yang bertempat tinggal lebih dahulu tidak menyombongkan diri atau merasa berkuasa terhadap masyarakat yang baru
saja datang. Hubungan itu tetap dijaga antara satu dengan yang lainnya dimana saling menghormati dan menghargai.
Masalah sosial yang dihadapi masyarakat di desa ini lebih banyak berkaitan dengan tingkat kesejahteraan
mereka. Bantuan dari pemerintah belum terealisir dengan baik, seperti misalnya bantuan dari dinas pertanian di
mana setiap KK memperoleh 100 bibit pohon pala, tetapi tidak disertai dengan penentuan lokasi atau area untuk
bertanam, sehingga masyarakat kesulitan mencari lokasi di pegunungan, di mana lokasi tersebut masih masuk dalam
petuanan warga asli desa ini. Akhirnya, masyarakat harus mencari uang untuk menyewa atau membeli tanah untuk
menanam bibit pala tersebut.
Persoalan lain berkaitan dengan hak kepemilikan tanah juga terjadi di mana telah sekitar 16 tahun mereka belum
memiliki sertiikat tanah. Persoalan lain berhubungan dengan lahan yang akan mereka gunakan sebagai mata
pencaharian, sampai saat ini belum ada kejelasan yang spesiik mengenai lahan garapan yang boleh dikelola.
Perjanjian yang pernah ditandatangani menyatakan bahwa setiap KK mendapat 2 hektar seperti yang dijanjikan oleh
pemerintah, tetapi belum tidak terealisasikan dengan baik, sehingga sampai dengan saat ini mereka masih kebingungan
dengan lahan garapan tersebut.
O. Dusun Salas
15
Salas merupakan sebuah dusun dari Negeri Waru, Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur. Negeri
Waru terdiri dari beberapa dusun yaitu: Banggoe, Hote, Bula, Salas, Dawan, Solan, dan Beles. Semua kepala dusun
pada daerah ini ditentukan oleh Negeri Waru. Marga asli yang ada di Salas yaitu: fatifelat, fatifelan, lespatti,
henlau, dan mekal. Secara geograis, Dusun Salas di bagian utara berbatasan dengan Laut Seram, di sebelah selatan
berbatasan dengan Werenama, di bagian timur berbatasan dengan Dawang dan Solan, dan di sebelah barat berbatasan
dengan Bula. Jarak antara Salas dengan Kota Kecamatan Bula sekitar 10 Km.
Dusun Salas banyak mengalami perpindahan letak pemukiman dari gunung sampai ke pesisir dan akhirnya
kembali ke daerah dataran tinggi. Pada masa lalu kampung Salas berada di atas gunung yang bernama Palamuta
takut dan kampungnya bernama Labalala yang artinya kampung Lia-lia, karena dari posisi kampung yang terletak
di atas gunung dengan mudah masyarakat melihat semua kampung-kampung yang ada di dataran rendah sampai
pesisir. Pada masa itu Salas dipimpin oleh mata rumah Fatifelat dan Fatifelan raja gunung, kemudian kampung
pindah ke pesisir lubang gurita karena pada kampung gunung mereka terkena penyakit yang menyebabkan
kematian warganya. Setelah pindah ke pesisir kampung berubah nama menjadi Salas, dan dipimpin oleh matarumah
Lespati raja pante. Kampung ini dinamakan Salas karena pada masa perpindahan mereka di wilayah Seram Timur
15
Data yang diketengahkan dalam tulisan bagian ini bersumber dari Laporan Hasil Assesmen IRE Yogyakarta tahun 2012.
sedang bergejolak perang Siwalima. Salas adalah asal dari kata Salayatan yang berarti buka hati, artinya masyarakat
Salas merasa sedih melihat korban para Kapitan maka mereka menolong untuk mengobati.
Pada awalnya, warga Dusun Salas memeluk agama suku. Akan tetapi setelah ada pengaruh pendatang pada masa
kolonial, masyarakat adat Dusun Salas mulai memeluk Kristen Protestan. Pada saat
konlik sosial berkecamuk, tahun 2000, masyarakat Salas mulai memeluk Islam. Pada
tanggal 24 Desember 2010, masyarakat Salas terkena musibah banjir bandang yang menghancurkan desa me-
reka, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk pin- dah bermukim di dataran yang lebih tinggi. Pada saat
itu, mereka dibantu oleh Dinas Sosial, melalui program pemukiman kembali resettlement. Namun, hingga saat
ini masih ada beberapa KK yang masih tinggal di dekat pemukiman lama, karena mereka ingin dekat mendiami
lahannya sendiri.
Saat ini Dusun Salas didiami oleh 59 KK. Mereka adalah masyarakat asli Salas. Namun, saat ini warga Salas
bertambah setidaknya 7 KK baru. Mereka adalah keluarga tenaga pengajar yang mulai menetap di Dusun Salas. Saat
ini tidak semua warga Salas menetap di daerah dataran tinggi Salas Atas, sebagian dari mereka, yakni sebanyak
17 KK memilih menetap di daerah pesisir Salas Bawah. Dusun Salas sebagai anak negeri dari Negeri Waru, karena
itu Salas diberi tanggung jawab untuk menjaga wilayah Negeri Waru untuk menangani beberapa urusan, termasuk
menangani atau mengurus masalah jika ada kerbau yang mati.
Di Salas tidak terdapat kelompok IDPs akibat konlik
horisontal tahun 1999. Namun, sebagian dari mereka
terrelokasi dari pemukiman aslinya pindah ke Salas Atas karena adanya bencana alam, ketika banjir terjadi akibat
meluapnya Sungai Salas yang bebarengan dengan terjadinya pasang air laut yang naik hingga ke daratan daerah Salas
Bawah. Pada saat itu, permukiman warga terendam sekitar 1 meter. Akibatnya, masyarakat Salas yang dulunya
bermukim di pesisir pantai tetapi kini menetap di Salas Atas, mereka beralih profesi menjadi petani, tidak lagi
sebagai nelayan seperti dahulu ketika belum terkena bencana banjir. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari mereka mengandalkan hasil pertanian darat, berburu, dan hasil-hasil hutan lainnya.
Bila dicermati lebih dalam, Salas juga menyimpan potensi konlik horizontal. Perselisihan antar warga paska terjadinya
bencana banjir memunculkan gesekan berkaitan dengan lokasi permukiman baru. Mereka terkotakkan menjadi dua
kelompok, Salas bawah dan Salas atas. Pasca bencana itu, sebenarnya di antara mereka sudah pernah dikumpulkan
oleh pemerintah setempat untuk mencari solusi bersama. Namun demikian, belum ada kesepakatan yang permanen.
Pasalnya, sebagian warga masih mempersoalkan warga yang membangun permukiman di Salas Atas, karena
kawasan tersebut merupakan kawasan penyangga
bufer soze. Salas Atas juga menjadi lokasi reboisasi pada masa-
masa sebelumnya. Sementara, menurut keyakinan mereka yang memilih menetap daerah Salas Atas, lokasi tersebut
merupakan bagian dari wilayah perkebunan mereka, yang merupakan warisan daeri leluhurnya.
Fenomena lain yang cukup menarik, para guru yang bertugas di Salas mendapatkan posisi sosial yang
sangat terhormat di tengah masyarakat, bahkan mereka mendapatkan keistimewaan untuk turut ambil peran dalam
menentukan kebijakan pemerintah desa. Para guru sangat berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan pemerintah
desa, karena mereka dianggap sebagai kelompok yang ber
pendidikan lebih tinggi, sedangkan warga Salas kebanyakan tidak bersekolah. Tentu saja, hal tersebut
sangat mempengaruhi pola kehidupan mereka.
IDPs di Dusun Salas
Di Salas tidak ditemui IDPs, mereka terrelokasi dari pe- mukiman mereka semula akibat bencana alam meluapnya
Sungai Salas yang mengakibatkan banjir bandang di lokasi pemukiman mereka. Bersamaan dengan itu, air laut sedang
pasang naik sehingga pemukiman terendam lebih dari 1 meter. Dengan kondisi yang demikian, akhirnya warga
membangun tempat pemukiman baru yang lebih ke arah gunung dengan ketinggian yang cukup untuk menghindari
banjir, tetapi masih dalam wilayah petuanan Salas.
Akibat dari bencana itu, masyarakat Salas yang ber- mukim di pesisir pantai yang biasanya memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari dari laut, beralih ke sektor pertanian. Kondisi pemukiman mereka yang di atas bukit berakibat
jarang sekali mereka melaut untuk mencari ikan, sekarang kebutuhan mereka untuk makan semua tergantung dari
hasil darat dengan bertani, berburu, dan dari hasil-hasil hutan lainnya.
Penduduk Salas memiliki konlik horizontal di antara
warga. Pascabencana alam, masyarakat Salas mendiami 2 lokasi tempat tinggal yang berbeda, sebut saja Salas
Bawah dan Salas Atas. Masyarakat dan pemerintah Salas sempat melakukan pertemuan utuk membicarakan lokasi
pemukiman mereka yang baru setelah bencana banjir.
Sebagian besar masyarakat memilih untuk membangun pemukiman mereka di tempat yang cukup tinggi agar
terhindar dari musibah yang sama. Lokasi ini pun memiliki sumber air yang sangat baik. Setelah lokasi tersebut
disepakati oleh masyarakat, ternyata ada sebagian kecil masyarakat yang memilih lokasi lain di tepi sungai. Mereka
mendirikan pemukiman pada bagian tanah perkebunan mereka.
Deskripsi 15 lokasi program di atas memberikan gam- baran tentang keanekaragaman karakter kelompok sasaran
Program MATASIRI. Keanekaragaman yang dimaksud bukan hanya menyajikan perbedaan karakter yang dikaitkan
dengan situasi demograi yang bercorak urban dan rural, akan tetapi juga keanekaragaman agama atau keyakinan
yang dianut oleh kelompok sasaran. Hal ini tentu saja ada kaitannya dengan salah satu isu utama yang diusung oleh
Program MATASIRI, yakni upaya bina damai dan integrasi berkelanjutan untuk daerah yang baru saja pulih dari
keterpurukan akibat
konlik horizontal—yang salah satunya dipicu adanya perbedaan keyakinan atau agama.
Selain perbedaan karakter yang disebutkan di atas, jarak antar kelompok sasaran atau sebaran lokasi program
juga menjadi hal penting yang diilustrasikan dalam Bab II ini. Hal ini juga ada kaitannya dengan argumen dasar
yang menjadi pijakan pemilihan lokasi Program MATASIRI. MATASIRI juga dimaksudkan untuk menyemai negeri
desakelurahan sebagai pionir dalam proses perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, semakin berjarak di antara
lokasi-lokasi program, pengaruh pionir terhadap wilayah di sekitarnya diharapkan akan semakin luas. Dengan dekikian,
jangkauan pengaruh program juga akan semakin meluas.
m
BAB III
Peta Jalan Penyusunan Dokumen Rencana Pembangunan
“... pada kenyatannya, banyak yang kecewa dengan Musrenbang musyawarah perencanaan pembangunan-red dan tidak mau lagi
hadir dalam rapat Musrenbang tersebut. Masyarakat merasa jengkel, kecewa, dan jenuh karena setiap usulan yang disampaikan dalam
forum Musrenbang tidak pernah menjadi kenyataan.” Jul Haidir Iskandar Alam, Tokoh Pemuda Negeri Rutah, Kabupaten
Maluku Tengah “... selama ini fase yang lazim dikenal dalam tahapan perencanaan
adalah pra Musrenbang lalu ada forum Musrenbang negeri atau ke- lurahan dan seterusnya. Tetapi, sebetulnya yang dibutuhkan adalah
pro-Musrenbang. Apa itu? Yaitu perilaku atau kebijakan pemban- gunan yang berbasis pada hasil Musrenbang. Ini agar usulan dalam
Musrenbang bisa terakomodir dan dilaksanakan oleh pemerintah sehingga tidak ada lagi kekecewaan.”
Idris Latarissa, Fasilitator lokal Negeri Rutah, Kabupaten Maluku Tengah
“... pasca konlik, forum Musrenbang belum banyak bermanfaat bagi
pembangunan negeri. Usulan-usulan yang disampaikan melalui Mus- renbang tidak pernah terealisasi.”
Kaur Pemerintahan Negeri Waai, Kabupaten Maluku Tengah