potensi bidang pariwisata. Lautan yang luas dengan pan- tainya yang sangat indah merupakan potensi luar biasa
untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata pesisir dan bahari yang prospektif. Sebagian dasar laut yang dangkal,
dengan keanekaragaman biota bawah laut, termasuk ter- umbu karang yang warna-warni, menyediakan eksotisme
pemandangan bawah laut yang bisa dikembangkan menjadi paket wisata menyelam diving dan snoorkling yang dapat
mendongkrak kesejahteraan warga. Sejauh ini, baru Pantai Mono dan Kokolono yang ada di sekitar Negeri Rutah
dan Dusun Haruo, yang sudah dikembangkan dan ber ha- sil menarik kunjungan wisatawan lokal dan regional. Se-
lebihnya, masih membutuhkan komitmen pemerintah lokal untuk memberikan dukungan politik dan pendanaan
agar dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi warga masyarakat Rutah dan sekitarnya.
Di luar potensi yang telah disebutkan di atas, Negeri Rutah juga dikenal dengan sumber daya tambangnya, khu-
susnya bahan tambang galian-C berupa pasir dan kerikil yang berkualitas untuk bahan bangunan. Namun demikian,
kebutuhan akan bahan bangunan tersebut sangat tinggi di pasaran. Akibatnya, kegiatan ekstraksi tersebut semakin
hari semakin masif dilakukan, sehingga mulai menimbulkan kekawatiran masyarakat jikalau nantinya akan mengancam
keberlanjutan kegiatan sektor pariwisata pesisir dan ba- hari. Ada dilema serius yang menghantui pemerintah se-
tempat. Di satu sisi mereka ingin melindungi kelestarian lingkungan, di sisi lain mereka dituntut untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat guna mengurangi kemiskinan, yang angkanya masih relatif tinggi. Setidaknya terdapat 70 KK
yang masih masuk kategori miskin, dan terdapat sekurang- kurangnya 62 unit rumah yang masuk katagori kurang layak
huni.
Dalam sistem pemerintahan adat di Negeri Rutah, terdapat perangkat-perangkat kelembagaan adat yang
bertugas membantu proses pelaksanaan pemerintahan. Kelembagaan adat di Negeri Rutah umumnya sama dengan
kelembagaan adat di negeri lainnya, seperti Lembaga Saniri, Lembaga Soa, dan Lembaga Kewang. Selain itu, Negeri
Rutah juga memiliki beberapa lembaga kemasyarakatan yang bisa berkontribusi terhadap pembangunan negeri.
Kelembagaan itu antara lain, organisasi TP PKK dan Dasawisma, Karangtaruna, Remaja Masjid, Majelis Ta’lim,
Kelompok Nelayan, Kelompok Tani, dan Koperasi Unit Desa.
Di bidang lingkungan dan kesehatan, Negeri Rutah juga masih menghadapi persoalan kultur yang perlu dibenai.
Masih banyak warga Rutah yang membuang sampah sembarangan, sehingga banyak sampah yang berceceran
dan tertimbun di kebun, selokan, sungai, bawah jembatan, dan bahkan di tepian pantai. Lebih memprihatinkan lagi,
sebagian warga masih terbiasa membuang air besar BAB di pantai. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan risiko
penyebaran penyakit menular berbahaya, yang dapat mengancam kesehatan warga di kemudian hari.
IDPs di Negeri Rutah
Berdasar hasil observasi, di Negeri Rutah tidak terdapat komunitas IDPs yang terkonsentrasi di suatu wilayah
tertentu. Mereka tersebar di berbagai wilayah di negeri ini.
M. Negeri Hatuhenu
13
Negeri Hatuhenu Nusa Taun telah ada sejak ratusan tahun yang lampau, sejak terjadinya perang saudara di
Pulau Seram Nunusaku antara Patasiwa dan Patalima. Bermula dua saudara Nusa Taun dan Seriholo mencari
tempat pemukiman yang baru. Mereka tinggal berturut- turut di dua tempat, yaitu Makina Maga dan Asa Saruto
Hitu. Di Seriholo, mereka berpisah. Nusa Taun meneruskan perjalanan ke timur. Dalam perjalanan dan ketika
menghadapi berbagai hambatan, Nusa Taun ditolong oleh Totem Arikal, Maleu, Babi, dan Laba-laba.
Sebelum mendapat tempat tinggal seperti yang sekarang ini, Nusa Taun berkali-kali pindah dari satu tempat ke
tempat lain. Hingga saat ini, terhitung sudah sebanyak 10 kali, yaitu: di Makinamaga, Asasarutohitu, Kolikolia,
Tihusamalo, Tihulatan, Samasuru, Latutana, Yainuelo, Hatuhenu, dan terakhir di Kartane.
Sejauh ini, Hatuhenu telah melalui banyak peristiwa penting, di antaranya, di Tihulatan mereka melakukan
pela dengan marga Wasolo dan bergabung dengan marga Pia Sepa, dan di Samasuru Hatuhenu hidup berdampingan
bersama Lalato Sepa, Marihunu Nuweletetu, dan Nuahatan Nuaulu. Di sini, mereka mengangkat sumpah
untuk hidup bersama selaku orang bersaudara. Pada tahun 1950 sampai 1960, sesudah pergolakan RMS, Hatuhenu
mengusahakan tempat tinggal, dari Yainuelo ke Hatuhenu. Pada periode 1977-1993, Hatuhenu membangun gedung
gereja permanen Gereja Sion.
13
Data yang digunakan dalam tulisan bagian ini, bersumber dari Laporan Hasil Assessment IRE Yogyakarta tahun 2012 dan RPJM
Negeri Hatuhenu 2013 – 2017.
Pada konlik tahun 1999, Hatuhenu hancur luluh lantak
rata dengan tanah. Warga masyarakat banyak yang lari menyelamatkan diri, dan tinggal menyebar di daerah
Waipia, Amahai, dan beberapa daerah aman lainnya. Se- lama itu, masyarakat berupaya mencari tempat guna
membangun pemukiman yang baru, yaitu di Tihusamalo dan Timur Jaya. Pada tahun 2001, para tetua adat Desa
Hatuhenu mengadakan pendekatan dengan Pemerintah dan Saniri Negeri Haruru. Hasilnya, secara kekeluargaan
mereka mendapatkan tanah seluas 97 Ha untuk lokasi tempat tinggal baru, yang kemudian disebut sebagai lokasi
transmigrasi.
Lokasi transmigrasi tersebut kemudian mendapatkan surat pelepasan hak dari Negeri Haruru No: 50003DH
VIII2001, yang disahkan oleh Camat Amahai, A. Corputty BA, pada tanggal 21 Agustus 2001, dan diteruskan ke Dinas
Transmigrasi Propinsi Maluku untuk lokasi pembangunan komplek rumah transmigrasi sebanyak 300 unit, mengikuti
skema tahun anggaran 20012002. Pada tahun 2003, masyarakat mulai menempati areal Transmigrasi Swakarsa
Mandiri di Kartane. Sebuah sekolah dasar permanen dibangun oleh pemerintah pada tahun 2004, menggantikan
sekolah darurat. Setelah kurang lebih 7 tahun menempati lokasi baru itu, maka pada 29 April 2010, dipilihlah seorang
kepala dusun Hatuhenu, Beni Maollo.
Pada perkembangannya, warga masyarakat Hatuhenu ber
hasil membangun sarana air bersih lewat bantuan Pemerintah “Pamsimas” tahun 2012. Selanjutnya, status
Dusun Hatuhenu ditingkatkan menjadi negeri administratif sesuai dengan SK Bupati Malteng No: 141-1832012, pada
tanggal 15 Maret 2012. Akhirnya pada tanggal 17 Maret 2012 Pemerintah Negeri Administratif Hatuhenu dilantik
bersamaan dengan Kepala-Kepala Urusan Pemerintahan Negeri.
Negeri Hatuhenu termasuk dalam wilayah Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, dan terletak di bagian
barat Kabupaten Maluku Tengah. Luas wilayah Negeri Hatuhenu kurang lebih 97 Ha, dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut: di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan perkebunan rakyat, di sebelah barat berbatasan
dengan Petuanan Negeri Haruru, dan di sebelah timur berbatasan dengan Petuanan Negeri Sepa.
Kondisi topograi sebagian besar Petuanan Negeri Hatuhenu, khususnya pada
bagian utara, berlereng dan berbukit dengan kemiringan rata-rata di atas 15° dan tanahnya cenderung aluvial.
Negeri Hatuhenu sangat dipengaruhi oleh 2 musim besar, yaitu musim timur atau musim hujan dan musim
barat atau musim panas. Musim timur berlangsung dari bulan Mei sampai September, dengan curah hujan yang
cukup tinggi, utamanya pada periode Juni hingga Agustus. Sementara, musim barat berlangsung dari bulan Oktober
sampai dengan April. Di antara kedua musim tersebut juga diselingi dengan musim pancaroba, yakni peralihan
musim timur ke musim barat, yang berlangsung pada bulan Oktober dan November serta musim barat ke musim timur
pada periode Maret dan April.
Negeri Hatuhenu berpenduduk 550 jiwa, yang terdiri dari 288 laki-laki dan 262 perempuan, dengan komposisi
seperti terlihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.36 Jumlah Penduduk Negeri Hatuhenu Menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2012
No Kelompok Umur
Tahun Laki-
Laki Perem-
puan Jumlah
1 0 – 6
47 52
99 2
7 – 15 55
48 103
3 16 - 45
150 130
280 4
46 ke atas 36
32 68
Jumlah 288
262 550
Sumber: RPJM Negeri Hatuhenu, tahun 2013-2017
Ditinjau dari aspek pendidikannya, sebagian besar warga Negeri Hatuhenu lulusan sekolah dasar dan yang sederajat.
Hanya sebagian kecil saja warga yang mengantongi ijasah sarjana dan diploma. Tabel berikut ini mengetengahkan
fakta tentang latar belakang pendidikan warga masyarakat Negeri Administratif Hatuhenu.
Tabel 2.37 Jumlah Penduduk Negeri Hatuhenu Menurut
Tingkat Pendidikan Tahun 2012
No Jenis Pendidikan
Jumlah
1 Belum tamat SD
- 2
Sekolah DasarSederajat 85
3 SMP
39 4
SMUSMK 22
5 Diploma D II dan D III
5 6
Sarjana S1 4
7 Jumlah
155 Sumber: RPJM Negeri Hatuhenu, tahun 2013-2017
Dicermai dari sisi sumber penghidupan, sebagain besar warga Negeri
Administraif Hatuhenu bekerja sebagai petani lahan kering, mengembangkan komoditas unggulan
berupa pala, coklat, kelapa, durian, dan langsat. Untuk tanaman lahan basah mereka bergantung pada sagu. Tabel
berikut ini menyajikan data yang lebih detail mengenai sumber penghidupan warga masyarakat Hatuhenu.
Tabel 2.38 Jumlah Penduduk Negeri Hatuhenu
Menurut Mata Pencaharian Tahun 2012
No Jenis Pekerjaan
Jumlah
1 Petani
186 2
Pegawai Negeri Sipil 5
3 TNIPOLRI
2 4
Tukang Ojek 13
5 Pedagang
6 6
Peternak 30
7 Pengrajin
5 8
Pensiunan 1
9 Karyawan Swasta
11
Jumlah 259
Sumber: RPJM Negeri Hatuhenu, tahun 2013-2017
Pemerintah Negeri Administratif Hatuhenu juga diha- dapkan dengan masalah kemiskinan. Setidaknya terdapat
60 KK di Negeri Hatuhenu yang masih masuk dalam kategori miskin. Selain KK miskin, di Hatuhenu juga memiliki warga
yang tempat tinggalnya masih kurang layak huni, jumlahnya mencapai 100 unit. Di bidang pendidikan, Hatuhenu juga
menghadapi masalah anak putus sekolah, pada tahun 2011 jumlahnya mencapai 12 anak. Sedangkan angka peng-
angguran lebih kurang 22 dari jumlah penduduk usia kerja.
Negeri Hatuhenu juga memiliki kekuatan kearifan lokal yang dipelihara dan dilestarikan sebagai sarana untuk
mem fasilitasi dan memperlancar proses pembangunan
negeri. Misalnya, hubungan pela gandong yang dibangun dengan negeri-negeri adat lain, yang selama ini menjadi
kekuatan besar dalam menggalang kerjasama untuk saling menghormati dan membantu ketika sedang menghadapi
pekerjaan besar.
Hatuhenu memiliki komitmen pela gandong dengan Negeri Seriholo, dan hubungan tersebut memiliki nilai
yang sangat sakral, serta tetap dilestarikan dan dihormati, layaknya hubungan adik-kakak gandong antara Hatuhenu
dengan Seriholo. Selain itu, Hatuhenu juga memiliki hu- bungan pela dengan Negeri Sepa marga Wasolo, se mua-
nya ditujukan untuk menguatkan proses kehidupan ber- masyarakat sebagai masyarakat adat, yang saling mem-
bantu dan menolong dalam kondisi dan situasi apapun. Selain pela gandong, Hatuhenu juga memelihara budaya
adat kewang sebagai penjaga kelestaian hutan. Tradisi tersebut dimaksudkan untuk melestarikan lingkungan hidup
setempat, yang dianggap menjadi tumpuan kelangsungan sumber penghidupan mereka. Lebih jauh lagi, warga
Hatuhenu juga memegang teguh budaya doa selamat untuk negerinya, yang dilaksanakan oleh Lembaga Tiga Tungku.
Ritual tersebut dilakukan setiap akhir tahun. Sementara, di bidang hubungan sosial kemasyarakatan, khusus prosesi
perkawinan adat, warga masyarakat Hatuhenu memiliki