meningkat tajam. Hal ini juga dapat diamati dari tren tingkat pengangguran yang cenderung positif baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi 1997-1998. Selain itu, keberadaan sektor


(13)

pertanian dan sektor informal yang menyerap tenaga kerja saat krisis membuat tingkat pengangguran tidak meningkat tajam setajam peningkatan inflasi.

Pengangguran dan inflasi yang tidak memiliki hubungan kausalitas ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan inflation targeting tidak memberikan trade off pada RAPBN 2009. Selain itu, pemerintah perlu memperlambat laju pertumbuhan penduduk salah satunya dengan cara menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) karena hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja berpengaruh terhadap naiknya tingkat pengangguran. Peningkatan sektor-sektor potensial seperti misalnya sektor pertanian dan peningkatan infrastruktur yang bersifat padat karya perlu dikembangkan karena mampu mengurangi jumlah pengangguran.

Pengangguran sebaiknya tidak digunakan sebagai satu-satunya indikator untuk melihat dinamika pasar tenaga kerja karena pengangguran di Indonesia yang bersifat persisten. Penelitian selanjutnya dianjurkan untuk memperhitungkan penentuan tingkat pengangguran alamiah dan ekspektasi rasional dalam mencari hubungan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia


(14)

ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN

DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:

PENDEKATAN KURVA PHILLIPS

Oleh: SRI MULYATI

H14050975

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Sri Mulyati

Nomor Registrasi Pokok : H14050975 Departemen/Mayor : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Tanti Novianti, SP, M.Si. NIP. 19721117 199802 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 19641023 198903 2 002


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

Sri Mulyati H14050975


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sri Mulyati lahir pada tanggal 9 Januari 1988 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih. Penulis memulai sekolah pendidikan di SDN Balonggandu 3 pada tahun 1993. Pendidikan formal kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Jatisari dan SMA Negeri 1 Cikampek. Kemudian, penulis melanjutkan studi pada tahun 2005 di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama kuliah penulis memperoleh berbagai prestasi baik di bidang akademis maupun non akademis. Beberapa prestasi akademis yang pernah diraih adalah menjadi peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi tahun 2008, peringkat 1 Young Economist Icon Hipotex-R 2008, dan merupakan

peraih beasiswa Women‟s International Club (WIC Scholarship). Penulis juga aktif mengajar dan merupakan Asisten Praktikum Ekonomi Umum, Makroekonomi 1, dan Mikroekonomi 1. Prestasi non akademis yang pernah diraih adalah Juara 3 Teater Monolog Art IPB Day’s 2007, Best Script Writer Film Independen Art IPB Day’s, danJuara 2 Tulis Cerpen Sportakuler 2007. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai organisasi kampus sebagai Ketua Divisi Research dan Development HIPOTESA 2008 dan Ketua FEMous Theatre FEM IPB 2008.


(18)

Untuk seorang Ayah pekerja keras…

Untuk seorang Ibu penuh kasih sayang…

Menyertakan setiap ketulusan dan kebanggaan…


(19)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini

adalah “Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode

1985 2008 : Pendekatan Kurva Phillips”. Skripsi ini merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Tanti Novianti, SP, MSi sebagai Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar dan baik memberikan bimbingan baik secara materi maupun moril.

2. M.P. Hutagaol, Ph.D sebagai Dosen Penguji Utama, serta Jaenal Effendi, MA sebagai Dosen Penguji Komdik yang telah memberikan berbagai masukan dan saran dalam perbaikan skripsi ini.

3. H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih sebagai orang tua serta seluruh keluarga penulis atas kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga bagi penulis.

4. Kakak kelas dan semua staf Dept. Ilmu Ekonomi: teh Dian V., teh Heni, Teh Diyaniati, Teh Lea, A Dado, dan A Irwan, A Heri, Bu Astrid, Bu Tini, Mbak Ati, Mas Anto, Mas Dede, Mas Ryan, dan Mas Anwar.

5. Keluarga „kedua‟: Rizki Wijaya, Tia, Sahata, Erwin, Yuda, Ilham, Wahyu, Maria, Aji, Ema, Rini, Tami, Tanjung, Merlynda, Ristia, Rian, Niar, Salam dan semua sahabat IE 42, Hipotesa 2008 dan FEMous Theatre.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Sri Mulyati H14050975


(20)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 8

2.1. Pengangguran ... 8

2.2. Inflasi ... 9

2.3. Kurva Phillips ... 12

2.4. Inflation Targeting Framework ... 14

2.5. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ... 16

2.6. Penelitian Terdahulu ... 18

2.7. Kerangka Pemikiran ... 19

2.8. Hipotesis Penelitian ... 21

III. METODE PENELITIAN ... 22

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 22

3.2. Metode Analisis ... 22

3.2.1. Ordinary Least Square (OLS) ... 22

3.2.2. Uji Asumsi OLS ... 24

3.2.3. Uji Stabilitas Parameter ... 29

3.2.4. Uji Kausalitas Granger ... 30

IV. GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA ... 32

4.1. Gambaran Pengangguran di Indonesia ... 32


(21)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1.Uji Ekonometrika dengan OLS ... 38

5.1.1. Hasil Estimasi dan Pembahasan ... 36

5.1.2. Uji Asumsi OLS ... 39

5.1.3. Uji Stabilitas Parameter ... 43

5.1.4. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) ... 44

5.2. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia ... 44

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

6.1. Kesimpulan ... 52

6.2. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

4.1. Pengangguran dan Rata-rata Pertumbuhan Periode Sebelum dan

Sesudah Krisis ... 33 5.1. Hasil Regresi Model ... 38 5.2. Uji Heteroskedastisitas ... 40 5.3. Uji Autokorelasi ... 40 5.4. Matriks Korelasi ... 41 5.5. Hasil Uji Klein ... 42 5.6. Uji Bias Spesifikasi Model ... 42 5.7. Hasil Uji Stabilitas Parameter ... 43 5.8. Hasil Uji Kausalitas Granger ... 44


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Tingkat Pengangguran di Indonesia ... 2 1.2. Inflation Targeting di Indonesia... 4 1.3. Inflasi dan Tingkat Pengangguran di Indonesia ... 6 2.1. Cost Push Inflation ... 10 2.2. Demand Pull Inflation ... 11 2.3. Kurva Phillips ... 13 2.4. Bagan Kerangka Pemikiran... 18 4.1. Pekerja Berdasarkan Sektor dalam Persen (2004-2008) ... 34 4.2. Perkembangan Inflasi 1985-2008 ... 36 5.1. Hasil Uji Normalitas ... 41 5.2. Sebaran Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia 1985-2008 ... 45


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Variabel yang Digunakan ... 57 2. Hasil Regresi Model ... 59 3. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 59 4. Hasil Uji Autokorelasi ... 61 5. Hasil Uji Normalitas ... 61 6. Hasil Uji Multikolinearitas ... 62 7. Hasil Uji Klein ... 62 8. Hasil Uji Ramsey RESET ... 64 9. Hasil Uji Chow Breakpoint ... 65 10.Hasil Uji Granger Causality ... 65


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penggangguran merupakan masalah yang cukup fundamental dalam perekonomian suatu negara, baik negara berkembang atau negara maju sekalipun. Ketika krisis global yang melanda sejak awal 2008, negara adidaya seperti Amerika Serikat menghadapi kesulitan dalam mengatasi pengangguran akibat resesi ekonomi terutama dari sektor-sektor industri utama. Menurut data yang diperoleh dari Bureau of Labor Statistics USA (2009), hingga Juli 2009 pengangguran di Amerika Serikat telah mencapai 14.5 juta jiwa dengan tingkat pengangguran sebesar 9.4 persen dan diduga akan terus meningkat.

Pada saat terjadi depresi ekonomi Amerika Serikat tahun 1929, terjadi inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula. Berdasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Inggris. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan Kurva Phillips.

Penerapan teori kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran.


(26)

Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009 memiliki tujuan salah satunya adalah meningkatkan penyerapan tenaga kerja atau pengurangan tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8.09 persen (ILO, 2009). Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya.

Sumber: ILO, 2009 (diolah)

Gambar 1.1. Tingkat Pengangguran di Indonesia 1985-2008 (persen)

Sementara apabila dilihat dari jumlah pengangguran dan angkatan kerja, jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa dari 112 juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan kerja. Selain itu, angka pengangguran di Indonesia adalah terbesar di ASEAN, yakni menyumbang 60 persen dari total pengangguran di ASEAN (Menkokesra, 2007)

0 2 4 6 8 10 12


(27)

Tingkat pengangguran yang cenderung meningkat sewajarnya perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari para pengambil kebijakan, karena masalah pengangguran ini merupakan masalah fundamental yang cukup serius bagi perekonomian baik dari segi makro maupun mikro. Terlebih lagi dengan adanya krisis finansial global sejak awal 2008 yang dapat mengakibatkan kenaikan jumlah pengangguran terutama di sektor industri manufaktur dan perdagangan orientasi ekspor.

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries".

Sumber: Depkeu, 2008


(28)

Pemerintah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masing-masing sebesar 8 persen, 6 persen, dan 5 persen dengan deviasi masing-masing-masing-masing 1 persen. Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3 persen agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya. Pemerintah dan Bank Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi 2008-2010 sebesar 5 persen untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4 persen (2010) dengan deviasi 1 persen. Target inflasi 2008 yakni 5 persen dengan deviasi 1 persen tersebut sesuai dengan target APBN 2008 yakni 6 persen.

Gambar 1.1. menunjukkan bahwa sejak awal ditetapkannya Inflation Targeting Framework pada tahun 2005 sebesar 6 persen dengan deviasi 1 persen, inflation targeting baru dapat berjalan secara efektif pada kuartal IV tahun 2006, yaitu sebesar 5.5 persen dengan deviasi 1 persen. Hal ini dibuktikan bahwa pada bulan Oktober 2006 tingkat inflasi mencapai 6.29 persen dan November 2006 mencapai 5.27 persen.

Dalam teori kurva Phillips, inflasi yang rendah ternyata berkontribusi terhadap tingkat pengangguran yang tinggi, dan sebaliknya. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran sesuai dengan pendekatan Kurva Phillips serta bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997 terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.


(29)

1.2. Perumusan Masalah

Penerapan teori kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Hal ini diperlukan karena adanya hubungan yang terjadi antara inflasi dan pengangguran dapat berimplikasi terhadap kebijakan yang dapat dijalankan baik oleh otoritas fiskal maupun moneter. Penerapan inflation targeting dengan tujuan pencapaian tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran. Jika hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran yang dinyatakan dalam kurva Phillips memang terjadi, adanya hubungan negative tersebut dapat menjadikan kedua kebijakan di atas tidak efektif, sehingga dampak kebijakan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Bhanthumnavin (2002) ternyata menunjukkan bahwa hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran di Thailand baru berlaku setelah terjadi krisis ekonomi 1997-1998. Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan Thailand pada masa krisis ekonomi tersebut membuat kita perlu untuk meninjau ulang pemberlakuan teori kurva Phillips di Indonesia. Dari Gambar 1.3. tampak bahwa ada kalanya kenaikan inflasi tidak mengakibatkan penurunan tingkat pengangguran. Fluktuasi ini tampak lebih nyata pada periode sesudah krisis.


(30)

Sumber: ILO (2009) dan IFS (2009), diolah

Gambar 1.3. Inflasi dan Tingkat Pengangguran di Indonesia (persen)

Dari pemaparan sebelumnya, maka dirumuskanlah beberapa permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

1) Apakah teori kurva Phillips memang berlaku di Indonesia dan bagaimana pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia?

2) Bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 terhadap tingkat pengangguran di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1) Menganalisis apakah teori kurva Phillips memang berlaku di Indonesia

dan bagaimana pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia. 2) Menganalisis bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 terhadap

tingkat pengangguran di Indonesia 0

10 20 30 40 50 60

1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

inflasi


(31)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu menambah pengetahuan mengenai teori kurva Phillips lebih dalam, terutama penerapannya terhadap Indonesia, serta pengaruh inflasi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kajian ilmiah mengenai teori kurva Phillips khususnya dan kajian teoritis lainnya. Selanjutnya, interpretasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan tambahan mengenai kebijakan makroekonomi Indonesia, terutama dalam menganalisis hubungan inflasi dan pengangguran.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Bab ini akan mencoba memberikan uraian teori-teori yang berhubungan dengan studi secara umum yang dapat memberikan pemahaman tentang hubungan pengangguran dan inflasi di Indonesia. Selain itu, ditambahkan juga beberapa kajian terdahulu, kerangka pemikiran konseptual serta hipotesis yang berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.

2.1. Pengangguran

Penduduk usia kerja adalah penduduk berusia di atas 15 tahun. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Tenaga kerja atau man power terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dari (1) golongan yang bekerja, dan (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan (Belante, 1990).

Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis adalah penganggur yang terjadi karena permintaan yang tidak memadai untuk membeli semua potensi output ekonomi, sehingga mengakibatkan senjang resesi di mana output aktual lebih kecil dari keluaran potensial. Kelompok penganggur ini juga dikatakan sebagai orang yang menganggur dengan terpaksa, dengan kata lain mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan yang mereka inginkan tidak tersedia. Pengangguran struktural mengacu pada pengangguran yang disebabkan


(33)

akibat ketidaksesuaian antar struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan strutur permintaan tenaga kerja.

Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran struktural merupakan pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan penjatahan pekerjaan. Para pekerja yang tidak dipekerjakan bukan karena mereka aktif untuk mencari pekerjaan yang cocok untuk mereka, namun pada tingkat upah yang berlaku, penawaran tenaga kerja melebihi permintaannya. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan (Lipsey, et al., 1997).

Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran akan selalu muncul dalam suatu perekonomian karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah adanya proses pencarian kerja, yaitu dibutuhkannya waktu untuk mencocokkan para pekerja dan pekerjaan. Alasan kedua adalah adanya kekakuan upah. Kekakuan upah ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya kebijakan upah minimum, daya tawar kolektif dari serikat pekerja, dan upah efisiensi.

2.2. Inflasi

Menurut Lipsey, et al. (1997), inflasi adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga. Kadang-kadang kenaikannya terus-menerus dan berkepanjangan. Menurut Friedman dalam Mishkin (2001), inflasi adalah suatu fenomena moneter yang selalu terjadi di mana pun.


(34)

Inflasi dapat terjadi melalui dua sisi yaitu dari sisi penawaran (cost-push inflation) dan sisi permintaan (demand-pull inflation). Pada Gambar 2.1. tampak bahwa inflasi dari sisi penawaran terjadi apabila terdapat penurunan penawaran terhadap barang-barang dan jasa karena adanya kenaikan dalam biaya produksi yang diakibatkan oleh keinginan meningkatnya tingkat upah riil pekerja karena adanya ekspektasi inflasi dimasa depan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan membuat produsen untuk menurunkan tingkat produksinya dibawah tingkat produksi optimal sehingga penawaran agregat menurun, maka tingkat harga dan pengangguran akan meningkat.

Sumber: Lipsey, et al. (1997)

Gambar 2.1. Cost Push Inflation

Jika pemerintah memiliki target untuk menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kegiatan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan output sampai tingkat optimal (full employment) sehingga akan meningkatkan tingkat permintaan secara agregat dan akan meningkatkan


(35)

harga, apabila proses tersebut terus menerus berlangsung dan akan mengakibatkan kenaikan dalam tingkat harga tanpa mengubah output dalam jangka panjang, maka kondisi ini disebut sebagai cost-push inflation.

Sementara itu, pada Gambar 2.2. tampak bahwa inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation) terjadi apabila secara agregat terjadi peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong produsen untuk menambah dana produksi dan menyebabkan pergeseran kurva permintaan agregat. Kondisi ini secara langsung dapat mengakibatkan inflasi karena menyebabkan naiknya harga output. Peristiwa ini dinamakan demand-pull inflation (Lipsey, et al., 1997).

Sumber: Lipsey, et al. (1997)

Gambar 2.2. Demand Pull Inflation

Pengukuran inflasi dapat dilakukan melalui pendekatan Consumer Price Index (CPI) atau dapat disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK). Menurut Lipsey, et al. (1997), CPI adalah suatu ukuran harga rata-rata berbagai komoditi


(36)

yang biasanya dibeli rumah tangga. IHK paling banyak digunakan untuk menghitung laju inflasi, termasuk Indonesia. IHK dapat digunakan untuk menghitung laju inflasi bulanan, triwulan, semesteran dan tahunan. Perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

LIt =

1 1

t t t

IHK IHK IHK

X 100 persen ...(2.1)

dimana:

LIt : Laju inflasi pada tahun atau periode t,

IHK : Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t, IHKt-1 : Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1,

Ramakrishnan dan Vamvakidis (2002) dalam penelitiannya mengenai peramalan inflasi di Indonesia, menyatakan bahwa fenomena inflasi lebih cenderung merupakan fenomena moneter dan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah nilai tukar, inflasi luar negeri dan pertumbuhan money supply.

2.3. Kurva Phillips

Pada tahun 1958, ekonom A.W. Phillips menerbitkan sebuah artikel

berjudul “The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom, 1861-1957”. Pada artikel tersebut Phillips memperlihatkan korelasi negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi (tingkat perubahan upah). Phillips memperlihatkan bahwa tahun-tahun dengan tingkat pengangguran yang rendah cenderung disertai oleh inflasi yang tinggi, dan


(37)

tahun-tahun dengan tingkat pengangguran tinggi cenderung disertai dengan inflasi yang rendah (Samuelson, 1985).

A.W. Phillips (1958) dalam Mankiw (2000) menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, maka sesuai dengan teori permintaan yaitu jika permintaan naik maka harga akan naik.

Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) maka pengangguran berkurang.

Sumber: Mankiw, 2000

Gambar 2.3. Kurva Phillips

Tiga komponen pembentuk kurva Phillips adalah: a) Ekspektasi inflasi ( e)

Pengangguran, U Inflasi,

Un n


(38)

b) Pengangguran siklis (U-Un) c) Guncangan penawaran (v)

Persamaan kurva Phillips adalah:

=

e

- (U-U

n

) + v

………(2.1)

Di mana adalah inflasi, e adalah ekspektasi inflasi, U adalah tingkat pengangguran dan Un adalah tingkat pengangguran alamiah (NAIRU – Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment). menunjukkan besarnya respon tingkat inflasi terhadap perubahan tingkat pengangguran siklis. dapat menunjukkan besarnya rasio pengorbanan (sacrifice ratio) yang terjadi. Tanda negatif sebelum parameter menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dengan tingkat pengangguran.

2.4. Inflation Targeting Framework

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijkan moneter Bank Indonesia yang tercermin pada penetapan dan pengumuman sasaran inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, penjelasan periodik kepada masyarakat mengenai pelaksanaan kebijkan moneter yang ditempuh, maupun pemberian independensi kepada Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Secara umum, kerangka kerja ini diyakini dapat membantu bank sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan berdasarkan pada proyeksi dan target inflasi tertentu ke depan (BI, 2008).


(39)

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Kebijakan ini dipilih dengan beberapa alasan yaitu (BI, 2008) :

1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a. Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat.

b. Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.

c. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.

d. Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.

e. Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.

2. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja


(40)

menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus terhadap inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).

3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi resiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi aset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro growth.

2.5. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)

Sejalan dengan tema pembangunan nasional yaitu “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan, kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2009 diarahkan kepada upaya mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi kemiskinan.


(41)

Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran indikatif penurunan tingkat pengangguran menjadi 7 persen hingga 8 persen. Tantangan yang dihadapi pada tahun 2009 dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama, penciptaan kesempatan kerja terutama lapangan kerja formal seluas-luasnya. Tantangan ini tidak mudah untuk diatasi karena beberapa tahun terakhir ini, lapangan kerja informal masih dominan dalam menyerap tenaga kerja yang jumlahnya terus meningkat. Kedua, perpindahan pekerja dari pekerjaan yang memiliki tingkat produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi. Ketiga, peningkatan kesejahteraan para pekerja informal yang mencakup 70 persen dari seluruh pekerja (Depkeu, 2009)

Untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut, Pemerintah menempuh beberapa kebijakan sebagai berikut. Pertama, menciptakan lapangan kerja formal seluasluasnya, mengingat lapangan kerja formal lebih produktif dan lebih memberikan perlindungan social kepada pekerja dibandingkan sektor informal. Dengan kualifikasi angkatan kerja yang tersedia, lapangan kerja formal yang diciptakan didorong ke arah industri padat karya, industri menengah dan kecil, serta industri yang berorientasi ekspor. Kedua, mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang berproduktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja.

Peningkatan kualifikasi dan kompetensi pekerja dapat dilaksanakan antara lain dengan pelatihan berbasis kompetensi dan pelatihan melalui pemagangan di tempat kerja. Upaya-upaya pelatihan tenaga kerja perlu terus ditingkatkan dan


(42)

disempurnakan agar peralihan tersebut dapat terjadi. Ketiga, mendorong sektor informal melalui fasilitas kredit UMKM sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja informal. Peningkatan ini dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pekerja informal dengan bekerja formal.

2.6. Penelitian Terdahulu

Bhanthumnavin (2002) menganalisis kurva Phillips untuk negara Thailand dengan metode OLS menggunakan dua definisi inflasi (kuartalan dan tahunan). Estimasinya menyatakan bahwa teori Kurva Phillips di Thailand baru berlaku setelah Krisis Asia tahun 1997. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sebelum terjadinya krisis ekonomi 1997 tidak terdapat hubungan antara inflasi dan pengangguran seperti yang diungkapkan dalam Kurva Phillips. Hubungan ini negative antara inflasi dan pengangguran ini baru tejadi setelah terjadinya krisis ekonomi 1997 yang telah memberikan guncangan struktural yang kuat terhadap kapasitas perekonomian dan sektor finansial.

Amir (2003) menganalisis pengaruh inflasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia pada periode 1980-2005 dengan mengunakan analisis grafis dan metode ANOVA. Variabel dependennya adalah tingkat pengangguran dan variabel independennya adalah inflasi. Hasilnya adalah terdapat hubungan negatif namun tidak signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran baik secara statistik maupun grafis. Hal ini diduga karena inflasi di Indonesia lebih cenderung disebabkan oleh adanya


(43)

kenaikan biaya produksi, seperti misalnya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan karena kenaikan permintaan.

Simamare (2006) menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran menggunakan aplikasi Hukum Okun. Metode yang digunakan adalah metode OLS untuk estimasi kuantitatifnya dengan pengangguran sebagai variabel dependen, pertumbuhan ekonomi dan angkatan kerja serta jumlah pengangguran periode sebelumnya sebagai variabel independen. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran sesuai dengan Hukum Okun.

Model yang digunakan Simamare (2006) kemudian digunakan untuk mengestimasi hubungan inflasi dan pengangguran di Indonesia dengan mengganti variabel pertumbuhan ekonomi dengan inflasi, mengubah jumlah pengangguran sebagai persentase, serta mengubah jumlah angkatan kerja sebagai bentuk logaritma naturalnya. Selain itu, penulis juga menggunakan analisis uji kausalitas Granger untuk melihat hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran.

2.7. Kerangka Pemikiran

Adanya kebijakan inflation targeting dengan tujuan pencapaian tingkat inflasi rendahdan RAPBN 2009 yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi tingkat pengangguran menjadi latar belakang permasalahan penelitian ini. Penerapan teori kurva Phillips digunakan untuk menganalisis hubungan inflasi dan pengangguran, yaitu pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran,


(44)

telah dilakukan banyak peneliti untuk berbagai negara. Persentase peningkatan pada inflasi seharusnya mampu mengurangi tingkat pengangguran.

Analisis yang dilakukan untuk Indonesia berdasarkan pada teori kurva Phillips dan permasalahan penelitian, yaitu bagaimana pengaruh inflasi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Pengujian secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan uji kausalitas Granger, dengan asumsi-asumsi tertentu. Tingkat pengangguran diperlakukan sebagai variabel dependen dan inflasi sebagai variabel independen. Gambar 2.4. merupakan bagan kerangka pemikiran sebagai gambaran penelitian.


(45)

2.8. Hipotesis Penelitian

Dari tinjauan teori dan penelitian terdahulu di atas disusunlah beberapa hipotesis sementara, yaitu:

1) Sesuai dengan teori kurva Phillips, terdapat hubungan yang negatif antara pengangguran dan inflasi

2) Krisis ekonomi 1997 berpengaruh signifikan pada tingkat pengangguran. tidak mempengaruhi tingkat pengangguran.


(46)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu data tingkat pengangguran (UN) dan Angkatan Kerja (AK) yang berasal dari ILO (International Labor Organization), serta data inflasi (INF) yang diperoleh dari IFS (IMF, International Financial Statistic). Data yang digunakan adalah data time series tahunan dari tahun 1985 sampai tahun 2008. Semua data yang diestimasi adalah dalam bentuk logaritma natural kecuali data yang sudah dalam bentuk persen.

3.2. Metode Analisis data

Tahap pengolahan data dilakukan dengan alat bantu perangkat lunak atau software untuk membantu proses penelitian. Software KILM 5th Edition digunakan untuk pencarian data dari ILO, software IFS-CD room untuk pencarian data inflasi dari IMF, serta untuk pengolahan datanya dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1. Metode analisis yang digunakan adalah dengan Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test.

3.2.1. Ordinary Least Square (OLS)

Metode OLS digunakan untuk memperoleh estimasi parameter dalam menganalisis pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Penelitian ini menggunakan OLS untuk memperoleh estimasi pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Metode OLS dipilih karena


(47)

merupakan salah satu metode sederhana dengan analisis regresi yang kuat dan populer, dengan asumsi-asumsi tertentu (Gujarati, 1997). Model yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari model yang digunakan oleh Simamare (2006) dengan mengganti variabel pertumbuhan ekonomi dengan inflasi, mengubah jumlah pengangguran sebagai persentase, serta mengubah jumlah angkatan kerja sebagai bentuk logaritma naturalnya.

UNt = λ1 INFt+ λ2 LNAKt+ λ 3 UNt-1 + et ………. (3.1) Di mana:

UN

t = Tingkat pengangguran tahun t (dalam persen), INF

t = Tingkat Inflasi per tahun t (persen), LNAK

t = Jumlah angkatan kerja tahun t (dalam persen), UN

t-1 = Jumlah pengangguran tahun t-1 (persen),

λ

1,2,3 = Slope atau kemiringan, et = Residual

Jumlah pengangguran tahun tertentu merupakan jumlah dari pengangguran tahun sebelumnya dan angkatan kerja baru yang menjadi pengangguran. Kedua variabel tersebut diduga berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran, sehingga digunakan dalam model sebagai variabel independen. Karena UN

t-1 merupakan lag dari UNt maka jumlah observasi dalam OLS berkurang satu, dari 24 untuk periode 1985-2008 menjadi 23 untuk periode 1986-2008.

Seberapa baik garis regresi mencocokkan data (Goodness of fit) dapat

diukur melalui koefisien determinasi R 2

. Jika seluruh data berada pada garis

regresi, maka terjadi kecocokan sempurna dan R 2


(48)

nilai R2, maka semakin baik variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen.

3.2.2. Uji Asumsi OLS

Tujuan dari analisis regresi bukan hanya mendapatkan parameter atau penaksir, tetapi juga membuktikan apakah penaksir tersebut sesuai dengan nilai sebenarnya. Dengan asumsi-asumsi dapat dilihat bahwa penaksir OLS adalah penaksir tak bias linear terbaik. Manurung, Manurung, dan Saragih (2005) dalam Simamare (2006) menyebutkan asumsi-asumsi yang digunakan yaitu:

1) Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi e

t, tergantung kepada nilai-nilai tertentu variabel yang menjelaskan X

t adalah nol. Asumsi ini menyatakan bahwa tiap nilai variabel dependen Y

t yang berhubungan dengan suatu X

t tertentu didistribusikan di sekitar nilai rata-rata, sehingga nilai e

t yang berhubungan dengan setiap Xt, memiliki rata-rata nol. Asumsi ini merupakan salah satu sifat dari fungsi regresi dan dapat diabaikan karena penyimpangan yang terjadi hanya berdampak pada koefisien intersep yang bias.

2) Varians bersyarat dari e

t adalah konstan atau homoskedastik. Asumsi homoskedastisitas dari disturbance term error adalah selisih atau spread (scedasticity) bernilai sama atau equal (homo). Heteroskedastisitas, yaitu varians Y

t yang tidak sama, memberikan konsekuensi varians tidak minimum dan penggunaan selang keyakinan atau tingkat signifikansi


(49)

yang semakin besar, yang sebenarnya tidak perlu, sehingga penaksir OLS kurang efisien. Pendeteksian ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan White’s General Heteroskedasticity Test (cross term). Pengujian dilaksanakan dengan melihat nilai Probability ( Obs*R-squared) yang dihasilkan. Tolak H

0 maka regresi model tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas. Begitu pula sebaliknya, jika terima H

0 maka regresi model tidak tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas.

Kriteria uji: Hipotesis nol H

0 : θi = 0 Hipotesis alternatif H

1 : θi ≠ 0 Kaidah menolak hipotesis nol:

Probability (Obs*R-squared) < taraf nyata (α)

3) Tidak ada autokorelasi dalam gangguan. Masalah autokorelasi yang timbul juga tidak menunjukkan varians minimum walaupun BLUE sehingga tidak efisien, selang keyakinan menjadi lebar secara tak perlu, dan pengujian arti (signifikan) kurang kuat. Uji autokorelasi dilakukan dengan melihat probability (Obs*R-squared) pada Breusch-Godfrey (BG) Test. Apabila nilai probability (Obs*R-squared) lebih besar dari taraf nyata tertentu, maka regresi model tidak mengalami autokorelasi. Bila nilai probability (Obs*R-squared) lebih kecil dari taraf nyata tertentu, maka regresi model mengalami autokorelasi.

Kriteria uji: Hipotesis nol H


(50)

Hipotesis alternatif H

1 : ρi ≠ 0 Kaidah menolak hipotesis nol:

Probability (Obs*R-squared) < taraf nyata (α)

4) Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik (yaitu, tetap dalam penyampelan berulang) atau, jika stokastik, didistribusikan secara independen dari gangguan e

t. Analisis regresi merupakan penaksiran nilai rata-rata satu variabel dependen atas dasar nilai yang tetap variabel-variabel independen. Maka variabel-variabel-variabel-variabel yang menjelaskan ini diasumsikan mempunyai nilai yang tetap atau nonstokastik. Sekalipun variabel eksplanatoris mungkin sebenarnya stokastik, namun dapat diasumsikan bahwa variabel yang menjelaskan tersebut adalah tertentu dan hasil analisis regresi adalah tergantung pada nilai tertentu ini. Jika variabel explanatory ini bersifat random, maka setidaknya didistribusikan secara independen dari faktor gangguan e

t. Asumsi ini dapat dianggap terpenuhi karena salah satu sifat fungsi regresi menujukkan bahwa residual tidak berkorelasi dengan variabel eksplanatoris.

5) Tidak ada multikolinearitas di antara variabel yang menjelaskan. Asumsi ini mensyaratkan tidak ada hubungan linear di antara variabel yang menjelaskan. Pelanggaran asumsi ini, adanya multikolinearitas sempurna, koefisien regresi dari variabel eksplanatoris tidak dapat ditentukan dan variansnya tak berhingga. Jika multikolinearitas kurang dari sempurna, koefisien regresi dapat ditentukan tetapi variansnya sangat besar


(51)

sehingga tidak dapat menaksir koefisien secara akurat. Pendeteksian multikolinearitas, dilakukan mengikuti kaidah umum, yaitu:

a. Koefisien determinasi rendah dan probabilitas dari nilai statistik t tinggi.

b. Koefisien korelasi antara variabel eksplanatoris tinggi, yaitu

│0.8│atau lebih.

6) e

t didistribusikan secara normal. Untuk ukuran sampel meningkat sampai tak terbatas, penaksir OLS didistribusikan secara normal, sehingga penggunakan asumsi kenormalan tidak harus digunakan. Namun untuk ukuran sampel kecil, asumsi kenormalan menjadi penting untuk maksud pengujian hipotesis dan peramalan. Uji normalitas dapat dilakukan dengan Jarque-Berra (JB) test. Jika probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata (α), maka asumsi residual terdistribusi dengan normal diterima. Jika probabilitas yang diperoleh lebih kecil dari taraf nyata (α), maka asumsi residual terdistribusi dengan normal ditolak. Kriteria uji: Hipotesis nol H

0 : residual terdistribusi normal Hipotesis alternatif H

1 : residual tidak terdistribusi normal

Kaidah menolak hipotesis nol: Probability (JB test) < taraf nyata (α) 7) Model regresi linear dalam parameter. Parameter yang digunakan yaitu

dalam bentuk pangkat satu.

8) Jumlah observasi N harus lebih besar dari jumlah parameter yang akan ditaksir atau jumlah observasi N harus lebih besar dari jumlah variabel eksplanatoris.


(52)

9) Variabilitas dalam variabel eksplanatoris. Nilai variabel eksplanatoris untuk sejumlah observasi N tidak sama.

10)Model regresi dispesifikasikan dengan benar. Penetuan model dalam OLS lebih mengacu kepada landasan teori yang digunakan. Uji bias spesifikasi model dapat dilakukan dengan Ramsey Regression Specification Error Test (RAMSEY RESET). Jika probabilitas dari nilai statistik F signifikan secara statistik pada tingkat signifikansi α, maka kesimpulan yang diperoleh yaitu model mengalami kesalahan spesifikasi. Sebaliknya, model regresi dispesifikasikan dengan benar jika probabilitas dari nilai statistik F tidak signifikan secara statistik pada tingkat signifikansi α.

Asumsi pertama dan keempat dianggap telah terpenuhi. Asumsi ketujuh, kedelapan, dan kesembilan terpenuhi tanpa perlu menggunakan uji secara statistik. Parameter yang diestimasi (λ

1,2,3) berpangkat satu, jumlah observasi yang digunakan (N=23) lebih besar dari jumlah parameter yang diestimasi (λ

i=3), dan variabel independen (INF

t, LNAKt, UNt-1) memiliki variabilitas dalam data. Uji asumsi OLS secara statistik diterapkan terhadap lima asumsi lainnya, yaitu homoskedastisitas, autokorelasi, multikolinearitas, normalitas, dan non-bias spesifikasi model.


(53)

3.2.3. Uji Stabilitas Parameter

Metode yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter regresi adalah chow breakpoint test (Gujarati, 1997). Dasar dari uji ini adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan hasil regresi atau perubahan struktural dari dua periode waktu, yaitu periode 1985-1996 dan periode 1997-2008. Langkah yang dilakukan yaitu dengan menghitung statistik F dengan formula:

...(3.2) Di mana:

RSS

T = residual sum squares dari hasil regresi untuk periode 1986-2008, RSS

P = residual sum squares dari hasil regresi untuk periode 1986-1996 ditambah residual sum squares dari hasil regresi untuk periode 1997-2008,

K = jumlah parameter, yaitu tiga, N

1 = jumlah observasi untuk periode 1986-1996, yaitu sebelas, N

2 = jumlah observasi untuk periode 1997-2008, yaitu dua belas.

Asumsi yang digunakan yaitu tidak ada perubahan struktural akibat krisis ekonomi pada tahun 1997. Apabila nilai probabilitas dari statistik F lebih besar dari tingkat signifikansi α, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa parameter stabil diterima. Kelemahan dari metode ini adalah tidak diketahuinya letak perbedaan dari hasil regresi pada kedua periode, apakah pada intersep atau pada koefisien parameter.


(54)

3.2.4. Uji Kausalitas Granger

Granger (1969) dalam Gujarati (1997) mempostulasikan bahwa suatu variabel X dikatakan menyebabkan variabel lain, Y, apabila Y saat ini dapat diprediksi lebih baik dengan menggunakan nilai-nilai masa lalu X. Uji ini secara umum digunakan untuk menguji hubungan kausalitas antara 2 variabel.

Uji kausalitas Granger menyatakan bahwa jika nilai masa lalu dari variabel Y secara signifikan memberikan pengaruh peramalan pada nilai variabel lainnya; X

t+1, maka Y dikatakan Granger cause X dan begitu pula sebaliknya. Pengujian tersebut didasarkan pada regresi berikut ini:

………....………….. (3.3)

………..……. (3.4) Di mana Y

t dan Xt adalah variabel yang akan diuji, dan ut dan vt adalah white noise errors yang tidak berkorelasi satu sama lain, dan t menunjukkan periode waktu dan k an l adalah jumlah lag. Hipotesis nol (H

O) adalah αl = δl = 0 untuk seluruh l dengan hipotesis alternatif (H

1) adalah selain HO. Bila koefisien αl

secara statistik signifikan tetapi δl tidak signifikan, maka X menyebabkan Y dan

demikian sebaliknya. Tetapi bila αl dan δl keduanya signifikan maka terdapat kausalitas dua arah.


(55)

Dalam perkembangan analisis time series telah disarankan sejumlah perbaikan dalam uji standar Granger. Salah satunya disebabkan karena kausalitas Granger sangat sensitif pada dapat menjadi bias. Jika lag length yang dipilih lebih besar, maka lag yang tidak relevan pada suatu persamaan dapat menyebabkan estimasi yang tidak efisien.


(56)

IV. GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA

4.1. Gambaran Pengangguran di Indonesia

Negara berkembang seperti Indonesia selalu dihadapkan oleh masalah besarnya jumlah penduduk, terutama penduduk berusia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor utama besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia. Jumlah angkatan kerja (labor force) di Indonesia setiap tahun bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dumairy (1996) mengungkapkan bahwa pertumbuhan angkatan kerja yang cepat akan membawa beban bagi perekonomian, yakni penciptaan lapangan kerja. Jika lapangan pekerjaan baru tidak dapat menampung angkatan kerja baru, maka sebagian angkatan baru yang tidak tertampung tersebut menjadi pengangguran baru.

Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa dari 112 juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan kerja (ILO, 2009). Selain itu, angka pengangguran di Indonesia adalah terbesar di ASEAN, yakni menyumbang 60 persen dari total pengangguran di ASEAN (Menkokesra, 2007).

Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8.09 persen (ILO, 2009). Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Selain itu, tingkat pengangguran di Indonesia juga memiliki tren yang meningkat.


(57)

Tabel 4.1. Pengangguran dan Rata-Rata Tingkat Pengangguran Periode Sebelum dan Sesudah Krisis

Tahun Pengangguran

(persen) Periode

Rata-rata tingkat pengangguran

(persen)

1985 2.1

Sebelum krisis 3.32

1987 2.5

1988 2.8

1990 2.5

1992 2.7

1994 4.3

1996 4.7

1997 4.6

Sesudah krisis 8.09

1998 5.5

2000 6.1

2002 9.1

2004 9.8

2006 10.3

2008 8.4

Sumber: ILO, 2009 (diolah)

Pengangguran di Indonesia menjadi masalah yang terus menerus membesar. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di Indonesia pada umumnya di bawah 5 persen dan pada tahun 1997 sebesar 5.7 persen. Tingkat pengangguran sebesar 5.7 persen masih merupakan pengangguran alamiah. Amir (2006) menyatakan bahwa tingkat pengangguran alamiah adalah suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat pengangguran alamiah ini sekitar 5 hingga 6 persen atau kurang. Artinya jika tingkat pengangguran paling tinggi 5 persen itu berarti bahwa perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment).

Berdasarkan data BPS (2009), angkatan kerja Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh pekerja di sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan


(58)

perikanan yaitu sekitar lebih dari 40 persen dari jumlah pekerja keseluruhan. Sektor kedua yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah perdagangan, restoran dan hotel yaitu sekitar 20 persen. Sedangkan, industri manufaktur yang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja justru hanya menyerap tenaga kerja sekitar 11 sampai 12 persen.

Sumber: BPS, 2009 (diolah)

Gambar 4.1. Pekerja Berdasarkan Sektor dalam Persen (2004-2008)

Selain itu, Rahman (2008) menyatakan bahwa karakteristik pengangguran di Indonesia di antaranya adalah:

a) Tingkat pengangguran berpendidikan rendah lebih tinggi

b) Tingkat pengangguran laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.

-5 5 15 25 35 45

2004 2005 2006 2007 2008

jasa-jasa

keuangan, real estate dan jasa perusahaan

transportasi, komunikasi

perdagangan, restoran,hotel

konstruksi

listrik, gas,air

industri manufaktur

pertambangan dan penggalian

pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan


(59)

c) Tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi.

Peningkatan angkatan kerja baru yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan kerja yang tersedia terus menunjukkan jurang (gap) yang terus membesar. Kondisi tersebut semakin membesar setelah krisis ekonomi. Dengan adanya krisis ekonomi terutama krisis global baru-baru ini tidak saja membuat jurang antara peningkatan angkatan kerja baru dengan penyediaan lapangan kerja yang rendah terus makin dalam, tetapi juga merangsang tingginya pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun terus semakin tinggi.

4.2. Gambaran Inflasi di Indonesia

Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukkan fluktusi yang bervariasi dari waktu ke waktu. Inflasi mulai menjadi perhatian ketika adanya krisis pada tahun 1960-an dimana Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 650 persen sehingga perekonomian terguncang dengan hebat, tetapi tekanan tersebut dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan anti-inflasi, sehingga pada Repelita II, III, dan IV inflasi menurun menjadi sebesar 14.77 persen, 13.6 persen dan 6.9 persen. Kemudian krisis kembali menghantam negeri ini pada tahun 1997-1998 yang berdampak pada semua aspek kehidupan, salah satunya adalah inflasi yang mencapai 58.4 persen.


(60)

Sumber: IFS, 2009

Gambar 4.2. Perkembangan Inflasi 1985-2008

Inflasi kembali mulai menjadi perhatian sejak dikeluarkannya kebijakan UU No. 23/1999 yang sebenarnya dapat mengkategorikan Indonesia sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Sejak awal ditetapkannya pada tahun 2005 sebesar 6 persen dengan deviasi 1 persen, inflation targeting baru dapat berjalan secara efektif pada kuartal IV tahun 2006, yaitu sebesar 5,5 persen dengan deviasi sebesar 1 persen.

Pemerintah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masing sebesar 8 persen, 6 persen, dan 5 persen dengan standar deviasi masing-masing adalah 1 persen. Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3 persen agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya.

Pemerintah dan Bank Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi 2008-2010 sebesar 5 persen untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4 persen (2010)

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008


(61)

dengan deviasi 1 persen. Target inflasi 2008 yakni 5 persen dengan deviasi 1 persen tersebut sesuai dengan target APBN 2008 yakni 6 persen. Rata-rata tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985 hingga tahun 1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7.9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58.3 persen dan setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.

Pada tahun 2008 terdapat beberapa resiko yang dapat memberikan tekanan pada inflasi sehingga berpotensi mengganggu pencapaian sasaran inflasi tersebut. Risiko tersebut di antaranya adalah (i) proses konsolidasi pasar finansial global terkait dampak krisis subprime mortgage masih belum reda, (ii) resiko terkait kenaikan harga minyak dunia di awal tahun 2008, (iii) potensi peningkatan permintaan konsumsi minyak domestik di atas asumsi terutama yang dipicu oleh tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi maupun harga BBM di negara tetangga, (iv) kemampuan produksi minyak domestik yang tidak sesuai target dan (v) persepsi pelaku ekonomi terhadap prospek kesinambungan fiskal dan prospek perekonomian secara keseluruhan terkait dampak kenaikan harga minyak dunia.


(62)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Uji Ekonometrika dengan Ordinary Least Square (OLS) 5.1.1. Hasil Estimasi dan Pembahasan

Tabel 5.1. menunjukkan bahwa hasil regresi memiliki koefisien

determinasi R 2

sebesar 0.897 menunjukkan bahwa 89.7 persen variabel penjelas dapat menjelaskan variabel dependen, sedangkan sisanya 10.3 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model (Lampiran 2).

Tabel 5.1. Hasil Regresi Model

Variabel dependen: UN Sample: 1986- 2008 (N=23)

Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

INF 0.004659 0.021618 0.215503 0.8317

LNAK 7.799990 4.460189 1.748802 0.0965

UN(-1) 0.573346 0.213248 2.688629 0.0145

C -86.36316 49.66218 -1.739013 0.0982

R-squared 0.897328 Mean dependent var 5.862816

Adjusted R-squared 0.881117 S.D. dependent var 2.936190 S.E. of regression 1.012382 Akaike info criterion 3.019259 Sum squared resid 19.47341 Schwarz criterion 3.216736

Log likelihood -30.72148 F-statistic 55.35193

Durbin-Watson stat 1.736499 Prob(F-statistic) 0.000000

Uji statistik t pada tingkat signifikansi α = 0.10 menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Hipotesis pertama yang diterapkan, yaitu tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran, ditolak. Variabel jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran tahun sebelumnya signifikan berpengaruh terhadap tingkat


(63)

pengangguran. Pengaruh positif dari kedua variabel terhadap tingkat pengangguran sesuai dengan dugaan yang digunakan.

Koefisien inflasi yang diperoleh bernilai 0.004659. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran. Uji hipotesis menunjukkan bahwa parameter yang diperoleh tidak berpengaruh nyata.

Jumlah angkatan kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 7.79 persen dari jumlah pengangguran tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa pertambahan angkatan kerja mengakibatkan pengangguran meningkat.

Tingkat pengangguran tahun sebelumnya signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran saat ini. Jika tingkat pengangguran tahun lalu meningkat sebesar 1 persen, maka tingkat pengangguran tahun sekarang bertambah 0.57 persen dari jumlah pengangguran tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus.

5.1.2. Uji Asumsi OLS

Interpretasi hasil estimasi dilakukan apabila asumsi-asumsi OLS yang ada telah terpenuhi, sehingga hasil estimasi merupakan BLUE (Best Liniear Unbiased Estimator). Uji asumsi OLS secara statistik yang diterapkan memberikan kesimpulan bahwa keseluruhan asumsi terpenuhi. Taraf nyata atau tingkat signifikansi yang digunakan adalah α = 0.10 atau sebesar 10 persen.


(64)

Asumsi homoskedastisitas diuji dengan White’s General Heteroskedasticity test. Tabel 5.2. menunjukkan nilai probability ( Obs*R-squared) sebesar 0.59. Pada tingkat signifikansi α = 0.10, H

0 diterima. Kesimpulan yang diperoleh yaitu regresi model tidak mengalami gejala heteroskedastisitas (Lampiran 3).

Tabel 5.2. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 0.682627 Probability 0.700483

Obs*R-squared 6.454101 Probability 0.596503

Asumsi tidak adanya autokorelasi diuji dengan Breusch-Godfrey (BG) Test. Tabel 5.3. menunjukkan nilai probability (Obs*R-squared) sebesar 0.512343. Pada tingkat signifikansi α = 0.10, H

0 diterima. Kesimpulan yang diperoleh yaitu regresi model tidak mengalami autokorelasi (Lampiran 4).

Tabel 5.3. Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.342347 Probability 0.565741

Obs*R-squared 0.429279 Probability 0.512343

Asumsi normalitas diuji dengan JB test. Hasil uji, dapat dilihat pada Gambar 5.1., menunjukkan probabilitas sebesar 0.75 yang lebih besar dari tingkat signifikansi α = 0.10. Kesimpulan yang diperoleh yaitu residual terdistribusi normal (Lampiran 5).


(65)

Gambar 5.1. Hasil Uji Normalitas

Asumsi tidak adanya multikolinearitas diuji dengan menggunakan matriks korelasi. Tabel 5.4. menunjukkan terdapat koefisien korelasi yang bernilai lebih

besar dari│0.8│(Lampiran 6).

Tabel 5.4. Matriks Korelasi INF

t LNAKt UNt-1

INF

t 1.000000 -0.000211 -0.030270

LNAK

t 0.113954 1.000000 0.930502

U

t-1 -0.030270 0.930502 1.000000

Dari Tabel 5.4. bisa kita temukan adanya multikolinearitas. Untuk itu, akan kita lakukan uji Klein yang meliputi langkah langkah-langkah sebagai berikut (Arief, 1993):

1) Regresikan model lengkap, dan akan diperoleh nilai R2 UNt = C+ λ1 INFt+ λ2 LNAKt+ λ 3 UNt-1 + et


(66)

2) Regresikan masing-masing variabel independen terhadap seluruh variabel

independen lainnya, dapatkan nilai Ri2. Regresi ini disebut auxiliary

regression, yang pada kasus ini meliputi: INFt = α0+ α1 LNAKt+ α2 UNt-1 LNAKt = α0+ α1 INFt+ α2 UNt-1 UNt-1 = α0+ α1 INFt+ α2 LNAKt

3) Apabila terdapat Ri2 > R2 berarti terdapat masalah multikolinieritas yang

serius, dan sebaliknya.

Tabel 5.5. Hasil Uji Klein

Variabel dependen Variabel independen Ri-squared

INFt LNAKt, UNt-1 0.151463

NAKt INFt, UNt-1 0.886051

UNt-1 INFt, LNAKt 0.884658

Tabel 5.5. menunjukkan hasil uji Klein. Ri-squared yang dihasilkan ternyata lebih kecil dari R-squared persamaan (5.1) yakni sebesar 0.89. Sehingga dapat disimpulkan bahwa multikolinearitas yang muncul pada uji melalui matriks korelasi dapat diabaikan (Lampiran 7).

Tabel 5.6. Uji Bias Spesifikasi Model Ramsey RESET Test:

F-statistic 0.352310 Probability 0.708075


(67)

Uji asumsi spesifikasi model tidak bias diterapkan dengan menggunakan uji Ramsey RESET. Tabel 5.6. menunjukkan probabilitas dari statistik F bernilai 0.71 tidak signifikan pada tingkat signifikansi α = 0.10. Kesimpulan yang diperoleh yaitu model tidak mengalami kesalahan spesifikasi (Lampiran 8).

5.1.3. Uji Stabilitas Parameter

Chow breakpoint test memberikan hasil nilai statistik F sebesar 0.69 dengan probabilitas 0.61 (Tabel 5.7.). Kesimpulan yang diperoleh yaitu menolak hipotesis yang menyatakan bahwa parameter tidak stabil untuk kedua periode 1986-1996 dan 1997-2008 pada tingkat signifikansi α = 0.10 (Lampiran 9). Hasil ini menunjukkan bahwa untuk kedua periode parameter tidak berubah signifikan atau krisis ekonomi tidak mempengaruhi tingkat pengangguran.

Tabel 5.7. Hasil Uji Stabilitas Parameter Chow Breakpoint Test: 1997

F-statistic 0.688316 Probability 0.611198

Log likelihood ratio 3.875943 Probability 0.423055

Hipotesis kedua yang diterapkan, yaitu krisis ekonomi pada tahun 1997 tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, diterima. Penggunaan variabel dummy ke dalam model untuk mengetahui estimasi besaran pengaruh krisis ekonomi terhadap tingkat pengangguran tidak dilakukan. Hasil regresi yang diperoleh tidak memenuhi asumsi OLS, yaitu normalitas.


(1)

Lampiran 3. Hasil Uji Heteroskedastisitas

White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 0.564523 Prob. F(9,13) 0.803116 Obs*R-squared 6.463033 Prob. Chi-Square(9) 0.692829 Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares

Date: 24/06/09 Time: 19:03 Sample: 1986 2008

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 1551.351 19016.70 0.081578 0.9362 LNAK -283.2506 3421.088 -0.082795 0.9353 LNAK^2 12.89270 153.8602 0.083795 0.9345 LNAK*INF -0.553556 3.297659 -0.167863 0.8693 LNAK*UN(-1) -2.417993 14.61734 -0.165420 0.8712 INF 6.279375 37.01395 0.169649 0.8679 INF^2 -0.000259 0.004014 -0.064424 0.9496 INF*UN(-1) 0.009013 0.130814 0.068896 0.9461 UN(-1) 28.60598 162.5603 0.175972 0.8630 UN(-1)^2 -0.053595 0.370066 -0.144826 0.8871 R-squared 0.281001 Mean dependent var 0.846670 Adjusted R-squared -0.216767 S.D. dependent var 1.382801 S.E. of regression 1.525329 Akaike info criterion 3.981317 Sum squared resid 30.24615 Schwarz criterion 4.475010 Log likelihood -35.78515 F-statistic 0.564523 Durbin-Watson stat 1.318264 Prob(F-statistic) 0.803116


(2)

Lampiran 4. Hasil Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.342347 Prob. F(1,18) 0.565741 Obs*R-squared 0.429279 Prob. Chi-Square(1) 0.512343

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:06 Sample: 1986 2008

Included observations: 23

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNAK 2.737278 6.518647 0.419915 0.6795 INF -0.001202 0.022098 -0.054394 0.9572 UN(-1) -0.149168 0.334814 -0.445523 0.6613 C -30.38650 72.46960 -0.419300 0.6800 RESID(-1) 0.227050 0.388050 0.585105 0.5657 R-squared 0.018664 Mean dependent var 4.28E-15 Adjusted R-squared -0.199410 S.D. dependent var 0.940827 S.E. of regression 1.030371 Akaike info criterion 3.087375 Sum squared resid 19.10995 Schwarz criterion 3.334221 Log likelihood -30.50481 F-statistic 0.085587 Durbin-Watson stat 1.914436 Prob(F-statistic) 0.985810

Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas

2 3 4 5 6 7 Series: Residuals Sample 1986 2008 Observations 23

Mean 4.28e-15 Median 0.090916 Maximum 2.402412 Minimum -2.038443 Std. Dev. 0.940827 Skewness 0.268693 Kurtosis 3.551443


(3)

Lampiran 6. Hasil Uji Multikolinearitas

INF LNAK UN(-1)

INF 1.000000 0.113954 -0.030270 LNAK 0.113954 1.000000 0.930502 UN(-1) -0.030270 0.930502 1.000000

Lampiran 7. Hasil Uji Klein

1) INF sebagai Variabel Dependen Dependent Variable: INF

Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:12 Sample (adjusted): 1986 2008

Included observations: 23 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNAK 80.08939 42.51673 1.883715 0.0742 UN(-1) -3.694881 2.045179 -1.806630 0.0859 C -881.7646 474.3397 -1.858931 0.0778 R-squared 0.151463 Mean dependent var 11.09609 Adjusted R-squared 0.066609 S.D. dependent var 10.83888 S.E. of regression 10.47168 Akaike info criterion 7.656334 Sum squared resid 2193.122 Schwarz criterion 7.804442 Log likelihood -85.04784 F-statistic 1.784989 Durbin-Watson stat 2.067900 Prob(F-statistic) 0.193512


(4)

2) LNAK sebagai Variabel Dependen Dependent Variable: LNAK

Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:13 Sample (adjusted): 1986 2008

Included observations: 23 after adjustments

Variable

Coefficie

nt Std. Error t-Statistic Prob. INF 0.001881 0.000999 1.883715 0.0742 UN(-1) 0.044967 0.003633 12.37894 0.0000 C 11.13395 0.025709 433.0739 0.0000 R-squared 0.886051 Mean dependent var 11.40625 Adjusted R-squared 0.874656 S.D. dependent var 0.143359 S.E. of regression 0.050755 Akaike info criterion -3.002519 Sum squared resid 0.051521 Schwarz criterion -2.854411 Log likelihood 37.52897 F-statistic 77.75871 Durbin-Watson stat 1.082254 Prob(F-statistic) 0.000000

3) UN(-1) sebagai Variabel Dependen Dependent Variable: UN(-1)

Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:14 Sample (adjusted): 1986 2008

Included observations: 23 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNAK 19.67114 1.589080 12.37894 0.0000 INF -0.037971 0.021018 -1.806630 0.0859 C -218.3613 18.10170 -12.06303 0.0000 R-squared 0.884658 Mean dependent var 5.591172 Adjusted R-squared 0.873124 S.D. dependent var 2.980254 S.E. of regression 1.061558 Akaike info criterion 3.078460 Sum squared resid 22.53810 Schwarz criterion 3.226568 Log likelihood -32.40229 F-statistic 76.69856


(5)

Lampiran 8. Hasil Uji Ramsey RESET

Ramsey RESET Test:

F-statistic 0.352310 Prob. F(2,17) 0.708075 Log likelihood ratio 0.934083 Prob. Chi-Square(2) 0.626854

Test Equation:

Dependent Variable: UN Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 22:53 Sample: 1986 2008

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INF -0.007001 0.026353 -0.265680 0.7937 LNAK -7.383865 18.76497 -0.393492 0.6988 UN(-1) -0.867228 1.804531 -0.480584 0.6369 C 85.35311 212.1063 0.402407 0.6924 FITTED^2 0.399787 0.479267 0.834163 0.4158 FITTED^3 -0.021009 0.025029 -0.839406 0.4129 R-squared 0.901414 Mean dependent var 5.862816 Adjusted R-squared 0.872419 S.D. dependent var 2.936190 S.E. of regression 1.048764 Akaike info criterion 3.152560 Sum squared resid 18.69840 Schwarz criterion 3.448776 Log likelihood -30.25444 F-statistic 31.08782 Durbin-Watson stat 1.867030 Prob(F-statistic) 0.000000


(6)

Lampiran 9. Hasil Uji Chow Breakpoint

Chow Breakpoint Test: 1997

F-statistic 0.688316 Prob. F(4,15) 0.611198 Log likelihood ratio 3.875943 Prob. Chi-Square(4) 0.423055

Lampiran 10. Hasil Uji Granger Causality

Pairwise Granger Causality Tests Date: 24/06/09 Time: 19:22 Sample: 1985 2008

Lags: 1

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability INF does not Granger Cause UN 23 0.10097 0.75396 UN does not Granger Cause INF 0.03010 0.86400