Kecenderungan Perkawinan Muda pada Masyarakat Perkebunan Pulobauk( Studi di Perkebunan Pulobauk, Desa Pijorkoling, Kec. Batang Angkola)

(1)

KECENDERUNGAN PERKAWINAN MUDA PADA

MASYARAKAT PERKEBUNAN

(Studi di Perkebunan Pulobauk, Desa Pijorkoling, Kecamatan Batang

Angkola, Padangsidimpuan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH:

SRI RAHMADANI

080901011

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

2014


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Kuasa yang memberikan kesempatan kesehatan dan waktu luang sehingga saat ini, Dzat yang hanya dengan-NYAlah kita beribadah, tidakklah semua hal ini terjadi pada diri ini atas kehendakNYA. Dan shalawat beriring salam kepada sebuah panutan umat ini Rosulullaoh Nabi Muhammad Shalallahu’Alaihi wassallam beserta para keluarga-keluarganya dan para sahabatnya.

Penulisan skripsi ini karirnya dapat diselesaikan dengan baik guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari program strata-1 (S-1), Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, adapaun judul skirpsi ini adalah “Kecenderungan Perkawinan Muda Pada Masyarakat Perkebunan Pulobauk( Studi di Perkebunan Pulobauk, Desa Pijorkoling, kec. Batang Angkola)”. Penyele saian skripsi ini juga tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan masukan bagi penulis secara materil dan spiritual. Untuk itu izinkan saya untuk mengharuskan mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Kepada yang luar biasa dan teristimewa orang tua saya Ayah Armen Hutabarat (Alm) dan mamak Farida Laksmi Nasution yang selalu menyayangi saya dengan tulus, selalu mendoakan saya, pengorbanan serta memberi nasehat kepada saya mulai dari awal perkuliahan sampai pada penulisan Skripsi ini.

2. Bapak Prof.Dr. Badaruddin, M.si selaku Dekan Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara.

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi sekaligus sebagi Pembimbing saya dalam penyelesaian Skripsi ini, dan beliau sudah banyak memberikan masukan untuk skripsi penulis sehingga penulis lebih mengetahui bagaimana sebenarnya teori serta aplikasi di lapangan nantinya.

4. Bapak Drs. Sismudjito M.Si, yang selalu memberikan nasehat mulai dari semester awal hingga akhir study.


(3)

5. Seluruh staff pengajar Departemen Sosioligi, Bu Lina, Bu Ria, Pak Junjungan, Pak sismudjito, Pak Muba, Pak Hendrik, Bu Rosmaini, Pak Rizabuana, Bu Rosmaini, Bu Linda, Pak syahrul humaidi, Kak feny dan kak Betty Terimakasih Penulis ucapkan segalanya.

6. Seluruh staff pengajar FISIP USU terimakasih buat semuanya.

7. Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terimakasih atas segala doa dan motivasinya.

8. Kepada yang teristimewa kekasih Penulis “Abednego Sinuhaji, Amd”. Yang selelu setia dan selalu ada untuk Penulis baik dalam suka dan duka, yang selalu memberikan semangat dan dukungan terhadap penulis.

9. Teman-teman dan juga orang yang penulis kasihi yang selalu setia menemani dan menghibur penulis baik dalam keadaan senang maupun susah.

10.Kepada teman-teman mahasiswa angkatan 2008 yang senantiasa berbagi dan berjuang untuk menyelesaikan tugas akhir, dan memberi semangat dan masukan kepada penulis.


(4)

ABSTRAK

Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia, tidak terkecuali di Perkebunan polubauk, desa pijorkoling, Padangsidimpuan. Lecenderungan masyarakat perkebunan pulobauk dalam menikah meuda tidak hanya disebabkan karena terjadinya kehamilan di luar pernikahan, melainkan adanya hal-hal yang mendorong mereka untuk memutuskan menikah muda yaitu adanya aturan mengenai jam pulang malam pada masyarakat dimana bila dilanggar akan dikenakan sangsi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat pulobauk desa pijorkoling cenderung memilih menikah muda dan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi pasangan suami istri yang menikah pada usia muda. peneltian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Kajian pustaka yang diambil adalah mengenai keluarga dan fungsi keluarga, pengaturan mengenai pernikahan yang berlaku di Indonsia, dan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Hasil yang didapat dalam penelitian ini yaitu pernikahan muda di Perkebunan Pulobauk pada umumnya melalui peruses kawin lari. Hal ini telah membudaya di kalangan remaja perkebunan Pulobauk untuk mendapat restu dari orang rua. Selain itu pernikahan muda yang terjadi di perkebunan pulobauk tidak mengubah hasil sosial ekonomi pasangan suami istri. Rendahnya pendidikan mengakibatkan keluarga muda ini sulit untuk meningkatkan perekonomian mereka.


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstrak ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. ... Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. ... Perumusan Masalah ... 6

1.3. ... Tujuan Penelitian ... 6

1.4. ... Manfaat Penelitian ... 6

1.5. ... Defenisi Konsep ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga dan Fungsi Keluarga ... 9

2.2. Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia ... 11

2.2.1. Pengertian Perkawinan Menurut UU Perkawinan Indonesia ... 11

2.2.1. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan ... 12

2.3. Perkawinan Muda di Indonesia ... 14

2.3.1. Faktor-faktor Perkawinan Usia Muda ... 15

2.3.2. Resiko Perkawinan Muda ... 16

2.4. Norma Sosial dan Perkawinan Muda ... 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 22


(6)

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 23

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.5. Interpretasi Data ... 24

3.6. Jadwal Kegiatan ... 26

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 26

BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN PROFIL INFORMAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28

4.1.1. Letak Geografis Desa ... 28

... 4.1.2 . Keadaan Penduduk ... 28

4.1.2.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kualitas Angkatan Kerja ... 29

4.1.2.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 30

4.1.2.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 31

4.1.2.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 33

4.1.2.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 33

4.1.3. Sarana dan Prasarana... 34

4.1.3.1. Sarana dan Prasarana Transportasi ... 35

4.1.3.2. Prasarana Peribadatan ... 37

4.1.3.3. Prasarana Olahraga... 38

4.1.3.4. Sarana dan Prasarana Kesehatan ... 39

4.2. Profil Informan ... 41

BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA 5.1 Fenomena Menikah Muda pada Masyarakat Perkebunan Pulobauk, Desa Pijorkoling ... 46

5.2 Faktor-faktor Masyarakat Perkebunan Pulobauk, Desa Pijorkoling Cenderung Menikah Muda ... 54


(7)

5.3 Kondisi Sosial Ekonomi Pasangan Suami Istri yang Menikah Muda ... 57 5.4 Kondisi Sosial Informan... 57

5.5 interpretasi perkawinan muda di perkebunan pulobauk dalam Perspektif Sosiologi ... 64 BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan ... 67 6.2. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA

DOKUMENTASI LAMPIRAN  

                             


(8)

     

Daftar Tabel

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan kualitas angkatan kerja……... 29

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 30

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Mata Pencahariam……... 29

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Agama……... 33

Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Etnis...……... 34

Tabel 4.6 Sarana Transportasi di Desa Pijorkoling……… 35

Tabel 4.7 Prasarana Transportasi di Desa Pijorkoling………... 36

Tabel 4.8 Prasarana Peribadatan di Desa Pijorkoling………...… 37

Tabel 4.9 Prasarana Olahraga di Desa Pijorkoling……… 38

Tabel 4.10 Sarana Kesehatan di Desa Pijorkoling……….. 39

Tabel 4.10 Prasarana Kesehatan di Desa Pijorkoling………. 40  

       


(9)

ABSTRAK

Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia, tidak terkecuali di Perkebunan polubauk, desa pijorkoling, Padangsidimpuan. Lecenderungan masyarakat perkebunan pulobauk dalam menikah meuda tidak hanya disebabkan karena terjadinya kehamilan di luar pernikahan, melainkan adanya hal-hal yang mendorong mereka untuk memutuskan menikah muda yaitu adanya aturan mengenai jam pulang malam pada masyarakat dimana bila dilanggar akan dikenakan sangsi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat pulobauk desa pijorkoling cenderung memilih menikah muda dan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi pasangan suami istri yang menikah pada usia muda. peneltian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Kajian pustaka yang diambil adalah mengenai keluarga dan fungsi keluarga, pengaturan mengenai pernikahan yang berlaku di Indonsia, dan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Hasil yang didapat dalam penelitian ini yaitu pernikahan muda di Perkebunan Pulobauk pada umumnya melalui peruses kawin lari. Hal ini telah membudaya di kalangan remaja perkebunan Pulobauk untuk mendapat restu dari orang rua. Selain itu pernikahan muda yang terjadi di perkebunan pulobauk tidak mengubah hasil sosial ekonomi pasangan suami istri. Rendahnya pendidikan mengakibatkan keluarga muda ini sulit untuk meningkatkan perekonomian mereka.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 20 tahun. Banyaknya perempuan menikah di usia muda memicu kasus kehamilan dan persalinan yang tidak aman. Pernikahan muda hingga saat ini masih menjadi persoalan serius secara global. Selain menyebabkan putusnya akses pendidikan, pernikahan anak juga berdampak secara psikologis, ekonomi dan kesehatan reproduksi.

Berdasarkan data UNICEF tahun 2010, 60% anak perempuan di dunia menikah di usia kurang dari 18 tahun. Sementara di Indonesia, sebanyak 34,5% anak perempuan menikah di bawah usia 19 tahun. Menurut Peneliti Pusat Kependudukan dan Kebijakan UGM, “Basilicia Dyah Putranti” kasus pernikahan muda ini di dunia disebabkan beberapa faktor diantaranya belum selaras dengan peraturan seperti UU perlindungan Anak, UU Perkawinan juga konvensi Hak Anak dan Konvensi Anti Deskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi, faktor ekonomi, interpertasi terhadap ajaran agama, kuatnya budaya patriarki, serta tingginya praktik pernikahan muda. Sementara itu, fenomena pernikahan muda Indonesia selain disebabkan tradisi, juga disebabkan faktor kemiskinan. Dalam pandangan Dyah Putranti, muatan dan implementasi hukum terkait pernikahan turut mendorong terjadinya penikahan muda. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang usia minimal kawin 16 tahun bagi anak perempuan.


(11)

Serta Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan muda di bawah 16 tahun merupakan dua produk hukum yang kemudian menggiring anak perempuan dalam situasi pernikahan (http//www.Zona-remaja.com/2011/03/nikah-muda-mengapatidak.htm#ixzzloD56iGnj).

Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dari 2 juta perkawinan sebanyak 34,5 % kategori pernikahan dini. Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainnya tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Anggapan pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua (Al-Hafizh, http://www.referensimakalah.com/2011/08/pernikahan-dini-di-indonesia1271 .html).

Pernikahan usia muda yang menjadi fenomena sekarang ini pada dasarnya merupakan satu siklus fenomena yang terulang di daerah pedesaan yang kebanyakan dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan. Sikap atas persoalan ini terbagi dalam dua sisi yang berseberangan. Dengan alasan bahwa dengan menikah di usia akan menghindari hal-hal yang dilarang baik asas agama maupun sosial di tengah gejolak pergaulan yang semakin “menggila” seperti saat ini. Alasan lain adalah pikiran bahwa dengan menikah muda, mereka akan masih sehat dan aktif berkarya disaat anak-anak mereka tumbuh besar yang membutuhkan biaya untuk keperluan pendidikan dan persoalan lainnya. Selain itu muncul pula alasan lain yang mengatakan bahwah nikah muda itu “asyik’. Dari


(12)

pihak yang berseberangan melihat bahwa mereka yang menikah muda akan lebih cenderung untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga mereka.

Tingginya perkara perceraian dihampir semua daerah yang menjadi area penelitian ISI (Ikatan Sosiologi Indonesia) berbanding lurus dengan tingkat pernikahan di usia muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan karena alasan kawin muda, melainkan alasan ekonomi dan maupun alasan keterpaksaan dimana mereka harus menjalankan pernikahan di samping terjadinya kesalahan dan penyimpangan, misalnya saja terjadinya hamil di luar nikah, ini juga salah satu faktor penyebab dimana seseorang mengharuskan untuk menikah di usia muda dengan alasan untuk mempertanggungjawabkan dari perbuatan mereka tersebut. Tetapi, masalah ini tentu saja sebagai salah satu dampak dari pernikahan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologi.

Dampak lain dari persoalan ini adalah laju perkembangan penduduk yang bila tidak terkontrol dapat mengakibatkan terjadi ledakan penduduk mengingat usia muda akan mendorong tingginya rata-rata tingkat kesuburan atau total. Menikah di usia muda juga akan menimbulkan banyak permasalahan di berbagai sisi kehidupan ekonomi kehidupan, misalnya; dengan tingkat pendidikan rendah yang dimiliki pasangan akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak yang berhimbas pada kurangnya kecukupan secara ekonomi dalam rumah tangga. Terlebih bila menikah muda itu karena alasan kehamilan di luar penikahan yang seringkali memicu konflik keluarga, gunjingan dan penolakan msyarakat itu dapat memicu tekanan pasangan muda. Dan tekanan tersebut dapat mempengaruhi persoalan-apersoalan dalam rumah tangga. Di samping itu juga kecenderungan masyarakat Perkebunan Pulobauk dalam menikah muda tidak


(13)

hanya disebabkan karena terjadinya hamil di luar pernikahan, melainkan adanya hal-hal lain yang memaksa mereka untuk menikah, di mana kedua pasangan remaja tersebut belum siap untuk menikah, tapi mau tidak mau harus menjalani pernikahan tersebut, ini dikarenakan adanya tradisi yang sering terjadi di Perkebunan Pulobauk, kalau anak perempuan pulang ke rumah di atas jam 10 malam, dan itu keluar dengan pasangan mereka bagi orang tua itu hal yang tidak wajar lagi, jadi siap atau tidaknya pasangan tersebut harus dikawinkan karena anggapan para orang tua itu mereka sudah melakukan hal-hal yang semestinya mereka belum boleh lakukan, belum lagi adanya gunjingan-gunjingan dari tetangga yang dapat menyebarkan fitnah, maka pilihan orang tua itu untuk menikahkan anak mereka tersebut.

Karakteristik masyarakat pedesaan tentulah berbeda dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat desa pada umumnya masih memiliki ikatan kekeluargaan, memiliki rasa solidaritas, dan memiliki norma-norma dan kebudayaan. Namun, cirr-ciri ini pun dapat berubah seiring dengan adanya program pembangunan yang menimbulkan perubahan-perubahan. Bila dilihat dari kualitas sumber daya manusia pedesaan yang tersedia masih sangat rendah, mereka pada umumnya hanya berpendidikan lulus sekolah dasar atau tidak lulus sekolah dasar, sangat jarang yang lulus tingkat SLTA atau perguruan tinggi. Tingkat pendidikan yang rendah akan berpengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan desa, tingkat pendidikan juga akan berpengaruh pada pola berpikir dan cara bertindak masyarakat (Wisadirana, 2005).

Perkebunan Pulobauk merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Batang Angkola, Padangsidempuan. Waktu tempuh antara desa


(14)

Perkebunan Pulobauk ke kota Padangsidempuan adalah sekitar 1 jam perjalanan. Masyarakat Perkebunan Pulobauk ini mayoritas masyarakatnya adalah suku jawa yang merupakan masyarakat pendatang di daerah tersebut. Sebagian besar masyarakatnya bekerja di perkebunan, baik perkebunan swasta maupun perkebunan sendiri. Bagi masyarakat Perkebunan Pulobauk sekolah bukanlah hal yang utama, tamat SMP itu sudah pendidikan yang minimal bagi mereka, sebagian orang tua juga berpikiran kalau anaknya pandai baca dan tulis itu sudah cukup. Sebagian besar ada juga anak yang ingin sekolah, tapi orang tuanya tidak mampu, malah sebaliknya ada orang tua yang mampu tapi anaknya tidak mau sekolah. Begitu juga dengan remaja perempuan yang berpikiran ’untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau ujungnya jadi ibu rumah tangga juga, ke dapur juga’, jadi hal-hal yang demikian juga dapat menjadi penyebab mereka kenapa memilih untuk menikah di usia muda.

Banyak pemikiran yang menganggap untuk menikah di usia muda itu dapat juga meringankan beban ekonomi keluarga, tapi kenyataan yang ada tidak semua masyarakat Pulobauk yang memilih menikah muda ekonominya membaik, malahan sebaliknya karena tidak selamanya juga pasangan mereka bekerja, jadi biaya ekonomi mereka ditanggung oleh orang tua. Ini dapat mengakibatkan biaya ekonomi yang tadinya hanya menafkahi empat orang bertambah menjadi lima orang.


(15)

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah adalah penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Rumusan masalah biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dan untuk mencari jalan pemecahannya. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti mencoba menarik suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian ini adalah:

1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Perkebunan Pulobauk, Pijorkoling lebih cenderung memilih untuk kawin muda?

2. Bagaimana kondisi sosial ekonomi pasangan suami istri yang menikah pada usia muda?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah ;

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Perkebunan Pulobauk, Pijorkoling lebih cenderung memilih kawin muda. 2. Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi pasangan suami istri yang

menikah pada usia muda.

4. Manfaat penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan referensi dalam


(16)

meneliti masalah yang sesuai dengan penelitian ini dalam bidang sosiologi, khususnya pada sosiologi keluarga.

2. Manfaat praktis

Adapun yang menjadi manfaat praktis dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi aparat desa dan masyarakat Perkebunan Pulobauk, Pijorkoling tentang apa dapat dilakukan masyarakat perkebunan dalam mengatasi persoalan perkawinan muda.

5. Defenisi konsep

Konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang merujuk pada kenyataan yang benar-benar nyata dari segi emipris dan bukan merupakan refleksi sempurna (Suyanto, 2005:49).

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU NO.1 Tahun 1974 pasal 1)

2. Perkawinan usia muda: adalah Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang masih muda, berkisar umur 16-20 tahun. Ini menjadi batasan yang ditetapkan peneliti dengan mempertimbangakan usia perkawinan yang diizinkan Negara berdasarkan UU NO.1 Tahun 1974 pasal 7 yaitu bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.


(17)

3. Masyarakat perkebunan adalah masyarakat yang tinggal menetap di daerah perkebunan dan banyak yang bermata pencaharian utama di sektor perkebunan.

4. Sosial: merujuk pada hubungan-hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antara manusia dengan kelompok, serta hubungan manusia dengan organisasi untuk mengembangkan dirinya. 5. Keluarga inti: merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari

ayah, ibu dan anak.

6. Norma sosial: adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu.

7. Adat istiadat: adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keluarga dan Fungsi Keluarga

Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya.

Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Empat karakteristik keluarga yang membedakannya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya menurut Burgess dan Locke (dalam Khairuddin, 1997), yaitu:

a. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi.

b. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga.

c. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi setiap anggota keluarganya.

d. Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama, yang diperoleh pada hakekatnya dari kebudayaan umum, tapi dalam suatu masyarakat konteks masing-masing keluarga mempunyai ciri-ciri yang berlainan dengan keluarga lain.


(19)

Pada dasarnya keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yakni keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga batih atau juga disebut conjugal family yaitu keluarga yyang didasarkan atas ikatan perkawinan dan terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anaknya yang belum menikah. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga batih (Sunarto, 1993: 159).

Keluarga memiliki fungsi-fungsinya sendiri. Narwoko (2004) secara rinci membagi fungsi dari keluarga sebagai berikut: 

1. Fungsi pengaturan keturunan

Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sosial, seperti dapat melanjutkan keturunan, dapat mewariskan harta kekayaan, serta pemeliharaan pada hari tua.

2. Fungsi sosialisasi atau pendidikan

Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk kepribadiannya. Orang tua mempersiapkan anak untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat.

3. Fungsi ekonomi atau unit produksi

Keluarga sebagai unit-unit produksi sering kali melakukan pembagian kerja di antara anggota-anggotanya. Dalam hal ini keluarga bertindak sebagai unit yang terkoordinir dalam produksi ekonomi di mana semua anggota keluarga terlibat dalam kegiatan pekerjaan atau mata pencaharian. 4. Fungsi pelindung atau proteksi

Artinya keluarga memiliki fungsi melindungi seluruh anggota keluarga dari berbagai bahaya yang mungkin dialami.


(20)

5. Fungsi penentuan status

Dalam masyarakat terdapat perbedaan status, maka keluarga akan mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota keluarga sehingga meiliki hak-hak istimewa.

6. Fungsi pemeliharaan

Keluarga pada dasarnya berkewajiban untuk memelihara anggota-anggota yang sakit, menderita, dan tua. Fungsi ini dalam setiap masyarakat tentu berbeda satu dengan yang lain.

7. Fungsi afeksi

Keluarga mempunyai fungsi untuk memberikan kasih sayang bagi setiap anggota keluarganya (Narwoko, 2004: 214-217).

2.2. Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia

Ada beberapa perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang dasar hukum perkawinan, syarat perkawinan, dan hal-hal yang terkait dengan sah tidaknya perkawinan.

2.2.1. Pengertian Perkawinan Menurut UU Perkawinan Indonesia

Pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan Republik Indonesia adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Ketentuan tersebut, maka perkawinan terdiri dari lima unsur, yaitu:


(21)

1. Ikatan lahir batin

Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan hukum antara suami dan istri. Ikatan lahir juga disebut sebagai ikatan formal. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak namun dapat dirasakan oleh suami dan istri.

2. Antara seorang pria dan seorang wanita UU Perkawinan menganut asas monogami. 3. Sebagai suami istri

Artinya melalui perkawinan, ikatan antara seorang pria dan seorang wanita dipandang sebagai suami istri apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang.

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal 5. Berdasarkan ketuhanan yang maha esa

UU Perkawinan menganggap bahwa perkawinan berhubungan erat dengan agama atau kerohanian. Sehingga Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Prawirohamidjojo, 1988: 38).

2.2.2. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan diatur dalam pasal 6-12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat-syarat-syarat intern (materiil) dan syarat-syarat-syarat-syarat ekstern (formal). Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang akan


(22)

melangsungkan perkawinan. Sedangkan sayarat ekstem berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat intern terdiri dari:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 6ayat (1) UU Perkawinan).

2. Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat (2) UU perkawinan).

3. Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita usia 16 tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan).

4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (Pasal 9 jo. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan).

5. Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkatkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya ( Pasal 10 dan 11 UU Perkawinan).

Selain itu pasal 8 UU perkawinan melarang antara dua orang yang :

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas.


(23)

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengn saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan,dan bibi/ paman susuan:

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Sedangkan syarat-syarat ekstern dalam melangsungkan perkawinan terdiri dari:

1. Laporan 2. Pengumuman 3. Pencegahan

4. Pelangsungan (Prawirohamidjojo, 1988: 39).

2.3. Perkawinan Muda di Indonesia

Di Indonesia perkawinan usia muda berkisar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, perkawinan usia muda dilakukan pada pasangan usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional perkawinan usia muda dengan usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Mamasa sendiri khususnya di Desa Sapan Kecamatan Pana Kabupaten Mamasa


(24)

yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda sudah banyak. Perkawinan usia muda akan menimbulkan berbagai masalah dalam rumah-tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antar suami-istri yang dapat mengakibatkan perceraian. Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Sapan Kecamatan Pana Kabupaten Mamasa ini mempunyai masalah pada pasangan yang telah menikah pada usia muda. Tidak jarang dari mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia muda tidak begitu memikirkan masalah apa saja yang akan timbul setelah mereka hidup berumah-tangga di kemudian hari. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar bisa segera hidup bersama dengan pasangannya tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah hidup bersama (Kamban, 2011).

2.3.1. Faktor-faktor Perkawinan Usia Muda

Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda dan faktor-faktor tersebut tidak selalu sama di suatu daerah dengan daerah lainnya. Dalam penelitian Siti Yuli Astuty mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan, yang menjadi faktor perkawinan usia muda adalah faktor lingkungan masyarakat dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak, karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor tingkat ekonomi orang tua yang rendah banyak menyebabkan orang tua menikahkan anaknya di usia yang masih muda.

Di masyarakat pedesaan, perkawinan usia dini terjadi terutama pada golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Studi kasus mengenai kebiasaan pernikahan usia dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi,


(25)

Kabupaten Tana Toraja, yang dilakukan Juspin Landung dkk, menemukan bahwa pada masyarakat sanggalangi, pernikahan dini terjadi disebabkan karena adanya ikatan kekeluargaan dalam budaya mereka di mana orang tua melangsungkan pernikahan anak secara cepat di usia dini hanya ditujukan untuk tetap mempertahankan tingkat sosial keluarga dalam masyarakat (Landung, dkk, 2009).

Hal-hal yang mempengaruhi, sehingga timbul perkawinan di usia muda antara lain:

a. Rendahnya tingkat pendidikan terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan.

b. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang arti dan makna sebuah perkawinan.

c. Karena tekanan ekonomi yang semakin sulit berakibat timbulnya rasa frustasi, sehingga pelarianya adalah kawin.

d. Sempitnya lapangan kerja, sementara angkatan kerja semakin membludak (Al-Ghifari, 2003).

e. Hamil semasa sekolah/sebelum nikah.

f. Kemauan orang tua, dengan kata lain ada unsur perjodohan.

g. Mengikuti trend yang sedang berkembang saat ini, ikut-ikutan meramaikan suasana yang menurutnya membahagiakan (Ikhsan, 2004).

2.3.2. Resiko Perkawinan Muda

Perkawinan pada usia muda mempunyai resiko-resiko terhadap pihak-pihak yang melakukannya. Resiko ini tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan, namun juga berpengaruh terhadap sosial ekonominya.


(26)

1. Kematian ibu yang melahirkan

Kematian karena melahirkan banyak dialami oleh ibu muda di bawah umur 20 tahun. Penyebab utama karena kondisi fisik ibu yang belum atau kurang mampu untuk melahirkan.

2. Kematian bayi

Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia muda, banyak yang mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ada yang lahir sebelum waktunya (prematur), ada yang berat badanya kurang dan ada pula yang langsung meninggal.

3. Hambatan terhadap kehamilan dan persalinan

Selain kematian ibu dan bayi, ibu yang kawin pada usia muda dapat pula mengalami perdarahan, kurang darah, persalinan yang lama dan sulit,  bahkan kemungkinan menderita kanker pada mulut rahim di kemudian hari.

4. Persoalan ekonomi

Pasangan-pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, penghasilan yang rendah dapat meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.

5. Persoalan kedewasaan

Kedewasaan seseorang sangat berhubungan erat dengan usianya, usia muda (12-19 tahun) memperlihatkan keadaan jiwa yang selalu berubah


(27)

2.4. Norma Sosial dan Perkawinan Muda

Menurut Henslin (2007), “setiap kelompok (masyarakat) mengembangkan harapan mengenai cara yang benar untuk merefleksikan nilai-nilainya. Para sosiolog menggunakan norma (norm) untuk menggambarkan harapan-harapan tersebut, atau aturan perilaku, yang berkembang dari nilai-nilai suatu kelompok.” Bentuk norma yang berlaku dalam masyarakat juga tidaklah sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, sehingga suatu norma bersifat relatif, di mana norma yang diatur dalam suatu masyarakat belum tentu berlaku bagi masyarakat lainnya.

Lebih spesifik dari nilai-nilai adalah norma sosial yang bersifat formal dan tertulis maupun informal yang tidak tertulis. Norma-norma ini akan menjabarkan nilai-nilai lebih terperinci ke dalam bentuk tata aturan atau tata kelakuan. Bentuk penjabaran nilai-nilailah yang dinamakan norma. Norma-norma yang formal, tertulis maupun yang informal, tak tertulis, merupakan cermin dari nilai-nilai yang mencoba mengatur perilaku individu dan masyarakat dalam situasi sosial tertentu. Norma formal tertulis adalah peraturan tertulis yang disusun dalam bentuk undang-undang dasar, undang-undang, dan peraturan lainnya yang lebih konkret. Adapun norma informal tak tertulis adalah peraturan yang berupa perintah, anjuran, dan larangan yang tetap terpelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan karena keberadaannya dianggap memiliki manfaat bagi terciptanya ketertiban sosial (Setiadi, 2011:129).

Pada hakikatnya nilai dan norma tidak akan terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat, misalnya di dalam keluarga terdapat kebiasaan anak mematuhi orang tuanya, seseorang yang muda mematuhi saudaranya yang lebih tua, atau


(28)

masyarakat mematuhi petuah para sesepuh, seperti ulama, tokoh masyarakat, dan sebagainya (Setiadi, 2011: 130).

Norma sosial dapat dibedakan berdasarkan sanksi yang diterima menjadi folkways, mores, dan hukum. “Folkways dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh norma-norma sosial yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku yang selalu diikuti oleh orang-orang kebanyakan di dalam hidup mereka sehari-harinya karena dipandang suatu hal yang lazim.” (Narwoko, 2004: 28). Sanksi folkways relatif tidak berat dan bersifat tidak formal yaitu seperti sindiran, pergunjingan atau olok-olok. “Mores adalah segala norma yang secara moral dipandang benar.” (Narwoko, 2004: 31). Bentuk mores yaitu tabu. Sanksi yang diberikan kepada pelanggarnya cukup berat, seperti dipermalukan dengan cara diarak, dihukum denda, atau dikeluarkan dari kampung. Hukum yaitu “aturan formal dan berprosedur bertugas memaksakan ditaatinya kaidah-kaidah sosial yang berlaku.” (Narwoko, 2004: 33). Sanksinya tegas berdasarkan aturan yang telah ditetapkan, seperti hukuman penjara, maupun denda.

Proses pertumbuhan norma sosial berjalan seiring dengan harapan masyarakat, yaitu untuk terlaksananya nilai yang telah diciptakan. Norma sosial muncul setelah kehidupan anggota masyarakat merasakan manfaat dari pola-pola yang pada saat itu diterapkannya. Bila ada suatu tindakan yang merugikan , maka tindakan itu harus diberi sanksi (Setiadi, 2011: 133). Keluarga sebagai bagian dari masyarakat dan yang mengalami internalisasi dari nilai dan norma yang dianggap ideal oleh masyarakatnya, mau tidak mau juga menerapkan nilai dan norma tersebut dalam kehidupan keluarganya. Hal ini sebagai upaya untuk menyesuaikan


(29)

pola perilaku anggota keluarga agar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat dan diterima masyarakat.

Dalam kehidupan keluarga, nilai-nilai yang diyakini mempengaruhi pula norma yang dilaksanakannya. Dalam kehidupan keluarga Islam, nilai keluarga yang harmonis, bahagia, tentram, baik di dunia dan akhirat masih bersifat abstrak, maka bentuk kehidupan seperti itu didefinisikan dalam bentuk norma-norma berdasarkan sumber norma Islam (Setiadi, 2011: 129). Begitu pula dalam masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai adat, norma yang dianut juga sangat dipengaruhi nilai adat yang bersumber dari tokoh adat, ataupun tetua-tetua masyarakat.

Eddy Fadlyana, dkk (2009), merangkum data dari UNICEF mengenai faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak di berbagai penjuru dunia merupakan masalah sosial ekonomi yang diperumit dengan tradisi dan budaya dalam kelompok masyarakat. “Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan tertentu meningkatkan pula angka kejadian pernikahan anak. Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan financial setelah menikah menyebabkan banyak orang tua menyetujui pernikahan usia dini. Alasan orang tua menyetujui pernikahan anak seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan.” (Fadlyana, 2009:138).

Berdasarkan hasil penelitian Landung, dkk, mengenai kebiasaan pernikahan dini pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja, ditemukan bahwa pernikahan usia dini sudah menjadi bentuk perilaku yang


(30)

membudaya dalam masyarakat, di mana kesiapan dan kematangan usia individu bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk melangsungkan pernikahan. Pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi, pernikahan yang terjadi pada usia dini dikarenakan adanya dorongan rasa kemandirian dan terbebas dari pengaruh orang tua. Hal ini berhubungan dengan pola pengasuhan yang diterapkan orang tua. Selain alasan kemandirian, pernikahan juga terjadi sebagai upaya untuk memperbaiki sosial ekonomi keluarga. Selain itu, pada masyarakat Sanggalangi, pernikahan secara umum tidak terlepas dari budaya Toraja, di mana pernikahan diawali dengan melangsungkan acara adat “Parampo Kampung” dan secara budaya ikatan perkawinan itu sudah dianggap sah. Bagi masyarakat Sanggalangi, penentu utama terjadinya pernikahan adalah orang tua berdasarkan kesepakatan di antara kedua keluarga, baik pihak laki-laki maupun perempuan, yang umumnya masih memiliki hubungan keluarga dekat (Landung, 2009).

Di setiap daerah ataupun masyarakat tentunya memiliki aturan tersendiri mengenai perkawinan. Ada yang mendasarkan aturan tersebut karena untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ada yang mendasarkan aturan perkawinan dengan alasan ekonomi, dan juga ada pula yang mendasarkannya karena aturan adat atau norma sosial yang telah disepakati bersama oleh masyarakat. Perkawinan muda menjadi persoalan yang sering kali muncul dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang masih sangat kuat memegang nilai dan norma yang ada dan juga masyarakat pedesaan yang kondisi sosial ekonominya masih rendah.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah metode yang bermaksud untuk memahami apa yang dialami oleh subjek peneliti secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah (Meleong, 2006:1). Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk membuat gambar yang lebih detail mengenai suatu masalah. Jadi, dalam penelitian ini akan digambarkan dan dipaparkan mengenai masalah perkawinan muda yang terjadi di Desa Pijorkoling, Perkebunan Pulobauk.

3.2. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Perkebunan Pulobauk, Pijorkoling, Kec. Batang Angkola, Padangsidimpuan. Alasan peneliti memilih daerah Perkebunan Pulobauk adalah karena mayoritas masyarakatnya melakukan perkawinan muda. Adapun alasan peneliti memilih lokasi tersebut yaitu peneliti sangat tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Perkebunan Pulobauk tersebut kenapa lebih cenderung untuk memilih perkawinan muda.


(32)

3.3. Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Silalahi, 2009: 250). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah kecenderungan perkawinan muda pada masyarakat Perkebunan Pulobauk.

Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitin sabagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2007:76). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini yaitu suami istri yang melakukan perkawinan usia muda, orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda, dan tokoh adat.

3.4. Teknik pengumpulan data

Data dalam sebuah sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

a) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif maupun wawancara secara mendalam, oleh karena itu untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan yaitu sebagai berikut:

1. Observasi, yaitu kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utama, oleh karena itu observasi merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra yang lainnya. Observasi ini ditunjukan untuk


(33)

melihat dan mengamati kondisi sosial masyarakat Perkebunan Pulobauk.

2. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara atau pun panduan wawancara serta menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika memang dibutuhkan untuk memudahkan peneliti menangkap keseluruhan informasi yang diberikan informan. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap tentang faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Perkebunan Pulobauk lebih cenderung untuk kawin muda.

b) Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal, dan bahan-bahan dari dari internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Data yang dikerjakan sejak peneliti mengumpulkan data dilakukan secara inetnsif setelah pengumpulan data selesai dilaksanakan. Menurut pada Maleong (2006:190), pengolahan data ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang


(34)

tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan, pengamatan (observasi) yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar foto dan sebagainya.

Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan telah ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan ekstraksi data yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang terperinci, merujuk ke inti dengan menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian.

Langkah selanjutnya adalah menuyusun data-data dalam satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan lainnya dan diintepretasikan secara kualitatif. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak awal penulisan proposal, sehingga selesainya penelitian ini yang menjadi ciri khas dari analisis kualitatif.


(35)

3.6. Jadwal kegiatan

No. Kegiatan Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Pra proposal 

2. ACC penelitian 

3. Penyusunan proposal penelitian

 

4. Seminar proposal penelitian  5. Revisi proposal penelitian 

6. Penelitian lapangan    

7. Pengumpulan data dan analisa data

   

8. Bimbingan skripsi    

9. Penulisan laporan akhir  

10. Sidang meja hijau 

   

3.7.Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah. Dalam penelitian ini peneliti juga terdapat kelemahan dalam melakukan wawancara mendalam. Kendala lain yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah keterbatasan waktu penelitian dan keterbatasan pengalaman peneliti yang menyebabkan peneliti mengalami kesulitan dalam melakukan deskripsi data maupun menginterpretasikan data-data


(36)

yang diperoleh, baik melalui wawancara maupun observasi. Selain itu referensi buku maupun jurnal yang dikuasai peneliti pun terbatas. Walaupun demikian peneliti tetap berusaha dalam melakukan penelitian ini dengan maksimal agar data yang diperoleh menjawab permasalahan dalam penelitian ini dan penelitian ini dapat selesai.


(37)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI DAN PROFIL INFORMAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak Geografis Desa

Perkebunan Pulobauk merupakan bagian dari wilayah administratif Desa Pijorkoling, Kecamatan Padangsidempuan Tenggara, Kabupaten Padangsidempuan, Sumatera Utara. Adapun batas-batas wilayah Perkebunan Pulobauk adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Ex. PTPN III – Sungai Batang Angkola b. Sebelah Selatan : Wilayah Pijorkoling

c. Sebelah Timur : Wilayah Huta Limbong d. Sebelah Barat : Wilayah Pijorkoling

Lama jarak tempuh dari Desa Pijorkoling ke ibukota kecamatan dengan kendaraan bermotor sekitar 25 menit, sedangkan lama jarak tempuh ke ibukota kabupaten sekitar 50 menit. Jarak dari Desa Pijorkoling ke ibukota provinsi yaitu 486 km dengan lama jarak tempuh 12 jam.

4.1.2. Keadaan Penduduk

Jumlah kepala keluarga Penduduk Desa Pijorkoling berdasarkan data kependudukan tahun 2013 adalah 236 kepala keluarga (KK). Total penduduk 850 orang yang terdiri dari 489 orang laki-laki dan 361 orang perempuan (Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013).


(38)

4.1.2.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kualitas Angkatan Kerja

Angkatan Kerja penduduk Desa Pijorkoling dapat dikatakan berada pada kualitas yang relatif masih rendah. Hal ini dilihat dari jumlah penduduk yang memiliki pendidikan di bawah jenjang pendidikan SLTA cukup banyak. Adapun komposisi penduduk Desa Pijorkoling bila dilihat berdasarkan kualitas angkatan kerjanya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1

Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Kualitas Angkatan Kerja

No. Kelompok Usia

Laki-laki (Orang)

Perempuan (Orang)

Jumlah Lk & Pr

Persentase (%) 1 Penduduk usia 18-56 tahun

yang buta aksara dan huruf 3 4 7 1,5

2 Penduduk usia 18-56 tahun

yang tidak tamat SD 16 15 31 6,8

3 Penduduk usia 18-56 tahun

yang tamat SD 72 62 134 29,5

4 Penduduk usia 18-56 tahun

yang tamat SLTP 61 54 115 25,3

5 Penduduk usia 18-56 tahun

yang tamat SLTA 69 80 149 32,82

6

Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat Perguruan Tinggi

7 11 18 3,96

JUMLAH 228 226 454 100

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa angkatan kerja penduduk Desa Pijorkoling yang berusia 18-56 tahun yang tamat SLTA


(39)

berusia 18-56 tahun sebanyak 454 orang. Sedangkan jumlah penduduk yang tamat Perguruan tinggi hanya 3, 96%.

4.1.2.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Adapun komposisi penduduk Desa Pijorkoling berdasarkan tingkat pendidikannya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2

Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Penduduk

Jumlah Penduduk

F % 1 Penduduk usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 74 7,4

2 Penduduk usia 3-6 tahun yang sedang masuk TK/

play group 17

1,7 3 Penduduk usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 224 22,4 4 Penduduk usia 18-56 yang tidak tamat SD 37 3,7 5 Penduduk usia 18-56 yang tidak tamat SLTP 172 17,2

6 Penduduk tamat SD/ sederajat 172 17,2

7 Penduduk tamat SLTP/ Sederajat 107 10,7 8 Penduduk tamat SLTA/ Sederajat 167 16,7

9 Penduduk tamat D1 4 0,4

10 Penduduk tamat D2 5 0,5

11 Penduduk tamat D3 3 0,3

12 Penduduk tamat S1 18 1,8

Jumlah 1000 100

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013


(40)

tahun yang sedang bersekolah adalah 224 orang. Sedangkan jumlah penduduk yang berusia 18-56 bila ditotalkan yang tidak tamat SD dan SLTP adalah 209 orang.

4.1.2.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Penduduk Desa Pijorkoling memiliki mata pencaharian yang beragam. Sebagian besar bekerja sebagai wirausaha dan pertanian, namun banyak pula penduduk Desa Pijorkoling yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Banyak penduduk Desa Pijorkoling yang bekerja serabutan. Hal ini disebabkan tidak banyak lapangan pekerjaan yang terdapat di Desa Pijorkoling. Tabel berikut akan menggambarkan komposisi penduduk Desa Pijorkoling berdasarkan mata pencaharian penduduknya.


(41)

Tabel 4.3

Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Mata Pencaharian Jumlah

(Orang)

Persentase (%)

1. Pertanian 102 18,02

2. Perkebunan 47 8,30

3. Peternakan 11 1,94

4. Karyawan perusahaan swasta 6 1,06

5. Karyawan perusahaan pemerintah 4 0,71 6. Pemilik usaha warung, Rumah makan 21 3,71

7. PNS 7 1,24

8. TNI/ POLRI 3 0,53

9. Bidan/ Perawat Swasta 4 0,71

10. Pensiunan 6 1,06

11. Supir 21 3,71

12. Wiraswasta lainnya 168 29,68

13. Tidak mempunyai pekerjaan tetap 164 28,98

14. Tukang jahit 1 0,18

15. Jasa penyewaan peralatan pesta 1 0,18

Total 566 100

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Pijorkoling bekerja sebagai wiraswasta sebesar 29,68% dan bekerja di bidang pertanian sebesar 18,02%. Sedangkan jumlah penduduk yang tidak mempunyai


(42)

pekerjaan tetap cukup banyak yaitu sebesar 28,98% dari total penduduk yang terdaftar mata pencahariannya sebanyak 566 orang.

4.1.2.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Penduduk Desa Pijorkoling mayoritas beragama Islam. Adapun komposisinya dapat dilihat dalam tabel 4.4 berikut ini.

Tabel 4.4

Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Agama

No. Agama Laki-laki (Orang)

Persentase (%)

Perempuan (Orang)

Persentase (%)

Jumlah Total F %

1. Islam 489 57,53 361 42,47 850 100

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa seluruh penduduk beragama Islam dari total penduduk Desa Pijorkoling yang berjumlah 850 orang. Adapun persentase penduduk yang beragama islam berdasarkan jenis kelaminnya yaitu 57,53% laki-laki dan 42,47% perempuan.

4.1.2.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis

Adapun komposisi penduduk Desa Pijorkoling berdasarkan etnis yang ada adalah sebagai berikut:


(43)

Tabel 4.5

Komposisi Penduduk Desa Pijorkoling Berdasarkan Etnis

No. Agama Jumlah

(Orang)

Persentase (%)

1. Batak 716 84,23

2. Nias 22 2,59

3. Lain-lain 112 13,18

Total 850 100

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.5 di atas menunjukan bahwa mayoritas penduduk Desa Pijorkoling mayoritas beretnis Batak, tepatnya Batak Mandailing dengan persentase 84,23%. Adapun sebagian lagi adalah penduduk etnis Nias dengan persentase 2,59% dan penduduk etnis lain-lainnya dengan persentase 13,18%.

4.1.3. Sarana dan Prasarana

Di dalam suatu wilayah pemerintahan tentunya memerlukan sarana dan prasarana yang cukup untuk mendukung aktivitas-aktivitas pemerintahan maupun masyarakat dalam wilayah tersebut. Demikian pula Desa Pijorkoling sebagai bagian dari wilayah pemerintahan Indonesia memiliki beberapa sarana dan prasarana pendukung. Adapun sarana dan prasarana tersebut dapat dilihat penjabarannya sebagai berikut.


(44)

4.1.3.1. Sarana dan Prasarana Transportasi 4.1.3.1.1. Sarana Transportasi

Sarana transportasi merupakan hal yang penting dalam menunjang pembangunan di suatu daerah. Dengan adanya sarana transportasi maka masyarakat dapat memiliki akses untuk berinteraksi dengan masyarakat luar. Adapun sarana transportasi yang terdapat di Desa Pijorkoling adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6

Sarana Transportasi di Desa Pijorkoling

No Jenis Sarana Jumlah

1 Bus umum 3

2 Truck umum 11

3 Angkutan per-desa/kelurahan 1

4 Becak 14 TOTAL 29

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Bila dilihat berdasarkan tabel 4.6 di atas, jumlah sarana transportasi umum di Desa Pijorkoling masih sangat terbatas. Sarana transportasi umum jarak pendek yang dapat dimanfaatkan penduduk Desa Pijorkoling saat ini hanyalah dengan menggunakan becak. Dengan kondisi sarana transportasi yang masih terbatas ini,


(45)

penduduk Desa Pijorkoling banyak yang memiliki kendaraan sendiri berupa sepeda motor sebagai sarana transportasi mereka.

4.1.3.1.2. Prasarana Transportasi

Prasarana transportasi merupakan unsur penting yang menunjukkan bagaimana pembangunan di suatu daerah telah berkembang atau belum. Dengan adanya prasarana transportasi yang baik maka akses masyarakat di daerah tersebut akan lebih mudah dicapai dan menunjukkan apakah daerah tersebut terbuka terhadap daerah di luarnya. Tabel di bawah ini akan menunjukkan bagaimana prasarana transportasi yang ada di Desa Pijorkoling.

Tabel 4.7

Prasarana Transportasi di Desa Pijorkoling

No Jenis prasarana Jenis/ Kondisi Jarak

1 Jalan desa/kelurahan - Jalan Aspal/ baik - Jalan Konblok/ semen/

beton / baik

164 meter 450 meter

2 Jalan antar desa/ kelurahan/ kecamatan

- Jalan aspal/ baik 300 meter

3 Jalan kabupaten yang melewati desa/ kelurahan

- Jalan aspal/ baik 300 meter Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa prasarana transportasi berupa jalan beraspal di Desa Pijorkoling tidak semua yang beraspal dimana jalan yang beraspal hanya 164 meter sedangkan jalan yang tidak beraspal 450 meter. Untuk jalan antar desa ke kelurahan/ ke kecamatan dan ke kabupaten sudah


(46)

4.1.3.2. Prasarana Peribadatan

Prasarana peribadatan yang terdapat di Desa Pijorkoling dapat dilihat dalam tabel 4.8 di bawah ini.

Tabel 4.8

Prasarana Peribadatan di Desa Pijorkoling

No Jenis prasarana Jumlah

1 Mesjid 3

2 Langgar/surau/musholah 1

TOTAL 4 Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel di atas adapun prasarana peribadatan yang ada adalah mesjid sejumlah 3 buah dan langgar/surau/musholah sejumlah 1 buah. Prasarana peribadatan yang ada memang hanya rumah ibadah umat Islam karena hampir semua penduduk Desa Pijorkoling beragama Islam.

Di Desa Pijorkoling juga terdapat remaja mesjid. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh remaja mesjid ini antara lain pengajian/ yasin setiap malam jumat yang dibentuk oleh kelompok remaja kampung dan diberi nama Naposo Nauli Bulung. Selain itu, kegiatan remaja mesjid ini juga adalah ikut terlibat dalam acara-acara pesta yang ada di kampungnya. Namun, meskipun kelompok remaja mesjid ini ada, kelompok ini tidak dijadikan wadah untuk menyosialisasikan agar remaja menunda pernikahan di usia muda.


(47)

4.1.3.3. Prasarana Olahraga

Prasarana olahraga yang terdapat di Desa Pijorkoling dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut:

Tabel 4.9

Prasarana Olahraga di Desa Pijorkoling

No Jenis Prasarana Jumlah

1 Lapangan Bulu Tangkis 2

2 Lapangan Voli 1

TOTAL 3

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.9 prasarana olahraga yang terdapat di Desa Pijorkoling antara lain yaitu 2 lapangan bulu tangkis dan 1 lapangan voli. Meskipun prasarana olahraga telah ada, namun tidak dimaksimalkan penggunaannya oleh remaja Desa Pijorkoling sehingga tidak banyak aktivitas yang dilakukan oleh remaja Desa Pijorkoling.

4.1.3.4. Sarana dan Prasarana Kesehatan 4.1.3.4.1. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan sangat penting untuk ada di suatu daerah agar masyarakat tidak sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga ahli. Adapun sarana kesehatan yang terdapat di Desa Pijorkoling dapat dilihat dalam tabel 4.10 di bawah ini:


(48)

Tabel 4.10

Sarana Kesehatan di Desa Pijorkoling

No Jenis Sarana Kesehatan Jumlah

1 Dukun Bersalin Terlatih 1

2 Bidan 4

3 Perawat 1

TOTAL 6 Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.10 di atas menunjukkan bahwa sarana kesehatan masih minim. Jumlah dukun bersalin terlatih 1 orang, bidan yang terdapat di desa Pijorkoling hanya 4 orang, dan perawat hanya 1 orang. Mekipun sarana kesehatan telah tersedia, namun penyuluhan terhadap masyarakat mengenai kesehatan reproduksi terutama soal resiko hamil di usia remaja tidak ada dilakukan. Pelayanan kesehatan yang diberikan masih sekedar memberi pengobatan dan perawatan bagi pasien yang sakit. Untuk itu, peran pelayan kesehatan dapat dimaksimalkan untuk menyosialisasikan tentang kesehatan reproduksi terhadap masyarakat Desa Pijorkoling agar masyarakat dapat mempertimbangkan untuk melakukan perkawinan di usia muda.

4.1.3.4.2. Prasarana Kesehatan

Prasarana kesehatan juga menjadi unsur pendukung penting yang perlu ada di sebuah daerah. Namun, fasilitas kesehatan yang memadai tidak selalu bisa di nikmati masyarakat di setiap daerah. adapun prasarana kesehatan yang terdapat di


(49)

Tabel 4.6

Prasarana Kesehatan di Desa Pijorkoling

No Jenis Prasarana Kesehatan Jumlah

1 Posyandu 1

TOTAL 6

Sumber: Data Kependudukan Desa Pijorkoling Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa prasarana kesehatan di Desa Pijorkoling masih sangat terbatas. Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk di suatu desa diperlukan pula prasarana kesehatan puskesmas di desa tersebut, namun di Desa Pijorkoling keberadaan puskesmas belumlah ada. Meskipun begitu masyarakat Desa Pijorkoling untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tetap mencari bantuan medis di samping menggunakan pengobatan tradisional.


(50)

4.2. Profil Informan

4.2.1. Nama : Ami

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 18 tahun

Pendidikan terakhir : SMA

Latar belakang keluarga : Ayah: PNS, Ibu: Wirausaha

Suku : Padang/ Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Jumlah Anak : -

Ami adalah salah satu informan yang melalui proses kawin lari sebelum pada akhirnya dinikahkan pada usia yang masih muda. Orang tua Ami pada awalnya tidak menyetujui jika anaknya menikah di usia muda, namun dengan berbagai pertimbangan pada akhirnya orang tua Ami menyetujui untuk menikahkan Ami segera setelah menyelesaikan sekolahnya. Pada saat Ami melakukan kawin lari, Ami sedang duduk di kelas 3 SMA.

Ami dikenal sebagai anak yang pendiam dan tidak suka bersosialisasi. Jika ada acara-acara dia hanya sekedar hadir dan kurang suka bergaul. Sehari-harinya dia ke sekolah dan berada di rumah saja. Orang tua Ami juga terkesan memproteksi anaknya dengan cukup ketat karena mereka tidak ingin Ami seperti kakaknya yang kawin lari dengan pacarnya.

Fisik Ami saat ini sudah lebih kurus dari sebelum dia menikah. Kondisinya saat ini memang sudah banyak berubah terutama sejak dia harus mengurusi rumah tangganya sendiri. Saat ini Ami sudah tidak tinggal bersama orang tuanya lagi, namun tempat tinggalnya tidak berada jauh dari rumah orang tuanya.


(51)

4.2.2. Nama : Sri Maya Lestari Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 25 tahun

Pendidikan terakhir : SMP

Latar belakang keluarga : Menengah Ke bawah

Suku : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Jumlah Anak : 1

Sri hanya tamatan SMP, karena dibangku SMA dia hanya sampai kelas 3 saja. Sri ini merupakan sosok yang sangat patuh akan peraturan yang dibuat oleh orang tuanya, terutama ayahnya yang selalu menjaga ketat Sri, baik dalam pergaulan di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Mau kemana-manaya saja dia harus permisi dan diantarkan ayahnya. Kalau dari secara fisik si Sri ini memiliki postur tubuh yang tinggi, dan berkulit putih.

Sri sekarang tinggal bersama suaminya di dekat kampung suaminya. Rumah yang ditinggali Sri saat ini bersama keluarga kecilnya masihlah rumah kontrakan. Sehari-harinya Sri hanya sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan rumahnya. Pemasukan utama keluarganya hanya bergantung dari penghasilan suaminya yang bekerja tidak tentu (mocok-mocok).

4.2.3. Nama : Fadillah damayanti (dedek)

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 19 tahun

Pendidikan terakhir : SMA Latar belakang keluarga : Menengah

Suku : Batak/Jawa

Pekerjaan : Kuliah


(52)

Fadillah dikenal sebagai seorang anak yang agak bandal dan bebal untuk dinasehati. Ketika dia menjalani kuliahnya di akbid, dia tinggal di asrama sekolah dan sering bolos dari kuliahnya, dia juga sering membohongi mamaknya, baik dalam masalah uang ataupun dalam permisi pergi-pergi sama temannya. Dia juga sering berbohong soal dia yang pergi bersama pacarnya. Jadi rupanya sudah sering juga dia pergi sama pacarnya ini, bahkan sudah sering melakukan hubungan intim. Fadillah ini orangnya cerewet atau dalam bahasa daerah setempat disebut parbada. Fadillah tidak memiliki teman yang banyak di kampungnya, dia lebih suka bergaul di luar kampung, karena teman-teman satu kuliahnya di akbid banyak yang berasal dari luar daerah.

4.2.4. Nama : Irma

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 19 tahun

Pendidikan terakhir : SMP Latar belakang keluarga : Wiraswasta

Suku : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Jumlah Anak : -

Irma dibesarkan oleh ibunya. Sejak dia SD ayahnya telah bercerai dengan ibunya. Secara fisik Irma adalah perempuan yang cantik, putih, dan tinggi. Ibunya seorang pedagang yang berjualan ke Sipirok, Sibolga, dan Penyabungan. Karena ibunya berjualan di tempat yang jauh-jauh jadi ibunya pun jarang di rumah yang menurut pernyataan Irma kadang ibunya tidak pulang sampai tiga hari dan kadang kalau pulang pun hanya sebentar kemudian pergi lagi. Kondisi demikian membuat Irma sedih dan merasa tidak diperdulikan.


(53)

Ketika banyak masalah yang dihadapi Irma, Fadli, pacar Irma hadir member perhatian dan sering membantu Irma. Alasan Irma memilih menikah muda karena dia sudah hamil dibuat pacarnya sendiri. Setelah menikah, Irma dan suaminya dibantu oleh keluarga suaminya membuka usaha agar dapat menghidupi keluarganya.

4.2.5. Nama : Asneli

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 21 tahun

Pendidikan terakhir : SMA Latar belakang keluarga : Buruh Kebun

Suku : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Jumlah Anak : 1

Asneli biasanya dipanggil Neli, dia anak pertama dari 4 bersaudara. Neli menikah pada usia 19 tahun. Asneli memiliki sifat yang tidak suka disaingi, dia juga cukup aktif dalam mengikuti acara muda-mudi yang ada di kampungnya. Apalagi kalau ada acara-acara yang berkaitan dengan naposo nauli bulung. Dulu dia sempat bersekolah sampai SMA saja, itupun tidak tamat karena kawin lari. Asneli ini berperawakan cantik dan suka bergaya.

4.2.6. Nama : Ibu Syari’ah

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 56 tahun

Pendidikan terakhir : -

Suku :


(54)

Ibu Syari’ah adalah ibu dari Sri. Dulu ibu Syari’ah belum membolehkan Sri untuk pacaran, tapi akhirnya ketahuan ibunya juga kalau Sri pacaran diam-diam. Ibu Syaria’ah sangat kesal dengan anaknya yang kawin lari karena ibu Syariah menganggap jika kawin lari akan dipandang negatif oleh orang lain.

Ibu Syari’ah sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Beliau cukup memahami mengenai aturan yang berlaku dalam masyarakat Perkebunan Pulobauk. Oleh karena itu, ibu Syari’ah sangat memperhatikan pergaulan anaknya.

4.2.7. Nama : Pak Sarman

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 60 tahun

Pendidikan terakhir : -

Suku : Jawa

Pekerjaan : Pensiunan Karyawan Kebun Jumlah Anak : 6 orang

Pak Sarman adalah salah satu orang yang dituakan di Perkebunan Pulobauk. Pak sarman merupakan salah satu pensiunan karyawan perkebunan, dia memiliki 6 orang anak. Kegiatan pak Sarman ini sehari-harinya setelah tidak menjadi karyawan lagi, dia berladang kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pak sarman ini juga sangat aktif di kampung ini, apalagi kalau ada acara-acara di kampung, baik itu acara pesta maupun kemalangan. Di samping itu pak Sarman juga sering menjadi imam di mesjid Pijorkoling.


(55)

BAB V

TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA

5.1. Fenomena Menikah Muda pada Masyarakat Perkebunan Pulobauk,

Desa Pijorkoling

Bila melihat data-data yang dipublikasi oleh beberapa lembaga tentang pernikahan muda yang terjadi jumlahnya tidaklah sedikit. Seperti data yang dikeluarkan oleh UNICEF tahun 2010 dimana 60% anak perempuan di dunia menikah di usia kurang dari 18 tahun. Sementara di Indonesia, sebanyak 34, 3% anak perempuan menikah dibawah usia 19 tahun. Data dari Bappenas tahun 2008 menyatakan bahwa dari 2 juta perkawinan terdapat sebanyak 34,5% kategori pernikahan dini di Indonesia. Desa Pijorkoling, Padang Sidempuan merupakan salah satu desa yang jumlah kasus pernikahan dini banyak terjadi.

Dusun Perkebunan Pulobauk merupakan bagian dari Desa Pijorkoling yang mana masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh kebun. Pada masyarakat Perkebunan Pulobauk sudah banyak terjadi perkawinan campur antara suku Jawa dan Batak Mandailing. Dalam kehidupan masyarakatnya sistem budaya yang diterapkan pun sudah berbaur meskipun lebih didominasi dengan sistem nilai budaya Batak Mandailing.

Setiap masyarakat mempunyai aturannya masing-masing dalam mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan tersebut mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Adapun pada masyarakat Pijorkoling ada aturan yang berlaku dalam masyarakat di mana seorang anak perempuan tidak diperkenankan untuk pulang larut malam bersama pasangannya dan bila aturan ini


(56)

dilanggar maka mereka harus segera dinikahkan. Berikut Pak Sarman, salah satu tokoh masyarakat Desa Pijorkoling, memaparkan mengenai aturan yang berlaku di masyarakat.

Ooh anggo masalai kan memang madung kebiasaan di son dei anggo kehe ma anak niba marmayam dohot gandak nia, atau lawan jenis nia, tapi nadong martona sanga get mulak sanag inda, anggo parmisi na mulak pe ia akkon na jelas do tujuan nai sanga tudia baru ma pos roa ni orang tua malehen izin, apalagi ma anggo anak nia na adaboru. Jadi alai na kehe marmayam on kan nagge na ita boto sanga tudia, naponting tong parmisi alai kehe marmayam, jadi ami pe tanggapan sebagai orang tua nangge mungkin na dilehen i, sementara alai madung dewasa be do, madung bisa do marfikiir dia na terbaik di alai (Pak Sarman).

Artinya:

(Kalau masalah itukan memang sudah kebiasaan di sini kalau pergi anak kita main-main dengan pacarnya atau lawan jenisnya tapi nggak ada berpesan pulang atau nggak, jadi permisi pulang pun dia harus jelas tujuannya kemana, barulah tenang hati orang tuanya ngasih izin. Apalagi kalau anaknya itu perempuan. Jadi orang itu yang pergi main-main inikan nggaknya ada yang tahu entah kemana, yang penting permisi orang itu main-main, jadi kami pun tanggapan sebagai orang tua nggak mungkin nggak kami kasih, sementara orang itupun sudah dewasa, sudah bisa berfikir mana yang terbaik buat orang itu.)

Ketika ditanyakan kepada Pak Sarman jam berapa batas ijin yang diberikan kepada pemuda untuk pulang agar tetap diterima di rumah, pak Sarman mengatakan bahwa jam 10 malam. Berikut pernyataan Pak Sarman ketika diwawancara.

Paling lama ma jam 10 borngini, anggo lewat tong sibuk ma alak bagas manjalaki aboru nialai sanaga anak nialai i sanga tudia kehena. Ima kebanyakan pemikiran orang tua dison terikut degnan


(57)

Artinya:

Paling lama itu jam 10 malam, kalau sudah lewat jam, jadi kalau sudah lewat jam segitu orang tua merekapun sudah sibuk mencari anak mereka kemana perginya. Itulah kebanyakan pemikiran orang tua di sini terikut dengan tradisi-tradisi yang ada.

Pak Sarman juga menjelaskan bahwa tidak serta merta jika terlambat pulang dianggap sebagai pelanggaran, karena bila perginya dengan ijin yang jelas maka orang tua tidak akan khawatir. Artinya aturan mengenai jam pulang bagi anak masih mendapat toleransi dari orang tua apabila alasan dan tujuannya jelas.

Inda tong soni, maksud nai kan memang jelas do ita boto ia kehe marmayam dohot gandak nia tapi kehe nai pe jelas ngen bagas (Pak Sarman).

Artinya:

(Nggak lah, maksudnya kan memang jelasnya kita tahu kalau dia pergi keluar sama pacarnya sendiri dan perginya pun jelas dari rumah.)

Setiap orang di Perkebunan Pulobauk mengetahui aturan ini dan sanksi dari pelanggaran terhadap aturan tersebut. Informan dalam penelitian ini ketika ditanyakan apakah mereka mengetahui aturan tersebut menjawab bahwa mereka juga mengetahuinya. Berikut pernyataan hasil wawancara dengan salah satu informan.

Kalo pulang malam dengan pasangan lawan jenis, siap atau tidak ya harus dinikahkan (Ami).

Bila melihat tingkat pendidikan masyarakat Perkebunan Pulobauk berdasarkan angkatan kerjanya dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan


(58)

dengan persentase 32,82% dari total penduduk yang berusia 18-56 tahun sebanyak 454 orang. Sedangkan yang hanya tamat SD dan SLTP cukup banyak yaitu lebih dari 50% dari total penduduk yang berusia 18-56 tahun sebanyak 454 orang. Data ini dapat dijadikan bahan analisis untuk melihat bahwa orang tua di Perkebunan Pulobauk tingkat pendidikannya masih rendah. Hal ini dapat mendorong terjadinya percepatan orang tua dalam mengambil keputusan untuk menikahkan anak-anaknya karena kurangnya pemahaman tentang kesiapan dan resiko dari pernikahan pada usia muda. Pentingnya pendidikan tinggi bagi anak perempuan juga sering kali tidak menjadi pertimbangan bagi orang tua dalam memutuskan untuk menikahkan anaknya pada usia muda.

Perkebunan Pulobauk adalah salah satu bagian dari Desa Pijorkoling yang mana dalam kehidupan masyarakatnya menikah muda cukup banyak terjadi. Meskipun data rinci mengenai jumlah pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Perkebunan Pulobauk tidak ada, namun fenomena menikah muda merupakan hal yang biasa terjadi di masyarakat.

Ada beberapa hal yang menjadi sebab terjadinya pernikahan pada usia muda di masyarakat Perkebunan Pulobauk, yaitu kehamilan di luar nikah dan keputusan yang tidak matang untuk menikah muda. Adanya aturan mengenai jam keluar malam bagi pasangan yang belum menikah sering kali juga menjadi penyebab terjadinya pernikahan muda. Ada istilah kawin lari di masyarakat Desa Pijorkoling di mana seorang laki-laki membawa pergi pasangannya. Menurut Pak Sarman karena takut pulang terlambat ke rumah dan dimarahi oleh orang tua, ada saja pasangan yang akhirnya memutuskan untuk kawin lari. Berikut ini hasil wawancara dengan pak Sarman.


(59)

Tudia marmayam ni nagge ita boto i. Jadi anggo mulak ma alai tong jom sa I pastikan joko ma pandangan nialak i. Apalagi kebanyakan orang-orang yang pulang telat itu pasti takutnya itu pulang ke rumah, jadi itu lah jalan mereka itu tuk kawin lari (Pak Sarman).

Artinya:

(Jadi kalau kemanapun orang itu pergi main-mainnya kita nggak tahu. Jadi kalau pulangnya jam segitu pastikan jeleklah pandangan orang. Apalagi kebanyakan orang-orang yang pulang telat itu pasti takutnya itu pulang ke rumah, jadi itu lah jalan mereka itu tuk kawin lari.)

Pak Sarman juga menjelaskan bahwa kawin lari biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu dengan membuat partinggal atau pesan bagi orang tua. Istilah kawin lari sendiri pada masyarakat Desa Pijorkoling disebut marlojong. Berikut pernyataan pak Sarman.

Ada juga yang memang sudah direncanakan orang itu sendiri, itulah yang sering kawin lari kalau ada yang membuat partinggal itu, itu memang sudah direncanakan orang itu sendiri jadi dari partinggal itulah si orang tua tahu kalau anaknya sudah siap malangkah matobang dengan artian kawin lari (Pak Sarman).

Proses yang dilalui oleh pasangan muda yang ingin menikah tentulah berbeda-beda. Namun ada beberapa yang melalui satu proses yang sama di Perkebunan Pulobauk, yaitu dengan kawin lari meskipun situasi yang dihadapi pasangan ini berbeda-beda. Pernyataan dari beberapa informan berikut akan menggambarkan bagaimana proses hingga mereka menikah pada usia muda harus terjadi.

Pas tahu aku hamil, kak, jadi kubilanglah sama pacarku ini. Karena takut aku kan, kak, dia-diam aja aku sama keluargaku, jadi jarang makan jarang keluar. Karna aku pun masih sekolah di situ


(60)

rencanoon i. Tongah borngin jam 2 malam, madung di paete gandakku ahu di gang bagas hami dohot dongania 2 kereta, jadi sip sip keluar ma ahu sian jandela bagas nami. Tapi partinggal nai dilehen gandak ku hu bahen di toru ni bantal. Isi partinggalnya itu kain gendong dohot selembar kertas, bacaannya “Mak, pak, maafin aku ya. Jangan cari aku. Aku sidah melangkah matobang.” Niat pacarku ini mau bawa kami ke Aceh rumah kakaknya biar merantau di sana. Rupanya orang tua pacarku sudah hubungi kakak yang di Aceh bilangkan kalau kami disuruh pulang karena orang tuaku pun sudah datang ke rumah pacarku. Jadi kami disuruh pulang biar diurus gimana kelanjutannya. Jadi hari itu juga pulang, kak, kami ke Sidempuan. Berangkat siang dari Medan nyampe malam. Tapi aku sampe Sidempuan sudah dibawa ke rumah pacarku ini. Besoknya datanglah keluargaku ke rumah pacarku mau marpokat (mufakat keluarga). Jadi disitulah dibicarakan hubungan kami, tapi bapakku nggak mau dia, kak, aku langsung nikah karna aku masih sekolah kelas 3 SMA dan mau ujian. Jadi bapakku minta ikatan aja dulu, dikasih cincinlah aku sama pacarku 1 gram. Jadi nunggu aku siap UAN barulah nikah kami (Ami).

Berdasarkan pernyataan Ami di atas dapat dilihat bahwa Ami memutuskan untuk menikah muda karena dia sudah hamil terlebih dahulu. Untuk menutupi kondisi kehamilannya, Ami bersama pacarnya mencoba untuk kawin lari agar orang tua mereka segera merestui untuk menikahkan mereka berdua. Ami cukup mengetahui bagaimana nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya. Ami juga mengetahui adanya tradisi jika melakukan kawin lari perlu membuat partinggal agar orang tua mengetahui maksud anaknya meninggalkan rumah, maka Ami juga membuat pesan tersebut kepada orang tuanya. Sedangkan kasus lainnya dengan alasan yang berbeda proses yang dilalui informan dalam memutuskan untuk kawin lari juga berbeda. Hal ini dapat dilihat seperti dalam pernyataan Sri ketika diwawancara.


(61)

Dulu selama pacaran nggak kepikiran sampe nikah seperti ini. Awalnya memang keluargaku nggak setujunya kalau aku pacaran sama dia, karena nggak punya kerjaan yang tetap. Terus orang tuaku menjodohkan aku sama anak temannya diam-diam. Kujalani sama yang dijodohkan ini. Itulah ketahuan sama pacarku ini, dari situlah dia pengen ngajak nikah. Akupun nggak bisa kubohongi perasaanku kalau aku lebih sayang sama pacarku ini karena sudah lama juga kami jalani pacaran. Setelah kawin larilah kami baru setuju keluargaku sama dia (Sri).

Kasus pada Irma berikut ini sedikit berbeda dengan Ami meskipun yang menjadi alasan utama mereka untuk memutuskan menikah muda hampir sama yaitu hamil di luar nikah. Kondisi yang berbeda terjadi karena orang tua Irma sudah mengetahui anaknya hamil, sehingga dengan pertimbangan tidak mau mendapat gunjingan dari masyarakat sekitar mereka merestui menikahkan anaknya dengan membuat acara pernikahan untuk anaknya dengan mengikuti tradisi yang ada pada masyarakat Desa Pijorkoling. Adapun proses yang terjadi hingga Irma menikah muda dijelaskan Irma seperti pernyataannya berikut ini.

Waktu itu aku sudah hamil 2 bulan. Waktu itu aku kelas 3 SMA, pacarku baru saja tamat SMA. Kami milih untuk menikah karena desakan orang tua yang takut malu dan menghindari gunjingan dari masyarakat sekitar. Jadi mau tidak mau kami dinikahkan, pada saat menikah dalam keadaan mengandung kami cuma buat acara keluarga aja dan memanggil penghulu setelah itu buat acara makan-makan sekedar syukuran saja. Karena di sini sudah ada tradisi (manyantan boru) jadi kami buat acara khusus buat naposo nauli bulung (muda-mudi kampung setempat). Ini salah salah satu adat-istiadat dan tradisi yang ada di kampung, menandakan bahwa yang menikah tadi sudah siap malangkah matobang (berumah tangga) (Irma).


(62)

tidak terkecuali Asneli. Jadi, ketika dia menyadari bahwa dia bersama pacarnya sudah terlambat untuk pulang ke rumah, Asneli takut dimarahi orang tuanya. Pacar Asneli juga mengetahu mengenai aturan ini, namun karena sudah ada pula niat pacar Asneli untuk menikahi Asneli maka dia memanfaatkan kondisi ini untuk mendapat restu dari orang tua mereka. Pernyataan Asneli ketika diwawancara mengenai proses hingga mereka menikah muda dapat dilihat di bawah ini.

Aku kawin lari waktu itu karena telatnya aku pulang ke rumah, pergi main-main sama pacarku, memang dah sering kali pacar ku ini ngajak kawin, tapi aku aja yang belum siap, ntah kenapa pas pergi itu kami main-main lama kali pulang. Waktu itu ditanya abang itulah aku “Olo so disantan adek langsung?” biasanya dia becandanya kalau ngomong sampek kayak gitu, dia sering becanda kalau dah cerita kawin lari, jadi heranlah aku, serius do ho da bang, maborngin tu do ita on mulak, mabiar adek mangamuk alak umak, boto abang ma anggo dung mangamuk alai, habis ma au ona lanjan non. “Olo serius do au da”, katanya gitu, rupanya nggak dibawanya lagi aku pulang, udah dibawanya aku ke rumahnya. Pas baru-baru nyampek aku masih nunggu di luar, jadi dia yang masuk ke dalam rumah, ngomong dia sama mamaknya, umak madung malojongkon boru ma au katanya gitu, gak taulah ntah ngomong-nogmong apa orang itu di dalam, tiba-tiba dipanggilnyalah aku masuk ke dalam, agak takut-takut jugalah aku, takut aku dimarahi mamaknya, bapaknya udah meninggal. Trus ditanya-tanya mamaknya aku, sebelumnya memang uda kenal sama mamaknya. Langsung disuruh mamak bang Jefri ditelpon ke rumahku pake no hp bg Jefri, ini posisinya udah jam setengah 12. Diceritakan mamaknyalah, ulang be agoan amu da inang, namadung dibagas nami ma si Asnely, jadi bia domana roa ita baenon? Dibilang mamakku, bia doma eda, natardokkon beda, ita urus masoni, jadi atcogot rap tubagas majolo ita, aso ita pokati jolo sanga songon bia caritona. Itulah besoknya dibawalah aku pulang ke rumahku, sama keluarga bg


(1)

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

1. Pernikahan muda di Perkebunan Pulobauk pada umumnya melalui proses kawin lari. Hal ini telah membudaya di kalangan remaja di Perkebunan Pulobauk untuk dapat mendapat restu dari orang tua. 2. Pernikahan muda di Perkebunan Pulobauk juga banyak terjadi karena

banyaknya kejadian hamil di luar nikah.

3. Kurangnya pemahaman remaja Perkebunan Pulobauk mengenai pentingnya pendidikan sehingga banyak remaja Perkebunan Pulobauk yang putus sekolah.

4. Pernikahan muda yang terjadi di Perkebunan Pulobauk tidak mengubah kondisi sosial ekonomi pasangan suami istri. Rendahnya pendidikan mengakibatkan kelurga muda ini sulit untuk meningkatkan perekonomian mereka.

6.2. Saran

1. Perlu adanya perhatian pemerintah untuk menurunkan jumlah pernikahan muda. Hal ini karena dengan banyaknya pernikahan muda dapat meningkatkan laju pertumbuhan penduduk. Belum lagi kehamilan muda juga beresiko terhadap kesehatan ibu dan anak.

2. Perlunya diadakan penyadaran terhadap masyarakat untuk menunda pernikahan anak pada usia muda agar ada pemahaman pada


(2)

78

masyarakat sehingga tidak cepat untuk memutuskan menikahkan anaknya.

3. Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Perkebunan Pulobauk akan pentingnya pendidikan kepada anak-anaknya, sehingga akan menunda usia pernikahan terhadap anak-anaknya.

4. Perlu ada pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah agar remaja mendapatkan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi dan lebih berhati-hati dalam menjalin relasi dengan pasangannya yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah.

5. Perlu ada tindakan sinergis antara unsur masyarakat untuk pemberdayaan kelembagaan perkawinan, meliputi tokoh masyarakat, tokoh agama, warga masyarakat, dan aparat pemerintah yang terkait dengan kelembagaan perkawinan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghifari, A. 2000. Pernikahan Dini, Dilema Generasi Ekstravaganza. Bandung: Mujahid.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Medi Group.

Fadlyana, Eddy, dkk. 2009. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Jurnal Sari Pediatri, Volume 11, No. 2, Agustus 2009.

Herdiyanto, Arief. Penyimpangan Sosial. Modul Sos.II.01.

Ikhsan, Azam Syukur Rahmatullah. 2004. Menikah Muda, Siapa Takut!. Yogyakarta : Indiebooks Yogyakarta.

Kamban, Normawati, dkk. 2011. Perkawinan Usia Muda (Studi Kasus Di Desa Sapan, Kecamatan Pana, Kabupaten Mamasa. Skripsi, tidak diterbitkan. (http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/232).

Khairuddin. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Kodiran. Jurnal Humaniora No. 8, Juni- Agustus 1998. Akulturasi sebagai mekanisme perubahan kebudayaan.

Landung, Juspin, dkk. Jurnal MKMI, Vol 5 No. 4, Oktober 2009, hal 89-94. Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja.

Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.


(4)

80

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 1988. Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.

(http://www.jurnalhukum.com/pengertian-perkawinan/)

Setiadi, Elly M. & Usman Kolip. Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Soekanto, Soerjono & Ratih Lestarini. 1988. Seri Pengenalan Sosiologi 9: Sosiologi Penyimpangan. Jakarta: Rajawali Pers.

Suyanto, Bagong, dkk. 2005. Metode Penelitian Sosial ; Berbagai Alternative Pendekatan. Edisi 1. Jakarta : prenada media.

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Wisadirana, Darsono. 2005. Sosiologi Pedesaan: Kajian Kultural dan Struktural Masyrakat Pedesaan. Malang: UMM Press.

                 


(5)

 

INTERVIEW GUIDE

Profil Informan

1. Nama : 2. Jenis Kelamin :

3. Usia :

4. Pendidikan Terakhir : 5. Latarbelakang keluarga : 6. Suku : 7. Pekerjaan : 8. Jumlah anak :

A. Pasangan Suami/ istri yang melakukan perkawinan usia muda 1. Pada saat umur berapa anda menikah?

2. Pada umur berapa pasangan anda saat anda menikahinya?

3. Apa alasan anda menikah muda? (keinginan sendiri/ keinginan orangtua/ karena terpaksa)

4. Bagaimana proses yang dilalui hingga anda dinikahkan pada usia muda? 5. Apa status anda sebelum menikah? (sudah bekerja/ masih sekolah) 6. Bagaimana kondisi sosial ekonomi anda sebelum menikah?

7. Bagaimana kondisi sosial ekonomi anda setelah menikah?

8. Apakah anda mengetahui adanya norma-norma dalam masyarakat yang terkait dengan perkawinan?

9. Apa aktifitas sehari-hari sebelum menikah?

10.Apakah anda mengetahui tentang aturan usia perkawinan di Indonesia? 11.Apakah ada aturan adat yang dipegang teguh oleh masyarakat?

12.Apakah anda tahu apa peran anda dalam keluarga setelah menikah?

13.Bagaimana anda memenuhi kebutuhan ekonomi (kebutuhan sehari-hari) setelah menikah?

14.Bagaimana anda mengurus anak setelah melahirkan? (megurus sendiri/ minta bantu sama orangtua atau mertua)

B. Orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda

1. Apa alasan anda/ pertimbangan anda untuk menikahkan anak anda pada usia muda?

2. Bagaimana anda memandang tentang pernikahan muda?

3. Adakah nilai-nilai atau adat istiadat yang dipertahankan dalam masyarakat terkait dengan pernikahan?

4. Bagaimana nilai dan norma yang ada, andaa sosialisasikan kepada anak anda?

5. Menurut anda apa yang menjadi faktor banyak terjadi perkawinan muda di desa ini?

6. Bagaimana pandangan anda tentang kondisi sosial ekonomi pasangan yang menikah muda?


(6)

82 C. Tokoh adat

1. Apa saja nilai dan norma yang ada di masyarakat desa ini yang masih dipegang teguh?

2. Apa bentuk sanksi bagi yang melanggar norma tersebut? 3. Bagaimana pandangan anda tentang pernikahan muda?

4. Bagaimana pandangan anda tentang kondisi sosial ekonomi pasangan yang menikah muda?

5. Bagaimana masyarakat menyosialisasikan nilai dan norma yang ada pada generasi muda?