17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keluarga dan Fungsi Keluarga
Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan keturunan, karena suatu
keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya. Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat.
Empat karakteristik keluarga yang membedakannya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya menurut Burgess dan Locke dalam Khairuddin, 1997, yaitu:
a. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan
perkawinan, darah, atau adopsi. b.
Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga.
c. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan
berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi setiap anggota keluarganya.
d. Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama, yang diperoleh
pada hakekatnya dari kebudayaan umum, tapi dalam suatu masyarakat konteks masing-masing keluarga mempunyai ciri-ciri yang berlainan
dengan keluarga lain.
Universitas Sumatera Utara
18 Pada dasarnya keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yakni keluarga batih
nuclear family dan keluarga luas extended family. Keluarga batih atau juga disebut conjugal family yaitu keluarga yyang didasarkan atas ikatan perkawinan
dan terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anaknya yang belum menikah. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari beberapa
keluarga batih Sunarto, 1993: 159. Keluarga memiliki fungsi-fungsinya sendiri. Narwoko 2004 secara rinci
membagi fungsi dari keluarga sebagai berikut: 1.
Fungsi pengaturan keturunan Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sosial, seperti
dapat melanjutkan keturunan, dapat mewariskan harta kekayaan, serta pemeliharaan pada hari tua.
2. Fungsi sosialisasi atau pendidikan
Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk kepribadiannya. Orang tua
mempersiapkan anak untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat. 3.
Fungsi ekonomi atau unit produksi Keluarga sebagai unit-unit produksi sering kali melakukan pembagian
kerja di antara anggota-anggotanya. Dalam hal ini keluarga bertindak sebagai unit yang terkoordinir dalam produksi ekonomi di mana semua
anggota keluarga terlibat dalam kegiatan pekerjaan atau mata pencaharian. 4.
Fungsi pelindung atau proteksi Artinya keluarga memiliki fungsi melindungi seluruh anggota keluarga
dari berbagai bahaya yang mungkin dialami.
Universitas Sumatera Utara
19 5.
Fungsi penentuan status Dalam masyarakat terdapat perbedaan status, maka keluarga akan
mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota keluarga sehingga meiliki hak-hak istimewa.
6. Fungsi pemeliharaan
Keluarga pada dasarnya berkewajiban untuk memelihara anggota-anggota yang sakit, menderita, dan tua. Fungsi ini dalam setiap masyarakat tentu
berbeda satu dengan yang lain. 7.
Fungsi afeksi Keluarga mempunyai fungsi untuk memberikan kasih sayang bagi setiap
anggota keluarganya Narwoko, 2004: 214-217.
2.2. Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia
Ada beberapa perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang dasar hukum
perkawinan, syarat perkawinan, dan hal-hal yang terkait dengan sah tidaknya perkawinan.
2.2.1. Pengertian Perkawinan Menurut UU Perkawinan Indonesia
Pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan Republik Indonesia adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan
Ketentuan tersebut, maka perkawinan terdiri dari lima unsur, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
20 1.
Ikatan lahir batin Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dan menunjukkan bahwa
terdapat hubungan hukum antara suami dan istri. Ikatan lahir juga disebut sebagai ikatan formal. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak
nampak namun dapat dirasakan oleh suami dan istri. 2.
Antara seorang pria dan seorang wanita UU Perkawinan menganut asas monogami.
3. Sebagai suami istri
Artinya melalui perkawinan, ikatan antara seorang pria dan seorang wanita dipandang sebagai suami istri apabila telah memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan undang-undang. 4.
Membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal 5.
Berdasarkan ketuhanan yang maha esa UU Perkawinan menganggap bahwa perkawinan berhubungan erat dengan
agama atau kerohanian. Sehingga Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya Prawirohamidjojo, 1988: 38.
2.2.2. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur dalam pasal 6-12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-
syarat perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat intern materiil dan syarat-syarat ekstern formal. Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang akan
Universitas Sumatera Utara
21 melangsungkan perkawinan. Sedangkan sayarat ekstem berhubungan dengan
formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat intern terdiri dari:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak Pasal
6ayat 1 UU Perkawinan. 2.
Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun pasal 6 ayat 2 UU perkawinan.
3. Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita usia 16 tahun,
kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak Pasal 7 ayat 1 dan 2
UU Perkawinan. 4.
Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami Pasal 9 jo. Pasal 3 ayat
2 dan pasal 4 UU Perkawinan. 5.
Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkatkan setelah lewatnya masa
tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena
kematian suaminya Pasal 10 dan 11 UU Perkawinan.
Selain itu pasal 8 UU perkawinan melarang antara dua orang yang : 1.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas.
Universitas Sumatera Utara
22 2.
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengn saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya. 3.
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. 4.
Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,dan bibi paman susuan:
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Sedangkan syarat-syarat ekstern dalam melangsungkan perkawinan terdiri dari:
1. Laporan
2. Pengumuman
3. Pencegahan
4. Pelangsungan Prawirohamidjojo, 1988: 39.
2.3. Perkawinan Muda di Indonesia
Di Indonesia perkawinan usia muda berkisar 12-20 yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, perkawinan usia muda dilakukan pada pasangan usia
muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional perkawinan usia muda dengan usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95. Di
Mamasa sendiri khususnya di Desa Sapan Kecamatan Pana Kabupaten Mamasa
Universitas Sumatera Utara
23 yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda sudah banyak. Perkawinan
usia muda akan menimbulkan berbagai masalah dalam rumah-tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antar suami-istri yang dapat mengakibatkan
perceraian. Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Sapan Kecamatan Pana Kabupaten Mamasa ini mempunyai masalah pada pasangan yang telah menikah
pada usia muda. Tidak jarang dari mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia muda tidak begitu memikirkan masalah apa saja yang akan timbul setelah
mereka hidup berumah-tangga di kemudian hari. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar bisa segera hidup bersama dengan pasangannya tanpa
memikirkan apa yang akan terjadi setelah hidup bersama Kamban, 2011.
2.3.1. Faktor-faktor Perkawinan Usia Muda
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda dan faktor-faktor tersebut tidak selalu sama di suatu daerah dengan daerah
lainnya. Dalam penelitian Siti Yuli Astuty mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan,
yang menjadi faktor perkawinan usia muda adalah faktor lingkungan masyarakat dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada
anak, karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor tingkat ekonomi orang tua yang rendah banyak
menyebabkan orang tua menikahkan anaknya di usia yang masih muda. Di masyarakat pedesaan, perkawinan usia dini terjadi terutama pada
golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Studi kasus mengenai kebiasaan pernikahan usia dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi,
Universitas Sumatera Utara
24 Kabupaten Tana Toraja, yang dilakukan Juspin Landung dkk, menemukan bahwa
pada masyarakat sanggalangi, pernikahan dini terjadi disebabkan karena adanya ikatan kekeluargaan dalam budaya mereka di mana orang tua melangsungkan
pernikahan anak secara cepat di usia dini hanya ditujukan untuk tetap mempertahankan tingkat sosial keluarga dalam masyarakat Landung, dkk, 2009.
Hal-hal yang mempengaruhi, sehingga timbul perkawinan di usia muda antara lain:
a. Rendahnya tingkat pendidikan terutama bagi masyarakat yang tinggal di
pedesaan. b.
Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang arti dan makna sebuah perkawinan.
c. Karena tekanan ekonomi yang semakin sulit berakibat timbulnya rasa
frustasi, sehingga pelarianya adalah kawin. d.
Sempitnya lapangan kerja, sementara angkatan kerja semakin membludak Al-Ghifari, 2003.
e. Hamil semasa sekolahsebelum nikah.
f. Kemauan orang tua, dengan kata lain ada unsur perjodohan.
g. Mengikuti trend yang sedang berkembang saat ini, ikut-ikutan meramaikan
suasana yang menurutnya membahagiakan Ikhsan, 2004.
2.3.2. Resiko Perkawinan Muda
Perkawinan pada usia muda mempunyai resiko-resiko terhadap pihak- pihak yang melakukannya. Resiko ini tidak hanya berpengaruh terhadap
kesehatan, namun juga berpengaruh terhadap sosial ekonominya.
Universitas Sumatera Utara
25 1.
Kematian ibu yang melahirkan Kematian karena melahirkan banyak dialami oleh ibu muda di bawah
umur 20 tahun. Penyebab utama karena kondisi fisik ibu yang belum atau kurang mampu untuk melahirkan.
2. Kematian bayi
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia muda, banyak yang mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ada yang lahir sebelum waktunya
prematur, ada yang berat badanya kurang dan ada pula yang langsung meninggal.
3. Hambatan terhadap kehamilan dan persalinan
Selain kematian ibu dan bayi, ibu yang kawin pada usia muda dapat pula mengalami perdarahan, kurang darah, persalinan yang lama dan sulit,
bahkan kemungkinan menderita kanker pada mulut rahim di kemudian hari.
4. Persoalan ekonomi
Pasangan-pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan
pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, penghasilan yang rendah dapat meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.
5. Persoalan kedewasaan
Kedewasaan seseorang sangat berhubungan erat dengan usianya, usia muda 12-19 tahun memperlihatkan keadaan jiwa yang selalu berubah
BKKBN, 2003.
Universitas Sumatera Utara
26
2.4. Norma Sosial dan Perkawinan Muda
Menurut Henslin 2007, “setiap kelompok masyarakat mengembangkan harapan mengenai cara yang benar untuk merefleksikan nilai-nilainya. Para
sosiolog menggunakan norma norm untuk menggambarkan harapan-harapan tersebut, atau aturan perilaku, yang berkembang dari nilai-nilai suatu kelompok.”
Bentuk norma yang berlaku dalam masyarakat juga tidaklah sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, sehingga suatu norma bersifat relatif, di
mana norma yang diatur dalam suatu masyarakat belum tentu berlaku bagi masyarakat lainnya.
Lebih spesifik dari nilai-nilai adalah norma sosial yang bersifat formal dan tertulis maupun informal yang tidak tertulis. Norma-norma ini akan menjabarkan
nilai-nilai lebih terperinci ke dalam bentuk tata aturan atau tata kelakuan. Bentuk penjabaran nilai-nilailah yang dinamakan norma. Norma-norma yang formal,
tertulis maupun yang informal, tak tertulis, merupakan cermin dari nilai-nilai yang mencoba mengatur perilaku individu dan masyarakat dalam situasi sosial tertentu.
Norma formal tertulis adalah peraturan tertulis yang disusun dalam bentuk undang-undang dasar, undang-undang, dan peraturan lainnya yang lebih konkret.
Adapun norma informal tak tertulis adalah peraturan yang berupa perintah, anjuran, dan larangan yang tetap terpelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan karena keberadaannya dianggap memiliki manfaat bagi terciptanya ketertiban sosial Setiadi, 2011:129.
Pada hakikatnya nilai dan norma tidak akan terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat, misalnya di dalam keluarga terdapat kebiasaan anak mematuhi
orang tuanya, seseorang yang muda mematuhi saudaranya yang lebih tua, atau
Universitas Sumatera Utara
27 masyarakat mematuhi petuah para sesepuh, seperti ulama, tokoh masyarakat, dan
sebagainya Setiadi, 2011: 130. Norma sosial dapat dibedakan berdasarkan sanksi yang diterima menjadi
folkways, mores, dan hukum. “Folkways dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh norma-norma sosial yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku yang
selalu diikuti oleh orang-orang kebanyakan di dalam hidup mereka sehari-harinya karena dipandang suatu hal yang lazim.” Narwoko, 2004: 28. Sanksi folkways
relatif tidak berat dan bersifat tidak formal yaitu seperti sindiran, pergunjingan atau olok-olok. “Mores adalah segala norma yang secara moral dipandang benar.”
Narwoko, 2004: 31. Bentuk mores yaitu tabu. Sanksi yang diberikan kepada pelanggarnya cukup berat, seperti dipermalukan dengan cara diarak, dihukum
denda, atau dikeluarkan dari kampung. Hukum yaitu “aturan formal dan berprosedur bertugas memaksakan ditaatinya kaidah-kaidah sosial yang berlaku.”
Narwoko, 2004: 33. Sanksinya tegas berdasarkan aturan yang telah ditetapkan, seperti hukuman penjara, maupun denda.
Proses pertumbuhan norma sosial berjalan seiring dengan harapan masyarakat, yaitu untuk terlaksananya nilai yang telah diciptakan. Norma sosial
muncul setelah kehidupan anggota masyarakat merasakan manfaat dari pola-pola yang pada saat itu diterapkannya. Bila ada suatu tindakan yang merugikan , maka
tindakan itu harus diberi sanksi Setiadi, 2011: 133. Keluarga sebagai bagian dari masyarakat dan yang mengalami internalisasi dari nilai dan norma yang dianggap
ideal oleh masyarakatnya, mau tidak mau juga menerapkan nilai dan norma tersebut dalam kehidupan keluarganya. Hal ini sebagai upaya untuk menyesuaikan
Universitas Sumatera Utara
28 pola perilaku anggota keluarga agar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat
dan diterima masyarakat. Dalam kehidupan keluarga, nilai-nilai yang diyakini mempengaruhi pula
norma yang dilaksanakannya. Dalam kehidupan keluarga Islam, nilai keluarga yang harmonis, bahagia, tentram, baik di dunia dan akhirat masih bersifat abstrak,
maka bentuk kehidupan seperti itu didefinisikan dalam bentuk norma-norma berdasarkan sumber norma Islam Setiadi, 2011: 129. Begitu pula dalam
masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai adat, norma yang dianut juga sangat dipengaruhi nilai adat yang bersumber dari tokoh adat, ataupun tetua-tetua
masyarakat. Eddy Fadlyana, dkk 2009, merangkum data dari UNICEF mengenai
faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak di berbagai penjuru dunia merupakan masalah sosial ekonomi yang diperumit dengan tradisi dan budaya
dalam kelompok masyarakat. “Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan tertentu meningkatkan
pula angka kejadian pernikahan anak. Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan financial setelah menikah menyebabkan banyak orang tua
menyetujui pernikahan usia dini. Alasan orang tua menyetujui pernikahan anak seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah
akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan.” Fadlyana, 2009:138.
Berdasarkan hasil penelitian Landung, dkk, mengenai kebiasaan pernikahan dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja,
ditemukan bahwa pernikahan usia dini sudah menjadi bentuk perilaku yang
Universitas Sumatera Utara
29 membudaya dalam masyarakat, di mana kesiapan dan kematangan usia individu
bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk melangsungkan pernikahan. Pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi, pernikahan yang terjadi pada usia dini
dikarenakan adanya dorongan rasa kemandirian dan terbebas dari pengaruh orang tua. Hal ini berhubungan dengan pola pengasuhan yang diterapkan orang tua.
Selain alasan kemandirian, pernikahan juga terjadi sebagai upaya untuk memperbaiki sosial ekonomi keluarga. Selain itu, pada masyarakat Sanggalangi,
pernikahan secara umum tidak terlepas dari budaya Toraja, di mana pernikahan diawali dengan melangsungkan acara adat “Parampo Kampung” dan secara
budaya ikatan perkawinan itu sudah dianggap sah. Bagi masyarakat Sanggalangi, penentu utama terjadinya pernikahan adalah orang tua berdasarkan kesepakatan di
antara kedua keluarga, baik pihak laki-laki maupun perempuan, yang umumnya masih memiliki hubungan keluarga dekat Landung, 2009.
Di setiap daerah ataupun masyarakat tentunya memiliki aturan tersendiri mengenai perkawinan. Ada yang mendasarkan aturan tersebut karena untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ada yang mendasarkan aturan perkawinan dengan alasan ekonomi, dan juga ada pula yang mendasarkannya
karena aturan adat atau norma sosial yang telah disepakati bersama oleh masyarakat. Perkawinan muda menjadi persoalan yang sering kali muncul dalam
masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang masih sangat kuat memegang nilai dan norma yang ada dan juga masyarakat pedesaan yang kondisi sosial
ekonominya masih rendah.
Universitas Sumatera Utara
30
BAB III METODE PENELITIAN