Mengkaji Regulasi dan Praktik Perencanaan Pembangunan
dirasakan adalah ketidakjelasan keberlanjutan program setelah masa akhir proyek.
Dari hasil road show ini, kemudian dikaji lebih lanjut untuk menjadi bahan diskusi yang diharapkan dapat
memberi gambaran persoalan-persoalan utama dalam sistem pengembangan perencanaan negeri di Maluku, untuk
diintervensi melalui Program MATASIRI. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, para peserta dalam
FGD yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah BAPPEDA SKPD, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Negeri dan
Kelurahan dan unsur masyarakat KMS, tokoh perempuan, agama dan masyarakat pengungsi IDPs diberi instrument
panduan pertanyaan kunci yang difasilitasi oleh fasilitator Program MATASIRI. Hasil diskusi dipakai sebagai dasar
dalam penyusunan Rencana Tindak Lanjut RTL.
Pentingnya koordinasi dengan pihak pemerintah terutama dengan BAPPEDA sehingga dalam penentuan wilayah kegiatan dan jenis
kegiatan antar pemerintah dan LSM sebagai mitra bisa lebih tertata ada kecendrungan LSM yang memiliki sumber daya manusia dan
dana yang cukup mengabaikan koordinasi dengan pemerintahhan- ya sebagai formalitas demikian Kepala Bidang Ekonomi BAPPEDA
Kabupaten Maluku Tengah. Hal yang sama Menurut staf Lapangan Seram United Nations Industrial Development Organization UNI-
DO, International Labour Organization ILO, PELAGANDONG, mekanisme penentuan wilayah kegiatan oleh LSM selma ini masih
berorientasi pada kepentingan masing-masing lembaga LSM se- hingga penyebaran wilayah kegiatan tidak bersinggungan dalam
upaya pengembangan ekonomi dan pengembangn kapasitas SDM suatu wilayah yang diharapkan oleh pemerintah daerah
Sumber: Laporan hasil Road show identiikasi Isu dan stakeholder
kunci , IRE dan Mercy Corps, 2011
Untuk memperoleh informasi yang lebih maksimal, maka FGD dilakukan secara terpisah baik di Kota Ambon
dan Kabupaten Maluku Tengah yang melibatkan SKPD, Pemerintah Negeri dan Kelurahan, Kecamatan, LSM,
Kelompok masyarkat sipil KMS dan masyarakat IDPs; serta tingkat negeri yang dilakukan di Negeri Waai, yang
melibatkan Kelompok Swadaya Masyarakat Nelayan, usaha rumah tanggapedagang, kelompok perempuan,
Pemerintah NegeriSaniri dan Lembaga Keagamaan. FGD juga dilakukan di tingkat negeri bertujuan untuk
memperoleh informasi lebih jauh pemahaman masyarakat tentang proses Musrenbang.
Dari proses FGD yang telah dilakukan tersebut, tergambar persoalan-persoalan yang dihadapi baik oleh pemerintah
daerah, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Negeri dan Kelurahan di seputar perencanaan pembangunan di negeri
dan kelurahan, diantaranya adalah sistem perencanaan pembangunan melalui Musrenbang. Meski sudah ada
regulasi yang diterbitkan di tingkat provinsi dan kabupaten yang mengacu pada regulasi tentang SPPN dan Permendagri
untuk pelaksanaan Musrenbang sebagai skema perencanaan pembangunan seperti Peraturan Daerah Provinsi Maluku
No. 142005 tentang Penetapan Kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Provinsi
Maluku; Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 012006 tentang Negeri; Peraturan Daerah Kota Ambon No.
032008 tentang Negeri, ternyata dalam implementasinya peran SKPD dan atau BAPPEDA belum maksimal. Akibatnya,
untuk mengikutsertakan stakeholder di tingkat negeri dan kecamatan menjadi tidak maksimal juga tidak jelas
sehingga pelaksanaan Musrenbang sebagai forum strategis terkesan hanya sebagai formalitas.
Sementara itu, fasilitator yang diharapkan menjadi kunci dalam pelaksanaan Musrenbang di negeri atau kelurahan
dan kecamatan tidak tersedia. Dalam FGD terungkap, mayoritas peserta mengatakan bahwa pemerintah daerah
melalui Badan Pemberdayan Masyarakat Pemerintah Negeri BPM PN kabupaten Maluku Tengah dan BPN P dan KB
Kota Ambon belum mampu menyediakan fasilitator yang profesional dalam proses pendampingan selama proses
Musrenbang. Akibatnya, proses Musrenbang di tingkat negeri dilakukan langsung oleh kepala pemerintahan Raja
dengan stafnya dengan kapasitas dan pengetahuan tentang perencanaan pembangunan yang terbatas. Kalaupun ada
fasilitator biasanya berasal dari LSM ataupun PNPM MP yang mengembangkan program di wilayah tersebut dan itu juga
terbatas hanya pada program yang sedang dikembangkan oleh fasilitator tersebut dengan waktu yang terbatas.
Selanjutnya, dalam proses FGD ini juga disebutkan bahwa peran stakeholder di tingkat negeri dan kelurahan ternyata
belum dilibatkan secara optimal. Kondisi ini sebagai akibat proses pelaksanaan Musrenbang hanya sebagai
formalitas karena beberapa faktor seperti penanggung jawab penyelenggaraan yang belum jalas antara pihak
pemerintah negeri, kecamatan dan pemerintah daerah, ketersediaan dana yang terbatas dan belum tersedianya
fasilitator dalam menunjang perencanaan pembangunan di negeri.
Selain itu, dalam FGD juga terungkap bahwa hasil Musrenbang di negeri dan kelurahan hingga kabupaten
seringkali tidak dipakai sebagai acuan dalam kebijakan pembangunan. Mengapa ini terjadi? Hal ini karena
ternyata banyak sekali usulan atau proposal yang datang dari kelompok masyarakat yang merasa kebutuhannya
tidak terakomodir atau tidak dilibatkan dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Karena merasa tidak
terlibat dalam proses perencanaan pembangunan di negeri dan kelurahan, maka kelompok masyarakat ini “berjalan”
sendiri di luar jalur perencanaan pembangunan yang dipandu oleh regulasi perencanaan pembangunan.
Dengan kondisi pelaksanaan proses perencanaan yang masih jauh dari ideal tersebut, maka dipandang perlu
adanya sebuah pembenahan perencanaan pembangunan misalnya dengan penyadaran pentingnya keterlibatan
warga dalam perencanaan pembangunan, peningkatan kapasitas staf perencanaan di tingkat SKPD, peningkatan
kapasitas staf Pemerintah Negeri dan Kelurahan serta Pemerintah Kecamatan.
Selain itu, persoalan strategis lain terkait perencanaan pembangunan adalah minimnya data potensi dan aset negeri
Menurut Raja Negeri Passo, Pemerintah negeri Passo pernah men- gusulkan program melalui sekama Non-Musrenbang. Hal ini di-
lakukan dengan langsung menyerahkan hasil musrenbang ke ang- gota DPRD dapil kecamatan Baguala. Ini terjadi karena biasanya
ada kebutuhan mendesak dan terus berupaya mendorong di luar jalur formal baik di SKPD ataupun di Legistlatif.
Hal berbeda disampaikan oleh sekretaris Diperindag Kota Ambon. Menurutnya, Jalur Non-Musrenbang selama itu tidak keluar dari
hasil Musrenbang. Kadang ada kelompok atau anak muda dari neg- eri yang membawa proposal sendiri diluar hasil Musrenbang, ini
biasanya kami mengolah di Deperindag. Kami yakin Ini biasanya terjadi karena keterlibatan masyarakat dalam proses musrenbang
tidak terwakili unsur-unsur tertentu dan juga data di tingkat desa tidak lengkap.
Sumber : Laporan FGD Kota Ambon , IRE dan Mercy Corps, 2011
dan kelurahan dan belum adanya fasilitator lokal warga lokal yang memahami proses perencanaan pembangunan
untuk bisa bekerjasama dengan pemerintah negeri dalam memfasilitasi perencanaan pembangunan. Disamping itu,
Musrenbang lebih banyak dipersepsikan sebagai forum atau arena untuk membuat daftar kegiatan saja dan sebatas
memenuhi aspek regulasi. Karena itu, tidak ada pembahasan atau kajian yang lebih mendalam dalam proses penyusunan
dokumen perencanaan pembangunan di level negeri dan kelurahan. Mengapa ini terjadi? Karena kebanyakan forum
tersebut dilakukan hanya dalam waktu yang sempit. Dengan permasalahan seperti ini mengakibatkan hampir seluruh
negeri dan kelurahan di Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur belum memiliki dokumen
perencanaan pembangunan yang kokoh dan berbasis pada masalah dan kebutuhan yang berkembang di negeri dan
kelurahan.
Secara ringkas, temuan berharga dari hasil FGD adalah adanya kenyataan hampir seluruh komponen yang
diperlukan dalam penyusunan rencana pembangunan di tingkat negeri dan kelurahan tidak tersedia ataupun kalau
ada belum memenuhi standar, di antaranya:
1. Tidak tersedianya data potensi negeri dan ke- lurahan yang sangat dibutuhkan dalam pe-
rencanaan pembangunan negeri; 2. Tidak tersedianya fasilitator lokal dari warga
negeri dan kelurahan yang mampu memfasilitasi proses Musrenbang penyusunan RPJM Negeri;
3. Rendahnya kapasitas pemerintah negeri sebagai akibat lemahnya sistem pembinaan oleh Peme rin-
tah Daerah;
4. Musrenbang tingkat negeri selama ini hanya sebagai pertemuan untuk membuat daftar usulan
kegiatan tahunan; dan 5. Komponen-komponen penggerak pembagunan di
negeri seperti kelompok usaha ekonomi, kelompok perempuan tidak berfungsi sebagaimna mestinya,
sementara kelompok-kelompok atau organisasi keagamaan belum melibatkan diri dalam proses-
proses pembangunan yang lebih luas
Melihat berbagai permasalahan dalam perencanaan pem bangunan di negeri tersebut, maka Program MATASIRI
melihat adanya beberapa kebutuhan penting misalnya sebagai berikut: mempersiapkan paket-paket pelatihan
untuk meingkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah, kecamatan dan negeri dan kelurahan. Lalu, membangun
media-media komunikasi antar stakeholder melalui forum Musrenbang, lokakarya, dialog kebijakan dan pada akhirnya
adalah mempersiapkan falitator lokal tingkat negeri dan kelurahan memiliki kamampuan dalam memfasilitasi proses
Musrenbang dalam penyusunan program perencanaan.
Dari temuan-temuan di atas berdampak pada banyak negeri di Maluku yang belum memiliki dokumen perencanaan
pembangunan khususnya dokumen RPJMNeg dan Renstra Kelurahan. Skema tahapan proses pra advokasi adalah
seperti pada Gambar 1 dan Gambar 2 sebagai berikut;
Gambar 3.1 Pra Advokasi Strategi Perencanaan yang
Berbasis Masyarakat
5
5
S. Soumokil, Project Oicer Gender and Governance MercyCorps
Maluku Materi Presentasi dalam Dialog Kebijakan Publik dengan Anggota DPRD Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Maluku Tengah
untuk Penyerasian Dokumen Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat
6
Ibid
Gambar 3.2 Pra Advokasi Strategi Perencanaan yang Berbasis Masyarakat
Setelah pengembangan data dan informasi dengan tiga metode yang berbeda: survei data dasar pada awal
Program MATASIRI; Road show pemetaan stakeholder potensial dan issu; serta Focused Group Discussion FGD,
maka kegiatan Workshop “Pengembangan Program MATA- SIRI untuk Perencanaan Pembangunan yang Produktif dan
Peka Perdamaian” merupakan tahapan lanjutan yang bertujuan untuk mensosialisasikan Program MATASIRI ke-
pada stakeholder di kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur SBT serta mendiskusikan
situasi terkini terkait impelementasi sistem perencanaan dan pembangunan di tiga wilayah tersebut. Workshop yang
dilakukan selama dua hari ini melibatkan unsur peserta dari unsur Pemerintah KabupatenKota, 5 kecamatan 15
Pemerintah Negeri dan Kelurahan dan 15 calon fasilitator negeri dan kelurahan.