Negeri Hatuhenu Binder1 Buku MATASIRI 7 Mei 2014 kecil

yang bertempat tinggal lebih dahulu tidak menyombongkan diri atau merasa berkuasa terhadap masyarakat yang baru saja datang. Hubungan itu tetap dijaga antara satu dengan yang lainnya dimana saling menghormati dan menghargai. Masalah sosial yang dihadapi masyarakat di desa ini lebih banyak berkaitan dengan tingkat kesejahteraan mereka. Bantuan dari pemerintah belum terealisir dengan baik, seperti misalnya bantuan dari dinas pertanian di mana setiap KK memperoleh 100 bibit pohon pala, tetapi tidak disertai dengan penentuan lokasi atau area untuk bertanam, sehingga masyarakat kesulitan mencari lokasi di pegunungan, di mana lokasi tersebut masih masuk dalam petuanan warga asli desa ini. Akhirnya, masyarakat harus mencari uang untuk menyewa atau membeli tanah untuk menanam bibit pala tersebut. Persoalan lain berkaitan dengan hak kepemilikan tanah juga terjadi di mana telah sekitar 16 tahun mereka belum memiliki sertiikat tanah. Persoalan lain berhubungan dengan lahan yang akan mereka gunakan sebagai mata pencaharian, sampai saat ini belum ada kejelasan yang spesiik mengenai lahan garapan yang boleh dikelola. Perjanjian yang pernah ditandatangani menyatakan bahwa setiap KK mendapat 2 hektar seperti yang dijanjikan oleh pemerintah, tetapi belum tidak terealisasikan dengan baik, sehingga sampai dengan saat ini mereka masih kebingungan dengan lahan garapan tersebut.

O. Dusun Salas

15 Salas merupakan sebuah dusun dari Negeri Waru, Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur. Negeri Waru terdiri dari beberapa dusun yaitu: Banggoe, Hote, Bula, Salas, Dawan, Solan, dan Beles. Semua kepala dusun pada daerah ini ditentukan oleh Negeri Waru. Marga asli yang ada di Salas yaitu: fatifelat, fatifelan, lespatti, henlau, dan mekal. Secara geograis, Dusun Salas di bagian utara berbatasan dengan Laut Seram, di sebelah selatan berbatasan dengan Werenama, di bagian timur berbatasan dengan Dawang dan Solan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Bula. Jarak antara Salas dengan Kota Kecamatan Bula sekitar 10 Km. Dusun Salas banyak mengalami perpindahan letak pemukiman dari gunung sampai ke pesisir dan akhirnya kembali ke daerah dataran tinggi. Pada masa lalu kampung Salas berada di atas gunung yang bernama Palamuta takut dan kampungnya bernama Labalala yang artinya kampung Lia-lia, karena dari posisi kampung yang terletak di atas gunung dengan mudah masyarakat melihat semua kampung-kampung yang ada di dataran rendah sampai pesisir. Pada masa itu Salas dipimpin oleh mata rumah Fatifelat dan Fatifelan raja gunung, kemudian kampung pindah ke pesisir lubang gurita karena pada kampung gunung mereka terkena penyakit yang menyebabkan kematian warganya. Setelah pindah ke pesisir kampung berubah nama menjadi Salas, dan dipimpin oleh matarumah Lespati raja pante. Kampung ini dinamakan Salas karena pada masa perpindahan mereka di wilayah Seram Timur 15 Data yang diketengahkan dalam tulisan bagian ini bersumber dari Laporan Hasil Assesmen IRE Yogyakarta tahun 2012. sedang bergejolak perang Siwalima. Salas adalah asal dari kata Salayatan yang berarti buka hati, artinya masyarakat Salas merasa sedih melihat korban para Kapitan maka mereka menolong untuk mengobati. Pada awalnya, warga Dusun Salas memeluk agama suku. Akan tetapi setelah ada pengaruh pendatang pada masa kolonial, masyarakat adat Dusun Salas mulai memeluk Kristen Protestan. Pada saat konlik sosial berkecamuk, tahun 2000, masyarakat Salas mulai memeluk Islam. Pada tanggal 24 Desember 2010, masyarakat Salas terkena musibah banjir bandang yang menghancurkan desa me- reka, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk pin- dah bermukim di dataran yang lebih tinggi. Pada saat itu, mereka dibantu oleh Dinas Sosial, melalui program pemukiman kembali resettlement. Namun, hingga saat ini masih ada beberapa KK yang masih tinggal di dekat pemukiman lama, karena mereka ingin dekat mendiami lahannya sendiri. Saat ini Dusun Salas didiami oleh 59 KK. Mereka adalah masyarakat asli Salas. Namun, saat ini warga Salas bertambah setidaknya 7 KK baru. Mereka adalah keluarga tenaga pengajar yang mulai menetap di Dusun Salas. Saat ini tidak semua warga Salas menetap di daerah dataran tinggi Salas Atas, sebagian dari mereka, yakni sebanyak 17 KK memilih menetap di daerah pesisir Salas Bawah. Dusun Salas sebagai anak negeri dari Negeri Waru, karena itu Salas diberi tanggung jawab untuk menjaga wilayah Negeri Waru untuk menangani beberapa urusan, termasuk menangani atau mengurus masalah jika ada kerbau yang mati. Di Salas tidak terdapat kelompok IDPs akibat konlik horisontal tahun 1999. Namun, sebagian dari mereka terrelokasi dari pemukiman aslinya pindah ke Salas Atas karena adanya bencana alam, ketika banjir terjadi akibat meluapnya Sungai Salas yang bebarengan dengan terjadinya pasang air laut yang naik hingga ke daratan daerah Salas Bawah. Pada saat itu, permukiman warga terendam sekitar 1 meter. Akibatnya, masyarakat Salas yang dulunya bermukim di pesisir pantai tetapi kini menetap di Salas Atas, mereka beralih profesi menjadi petani, tidak lagi sebagai nelayan seperti dahulu ketika belum terkena bencana banjir. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari mereka mengandalkan hasil pertanian darat, berburu, dan hasil-hasil hutan lainnya. Bila dicermati lebih dalam, Salas juga menyimpan potensi konlik horizontal. Perselisihan antar warga paska terjadinya bencana banjir memunculkan gesekan berkaitan dengan lokasi permukiman baru. Mereka terkotakkan menjadi dua kelompok, Salas bawah dan Salas atas. Pasca bencana itu, sebenarnya di antara mereka sudah pernah dikumpulkan oleh pemerintah setempat untuk mencari solusi bersama. Namun demikian, belum ada kesepakatan yang permanen. Pasalnya, sebagian warga masih mempersoalkan warga yang membangun permukiman di Salas Atas, karena kawasan tersebut merupakan kawasan penyangga bufer soze. Salas Atas juga menjadi lokasi reboisasi pada masa- masa sebelumnya. Sementara, menurut keyakinan mereka yang memilih menetap daerah Salas Atas, lokasi tersebut merupakan bagian dari wilayah perkebunan mereka, yang merupakan warisan daeri leluhurnya. Fenomena lain yang cukup menarik, para guru yang bertugas di Salas mendapatkan posisi sosial yang sangat terhormat di tengah masyarakat, bahkan mereka mendapatkan keistimewaan untuk turut ambil peran dalam menentukan kebijakan pemerintah desa. Para guru sangat berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan pemerintah desa, karena mereka dianggap sebagai kelompok yang ber pendidikan lebih tinggi, sedangkan warga Salas kebanyakan tidak bersekolah. Tentu saja, hal tersebut sangat mempengaruhi pola kehidupan mereka. IDPs di Dusun Salas Di Salas tidak ditemui IDPs, mereka terrelokasi dari pe- mukiman mereka semula akibat bencana alam meluapnya Sungai Salas yang mengakibatkan banjir bandang di lokasi pemukiman mereka. Bersamaan dengan itu, air laut sedang pasang naik sehingga pemukiman terendam lebih dari 1 meter. Dengan kondisi yang demikian, akhirnya warga membangun tempat pemukiman baru yang lebih ke arah gunung dengan ketinggian yang cukup untuk menghindari banjir, tetapi masih dalam wilayah petuanan Salas. Akibat dari bencana itu, masyarakat Salas yang ber- mukim di pesisir pantai yang biasanya memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dari laut, beralih ke sektor pertanian. Kondisi pemukiman mereka yang di atas bukit berakibat jarang sekali mereka melaut untuk mencari ikan, sekarang kebutuhan mereka untuk makan semua tergantung dari hasil darat dengan bertani, berburu, dan dari hasil-hasil hutan lainnya. Penduduk Salas memiliki konlik horizontal di antara warga. Pascabencana alam, masyarakat Salas mendiami 2 lokasi tempat tinggal yang berbeda, sebut saja Salas Bawah dan Salas Atas. Masyarakat dan pemerintah Salas sempat melakukan pertemuan utuk membicarakan lokasi pemukiman mereka yang baru setelah bencana banjir. Sebagian besar masyarakat memilih untuk membangun pemukiman mereka di tempat yang cukup tinggi agar terhindar dari musibah yang sama. Lokasi ini pun memiliki sumber air yang sangat baik. Setelah lokasi tersebut disepakati oleh masyarakat, ternyata ada sebagian kecil masyarakat yang memilih lokasi lain di tepi sungai. Mereka mendirikan pemukiman pada bagian tanah perkebunan mereka. Deskripsi 15 lokasi program di atas memberikan gam- baran tentang keanekaragaman karakter kelompok sasaran Program MATASIRI. Keanekaragaman yang dimaksud bukan hanya menyajikan perbedaan karakter yang dikaitkan dengan situasi demograi yang bercorak urban dan rural, akan tetapi juga keanekaragaman agama atau keyakinan yang dianut oleh kelompok sasaran. Hal ini tentu saja ada kaitannya dengan salah satu isu utama yang diusung oleh Program MATASIRI, yakni upaya bina damai dan integrasi berkelanjutan untuk daerah yang baru saja pulih dari keterpurukan akibat konlik horizontal—yang salah satunya dipicu adanya perbedaan keyakinan atau agama. Selain perbedaan karakter yang disebutkan di atas, jarak antar kelompok sasaran atau sebaran lokasi program juga menjadi hal penting yang diilustrasikan dalam Bab II ini. Hal ini juga ada kaitannya dengan argumen dasar yang menjadi pijakan pemilihan lokasi Program MATASIRI. MATASIRI juga dimaksudkan untuk menyemai negeri desakelurahan sebagai pionir dalam proses perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, semakin berjarak di antara lokasi-lokasi program, pengaruh pionir terhadap wilayah di sekitarnya diharapkan akan semakin luas. Dengan dekikian, jangkauan pengaruh program juga akan semakin meluas.  m BAB III Peta Jalan Penyusunan Dokumen Rencana Pembangunan “... pada kenyatannya, banyak yang kecewa dengan Musrenbang musyawarah perencanaan pembangunan-red dan tidak mau lagi hadir dalam rapat Musrenbang tersebut. Masyarakat merasa jengkel, kecewa, dan jenuh karena setiap usulan yang disampaikan dalam forum Musrenbang tidak pernah menjadi kenyataan.” Jul Haidir Iskandar Alam, Tokoh Pemuda Negeri Rutah, Kabupaten Maluku Tengah “... selama ini fase yang lazim dikenal dalam tahapan perencanaan adalah pra Musrenbang lalu ada forum Musrenbang negeri atau ke- lurahan dan seterusnya. Tetapi, sebetulnya yang dibutuhkan adalah pro-Musrenbang. Apa itu? Yaitu perilaku atau kebijakan pemban- gunan yang berbasis pada hasil Musrenbang. Ini agar usulan dalam Musrenbang bisa terakomodir dan dilaksanakan oleh pemerintah sehingga tidak ada lagi kekecewaan.” Idris Latarissa, Fasilitator lokal Negeri Rutah, Kabupaten Maluku Tengah “... pasca konlik, forum Musrenbang belum banyak bermanfaat bagi pembangunan negeri. Usulan-usulan yang disampaikan melalui Mus- renbang tidak pernah terealisasi.” Kaur Pemerintahan Negeri Waai, Kabupaten Maluku Tengah