Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Kurang Mampu Sebagai Konsumen Jasa Di Bidang Pelayanan Kesehatan (Studi Di RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG

MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG

PELAYANAN KESEHATAN

(STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 100200102

IMELDA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG

MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG

PELAYANAN KESEHATAN

(STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Oleh:

NIM: 100200102

IMELDA

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KERPERDATAAN

NIP: 19660303 198508 1 001 DR.HASIM PURBA, S.H.,M.HUM

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

DR. HASIM PURBA, S.H.,M.HUM

NIP: 19660303 198508 1 001 NIP: 19660202 199103 2 002

DR. ROSNIDAR SEMBIRING, S.H., M.HUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Kurang Mampu Sebagai Konsumen Jasa di Bidang Pelayanan Kesehatan (Studi Di RSU Imelda Pekerja Indonesia) adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(4)

4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

8. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

9. Seluruh staf Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

10. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung Penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu (S1) ini.


(5)

12. Adik-adik Penulis yang selama ini banyak mendukung Penulis dalam proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Bapak dr. Hedy Tan, MARS, MOG, Sp.OG selaku Direktur RSU IPI dan dr. Imelda Liana Ritonga selaku Wadir Administrasi dan Keuangan yang telah memberikan Penulis kesempatan untuk melakukan riset di RSU IPI.

14. Kepada seluruh staf RSU IPI yang telah membantu Penulis selama riset di RSU IPI.

15. Kepada Vellichia Lawrence, Henjoko, Jerry Thomas, Herbert, Sally Putri, Febrina Sumardy, dan sahabat-sahabat Penulis lainnya yang selalu bersama Penulis dalam suka maupun duka pada saat menjalani masa perkuliahan. 16. Kepada Kwendi, Swanti N. Siboro, Lowria L. Napitupulu, Merty Pasaribu,

Meirita Pakpahan dan teman-teman Grup D lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan kenangan masa perkuliahan yang indah kepada Penulis.

17. Kepada teman-teman satu departemen Penulis Robert, Rivera Wijaya, Moria Gunawati dan Chyntia Stefany yang telah membantu dan mendukung Penulis selama penulisan skripsi ini.

Medan, 2 April 2014 Penulis

IMELDA NIM: 100200102


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL DAN SKEMA ... vi

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. ... L atar Belakang ... 1

B. ... R umusan Masalah ... 9

C. ... T ujuan Penulisan ... 10

D. ... M anfaat Penulisan ... 10

E... M etode Penelitian ... 12

F. ... K easlian Penulisan ... 15

G. ... S istematika Penulisan ... 17


(7)

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN KESEHATAN

A. ... T injauan umum tentang pasien kurang mampu ... 20 1.... P

engertian pasien kurang mampu ... 20 2.... P

engaturan hukum tentang hak-hak pasien kurang mampu ... 30

3.... T anggung jawab rumah sakit dan dokter dalam pelayanan kesehatan pasien ... 50 B. ... T

injauan umum tentang jasa di bidang pelayanan kesehatan ... 60 1... P

engaturan dan jenis pelayanan kesehatan ... 60 2... T

ugas dan fungsi rumah sakit dalam pemberian pelayanan kesehatan ... 73

BAB III RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA

INDONESIA MEDAN SEBAGAI SARANA PELAYANAN KESEHATAN BAGI PASIEN

A. ... S


(8)

B. ... J enis pelayanan jasa yang diberikan Rumah Sakit Umum Imelda ... 88

C. ... T ugas dan tanggung jawab Rumah Sakit Umum Imelda dalam pelayanan kesehatan ... 93

BAB IV IMPLEMENTASI PELAYANAN KESEHATAN

KEPADA PASIEN KURANG MAMPU PADA RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN

A. ... J enis pelayanan kesehatan yang diberikan dan persyaratan pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien kurang mampu ... 98 B. ... H

ak-hak pasien kurang mampu dalam memperoleh pelayanan kesehatan ... 108 C. ... H

ambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien kurang mampu pada Rumah Sakit Umum Imelda . 110 D. ... T

anggung jawab hukum Rumah Sakit Umum Imelda Terhadap pasien kurang mampu ... 113

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. ... K

esimpulan ... 118 B. ... S


(9)

DAFTAR PUSTAKA ... 122

LAMPIRAN

DAFTAR SKEMA DAN TABEL

A. Daftar Skema

1. ... H ak-Hak Pasien Dalam Profesi Kedokteran ... 34


(10)

2. ... S ub Sistem Dalam Pelayanan Kesehatan ... 64 3. ... S

truktur Organisasi RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan ... 86

B. Daftar Tabel

1. ... D

aftar Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang Hak-Hak Pasien Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 29 Tahun 2004, dan UU Nomor 44 Tahun 2009 ... 46 2. ... D

aftar Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang Kewajiban Pasien Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 29 Tahun 2004, dan UU Nomor 44 Tahun 2009 ... 49 3. ... R

incian Luas Tanah RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan ... 81 4. ... D

aftar Nama Dokter Spesialis yang Bekerja di RSU Imelda Pekerja Indonesia Beserta Jadwal Prakteknya ... 90


(11)

ABSTRAK Imelda*1 Hasim Purba** Rosnidar Sembiring***

Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh negara. Namun pelayanan kesehatan dalam pelaksanaannya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Masyarakat golongan tidak mampu seringkali terabaikan dalam pelayanan kesehatan baik oleh RS maupun oleh dokter. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini antara lain bagaimanakah jenis pelayanan kesehatan dan persyaratannya, hak-hak pasien kurang mampu dan hambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan serta tanggung jawab RSU Imelda Pekerja Indonesia terhadap pasien kurang mampu.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dan bersifat deskriptif analitis. Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode penelitian lapangan (field research) yakni hasil wawancara dengan pihak RSU Imelda Pekerja Indonesia. Data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan data primer yang diperoleh dari pihak RSU IPI Medan dengan teknik analisis data secara kualitatif.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa RSU IPI memberikan jenis pelayanan yang baik kepada pasien kurang mampu sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan pemberian pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh RSU IPI juga tidak membingungkan pasien hanya perlu kartu peserta jaminan kesehatan. pasien juga memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai yakni perawatan inap di ruang rawat kelas III, obat habis pakai dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan rujukan dari RSU IPI sebagai wujud haknya sebagai pasien kurang mampu. Dalam pemberian pelayanan kesehatan, RSU IPI mengalami hambatan dimana pasien kurang mampu yang tidak dapat menunjukkan kartu jaminan kesehatannya dan sikap acuh tak acuh pasien dalam pengurusan kartu jaminan kesehatan serta kurangnya fasilitas kesehatan yang dimiliki RSU IPI. RSU IPI bertanggungjawab atas segala kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis/paramedisnya baik secara kekeluargaan, non litigasi maupun litigasi. Penulis menyarankan agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien kurang mampu dapat ditingkatkan kualitasnya, pengurusan jaminan kesehatan ataupun jaminan sosial

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(12)

ABSTRAK Imelda*1 Hasim Purba** Rosnidar Sembiring***

Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh negara. Namun pelayanan kesehatan dalam pelaksanaannya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Masyarakat golongan tidak mampu seringkali terabaikan dalam pelayanan kesehatan baik oleh RS maupun oleh dokter. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini antara lain bagaimanakah jenis pelayanan kesehatan dan persyaratannya, hak-hak pasien kurang mampu dan hambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan serta tanggung jawab RSU Imelda Pekerja Indonesia terhadap pasien kurang mampu.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dan bersifat deskriptif analitis. Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode penelitian lapangan (field research) yakni hasil wawancara dengan pihak RSU Imelda Pekerja Indonesia. Data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan data primer yang diperoleh dari pihak RSU IPI Medan dengan teknik analisis data secara kualitatif.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa RSU IPI memberikan jenis pelayanan yang baik kepada pasien kurang mampu sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan pemberian pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh RSU IPI juga tidak membingungkan pasien hanya perlu kartu peserta jaminan kesehatan. pasien juga memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai yakni perawatan inap di ruang rawat kelas III, obat habis pakai dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan rujukan dari RSU IPI sebagai wujud haknya sebagai pasien kurang mampu. Dalam pemberian pelayanan kesehatan, RSU IPI mengalami hambatan dimana pasien kurang mampu yang tidak dapat menunjukkan kartu jaminan kesehatannya dan sikap acuh tak acuh pasien dalam pengurusan kartu jaminan kesehatan serta kurangnya fasilitas kesehatan yang dimiliki RSU IPI. RSU IPI bertanggungjawab atas segala kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis/paramedisnya baik secara kekeluargaan, non litigasi maupun litigasi. Penulis menyarankan agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien kurang mampu dapat ditingkatkan kualitasnya, pengurusan jaminan kesehatan ataupun jaminan sosial

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(13)

tidak persulit dan dokter serta RS menunjung tinggi sikap tanggung jawab kepada pasiennya dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Kata Kunci: Perlindungan Pasien, Pelayanan Kesehatan, Konsumen Jasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara memperoleh legitimasi kekuasaannya dari rakyat atas dasar kepercayaan rakyat bahwa negara akan melindungi hak-hak asasi rakyatnya. John Locke menyatakan sebuah teori bahwa perlindungan hak-hak kodrati sebagai basis pendirian negara (Friedrich, 1969: 101-103): setiap orang tunduk terhadap kekuasaan negara sepanjang dilakukan untuk menciptakan perdamaian, keamanan dan kesejahteraan umum atau melindungi hak-hak kodrati rakyat.2

Hak-hak asasi rakyat ini salah satunya adalah kesehatan. Hak atas Pemeliharaan kesehatan merupakan salah satu dari hak dasar sosial manusia.3

2

Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia (P.T. Alumni, Bandung, 2007), hlm. 1.

Kesehatan merupakan kebutuhan primer setiap individu yang sangat berharga. Kebutuhan akan kesehatan ini tidak memandang status, golongan, maupun ras yang dimiliki seseorang karena kesehatan adalah hak yang dimiliki oleh seluruh masyarakat. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai organisasi pemerintahan berkewajiban melindungi hak-hak asasi warga negaranya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945 bahwa

3

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik (Lembaga Penerbitan Universitas Airlangga, Surabaya, 1984), hlm. 22.


(14)

negara wajib melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.

Seluruh warga negara Indonesia berhak atas pelayanan kesehatan yang baik. Hal ini terdapat pada Pasal 28 H UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ... serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 Ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi: “ Negara Bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.”

Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Suatu negara yang kesehatan rakyatnya kurang terurus dengan baik akibatnya akan menghasilkan sumber daya manusia yang kualitasnya rendah sehingga sulit bersaing dengan negara-negara lain pada kompetisi global.4

Untuk mendukung perlindungan hak atas pemeliharaan kesehatan, pemerintah menyelenggarakan suatu kebijakan di bidang kesehatan yaitu dengan pemberian jaminan kesehatan kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program JKN yang diselenggarakan sekarang oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat di bidang kesehatan dalam bentuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

4


(15)

Pemerintah Indonesia membentuk suatu peraturan perundang-undang tentang jaminan sosial pada tahun 2004 bersama Dewan Perwakilan Rakyat, yang digunakan sebagai payung hukum dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial kepada masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang diundangkan ini dinamai Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Nomor 40 Tahun 2004. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan tersebut dicanangkan oleh pemerintah dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan dan memberikan perlindungan di bidang kesehatan kepada warga negaranya

Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan.5

Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan, maka hubungan antara dokter dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memeiliki posisi yang dominan sedangkan pasien dalam hal ini hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa kewenangan untuk melawan.

Ketiga pihak ini membentuk hubungan medik dan hubungan hukum yakni pemeliharaan kesehatan secara umum dan pelayanan kesehatan secara khusus. Dokter dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.

6

5

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 1.

Posisi demikian secara historis berlangsung selama bertahun-tahun dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimilikinya maupun karena kewibawaannya karena ia sebagai bagian kecil dari masyarakat yang sejak

6


(16)

bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.

Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada pasiennya, keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi rumah sakit khususnya dokter atau tenaga medis lainnya yang menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya.7

Pemberian tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi menyebabkan suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan dalam melakukan tugas profesinya. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan telah berkembang semakin pesat, yang diimbangi pula dengan perkembangan sarana kesehatan yang semakin canggih juga tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan atau kelalaian dalam pemberian jasa pelayanan kesehatan terhadap pasien selaku konsumen jasa di bidang kesehatan.

Kesalahan atau kelalaian yang terjadi ini dapat mengakibatkan kerugian yang bagi si pasien yang dapat meliputi kerugian materiil maupun kerugian immateriil. Kesalahan atau kelalaian tersebut dapat berupa pihak rumah sakit melalaikan kewajibannya memberikan pelayanan kesehatan atau dokter melakukan tindakan medis yang berakibat fatal bagi pasiennya. Atas kesalahan atau kelalaian tersebut, pasien berhak memperoleh haknya. Hak pasien ini adalah

7

Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien (Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010), hlm. 4.


(17)

mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan kesehatan yang diterima tidak sebagaimana mestinya.8

Pasien yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan seringkali diposisikan sebagai pihak yang lemah karena kurangnya pengetahuan yang dimilikinya tentang hak-hak yang seharusnya ia peroleh dalam memperoleh suatu pelayanan kesehatan baik dari pihak dokter maupun dari pihak rumah sakit.

Memiliki pengetahuan yang baik tentang standar pelayanan medik dan standar profesi medik, pemahaman tentang malpraktik medik, penanganan penderita gawat darurat, rekam medis, euthanasia, dan lain-lain adalah pengetahuan masa kini yang perlu untuk didalami secara profesional.9

Dewasa ini sering kita jumpai kasus-kasus yang mengakibatkan pasien dirugikan terutama pasien kurang mampu dan pasien miskin. Pasien kurang mampu dan pasien miskin dianggap tidak memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi ini kerap diabaikan atau tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak alias ditelantarkan. Misalnya saja pada kasus yang baru terjadi pada awal tahun 2014 ini yakni tentang seorang kakek yang sudah lanjut usia yang ditemukan dalam keadaan sekarat di sebuah gubuk di pinggir jalan Desa Sukadanaham, Kecamatan Tanjungkarang Barat Bandar Lampung yang kemudian meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.

8

Ibid, hlm. 6. 9


(18)

Kakek bernama Suparman bin Sariun alias Mbah Edi (63 tahun) diduga menjadi korban pasien buangan dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr A Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung. Saat warga menemukan Suparman di gubuk tersebut di tangannya masih terdapat bekas suntikan jarum infus dan sejumlah perban yang masih menempel. Kasus pembuangan pasien miskin yang tidak mempunyai sanak keluarga ini terungkap pada tanggal 22 Januari 2014.

Suparman dikeluarkan dari mobil ambulans dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan bekas infus di tangannya dan balutan kain kassa di kakinya. Kakek malang ini kemudian ditinggalkan begitu saja di sebuah gubuk di Jalan Sukadanaham, Tanjungkarang Barat hingga ditemukan dan dibawa warga ke RSUD Dadi Tjokrodipo bersama Camat setempat.

Setelah diperiksa pihak RSUD dr Dadi Tjokrodipo, ternyata kondisi Suparman mengalami penyakit jiwa dan di RSUD dr A Dadi Tjokrodipo tidak memiliki dokter jiwa sehingga dirujuk ke RSUD dr Abdul Moeloek. Tetapi setelah mendapatkan perawatan di RSUD Abdul Moeloek, Suparman hanya mampu bertahan beberapa jam sebelum akhirnya nyawanya tidak dapat terselamatkan akibat parahnya sakit yang ia derita. Jenazah Suparman telah dimakamkan oleh pihak RSUD Abdul Moeloek di tempat pemakaman umum (TPU) Jagabaya pada 27 Januari 2014.10

Menurut salah satu tersangka yang diduga terlibat dalam kasus pembuangan pasien di Bandar Lampung, Muhaimin (33) yang bertugas sebagai

10

http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/03/n0co1x-balada-pasien-lansia-yang-dibuang -di-jalanan-terus-bergulir diakses tanggal 14 Februari 2014 pukul 20.42 WIB.


(19)

supir ambulans dihadapan penyidik Polresta Bandar Lampung bahwa RSUD dr A Dadi Tjokrodipo telah beberapa kali membuang pasiennya. Hal ini juga dibenarkan keempat tersangka lainnya yakni Rika Aryadi (perawat), Rudi Hendra Hasan (juru parkir), serta Andi Febrianto dan Andika (Cleaning service).11

Selain kasus pembuangan pasien, adapula kasus lainnya yang mencerminkan minimnya perlindungan hukum terhadap pasien kurang mampu di Negara kita Indonesia seperti:12

1. kasus pemulung, Supriono yang membawa pulang jenazah anaknya yang telah meninggal karena muntaber dengan gerobak sampah karena tidak sanggup menyewa ambulan untuk membawa pulang jenazah anaknya ke Bogor untuk dimakamkan;

2. Kisah malang bayi berusia dua bulan sepuluh hari bernama Naila yang meninggal akibat keterlambatan penanganan dimana Naila mengalami sesak nafas akut yang sudah sangat memprihatinkan saat dibawa ke RSU Lasinrang, Pinrang, Sulawesi Selatan. Namun, sesampainya di RS orang tua Naila diwajibkan untuk mengantri. Orang tua Naila meminta belas kasihan petugas rumah sakit agar Naila dapat diperiksa lebih dahulu, tapi ditolak oleh petugas dan menanyai tentang segala macam surat yang menerangkan bahwa orang tua Naila berasal dari keluarga tidak mampu. Orang tua Naila mendapatkan nomor antrian 115 sementara antrian baru

11

diakses tanggal 14 Februari 2014 pukul 20.45 WIB.

12

http://m.kaskus.co.id/thread/52fb0659bfcb1738088b456f/berjudi-nyawa-di-rumah-sakit-ala-indonesia-gila-ini-benar---benar-gila diakses tanggal 14 Februari 2014 pukul 20.55 WIB.


(20)

sampai nomor 95 yang diperiksa. Ayah Naila pun mengurus surat-surat tersebut, tanpa pertolongan medis dari rumah sakit, si kecil Naila pun hanya dapat terbaring lemah dipangkuan ibunya menghembuskan nafas terakhir. Setelah dua jam mengurus surat-surat tersebut, baru ada perawat yang menolong Naila, namun Naila telah tiada. Pihak RS memberikan jatah ambulans untuk membawa pulang jenazah Naila ke rumah untuk dimakamkan.

3. Kisah derita bayi Dera meninggal mengalami masalah pernafasan. Dokter RS Zahira menyarankan agar Dera dirujuk ke rumah sakit lain akibat alat yang tidak memadai. Ayah Dera mencari rumah sakit rujukan lain namun tidak ada satu pun rumah sakit yang menerima Dera.

Kasus-kasus di atas menggambarkan bahwa masih minimnya perlindungan hukum terhadap pasien yang semakin memacu semangat dan rasa ingin tahu penulis untuk mengkaji lebih lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap pasien terutama terhadap pasien kurang mampu untuk mengetahui sejauh manakah pasien kurang mampu ini memperoleh perlindungan hukum dalam bidang pelayanan kesehatan. Rumah sakit dan dokter masih acuh tak acuh terhadap nyawa pasiennya dalam memberikan pelayanan kesehatan.


(21)

Melalui latar belakang di atas, penulis mencoba mengangkat persoalan mengenai :

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN KESEHATAN (STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN)”

B. Permasalahan

Berdasarkan pemaparan latar belakang, maka perlindungan hukum terhadap pasien kurang mampu sangat perlu karena pasien kurang mampu tersebut adalah warga negara Indonesia sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi warga negaranya tanpa membeda-bedakan status, golongan maupun ras. Penulis akan membahas masalah-masalah yang seringkali kurang jelas diketahui oleh masyarakat selaku pasien terutama pasien kurang mampu yang memiliki keterbatasan dalam hal ekonomi antara lain :

1. Bagaimanakah jenis pelayanan kesehatan yang diberikan dan persyaratan pemberian pelayanan kesehatan oleh RSU IPI kepada pasien kurang mampu ?

2. Bagaimanakah hak-hak pasien kurang mampu di RSU IPI ?

3. Apakah hambatan yang dialami RSU IPI saat pemberian pelayanan kesehatan tersebut kepada pasien kurang mampu ?

4. Bagaimanakah tanggungjawab hukum yang dilakukan RSU IPI untuk menyelesaikan hambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan ?


(22)

C. Tujuan Penulisan

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan mengkaji jenis pelayanan kesehatan yang diberikan dan persyaratan pemberian jasa pelayanan kesehatan tersebut kepada pasien kurang mampu di RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan.

b. Untuk mengetahui hak-hak yang dapat diperoleh pasien kurang mampu di RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan.

c. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi saat pemberian jasa pelayanan kesehatan kepada pasien kurang mampu di RSU Imelda Pekerja Indonesia. d. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum RSU Imelda Pekerja Indonesia

Medan kepada pasien kurang mampu

D. Manfaat Penulisan

Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Melalui skripsi ini penulis sangat berharap dapat memberikan manfaat :


(23)

1. Manfaat teoritis

Manfaat teroritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teroritis tersebut antara lain : a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum secara umum dan

khususnya di bidang keperdataan tentang perlindungan hukum terhadap pasien kurang mampu sehingga di masa yang akan datang pasien kurang mampu lebih dapat dilindungi oleh hukum.

b. Hasil penulisan skripsi diharapkan dapat menambah literatur atau kepustakaan di bidang perlindungan pasien terutama pasien kurang mampu.

2.Manfaat praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Penulis berharap hasil penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang perlindungan hukum terhadap pasien kurang mampu dewasa ini khususnya pada Rumah Sakit Imelda Medan serta sumbangan pemikiran kepada pemerintah agar lebih memperhatikan perlindungan hukum terhadap pasien yang dalam penulisan ini diutamakan kepada pasien kurang mampu yang mempunyai kelemahan di bidang ekonomi.


(24)

E.Metode Penelitian

Metode yang diterapkan di dalam suatu penelitian adalah kunci utama untuk menilai baik buruknya suatu penelitian.13 Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.14 Skripsi ini sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari penerapan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu hukum.15

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian empiris yang bersifat deskriptif analitis. Sedangkan penelitian empiris atau sosiologis16, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data primer yang diperoleh dari lapangan. Penelitian empiris atau sosiologis terdiri dari:17

a. Penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis); b. Penelitian terhadap efektivitas hukum.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto18

13

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi (Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005), hlm.15.

, penelitian hukum empiris atau sosiologis disebutnya sebagai penelitian non-doktrinal yang diartikan sebagai penelitian

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2007, hlm. 13-14.

15

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Nomartif, Ed. Revisi (Bayumedia Publishing, Malang, 2008), hlm. 26.

16

Tampil Anshari Siregar, op.cit., hlm.23-24. 17

Soerjono Soekanto, op.cit., hlm 51. 18

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet. Kelima (PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 2003), hlm. 43.


(25)

berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat sehingga penelitian ini juga sering disebut sebagai Socio Legal Research. Sedangkan penelitian deskriptif ialah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.19 Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.20 Penelitian deskriptif dalam arti luas biasanya disebut dengan istilah penelitian survei.21

2. Data

Dengan metode deskriptif analitis artinya skripsi ini tidak hanya mengkaji data secara lengkap tetapi juga menganalisis data tersebut dengan gejala-gejala yang diteliti, apakah gejala tersebut sesuai atau tidak dengan data umum yang disajikan.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian lapangan (field research) yang didukung oleh metode penelitian kepustakaan (library research). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.22

19

Ibid, hlm. 36.

Sedangkan metode penelitian lapangan dilakukan terhadap data yang bersifat primer yang ada di lapangan. Menurut Soerjono Soekanto, data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber pertama, yakni dalam skripsi ini

20

Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 10. 21

Soerjono Soekanto dan Abdurrahman, Metode Penelitian hukum, Cet. Kedua (PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003), hlm. 22.

22

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Sinar Grafika , Jakarta, 1996), hlm. 13-14


(26)

adalah pihak RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan. Sedangkan menurutnya data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum, yaitu:23

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional yang mengikat (terutama yang berkaitan dengan perlindungan pasien dalam bidang pelayanan kesehatan).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.

c. Bahan hukum tertier (tersier), yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

3. Analisis Data

Dalam skripsi ini, analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan memahami manusia dari sudut pandang orang yang bersangkutan itu sendiri, berguna untuk memahami dan mengerti gejala yang diteliti.24

23

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 2003), hlm. 13.

Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan, wawancara (mengajukan pertanyaan), dan menganalisis dokumen-dokumen yang bersifat pribadi. Dapat disimpulkan, penelitian seperti ini bersifat

holistic (menyeluruh) dengan usaha mencari informasi sedalam-dalamnya dan

24


(27)

sebanyak-banyaknya mengenai aspek dan gejala yang diteliti. Analisis kualitatif berkaitan erat dengan subjektivitas peneliti yang tergantung pada hal-hal spesifik yang penting dipandang oleh yang meneliti.

Penarikan kesimpulan dalam skripsi ini dilakukan dengan metode deduktif, yakni cara penarikan kesimpulan dengan membahas terlebih dahulu tentang data secara umum yang sudah diketahui, diyakini, dan dikumpulkan secara lengkap. Data atau gejala umum ini kemudian dibandingkan serta dianalisis dengan data-data dan gejala-gejala yang diteliti dalam lapangan yang bersifat khusus. Dengan begitu, kesimpulan dapat didapat berupa apakah data atau gejala di lapangan sesuai atau tidak sesuai dengan data yang yang bersifat umum yang diyakini tersebut.

F. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN KESEHATAN (STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN) ini merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru Karya Tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan ilmplikasi etis dalam proses menemukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan Karya Tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik yang sifatnya konstruktif. Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini


(28)

berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.

Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Nama : Sri Menda Ginting

NIM : 900200250

Judul : Perjanjian Pelayanan Kesehatan antara P.T. Indonesian Divisi Medan dengan Rumah Sakit Sri Rati Medan Ditinjau dari Segi Hukum Perdata.

Perumusan masalah yang diangkat dalam skripsi tersebut antara lain:

a. Bagaimana ketentuan tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang berlaku bagi perjanjian pelayanan kesehatan antara PT. Indosat dengan pengusaha Rumah Sakit Sri Ratu Medan ?

b. Bagaimana kedudukan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut apabila ternyata tidak memenuhi syarat-syarat tertentu atau ketentuan yang telah ditetapkan ?

c. Bagaimana pengatiran perjanjian kerja sama yang dilakukan oleh pihak PT. Indosat Divisi Medan dengan Rumah Sakit Sri Ratu Medan ?


(29)

d. Hal-hal apa saja yang melatar belakangi diadakannya perjanjian pelayanan kesehatan dan hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang terkait di dalam perjanjian kerjasama ini ?

2. Nama : Pamela R. Tampubolon

NIM : 010200041

Judul : Tinjauan Terhadap Perjanjian antara Pelaku Usaha dengan Konsumen Jasa Layanan Kesehatan sama kaitannya dengan Hukum Perlindungan Konsumen.

Perumusan masalah yang diangkat dalam skripsi tersebut antara lain:

a. Apakah ada keseimbangan hak dan kewajiban pasien sebagai konsumen jasa layanan kesehatan dengan dokter/rumah sakit sebagai pelaku usaha jasa layanan kesehatan ?

b. Bagaimana perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa layanan kesehatan apabila dikaitkan dengan perjanjian terapeutik antara pasien dengan dokter ?

c. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan pasien sebagai konsumen jasa layanan kesehatan atau dokter/rumah sakit sebagai pelaku usaha jasa layanan kesehatan dalam hal terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak terhadap perjanjian tersebut ditinjau dari aspek hukum perdata ?


(30)

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi, penulisan hukum ini akan dibagi menjadi lima bab dengan menggunakan sistematika berikut :

BAB I: Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: Perlindungan Konsumen Terhadap Pasien Kurang Mampu Sebagai Konsumen Jasa Di Bidang Pelayanan Kesehatan

Bab ini menguraikan mengenai2 (dua) hal yakni tinjauan umum tentang pasien kurang mampu yang berisi tentang pengertian pasien kurang mampun, pengaturan hukum tentang hak pasien kurang mampu, tanggung jawab dokter dan pihak rumah sakit terhadap pasien kurang mampu, kebijakan pemerintah untuk memberikan proteksi kepada pasien kurang mampu dan tinjauan umum tentang jasa pelayanan kesehatan yang berisi tentang pengaturan dan jenis pelayanan kesehatan serta tugas dan fungsi rumah sakit dalam pemberian pelayanan kesehatan.

BAB III: Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan Sebagai Sarana Pelayanan Kesehatan Bagi Pasien

Bab ini menguraikan tentang sejarah berdirinya Rumah Sakit Imelda Medan, jenis-jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit Imelda


(31)

Medan serta tugas dan tanggung jawab Rumah Sakit Imelda Medan dalam pelayanan kesehatan.

BAB IV: Implementasi Pelayanan Kesehatan Kepada Pasien Kurang Mampu Di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan

Bab ini menguraikan permasalahan yang akan diteliti penulis di Rumah Sakit Imelda Medan yakni mengenai jenis pelayanan kesehatan yang diberikan dan persyaratan pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien kurang mampu serta hak-hak pasien kurang mampu, hambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan serta tanggung jawab hukum kepada pasien kurang mampu yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Imelda Medan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh bab di atas yang sertai dengan saran yang berisi masukan yang diperoleh setelah melakukan studi kasus untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ingin diteliti oleh penulis.

Daftar Pustaka Lampiran


(32)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN

KESEHATAN

A. Tinjauan Umum Tentang Pasien Kurang Mampu 1. Pengertian Pasien Kurang Mampu

Dalam pelayanan kesehatan, pasien berkedudukan sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan kesehatan. Pengertian pasien tidak banyak dibahas di dalam literatur hukum kesehatan maupun literatur hukum kedokteran. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pasien sebagai orang yang sakit (yang dirawat dokter); penderita (sakit).25

Pengertian lebih lanjut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam Pasal 1 Angka (10), dikatakan bahwa “Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 1 Angka (4) dikatakan bahwa “Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.”

25

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. Ketiga (Balai Pustaka, Jakarta, 2001).


(33)

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tidak dijumpai kata pasien, pasien dalam kode etik tersebut diganti dengan kata “penderita”. Menurut Wila Chandrawila Supriadi, Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya dan pasien juga diartikan sebagai orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.26

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama dalam buku "Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien”, Pasien adalah orang perorangan yang memerlukan jasa dari orang lain, yang dalam hal ini adalah dokter untuk konsultasi masalah kesehatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

27

Menurut Amri Amir dalam buku “Bunga Rampai Hukum Kesehatan”, Pasien adalah orang yang sedang menderita penyakit atau gangguan badaniah/rohaniah yang perlu ditolong agar lekas sembuh dan berfungsi kembali melakukan kegiatannya sebagai salah satu anggota masyarakat.28

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Pasien adalah orang awam yang melakukan konsultasi ke dokter atau dokter gigi atau di rumah sakit mengenai masalah kesehatannya untuk memperoleh jasa berupa pelayanan kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Jasa yang dimaksud adalah keterampilan yang dimiliki seorang dokter atau dokter gigi untuk mencari solusi kesehatan yang diderita pasien.29

26

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 27.

Profesi

27

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 198.

28

Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan (Widya Medika, Jakarta, 1997), hlm. 17 29


(34)

kedokteran harus tunduk pada kode etik organisasi profesi kedokteran sehingga orang yang menjalankan profesi ini dapat disebut dengan “menyediakan jasa”.

Pengertian pasien kurang mampu tidaklah diuraikan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam literatur-literatur mengenai hukum kesehatan dan hukum kedokteran. Namun kita dapat menemukan definisi mengenai orang tidak mampu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yakni dalam Pasal 1 Angka 6 “Orang Tidak Mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar Iuran bagi dirinya dan keluarganya”.

Orang tidak mampu secara umum didefinisikan sebagai orang yang berpenghasilan, hanya saja penghasilan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluargannya atau singkatnya penghasilannya hanya cukup buat makan sehari-hari. Orang tidak mampu berbeda dengan orang miskin. Orang miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.30

Pasien kurang mampu dapat diartikan sebagai orang awam yang melakukan konsultasi dengan dokter atau dokter gigi mengenai masalah kesehatannya untuk memperoleh jasa berupa pelayanan kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung akan tetapi penghasilannya tidak cukup untuk

30

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Bab I, Pasal 1 Angka 5.


(35)

membiayai biaya pelayanan kesehatan diperoleh. Pasien kurang mampu yang dibahas penulis di dalam skripsi ini adalah pasien yang memperoleh jaminan kesehatan dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang berobat di RSU Imelda Pekerja Indonesia (RSU IPI).

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 Angka (5) dikatakan bahwa Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan konsumen dalam Pasal 1 Angka (2) diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pasien mempunyai ciri khas yang sama dengan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Unsur-unsur konsumen antara lain:31

a. Adanya subjek atau orang

Subjek yang disebut dalam konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barangdan/atau jasa. Istilah orang pada konsumen tidak hanya terbatas pada orang secara individual atau natuurlijke persoon tetapi juga termasuk badan hukum atau rechtspersoon. Namun dalam pengertian pasien yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sangat jelas disebutkan bahwa setiap orang yang dimaksud adalah orang individu atau natuurlijke persoon.

b. Pemakai

31 Ibid.


(36)

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha,32 yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.33 Sesuai bunyi penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate comsumer). Konsumen sebagai konsumen terakhir sebagaimana yang dimaksud penjelasan Pasal 1 Angka (2) tersebut adalah sama dengan konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.34 UU Perlindungan Konsumen sudah selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen. Konsumen memang tidak sekadar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannnya.35

Dalam pengertian pasien, untuk bisa dimasukkan ke dalam unsur pemakai (jasa), harus ada hubungan hukum antara pasien tersebut dengan dokter. Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dan pasien dengan rumah sakit dibedakan ke dalam 4 bentu, antara lain:36

32

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010), Hlm. 17.

33 Ibid. 34

Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

35

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 199.

36


(37)

1) Rumah sakit dengan perawat yang diatur dalam Perjanjian Kerja (arbeidsovereenkomst), Pasal 1601 KUH Perdata.

2) Dokter spesialis dengan rumah sakit yang diatur dengan

toelatingscontract.

3) Dokter spesialis dengan pasien yang diatur dengan

behandelingsvereenkomst.

4) Pasien dengan rumah sakit yang diatur dengan

verzorgingsovereenkomst.

Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien bisa berdasarkan 2 hal, yakni:37

1) Perjanjian (ius contractual)

Hubungan hukum antara dokter dengan pasien berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat seorang pasien datang ke tempat dokter atau ke rumah sakit dan dimulainya wawancara medis dan pemeriksaan oleh dokter. Seorang dokter tidak bisa menjamin bahwa ia pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasiennya, karena hasil suatu pengobatan santa tergantung pada banyak faktor-faktor yang berkaitan (usia, tingkat keseriusan penyakit, macam penyakit yang diderita, komplikasi dan lain-lain)38

37

Ibid.

. Dengan demikian, perjanjian antara dokter-pasien secara yuridis dimasukkan ke dalam golongan “perjanjian berusaha sebaik mungkin” (inspanningsverbintenis). Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa dokter

38 Ibid.


(38)

tersebut boleh berbuat sesuka hatinya dalam menjalankan profesinya dan hal itu harus berdasarkan standar profesi medis yang berlaku.

Dari seorang dokter dapat disyaratkan bahwa dapat melakukan suatu tindakan medis ia harus bertindak dengan hati-hati dan teliti; berindikasi medis; tindakan yang dilakukan berdasarkan standar profesi medis; dan adanya persetujuan pasien (informed consent).39

“Penggantian dari biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian hanya dapat dituntut, apabila si berhutang sesudah ditagih, tetap lalai tidak memenuhi kewajibannya, atau apabila si berhutang wajib memberi atau melakukan sesuatu, hanya dapat memberikan atau melakukan dalam jangka waktu tertentu, dan waktu mana telah dilampauinya.”

Jika seorang dokter tidak melakukan, salah melakukan atau terlambat melakukan suatu tindakan medis sampai menimbulkan cedera/kerugian kepada pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan wanprestasi seperti yang tercantum di dalam KUH Perdata, Pasal 1243, yaitu:

Prinsip ini mengartikan suatu wanprestasi (breach of contract) jika seorang dokter telah menyanggupi atau menjamin akan kesembuhan pasiennya, namun ternyata telah gagal. Di dalam hal kesanggupan tersebut, maka secara yuridis dikatakan telah terjadi suatu kontrak atau perjanjian akan tercapainya suatu hasil tertentu atau yang dinamakan

39 Ibid.


(39)

perjanjian hasil (resultaatverbintenis). Perjanjian semacam ini seolah-olah telah terjadi suatu kontrak di mana dijanjikan suatu hasil khusus akan tercapai dari tindakan medis dokter. Jika gagal, maka unsur wanprestasi yang dimaksud telah terjadi pada pihak dokternya.

2) Undang-undang (ius delicto).

Di dalam KUH Perdata, selain gugatan berdasarkan pada wanprestasi, juga dapat berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige

daad), yang diatur dalam Pasal 1365. Dalam Arrest Hoge Raad, 31

Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum, “dat onder onrechtmatige daad is te verstaan een handelen of nalaten, dat of inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met des daders rechtsplicht of industruist, hetzij tegen de goede zaden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van een anders persoon of goed” (sebagai suatu tindakan atau non tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban si pelaku, atau bertentang dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain).40

Dalam dunia medis, ketidakhati-hatian dan ketelitian tersebut mengacu pada standar-standar dan prosedur profesi medis di dalam melakukan suatu tindakan medis tertentu, yaitu Kode Etik dan Sumpah Dokter yang dengan tegas telah mengatur berbagai kewajiban tersebut.

40


(40)

c. Barang dan/atau Jasa.

Kata barang dan/atau jasa sering diganti penggunaan terminologinya dengan kata “produk”. Saat ini kata “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. Dalam dunia medis, pelayanan kesehatan digolongkan ke dalam bentuk jasa. Pengertian jasa menurut Pasal 1 Angka 5 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Dalam perundingan ke delapan (Uruguay/Uruguay Round), berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994 melahirkan apa yang disebut dengan WTO ( World Trade Organization), pada tanggal 1 Januari 1995. Perjanjian WTO mengatur masalah mengenai GATT (the General Agreement on Tariffs and Trade), jasa atau GATS (the General Agreement on Trade in Services) dan hak cipta atau TRIPs (the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights).41 Meskipun ketiga perjanjian ini berbeda dalam ruang

lingkup dan isinya, namun, ada sejumlah prinsip dasar yang mendasari ketiganya, yakni :Most Favoured Nations; National Treatment; Transparency; Elimination of Quantitative Restrictions; Rectriction to Safequard the BOP; Special and Differential Treatment. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, hanya dua prinsip yang wajib diberlaku pada kebijakan pemerintah menyangkut perdagangan jasa, yaitu Most-Favoured Nations42 dan perlakuan nasional43

41

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, op.cit., hlm. 203.

.

42

Perlakuan MFN berarti bahwa negara harus memperlakukan semua mitra perdagangan asing secara setara, oleh karena itu, negara tidak diperkenankan untuk membedakan barang, jasa atau agen (supplier) dengan dasar perbedaan asal (asing). Dalam prinsipnya, doktrin MFN berlaku


(41)

Jasa yang berlaku dalam perjanjian GATS adalah jasa-jasa kecuali jasa pemerintahan, yaitu “jasa-jasa yang disediakan dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintah”; jasa seperti ini telah dijabarkan sebagai jasa yang “tidak disuplai pada dasar komersial, maupun dalam persaingan dengan satu atau lebih penyedia (supplier) jasa”.

Di Indonesia, pemerintah telah memberikan penawaran perdana (intial offer) di sektor jasa untuk diliberalisasikan dalam kerangka WTO. Atas dasar itu, Departemen Perdagangan RI memberikan 7 intial offer antara lain di sektor pendidikan kejuruan; profesi kesehatan; kepemilikan perbankan kepada warga asing yang semula 49% menjadi 51%; diizinkannya profesi pengacara asing beroperasi di Indonesia; jasa konstruksi asing untuk membangun infrastruktur di Indonesia; pembangunan rumah sakit asing dengan kapasitas minimal mempunyai 400 tempat tidur; dan perluasan izin keimigrasian.44

Dalam hal ini, bidang jasa kesehatan menyangkut lima hal, yaitu : tenaga medis termasuk perawat; penyelenggara pelayanan kesehatan; penyedia pelayanan kesehatan; penyedia dana dan fasilitas kesehatan.

d. Yang tersedia dalam masyarakat.

Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tidak disebutkan apakah jasa pelayanan kesehatan harus tersedia dalam masyarakat atau tidak. Namun, jika

untuk semua jasa dan semua sektor, bahkan ketika negara belum membuat komitmen untuk menyediakan akses bagi perusahaan asing dalam sektor itu.

43

Perlakuaan Nasional berarti memperlakukan perusahaan, produk atau jasa asing tidak kurang setara dari perlakuan terhadap produk dan jasa negara sendiri. Meskipun perlakuan nasional adalah prinsip umum WTO, dalam konteks GATS ini hanya berlaku ketika negara telah membuat komitmen spesifik, dan pengecualian diperbolehkan.

44 Ibid.


(42)

kita lihat dalam praktik di masyarakat, ketersediaan pelayanan kesehatan oleh dokter ataupun oleh rumah sakit sudah menjamur di masyarakat.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Dalam pelayanan kesehatan, unsur ini sangat jelas penerapannya. Seseorang tidak akan menggunakan jasa dokter jika ia tidak sakit (diri sendiri) atau ia memanggil dokter tersebut untuk menyembuhkan keluarga atau tetangga (orang lain) yang sakit.

f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangankan.

Unsur ini jelas dalam pelayanan kesehatan. Dimana Pasien sebagai konsumen akhir menerima upaya penyembuhan dari dokter atau rumah sakit untuk kesembuhannya, pastinya tidak untuk diperdagangkan kembali.

Dari keenam unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian konsumen adalah sama dengan pengertian pasien.45 Pasien menggunakan jasa dokter atau dokter gigi yang tentunya jasa tersebut telah tersedia dalam masyarakat sebelumnya dan tentunya digunakan untuk kepentingannya sendiri atau tidak untuk diperjualbelikan.

2. Pengaturan Hukum Tentang Hak-Hak Pasien Kurang Mampu.

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan ini sendiri diartikan sebagai suatu tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat

45


(43)

dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.46

Dalam bidang pelayanan kesehatan, hak pasien sangat penting. Hak pasien harus dipenuhi dengan baik mengingat kepuasaan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum. Berdasarkan dimensi kualitas layanan kesehatan maka harapan pasien sebagai konsumen pelayanan medis meliputi:

47

a. Pemberian layanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan;

b. Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan);

c. Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyaman;

d. Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien.

Pada Musyawarah ke-34 Asosiasi Kedokteran Sedunia (World Medical

Association) bulan September 1981 di Lisabon, untuk pertama kalinya

dideklarasikan hak-hak pasien, yang meliputi hak untuk memilih dokter secara bebas, hak untuk dirawat dokter yang memiliki kebebasan dalam membuat keputusan klinis dan etis tanpa pengaruh dari luar, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adequate, hak untuk mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan perincian kesehatan dan

46

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Liberty, Yogyakarta, 1999), hlm. 24.

47

Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien (Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010), hlm. 27.


(44)

pribadinya, hak untuk mati secara bermartabat, dan hak untuk menerima atau menolak layanan moral dan spiritual.48

Hak-hak pasien sangat penting untuk dibahas karena pada kenyataan menunjukkan bahwa adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum pasien menjadi semakin pudar. Selain itu secara umum ada anggapan dimana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan apa yang perlu dilakukannya dalam upaya untuk menyembuhkan si pasien.

Anggapan ini ternyata keliru, jika dipandang dari sudut perjanjian karena hubungan antara dokter dan pasien timbul berdasarkan adanya perjanjian dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang dalam dunia medis disebut perjanjian terapeutik. Berdasarkan perjanjian terapeutik, kedudukan antara dokter dan pasien adalah sama atau sederajat. Secara hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan sendiri untuk kepentingan dirinya. Pasien tetap mampu mengambil keputusan sendiri yang berkaitan dengan kepentingan dirinya walaupun dalam kondisi sakit. Dengan demikian walaupun dalam kondisi sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat.

Pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak

48

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 198.


(45)

asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan.

Pada umumnya dikenal dua jenis hak asasi atau hak dasar manusia yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individual. Dalam hukum kesehatan terdapat dua azas hukum yang melandasi yakni the right to health care atau hak atas pelayanan kesehatan dan the right of self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri.49

The Right To Health Care menimbulkan hak individual lain yaitu theright to medical care (hak atas pelayanan medis). The Right to Self-Determination (hak menentukan nasib sendiri) terdapat pengaturannya dalam konvensi-konvensi internasional misalnya di dalam International Covenant on Civil and Political

Right (1966) Pasal 1 menyatakan : “All peoples have the right to

self-determinations...” artinya bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk

menentukan nasibnya sendiri...“.

Kedua hak tersebut merupakan hak primer atau hak dasar dalam bidang kesehatan. Akan tetapi batasan antara hak dasar sosial dan hak dasar individual agak kabur. Hal ini disebabkan karena hak dasar individual atau hak menentukan nasib sendiri juga terdapat pada hak dasar sosial.

The Right of Self-Determination (TROS) menjadi hak dasar atau hak

primer individual, merupakan sumber dari hak-hak individual, yaitu:50 a. Hak atas privacy

b. Hak atas tubuhnya sendiri

49

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 37.

50


(46)

Berikut ini skema hak-hak yang dimiliki oleh pasien dalam profesi kedokteran berdasarkan pemaparan di atas:

SKEMA 1

Hak-Hak Pasien Dalam Profesi Kedokteran

HAK DASAR KESEHATAN

SOSIAL INDIVIDUAL The Right to

Health Care Hak atas Hak atas Privacy badan sendiri Hak atas

Pelayanan Medis Hak atas rahasia - Hak atas informasi Kedokteran - Hak memilih

- Hak menolak

•Perawatan

•Tindakan medis tertentu

- Hak menghentikan perawatan

- Hak atas second opinion

- Hak memeriksa rekam medis

Sumber: Penuntun Kuliah Hukum Kedokterankarya Danny Wiradharma hlm. 41.

Di negara kita pengaturan tentang hak asasi manusia di bidang kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana pada Pasal 4 yang berbunyi bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, negara mengatur bahwa setiap warga negaranya berhak atas kesehatan. Pengaturan hak atas kesehatan bagi warga negaranya ini adalah sama untuk semua warga negara, tidak membedakan status, golongan, ras maupun agama.


(47)

Dalam pengaturan perundang-undangan di bidang kesehatan tidak ada pembedaan antara pasien mampu, pasien kurang mampu maupun pasien miskin. Menurut peraturan perundang-undang ketiganya adalah sama status dan kedudukannya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1), “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”.

Oleh karena itu, maka tidak pembedaan yang signifikan antara hak yang dimiliki pasien mampu dan pasien kurang mampu dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Dalam memperoleh pelayanan kesehatan, seorang pasien mempunyai hak sebagai berikut:51

a. Hak atas informasi medis

Dalam hal ini pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindakan medis yang dilakukan, risiko dari tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan medis tersebut. Hal-hal yang perlu diinformasikan ini harus meliputi prosedur yang akan dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan yang dilakukan dan alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Selain itu perlu juga diinformasikan pula kemungkinan yang akan terjadi jika tidak dilakukan tindakan yang dimaksud atau ramalan (prognosis) atau perjalanan penyakit yang akan di derita. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai perkiraan biaya pengobatannya.

51

Chrisdiono M. Achadiat, Pernik-Pernik Hukum Kedokteran : Melindungi Pasien dan Dokter (Widya Medika, Jakarta, 1996), hlm. 4-6.


(48)

Prosedur tindakan medis yang hendak dilakukan juga perlu diuraikan alat yang akan digunakan dalam tindakan medis, bagian tubuh mana yang akan terkena dapat dari tindakan medis, efek yang ditimbulkan dari pelaksanaan tindakan medis (kemungkinan menyebabkan cacat/nyeri beserta waktu timbulnya, taraf keseriusan), kemungkinan perlu dilakukannya operasi.

Pihak yang berkewajiban memberikan informasi, tergantung dari sifat tindakan medis, invasif atau tidak. Dokter boleh mendelegasikan pemberian informasi tersebut kepada dokter lain atau perawat dengan syarat dokter atau perawat yang menerima delegasi harus paham mengenai informasi yang akan ia katakan kepada si pasien mengenai penyakit yang di deritanya. Informasi medis yang berhak diketahui oleh pasien, termasuk pula identitas dokter yang merawat. Dokter dapat menahan informasi medis, apabila hal tersebut akan melemahkan daya tahan pasien.52

b. Hak atas persetujuan tindakan medis atau yang dikenal dengan informed consent

Syarat utama dalam mengadakan perjanjian di bidang medis adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya kerjasama antara dokter dan pasien. Sesuai dengan teori bahwa informed consent merupakan hak pasien maka dokter berkewajiban menjelaskan segala sesuatu mengenai penyakit pasien kepadanya dan memperoleh izin/persetujuan untuk melakukan tindakan medis. Tindakan medis yang diberikan kepada si pasien dilakukan setelah

52


(49)

memperoleh izin/persetujuan dari pasien yang telah memperoleh informasi tentang penyakitnya dari dokter.

Persetujuan dan informasi kemudian dilembagakan dalam sebuah lembaga bernama lembaga informed consent. Lembaga informed consent ini mendapatkan kekuatan hukum dengan diundangkannya Pemenkes Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dalam Permenkes ini informasi dan persetujuan medis menjadi hak dari pasien yang disusun dalam Pasal 2 Ayat (1), bahwa “Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.” Mengenai persetujuan tindakan medis diuraikan lebih rinci pada Pasal 45 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi:

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan; c) Alternatif tindakan lain dan resikonya;

d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.


(50)

Persetujuan yang diberikan oleh pasien dapat berupa persetujuan tertulis maupun persetujuan lisan. Persetujuan tertulis diperlukan untuk setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi, ditandatangani oleh pihak yang berhak memberikan persetujuan.53 Mengenai pihak yang berkewajiban memberikan persetujuan, secara yuridis adalah pasien sendiri, kecuali bila ia tidak cakap hukum dalam keadaan tertentu. Syarat seorang pasien boleh memberikan persetujuan tindakan medis, yaitu:54

1) Pasien tersebut sudah dewasa

Batasan usia seseorang dikatakan dewasa masih mengalami perdebatan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan dewasa jika telah berusia 21 Tahun atau telah menikah. Seseorang yang belum mencapai usia 21 Tahun tetapi telah menikah dianggap telah dewasa.

2) Pasien dalam keadaan sadar

Pasien harus dalam keadaan dapat diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar. Hal ini mengandung makna bahwa pasien tidak sedang dalam kondisi pingsan, koma atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lainnya.

3) Pasien dalam keadaan sehat akal

Pasien tidak mengalami gangguan kejiwaan sehingga dapat memberikan persetujuan dengan sadar.

53

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 18-19.

54

Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis & Informasi Kesehatan, Ed. 1, Cet. 1 (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hlm.33.


(51)

Dalam keadaan pasien gawat darurat atau tidak sadar, dokter boleh melakukan tindakan ”atas dasar penyelamatan jiwa”, tanpa memerlukan

informed consent55. Leenen mengemukakan suatu konstruksi hukum yang

disebut “fiksi hukum” di mana seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam situasi yang sama.56 Van der Mijn berpendapat bahwa tindakan medis pada pasien tidak sadar bisa dikaitkan dengan Pasal 1354 KUH Perdata, yaitu Zaakwaarneming atau perwakilan sukarela.57

Dokter yang melanggar ketentuan informed consent akan dikenakan sanksi. Permenkes RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) Pasal 13 menyatakan bahwa terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.

Informed consent tidak membuat dokter terbebas dari tanggung gugat atas

kerugian yang terjadi karena tindakan atau akibat tindakan medis yang dilakukan.58

55

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 59.

Untuk sanksi perdata digunakan KUH Perdata Pasal 1365 mengenai Onrechtmatigedaad, yakni sanksi dalam bentuk ganti kerugian atas cacat atau luka karena adanya perbuatan yang salah misalnya kelalaian. Oleh

56

Ibid, hlm. 59-60. 57

Ibid, hlm. 60. 58

Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia (P.T. Alumni, Bandung, 2007), hlm. 110.


(52)

karena itu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang tidak menimbulkan kerugian, tidak dapat dijatuhi sanksi perdata.59

Persetujuan tindakan medis di dalam tata hukum pidana merupakan hal yang penting karena dengan adanya persetujuan, maka tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter, perawat dsb) mempunyai dasar hukum yang kuat. Tanpa persetujuan, tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat diduga melanggar hak-hak pasien dan perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal-pasal KUHP. Pelanggaran terhadap informed consent dapat dijatuhi sanksi pidana yang diatur dalam KUHP Pasal 351 mengenai penganiayaan, misalnya dokter melakukan operasi tanpa izin pasien atau ahli anestesi yang melakukan bius tanpa izin pasien dapat dikenakan Pasal 89 yaitu tentang perbuatan membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. c. Hak memilih dokter atau rumah sakit

Pada dasarnya setiap dokter memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindakan medis, namun pasien tetap diberikan kebebasan untuk memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendakinya. Kebebasan ini dapat dilaksanakan oleh pasien tertentu dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya, misalnya masalah biaya, jika si pasien memilih rumah sakit yang elite/ asing maka otomatis biaya perawatan yang harus ditanggungnya lebih besar dibandingkan jika ia milih rumah sakit yang umum.

59

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 60.


(53)

d. Hak atas rahasia medis

Keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya dikenal dengan nama rahasia kedokteran60

Dalam beberapa literatur disebutkan perumusan rahasia medis adalah

atau rahasia medis dalam literatur lainnya.

1) Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien baik secara sadar maupun secara tidak sadar kepada dokter.

2) Segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan merawat pasien.

Selain dokter, rumah sakit juga berkewajiban menjaga rahasia medis pasien yang melakukan perawatan di rumah sakit tersebut.61

Namun hak ini dapat dikesampingkan dalam hal-hal sebagai berikut :

1) Diatur oleh Undang-Undang (misalnya UU Penyakit Menular);

2) Bila pasien mendapat hak sosial tertentu (misalnya tunjangan atau penggantian biaya kesehatan);

3) Pasien sendiri sudah mengizinkan secara lisan maupun secara tertulis; 4) Pasien menunjukkan kesan bahwa ia menghendaki demikan (misalnya

membawa pendamping ke ruang praktek dokter);

5) Bila untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi.

Menurut etika kedokteran, kerahasiaan medis ini tetap harus dihormati oleh dokter walaupun pasien tersebut telah meninggal dunia. Peraturan

60

M. Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Cet. 1 (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009), hlm. 39.

61

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab IX, Pasal 38.


(54)

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1996 telah mengatur tentang pelanggaran terhadap hak atas rahasia medis. Pelaku pelanggaran hak ini akan dikenakan Pasal 112 dan Pasal 322 KUHP, disamping sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan. Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenakan sanksi perdata yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1365 Angka (1),(2).

Petugas kesehatan seringkali ditempatkan pada posisi yang dilematis, apalagi dengan maraknya tuntutan HAM. Misalnya pada institusi TNI, seorang dokter karena perintah atasan harus memberikan penjelasan dan keterangan perihal penyakit pasiennya. Di satu sisi dokter harus menjaga kerahasiaan penyakit pasien, akan tetapi di sisi lain dokter juga harus menaati perintah atasannya. Dalam kondisi seperti ini Pasal 51 KUHP dapat dijadikan rujukan, menyatakan bahwa “orang yang melakukan tindak pidana untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan pembesar yang berhak akan itu, tidak dapat dipidana atau istilahnya presume consent.62

e. Hak atas Pendapat Kedua (Second Opinion)

Misalnya seseorang yang memutuskan menjadi anggota TNI karenanya segala data mengenai dirinya harus diketahui oleh atasan/instansinya.

Adakalanya seorang pasien yang telah memeriksakan kondisi kesehatannya kepada seorang dokter dan memperoleh hasil pemeriksaan menginginkan pendapat dari dokter lain mengenai kondisi kesehatanya. Hal ini pun kerap menyinggung perasaan sang dokter karena dokter menganggap

62

Ns. Ta’adi, Hukum Kesehatan : Pengantar Menuju Perawat Profesional (EGC, Jakarta, 2009), hlm. 28-30.


(55)

pasien tidak percaya akan kemampuannya dan meragukan hasil kerjanya. Pasien dapat saja meminta pendapat ke dokter yang lain setelah memperoleh pendapat dari dokter pertama. Akan tetapi, jika terdapat perbedaan pendapat antara kedua dokter tersebut maka pasien hanya akan menjadi lebih bingung mengenai kondisi kesehatannya.

Yang dimaksud pendapat kedua adalah adanya kerjasama antara dokter pertama dan dokter kedua dimana dokter pertama memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua.63

Dalam hak atas pendapat kedua, dokter kedua akan mempelajari hasil pemeriksaan dokter pertama dan bila ia melihat adanya perbedaan pendapat, maka ia akan menghubungi dokter pertama untuk membicarakan tentang perbedaan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.

Kerjasama ini dilakukan bukan atas inisiatif dari dokter pertama tetapi atas inisiatif pasien. Apabila inisiatif datang dari dokter pertama, maka hal ini dinamakan “rujuk”, dimana pasien dirujuk ke dokter yang lebih ahli.

Hak atas pendapat kedua ini memberikan keuntungan yang besar bagi pasien. Pertama, pasien tidak perlu lagi mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan pemeriksaan medis. Kedua, kedua dokter dapat saling berkomunikasi dan bersikap lebih terbuka sehingga memungkinkan menghasilkan pendapat yang lebih baik.

f. Hak atas rekam medik (medical record)

63


(56)

Membuat rekam medis menjadi kewajiban dokter dan rumah sakit sejak diundangkannya Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 tentang Rekam Medik yang ditegaskan dalam Pasal 2 yang berbunyi “Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan, maupun rawat inap wajib membuat rekam medik.” Pengertian rekam medik menurut Pasal 1 Butir a Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

Dalam Pasal 10 Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 dan Pasal 47 Ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 diatur mengenai kepemilikan dari rekam medik adalah sebagai berikut:64

1) Berkas rekam medik adalah milik dokter, dokter gigi atau sarana pelayanan kesehatan

2) Isi rekam medik milik pasien

Pendapat dari para pakar Hukum Kesehatan, hak pasien untuk melihat rekam medik (inzage recht) termasuk untuk memperoleh salinan dari rekam medik yang isinya adalah milik pasien.65 Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu dalam rekam medis yang bukan milik pasien, yaitu:66

1) Personal note atau persoonlijke aantekeningan, yaitu catatan pribadi dokter, misalnya mengenai perkiraan tentang hal-hal yang berhubungan

64

M. Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Cet. Pertama (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009), hlm. 41.

65

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 27.

66

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 37.


(57)

dengan pasien atau rencana-rencana tertentu dalam menegakkan diagnosis/memutuskan terapi.

2) Catatan tentang orang ketiga, misalnya anamnesis langsung tentang penyakit-penyakit yang kemungkinan terdapat pada sanak keluarga pasien.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa rekam medik yang berisi pendapat pribadi dokter ini tidak perlu diperlihatkan kepada pasien.67 Selain hak-hak pasien diatas ada beberapa hak pasien lainnya seperti: hak untuk menolak pengobatan/perawatan; hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan; hak untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya68, kemudian hak atas rasa aman, hak pasien menggugat, hak menolak perawatan tanpa izin, hak atas rasa aman, hak mengakhiri perjanjian perawatan,hak mengenai bantuan hukum, dan hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights.69

Hak pasien juga diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Berikut ini tabel hak pasien yang diatur dalam ketiga UU tersebut:

67

M. Sofyan Lubis, Konsumen dan Pasien Dalam Hukum Indonesia, Ed. 1, Cet. 1 (Liberty, Yogyakarta, 2008), hlm. 16.

68

Danny Wiradharma, op.cit., hlm. 57. 69

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1 (PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005), hlm. 33-34.


(1)

4. RSU IPI bertanggungjawab atas segala kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis/paramedisnya. Pertanggungjawaban tersebut dilakukan oleh Direktur RSU IPI, dr Hedy Tan, MARS, MOG, Sp.OG yang kemudian didelegasikan kepada Wadir Administrasi dan Keuangan, dr Imelda, S.Kp, M.Pd, MN. Pendelegasian kewenangan tersebut adalah mewakili RSU IPI di luar dan di dalam pengadilan. Jika RSU IPI menghadapi permasalahan dengan pasien, maka RSU IPI akan mengupayakan penyelesaian damai dengan pasien berupa pemberian ganti rugi dan pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien tersebut secara cuma-cuma sampai pasien tersebut sembuh. Apabila penyelesaian masalah tersebut diselesaikan melalui jalur litigasi, maka Wadir Administrasi dan Keuangan akan didampingi oleh Kepala bagian Keperawatan.

B. Saran

1. Jenis pelayanan kesehatan yang telah diatur dalam peraturan pemerintah tentang jaminan kesehatan lebih ditingkatkan kualitas pelayanannnya kepada pasien kurang mampu agar kualitas kesehatan masyarakat dapat meningkat menjadi lebih baik dan persyaratan pembuatan kartu jaminan kesehatan oleh dinas kesehatan setempat dapat diproses dengan cepat.

2. Hak-hak pasien diharapkan dapat diberikan kepada pasien secara penuh sehingga tidak ada keluhan dari pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan.


(2)

3. Hambatan yang dihadapi pihak RSU IPI berkaitan mengenai kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan dapat segera diatasi dengan menambah fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

4. RS dan dokter menjunjung tinggi sikap tanggung jawab baik tanggung jawab moril maupun tanggung jawab hukum kepada pasien karena dokter dan RS merupakan dua pihak yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan yang prima kepada masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Achadiat, Chrisdiono M., Pernik-Pernik Hukum Kedokteran: Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta: Widya Medika, 1996.

Ameln, Alfred Albert, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: P.T. Grafikatama Jaya, 1991.

Amir, Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.

Budianto, Agus dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien, Bandung: Karya Putra Darwati, 2010.

Entjang, Indan, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cet. Ketiga Belas, Bandung: P.T.

Citra Aditya Bakti, 2000.

Guwandi, J., Hukum Medik, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Nomartif, Ed. Revisi, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum dan Masalah Medik, Surabaya: Lembaga Penerbitan Universitas Airlangga, 1984.

Kurnia, Titon Slamet, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2007.

Lubis, M. Sofyan, Konsumen dan Pasien Dalam Hukum Indonesia, Ed.1, Cet. 1, Yogyakarta: Liberty, 2008.

---, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999.


(4)

Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Notoatmodjo, Soekidjo, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Rustiyanto, Ery, Etika Profesi Perekam Medis & Informasi Kesehatan, Ed. 1, Cet. 1, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010.

Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2007.

Soekanto, Soerjono dan Herkuntanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung: CV. Remadja Karya, 1987.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2003

Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. Kesepuluh, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebuah Introduksi, Ed. 1, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet. Kelima, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Bandung: CV. Mandar

Maju, 2001.

Sutopo, Standar Kualitas Pelayanan Medis, Jakarta: Mandar Maju, 2000. Ta’adi, Ns., Hukum Kesehatan : Pengantar Menuju Perawat Profesional,

Jakarta: EGC, 2009.

Tengker, F. dan S. Verbogt, Bab-Bab Hukum Kesehatan, Bandung: Nova, 1989.


(5)

Tutik, Titik Triwulan dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Wiradharma, Danny, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Republik Indonesia, Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 32/Birhup/1972 tentang Referal System.

Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik No.YM.02.04.3.5.2504 Tahun 1997 tentang pedoman Hak dan Kewajiban Pasien.


(6)

C. Website

diakses 14

Februari 2014 pukul 20.42 WIB

http://m.merdeka.com/peristiwa/rsud-dadi-tjokrodipo-bandar-lampung-disebut-sering-buang-pasien.html diakses 14 Februari 2014 pukul 20.45 WIB

diakses 14

Februari 2014 pukul 20.55 WIB

http://aamaulana96.blogspot.com/2013/03/sosiologi_16.html?m=1 diakses 22 Maret 2014 pukul 20.55 WIB

2014 pukul 22.34 WIB.

D. Hasil Wawancara

Hasil Wawancara dengan Yupi Andriani M., Kepala Administrasi Bagian Personalia yang dilakukan tanggal 25 Februari 2014.