Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Farmasi Di Indonesia (Studi PT. Mutiara Mukti Farma Medan)

(1)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK FARMASI DI INDONESIA

(STUDI PT. MUTIARA MUKTI FARMA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

ROBERT NIM: 100200115

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK FARMASI DI INDONESIA

(STUDI PT. MUTIARA MUKTI FARMA MEDAN)

SKRIPSI

OLEH: ROBERT NIM : 100200115

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Sunarto Adiwibowo, S.H., M.Hum. Zulkifli Sembiring, S.H,.M.H. NIP :

 

195203301976011001 NIP.196101181988031


(3)

KATA PENGANTAR

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sam Buddhasa…. 3X

Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Hyang Adhi Buddha, Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada setiap pihak yang sudah membantu penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Farmasi di Indonesia (studi PT. Mutiara Mukti Farma, Medan)” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari, dalam penyajiannya, terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafruddin, SH. MH. D.F.M. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH. M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Rabiatul Syariah, SH. M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.Hum. selaku Penasehat Akademik penulis selama berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Sunarto Adi Wibowo, SH. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu dalam penyempurnaan skripsi ini dan memberikan banyak masukan serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Zulkifli Sembiring, SH. MH. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dalam penyempurnaan skripsi ini dan memberikan banyak masukan serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH. MA yang telah memberikan banyak bantuan dan masukan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan skripsi ini. 11.Bapak Edy Yunara, SH. M.Hum selaku dosen pembimbing klinis


(5)

12.Bapak M. Hayat, SH selaku dosen pembimbing klinis Peradilan Perdata di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13.Bapak Bachtiar Hamzah, SH, MH selaku dosen pembimbing klinis Peradilan TUN di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan atas semua nasehat dan ilmu yang penulis dapatkan dari beliau.

14.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 15.Kepada pegawai-pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah membantu penulis dalam bidang administratif perkuliahan selama penulis berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 16.Bapak Jacob Lie, selaku Direktur Utama PT. Mutiara Mukti Farma Medan

yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan riset di PT. Mutiara Mukti Farma Medan.

17.Bapak Amiruddin Pinem, SH, selaku Manager HRD PT. Mutiara Mukti Farma Medan yang telah memberikan banyak informasi bagi penulis dalam rangka riset di PT. Mutiara Mukti Farma Medan.

18.Bapak Hidayat Nur, SE, selaku Manager Sales PT. Mutiara Mukti Farma Medan yang telah memberikan banyak informasi bagi penulis dalam rangka riset di PT. Mutiara Mukti Farma Medan.

19.Kedua orangtua penulis, Edy Sulaiman dan Yap Chiu In yang selalu memberi dukungan, motivasi serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

20.Almarhum Saliman Suwito dan Almarhumah Mamih selaku kakek dan nenek dari penulis, beserta seluruh keluarga besar penulis yang telah memberi dukungan dan doa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

21.Sahabat-sahabat penulis selama menjalani masa perkuliahan yang selalu mendukung dan memotivasi penulis, yaitu : Anatasya MS, Nidea Hutabarat, Theopilus Sembiring, Andrea Gayus Sinulingga, Teguh Melias Sinulingga, Devi Silvia Hutapea, Marwah Effendi Nasution, Rahma Sari Dahlan, Muhammad Fajar, Wildayanti, Ellysyafitri Harahap, Vellichia Lawrence, Steffy Tamin, Tony, Edward Chennady, Jerry Thomas Maslo, Febrina Sumardy, Sally Putri, Steven, Andi Putra, Michael Timothy, Henjoko, Christian Yoritomo dan sabahat-sahabat lainnya yang tak disebutkan namanya di sini.

22.Sahabat penulis, yang menamakan diri sebagai Trio Grup E bersama dengan penulis, yaitu : Andrevin dan Herbert, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

23.Kepada sahabat seperjuangan penulis di Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu : Imelda, Rivera Wijaya, Moria Gunawaty, Chyntia Stefany dan Frezi Widianingsih, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

24.Abangda Felik, SH. yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.


(7)

25.Kepada teman dan sahabat penulis di KobaKum yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

26.Kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam berbagai cara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak terima kasih.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan semoga apa yang telah kita lakukan mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis memohon maaf kepada kedua Bapak Dosen Pembimbing, serta seluruh Dosen Penguji apabila ada sikap maupun kata yang tidak berkenan di hati selama penulisan dan penyajian skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Sadhu… Sadhu… Sadhu…

Medan, Maret 2014


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Metode Penulisan ... 12

F. Keaslihan Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen ... 18

B. Pengertian Produsen atau Pelaku Usaha ... 24

C. Pengertian Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen ... 26

D. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia ... 29

E. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen ... 33

F. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 40


(9)

BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDUSTRI FARMASI DAN PRODUK FARMASI

A. Syarat Pendirian Pabrik Farmasi ... 46 B. Profil PT. Mutiara Mukti Farma Medan ... 50 C. Pengertian dan Penggolongan Obat menurut Peraturan

Farmasi ... 53 D. Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Produk Farmasi Agar

Dapat Diedarkan ... 56 E. Tata Cara Penentuan Harga Produk Farmasi Sebagai

Bentuk Perlindungan Konsumen ... 60

BAB IV ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

TERHADAP PRODUK FARMASI DI INDONESIA DAN PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG FARMASI

A. Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Farmasi (Obat) ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... 69 B. Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 98 1. Pengertian Sengketa Konsumen ... 98 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Dengan Jalan

Non-Litigasi ... 103 3. Penyelesaian Sengketa Konsumen Dengan Jalan

Litigasi ... 114 4. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Bidang Farmasi 120

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 125 B. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128


(10)

ABSTRAK Robert*75

Sunarto Adiwibowo** Zulkifli Sembiring***

Manusia merupakan mahluk sosial (zoon politicon), yaitu mahluk yang memerlukan manusia lain untuk bertahan hidup. Pelaku usaha dan konsumen selayaknya manusia juga merupakan mahluk sosial dimana kedua pihak tersebut saling membutuhkan satu sama lainnya. Ruang lingkup hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen sangat luas, salah satunya adalah mencakup di bidang produk farmasi (obat) Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen tidak selamanya berjalan lancar, kadang bisa timbul sengketa di antara pihak tersebut. Pemerintah sudah menjamin hak konsumen dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan keluarnya undang-undang tersebut menimbulkan pertanyaan apakah hak-hak konsumen di bidang obat-obatan sudah terjaga sepenuhnya sampai permasalahan lain yang kerap timbul di bidang obat-obatan antar lain harga obat yang tidak wajar, bagaimana standar obat yang layak edar, dan penyelesaian sengketa di bidang farmasi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder, dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan serta studi lapangan berupa wawancara. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif. Perlindungan konsumen pada produk obat di Indonesia secara normatf sudah bagus, tetapi pada pelaksanaannya belum efektif dan maksimal. Di samping ketentuan pada UUPK, pemerintah juga sudah berusaha melindungi kepentingan, keamanan serta keselamatan konsumen dengan mewajibkan produsen obat mencantumkan label berbahasa Indonesia, menetapkan dan mengawasi standar obat yang akan diedarkan oleh produsen obat, serta melindungi konsumen dari harga obat yang tidak wajar dengan mengeluarkan kebijakan obat generik dan pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada label obat. Pemerintah juga sudah melindungi konsumen jika timbul sengketa konsumen di bidang obat, antara lain penyelesaian sengketa dengan jalur non-litigasi mapun dengan jalur litigasi. Pemerintah sebagai pengawas melalui BPOM hendaknya tetap mengawasi dengan ketat syarat dan prosedur pembuatan obat-obatan yang hendak di edarkan ke masyarakat. Tindakan lain yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah adalah berkerja sama dengan BPSK dan pengadilan negeri di seluruh Indonesia agar

      

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

mempermudah serta memperingan prosedur dan biaya gugatan konsumen. Selain itu pemerintah seharusnya membentuk suatu badan pengawas harga obat-obatan di pasar sebagai bentuk perlindungan nyata terhadap konsumen.


(12)

ABSTRAK Robert*75

Sunarto Adiwibowo** Zulkifli Sembiring***

Manusia merupakan mahluk sosial (zoon politicon), yaitu mahluk yang memerlukan manusia lain untuk bertahan hidup. Pelaku usaha dan konsumen selayaknya manusia juga merupakan mahluk sosial dimana kedua pihak tersebut saling membutuhkan satu sama lainnya. Ruang lingkup hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen sangat luas, salah satunya adalah mencakup di bidang produk farmasi (obat) Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen tidak selamanya berjalan lancar, kadang bisa timbul sengketa di antara pihak tersebut. Pemerintah sudah menjamin hak konsumen dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan keluarnya undang-undang tersebut menimbulkan pertanyaan apakah hak-hak konsumen di bidang obat-obatan sudah terjaga sepenuhnya sampai permasalahan lain yang kerap timbul di bidang obat-obatan antar lain harga obat yang tidak wajar, bagaimana standar obat yang layak edar, dan penyelesaian sengketa di bidang farmasi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder, dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan serta studi lapangan berupa wawancara. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif. Perlindungan konsumen pada produk obat di Indonesia secara normatf sudah bagus, tetapi pada pelaksanaannya belum efektif dan maksimal. Di samping ketentuan pada UUPK, pemerintah juga sudah berusaha melindungi kepentingan, keamanan serta keselamatan konsumen dengan mewajibkan produsen obat mencantumkan label berbahasa Indonesia, menetapkan dan mengawasi standar obat yang akan diedarkan oleh produsen obat, serta melindungi konsumen dari harga obat yang tidak wajar dengan mengeluarkan kebijakan obat generik dan pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada label obat. Pemerintah juga sudah melindungi konsumen jika timbul sengketa konsumen di bidang obat, antara lain penyelesaian sengketa dengan jalur non-litigasi mapun dengan jalur litigasi. Pemerintah sebagai pengawas melalui BPOM hendaknya tetap mengawasi dengan ketat syarat dan prosedur pembuatan obat-obatan yang hendak di edarkan ke masyarakat. Tindakan lain yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah adalah berkerja sama dengan BPSK dan pengadilan negeri di seluruh Indonesia agar

      

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(13)

mempermudah serta memperingan prosedur dan biaya gugatan konsumen. Selain itu pemerintah seharusnya membentuk suatu badan pengawas harga obat-obatan di pasar sebagai bentuk perlindungan nyata terhadap konsumen.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha tidaklah selalu lancar, jika terdapat perbedaan pendapat atau perselisihan diantara kedua pihak tersebut, timbul apa yang disebut dengan masalah konsumen. Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual, menarik perhatian. Persoalan konsumen selalu hangat dipersoalkan, dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan. Masalah konsumen adalah masalah manusia. Berkaitan dengan kesehatan manusia dan juga ternyata tidak lepas dari unsur di luar kesehatan. Masalah nilai-nilai keagamaan, malah, bisa berkaitan dengan isu konsumen.76

Aristoteles, seorang filsuf Yunani mengemukakan bahwa manusia merupakan mahluk sosial (zoon politicon) yang dalam kehidupannya pasti membutuhkan kehadiran dan bantuan manusia lainnya untuk saling melengkapi kebutuhan mereka masing-masing. Baik pelaku usaha maupun konsumen yang juga merupakan mahluk sosial , maka di antara kedua pihak tersebut pasti saling membutuhkan satu sama lain, oleh karena itu perlu adanya suatu aturan yang mengatur dan menjaga hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang kini sudah diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Selanjutnya disebut UUPK).

       76

 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Bogor: Panta Rei, 2005) , hal. 1. 


(15)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi Majelis Umum No.A/RES/39/248 Tahun 1985 atau yang biasa dikenal sebagai Guidelines for

Consumer Protection of 1985 dinyatakan bahwa konsumen dimana pun mereka

berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya. Hak-hak dasar yang dimaksudkan dalam resolusi adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak memilih, hak untuk didengar, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan), hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan itu dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar.77

Indonesia sebagai salah satu anggota PBB tentu saja turut berusaha mengimplementasikan dan mewujudkan perlindungan konsumen yang menyeluruh bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu berdasarkan dari resolusi yang telah dibuat oleh Majelis Umum PBB tersebut.

Perlindungan Konsumen di Indonesia, ditandai dengan lahirnya UUPK ternyata masih tidak memberikan keseimbangan diantara pelaku usaha dan konsumen. Secara teoritis UUPK sudah memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban yang didambakan dalam dunia perdagangan antara pelaku usaha dan konsumen yang cenderung memberatkan konsumen sejak sebelum lahirnya undang-undang ini. Namun nyatanya, perlindungan konsumen di Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah

       77

 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Diadit Media, 2001), hal. vii. 


(16)

keluhan yang masuk terhadap para pelaku usaha yang diadukan oleh konsumen yang merasa hak-haknya sebagai konsumen telah dirugikan oleh pelaku usaha.

Penjelasan Umum UUPK, faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu keberadaan UUPK adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.78 Permasalahan konsumen, jika ditelisik lebih lanjut ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud, misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.79

Pentingnya pemberian informasi yang jelas bagi konsumen bukanlah tugas dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga tugas dari konsumen untuk mencari apa dan bagaimana informasi yang dianggap relevan yang dapat

       78

 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visi Media,2008), hal. 3.

79

  Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 3. 


(17)

dipergunakannya untuk membuat suatu keputusan tentang penggunaan, pemanfaatan maupun pemakaian barang dan/atau jasa tertentu. Untuk itu pendidikan tentang “perlindungan konsumen” menjadi suatu hal yang signifikan, tidak hanya untuk memberikan bargaining position yang lebih kuat pada konsumen untuk menegakkan hak-haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main yang lebih fair bagi semua pihak.80 Di era yang modern seperti sekarang, manusia memiliki berbagai kebutuhan di samping kebutuhan-kebutuhan primer, yakni kebutuhan akan papan, sandang dan pangan. Salah satu kebutuhan yang terdapat di samping kebutuhan-kebutuhan primer tersebut adalah kebutuhan akan kesehatan. Masyarakat yang sehat tentu akan menjadi salah satu faktor yang menentukan kesejahteraan sebuah negara.

Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang tentu saja ingin untuk mencapai kesejahteraan rakyat di berbagai bidang, salah satunya kesehatan, oleh karena itu seharusnya pemerintah meningkatkan pengawasan dan perlindungan konsumen di bidang kesehatan. Tak dipungkiri bahwa salah satu faktor essensial yang menunjang kesehatan adalah produk-produk farmasi (obat-obatan). Penggunanya pun beragam mulai dari strata masyarakat paling bawah sampai dengan yang paling tinggi, jadi setiap orang yang sakit, pasti membutuhkan obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Sebagai suatu contoh, jika seorang konsumen yang sedang sakit dan menggunakan suatu produk farmasi kemudian dia sembuh dari penyakitnya, tentu hal tersebut merupakan tujuan dari penggunaan produk farmasi tersebut, akan tetapi lain ceritanya jika bukan

       80


(18)

kesembuhan yang didapat setelah menggunakan produk tersebut, tetapi efek samping yang tidak diharapkan, tentu ini menjadi sebuah masalah. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hal di atas, antara lain ketidaktahuan konsumen atas suatu produk farmasi yang telah dikonsumsinya, terlebih jika konsumen tersebut mengkonsumsi produk yang sudah kadaluarsa, tentu produk tersebut tidak akan lagi membawa manfaat yang positif bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Obat yang sudah kadaluarsa tidak boleh digunakan lagi karena beberapa hal, antara lain sebagai berikut:

1. Zat aktif pada obat yang sudah kadaluarsa sudah terdegradasi atau potensinya menurun, sehingga ketika digunakan tidak lagi bermanfaat atau tidak optimal lagi untuk pengobatan. Lebih berbahaya lagi jika senyawa hasil degradasi obat merupakan zat toksik bagi tubuh, tentunya dapat membahayakan kesehatan.

2. Mutu, khasiat dan keamanan obat kadaluarsa tidak dapat dipertanggungjawabkan.

3. Untuk antibiotik yang kadaluarsa dapat menimbulkan kasus resistensi antibiotik (bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik yang bersangkutan). Potensi antibiotik sudah menurun sehingga tidak mampu lagi menuntaskan infeksi mikroba yang ada.

4. Obat kadaluarsa dapat ditumbuhi jamur, maka dikhawatirkan akan lebih memperparah penyakit, bukan menyembuhkan.81

      

81

Lukman Wijaya, Perlindungan Konsumen Kota Malang, Obat Berbahaya Bagi Konsumen, http://perlindungankonsumenkotamalang.blogspot.com/2012/11/obatberbahaya-bagi-konsumen-lukman.html?m=1, diakses pada 14 November 2013.


(19)

Sesuai dengan penjabaran di atas, dapat diperhatikan mengapa pengetahuan konsumen dalam penggunaan suatu produk farmasi amatlah penting, obat kadaluarsa bisa jadi merupakan kelalaian dari konsumen tersebut, akan tetapi bagaimana dengan obat yang pelabelannya salah atau memang sudah merupakan produk yang cacat manufaktur dari produsennya? Siapa yang dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum?

Menurut Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, sebagaimana yang telah dianut hukum positif dalam wujud UUPK, konsumen berhak atas beberapa hal dari produk yang hendak dia pakai, antara lain: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; serta hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterimanya tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak-hak konsumen yang disebutkan pada paragraf sebelumnya merupakan sebagian dari hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK. Para produsen produk farmasi selaku usaha tentu wajib dan harus memperhatikan hak-hak tersebut dalam menjalankan kegiatannya sebagai produsen suatu produk farmasi. Selanjutnya, dalam prinsip-prinsip tentang kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam UUPK, pelaku usaha dalam hal ini produsen produk farmasi wajib untuk: memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan


(20)

standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; serta memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dari kewajiban pelaku usaha di atas, telah menggambarkan adanya kewajiban pelaku usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang akan dan/atau telah menggunakan produknya. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban tersebut akan memunculkan konsekuensi hukum, kecuali hal tersebut terjadi karena keadaan yang mendesak di luar kemampuan manusia (force majeur). Konsekuensi hukum tersebut dapat berupa permintaan maaf dan pemberian kompensasi atau ganti rugi kepada konsumen yang mendapat kerugian sebagai akibat dari mengkonsumsi produk yang tidak sesuai dengan standar produksi/cacat manufaktur. Namun pemberian kompensasi atau ganti rugi tersebut hanya berlaku sesuai dengan standar dan batas-batas tertentu yang dilindungi oleh undang-undang. Dengan kata lain, konsumen hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi apabila telah sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Namun tetap saja, tidak banyak konsumen yang menyadari haknya tersebut. Pengajuan gugatan ganti rugi yang pada perkembangan selanjutnya akan menyeret urusan tersebut ke Pengadilan merupakan salah satu hal yang dihindari oleh kebanyakan konsumen. Penelitian yang dilakukan baik oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (Tahun 1979), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Tahun 1981), maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa (Tahun 1985), juga pada hasil yang


(21)

bersamaan. Semuanya sampai pada kesimpulan bahwa “…para konsumen segan mengajukan perkaranya ke Pengadilan karena khawatir biaya yang dipikulnya menjadi lebih besar dari kerugian yang mereka derita.”82

PT. Mutiara Mukti Farma Medan, merupakan produsen produk farmasi yang memproduksi banyak jenis obat-obatan yang pemasarannya sudah tersebar diseluruh Indonesia. Dalam menjalankan usahanya sebagai produsen produk farmasi, perusahaan itu tetap selalu berusaha menjaga hak-hak konsumen dan kewajibannya sebagai pelaku usaha. Walaupun PT. Mutiara Mukti Farma Medan berusaha untuk tetap menjaga hak-hak konsumen dan kewajibannya dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagai produsen produk farmasi, tetapi belum tentu hal tersebut menjamin sepenuhnya tidak akan terjadi pelanggaran hak konsumen. Jika terjadi pelanggaran hak konsumen yang memang menjadi kelalaian dari perusahaan itu, tentu perusahaan itu selaku sebagai pelaku usaha dan produsen wajib untuk bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen.

Terdapat beberapa kendala dalam masalah perlindungan konsumen terhadap produk farmasi di Indonesia. Selain daripada kendala perlindungan konsumen dari segi produksi produk farmasi, ada kendala lain yang perlu mendapat perhatian, yakni harga obat-obatan yang terkadang tidak wajar. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, memiliki banyak penduduk yang masih hidup di bawah garis rata-rata (kemiskinan). Orang yang sakit (pasien), pasti membutuhkan obat untuk kesembuhannya, dan untuk mendapatkan

      

82


(22)

obat tersebut, pasien selaku konsumen diwajibkan untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan harga dari obat-obatan yang diperlukannya. Namun, tidak semua pasien selaku konsumen mampu untuk membayar harga obat yang tinggi, lain halnya jika harga obat itu memang tinggi secara “wajar”, namun yang menjadi permasalahan, jika harga obat itu tidak wajar, terlalu tinggi dengan apa yang semestinya dijual dipasaran.

Dampak dari harga obat yang tidak wajar ini sungguh terasa bagi golongan masyarakat strata bawah. Bahkan, di Pademangan, Jawa Barat, ada seorang ibu yang tega menjadikan bayinya sendiri sebagai jaminan untuk penebusan obat-obatan yang seharga Rp.700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).83 Ini merupakan suatu bukti dimana harga obat yang tidak wajar harganya telah mencekam bagi masyarakat strata bawah, hingga tega untuk berbuat hal yang tak manusiawi demi menebus obat. Banyak faktor yang bisa menyebabkan harga obat menjadi tidak wajar, tapi yang pastinya yang menetapkan harga awal dari sebuah produk farmasi pasti adalah produsen dari produk itu sendiri.

PT. Mutiara Mukti Farma Medan, selaku perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan produk farmasi (obat-obatan), tetap berusaha untuk menetapkan harga obat yang memberikan keuntungan (profit) bagi perusahaan dan yang wajar bagi masyarakat, tetapi penulis hendak melakukan riset ke sana guna mengetahui bagimana cara penentuan harga suatu produk farmasi, sebagai bagian dari bentuk perlindugan konsumen.

      

83

Mangku Sitepoe, Mendapatkan Harga Obat yang Wajar, (Jakarta: tanpa penerbit, 2002), hal. 7.


(23)

Gambaran kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul: “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Farmasi di Indonesia (Studi pada PT. Mutiara Mukti Farma Medan).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ada beberapa hal yang menjadi perumusan permasalahan untuk dibahas di dalam penulisan skripsi ini, masalah yang akan dibahas yaitu:

1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen yang memakai produk farmasi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

2. Apakah syarat yang harus dipenuhi oleh suatu produk farmasi agar produk tersebut bisa dijual di masyarakat dan bagaimana penyelesaiannya jika terjadi sengketa konsumen dibidang produk farmasi?

3. Bagaimanakah menentukan standarisasi harga produk farmasi di Indonesia sebagai bentuk perlindungan konsumen?

C. Tujuan Penulisan

Suatu skripsi umumnya membahas permasalahan yang diajukan sehingga terdapat keterkaitan untuk mencapai maksud akhir dari penulisan skripsi. Oleh karena itu, tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:


(24)

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen yang memakai produk farmasi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh produk farmasi agar bisa dijual dimasyarakat dan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di bidang produk farmasi di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana menentukan standarisasi harga produk farmasi di Indonesia sebagai bentuk perlindungan konsumen.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini bermanfaat untuk melengkapi syarat sesuai dengan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum, dan juga bermanfaat untuk memperkaya dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam bidang Ilmu Hukum terutama dalam hal Hukum Perlindungan Konsumen, khususnya yang berkaitan tentang produk farmasi.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi semua pembacanya baik itu dari kalangan pelaku usaha maupun konsumen agar bisa lebih paham terhadap hak-hak dan kewajiban mereka masing-masing dalam bidang perlindungan konsumen diproduk farmasi. Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat menyadari akan hak-haknya sebagai konsumen produk farmasi dan produsen produk


(25)

farmasi selaku pelaku usaha lebih mementingkan dan mengutamakan hak-hak konsumen dalam menjalankan kegiatan usahanya.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Untuk memperoleh suatu kebenaran haruslah didukung oleh fakta-fakta atau data-data empiris maupun data-data yang non empiris melalui langkah-langkah ilmiah (metode ilmiah).

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Farmasi di Indonesia (studi PT. Mutiara Mukti Farma Medan)” menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan tambahan wawancara untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka.

Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpuan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).84

      

84

Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 2002, hal. 23.


(26)

Cara kerja dari metode yuridis sosiologi dalam penelitian ini, yaitu hasil pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini. Dengan demikian kebenaran dalam suatu penelitian telah dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses rasionalisasi.85

Penelitian ini bersifat kualitatif karena riset yang dilakukan bersifat deskriptif dan tidak menggunakan data dalam bentuk angka-angka (non kuantitatif). Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta yang dilapangan.

2. Sumber Data

Bahan penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.

Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan nasional, maupun peraturan perundang-undangan dari negara lain yang berkaitan dengan perlindugan konsumen. Demikian pula putusan-putusan pengadilan di Indonesia untuk melihat aplikasi peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan nasional, maupun peraturan perundang-undangan dari negara lain yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.86

      

85

Soerjono Soekanto & Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif ,Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal, 14. 

86

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 52.


(27)

Bahan hukum sekunder dapat berupa karya-karya ilmiah berupa buku-buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah, dan sebagainya. Termasuk dalam hal ini, pendapat para ahli yang dikemukakan dalam seminar-seminar, konferensi-konferensi nasional maupun internasional yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.87

Bahan hukum tertier terdiri dari bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.88

F. Keaslihan Penulisan

Penulisan skripsi berjudul “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Farmasi di Indonesia (studi PT. Mutiara Mukti Farma Medan)” merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan oleh karena itu sudah seharusnya bahwa penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide dan pemikiran secara pribadi, terlepas dari segala bentuk peniruan (plagiat).

Sepanjang yang diketahui penulis, berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara jurusan Perdata BW, penulisan skripsi dengan judul yang disebutkan di atas belum pernah dilakukan dengan pendekatan yang sama. Namun terdapat beberapa skripsi yang telah mengulas masalah perlindungan konsumen terhadap produk farmasi, misalnya Perlindungan Hukum

      

87

Ibid.

88


(28)

Konsumen Terhadap Beredarnya Obat Tradisional Impor Yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia Pada Kemasannya, Perlindungan hukum konsumen dalam jual-beli obat-obatan tradisional (Cina) serta Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, dapat dipastikan bahwa permasalahan yang dibahas oleh penulis dengan skripsi yang diatas akan sangat berbeda. Jika kelak suatu hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan hasil dari peniruan (plagiat), maka penulis bersedia untuk menanggung segala akibat dari hasil plagiat tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berangkaian satu sama lain89. Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan serta sistematika penulisan.

      

89

Fried N. Keslinser, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1996) hal. 70.


(29)

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam bab ini menguraikan tentang 2 subbab, subbab pertama : pengertian konsumen, pengertian produsen dan pelaku usaha, pengertian hukum perlindungan konsumen, sejarah hukum perlindungan konsumen di Indonesia, hak-hak dan kewajiban konsumen, hak-hak dan kewajiban pelaku usaha serta penyelesaian sengketa konsumen secara umum.

BAB III : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDUSTRI FARMASI DAN PRODUK FARMASI

Dalam bab ini menguraikan tentang: syarat pendirian industri farmasi, profil PT. Mutiara Mukti Farma Medan, pengertian obat atau produk farmasi, penggolongan obat menurut peraturan perundang-undangan, syarat yang harus dipenuhi oleh produk farmasi agar dapat diedarkan, sanksi hukum terhadap produk farmasi yang tidak memenuhi syarat peredaran, serta penentuan standar harga produk farmasi sebagai bentuk perlindungan konsumen

BAB IV : ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK FARMASI DI INDONESIA DAN PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG FARMASI.


(30)

Dalam bab ini menguraikan tentang: perlindungan konsumen terhadap produk farmasi ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen, pengertian sengketa konsumen, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, penyelesaian sengketa konsumen di dalam pengadilan, badan perlindungan konsumen nasional, badan penyelesaian sengketa konsumen, serta penyelesaian sengketa konsumen di bidang farmasi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini dan dilengkapi dengan saran-saran.


(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau

consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada.

Secara harfiah arti kata consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang jasa menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.90

Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.91

      

90

AZ Nasution, Op.cit, hal. 3.

91

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: SInar Grafika, 2008), hal. 23. 


(32)

A.Z Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:92 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu;

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

3. Konsumen Akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Sedangkan pengertian konsumen dalam UUPK Pasal 1 angka (2), menyatakan bahwa, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.93

Berdasarkan bunyi dari Pasal 1 di atas, dapat ditarik unsur-unsur dari definisi Konsumen:94

a. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut

natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Hal ini

      

92

AZ Nasution, Op. cit. hal. 13.

93

Sentosa Sembiring, Himpunan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Dan Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 10.

94


(33)

berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang-perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

UUPK tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan kata “konsumen”. Untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu ditayangkan.

b. Pemakai

Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).


(34)

Sebagai ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut, seseorang memperoleh paket hadiah atau parsel (parcel) pada hari ulang tahunnya. Isi paketnya makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim dari pasar swalayan. Pertanyaannya, apakah penerima paket seorang konsumen juga? Jika ia menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup kuat baginya? Hal ini patut dipertanyakan. Jika menggunakan prinsip the

privity of contract tentu tidak ada hubungan kontraktual antara penerima

hadiah dan pihak pasar swalayan karena si pembeli parsel ialah orang lain. Dengan demikian UUPK sudah selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen.

Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen

(consumer transaction) berupa pengalihan barang dan/atau jasa, termasuk

peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Transaksi konsumen memiliki banyak sekali metode. Dewasa ini, sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen. Istilahnya product knowledge. Untuk itu, dibagikan sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. Orang yang mengkonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen. Oleh karena itu, wajib dilindungi hak-haknya.

Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan


(35)

produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana. Di Amerika Serikat cara pandang seperti itu telah ditinggalkan, walaupun harus dilakukan pada awal abad ke-20. Konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu barang dan/atau jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung, asalkan ia memang dirugikan akibat penggunaan suatu produk.95

c. Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan.96

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika

      

95

Ibid.

96


(36)

demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen. Si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UUPK.

d. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran (lihat juga bunyi Pasal 9 Ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang

(developer) perusahaan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu

sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Mahluk Hidup Lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan mahluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk mahluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.


(37)

Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan mahluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.

f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas itu.

B. Pengertian Produsen atau Pelaku Usaha

Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban dari produsen.97 Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait

      

97

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:, Citra Aditya Bakti, 2011) hal. 16.


(38)

dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindugan konsumen produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsennya adalah mereka yang terkait dengan proses pengadaan makanan hasil industri (pangan olahan) itu hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka itu adalah: pabrik (pembuat), distributor, eksportir atau importir, dan pengecer, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.98

Dalam Pasal 1 angka (3) UUPK, dinyatakan bahwa, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.99 Dalam pengertian ini, termasuklah perusahaan, (korporasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya, seperti BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan, importir, pedagang eceran, distributor, dan lain-lain.

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.100

      

98

Ibid.

99

Sentosa Sembiring, Loc. cit.

100


(39)

C. Pengertian Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum (perlindungan) konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukum. Kedudukannya cenderung bercorak cross sectoral. Dalam science tree

hukum berdasarkan data dari konsorsium ilmu hukum, hukum konsumen digabungkan dengan hukum persaingan dengan nama Antitrust and Consumers Protection. Jadi, hukum konsumen hanya ranting kecil dari pohon hukum, yaitu merupakan bagian dari jangkauan transnasional dari hukum dagang yang seterusnya bagian dari hukum dagang III dengan cabang besarnya hukum dagang.101

M.J.Leder menyatakan: In a sense there is no such creature as consumer law.102 Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan

hukum perlindungan konsumen itu yang seperti dinyatakan oleh Lowe, yakni: “…

rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer dan which ensure that weakness is not unfairly exploited”103

Mengingat dikarenakan posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.104 Ada juga yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas

      

101

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, hal. 22.

102

M.J.Leder, Consumer Law (Plymouth: Macdonald and Evans, 1980), hal. 1. Dalam Shidarta, Op.cit, hal. 9.

103

R. Lowe, Commercial Law, ed. 6 (London: Sweet & Maxwell, 1983), hal. 23. Dalam Shidarta, Ibid.

104


(40)

dari itu. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.105

Sedangkan hukum perlindungan konsumen menurut Az. Nasution adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.106

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.107

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta

      

105

Shidarta, Op.cit. hal. 11.

106

Janus Sidabalok, Op.cit. hal. 46.

107


(41)

cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi: informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.108

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.109

D. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, kendatipun sebagian besar peraturan-peraturan tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku lagi. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindugan konsumen pada saat itu antara lain:110

1. Reglement Industriele Eigendom, S 1912-545, jo. S. 1913 No. 214.

2. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927-449,

jo. S. 1940-14 dan 450.

      

108

Ibid. hal. 47.

109

Ibid.

110

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 32.


(42)

3. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S.1931 No. 28. 4. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509.

5. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143.

6. Verpakkings Ordonanntie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 No.161.

7. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S. 1936-671.

8. Sterkerkannde Geneesmiddelen Ordonanntie (Ordonansi Obat Keras), S.

1937-641.

9. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan),

S. 1938-86.

Pada sisi lain, dalam beberapa kitab undang-undang juga terdapat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk melindungi konsumen, yaitu:

a. KUH Perdata: Bagian 2, Bab V, Buku II mengatur tentang kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli.

b. KUHD: tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan, dan sebagainya.

c. KUH Pidana: tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang, dan sebagainya.111

Dalam Hukum Adat pun ada dasar-dasar yang menopang Hukum Perlindungan Konsumen seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak berorientasi ada konflik, yang memposisikan setiap warganya

      

111


(43)

untuk saling menghormati sesamanya. Prinsip keseimbangan magis/keseimbangan alam, prinsip “terang” pada pembuatan transaksi (khususnya transaksi tanah) yang mengharuskan hadirnya kepala adat/kepala desa dalam transaksi tanah. Prinsip fungsi sosial dari sesuatu hak, prinsip hak ulayat.112

Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 30 tahun lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat (nongovernmental organization) yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International (CI). Di luar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilian YLKI di berbagai provinsi di Tanah Air.113

YLKI muncul dari kelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi, yang semula justru bertujuan mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama Pekan Swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini dituangkan dalam anggaran dasar yayasan di hadapan Notaris

G.H.S. Loemban Tobing, SH. dengan akte Nomor 26, 11 Mei 1973.114 Di samping itu, dukungan media massa nasional baik cetak maupun elektronik

      

112

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit. hal. 19.

113

Shidarta, Op.cit. hal. 49.

114


(44)

yang secara rutin menyediakan kolom khusus untuk membahas keluhan-keluhan konsumen, juga turut menggalakkan pergerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan di media masssa juga membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian produsen terhadap publikasi demikian juga terlihat dari reaksi-reaksi yang diberikan,baik berupa koreksi maupun bantahan. Hal ini menunjukkan dalam perjalanan memasuki dasawarsa ketiga, YLKI mampu berperan besar, khususnya dalam gerakan menyadarkan konsumen terhadap hak-haknya.115

Keberadaan YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.116

Selanjutnya pergerakan pemberdayaan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah, seminar, tulisan, dan media massa. Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang diprakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR, yang akhirnya disahkan menjadi UUPK pada tanggal 20 April 1999.117 UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. UUPK dihasilkan dari hak inisiatif DPR yang notabene hak itu tidak pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada tahun 1966.118

      

115

Zulham, Op.cit, hal. 36.

116

Shidarta, Op.cit. hal. 51.

117

Zulham, Loc.cit.

118


(45)

Pembentukan UUPK tersebut tidak terlepas dari dinamika politik di Indonesia. Iklim politik yang lebih demokratis ditandai dengan gerakan reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan pergantian Presiden Republik Indonesia dari Soeharto kepada B.J. Habbibie. Kehidupan yang lebih demokratis mulai diperjuangkan, bersamaan dengan itu pula tuntutan untuk mewujudkan UUPK semakin menguat.119 Selain itu, faktor yang mempengaruhi pembentukan UUPK di Indonesia adalah munculnya beberapa kasus yang merugikan konsumen dan diakhiri dengan penyelesaian yang tidak memuaskan konsumen. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 30/Pid.B/1990/PN/Tng dengan Kasus Republik Indonesia v. Tan Chandra Helmi dan Gimun Tanno yang dikenal dengan kasus biscuit beracun, gugatan konsumen hanya dilihat dari aspek pidana dan administratif saja, sehingga korban atau konsumen tidak mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian atas dasar tuntutan perdata. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 3138/K/Pdt/1994/PN.Jkt.Pst dan putusan Kasasi

Mahkamah Agung No. 3138/K/Pdt/1994. kasus Janizal dkk v. PT. Kentamik Super

International yang dikenal dengan kasus Perumahan Naragong Indah, pihak pengembang dimenangkan bahkan pihak pengembang menggugat balik konsumen, karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik.120

Faktor lain yang juga turut mendorong pembentukan UUPK di Indonesia adalah perkembangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam kerangka

World Trade Organization (WTO), maupun program International Monetary

Fund (IMF), dan Program Bank Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi

      

119

Zulham, Loc.cit.

120


(46)

perjanjian perdagangan dunia diikuti dengan dorongan terhadap Pemerintah Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan.121

E. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen

Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, pernah mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu:122

1. The right to safe products;

2. The right to be informed about products;

3. The right to definite choices in selecting products;

4. The right to be heard regarding consumer interests.

Setelah itu, Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:123

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

      

121

Inosenstius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak.(Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hal. 131. Dalam Zulham, Ibid.

122

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit. hal. 27.

123


(47)

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Menurut ketentuan Pasal 4 UUPK dinyatakan bahwa hak konsumen adalah antara lain:

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hal untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;124

      

124

Penjelasan Pasal 4 huruf g UUPK : “hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.”


(48)

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen yang terdapat dalam UUPK jika dibandingkan dengan hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam Resolusi PBB di atas, tampaknya tidak ada perbedaan mendasar. Penyebabnya antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia, dan telah sejak lama diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal itu menunjukkan bahwa hak-hak konsumen bersifat universal.125 Selain memperoleh hak-hak yang telah disebutkan di atas, sebagai balance konsumen juga mempunyai kewajiban, sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 5 UUPK dinyatakan bahwa:

a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamananan dan keselamatan; b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

      

125


(49)

Sebagai perbandingan, hak dan kewajiban konsumen juga dikenal di negara lain, antara lain India, yang dikenal dengan sebutan Consumer Rights and Duties. Consumer Guidance Society of India yang menyebutkan hak (rights) dari konsumen adalah sebagai berikut:126

(1).The rights to satisfaction of basic needs. To have access to basic, essential goods and services as food, clothing, shelter, health care, education and

sanitation. (Hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar.

Mempunyai akses ke barang dan jasa pokok, misalnya makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan kesehatan, pendidikan, dan sanitasi.)

(2).The right to safety. To be protected against products, production processes

and services which are hazardous to health or life. (Hak untuk

mendapatkan keamanan. Mendapatkan perlindungan terhadap produk, proses produksi, dan jasa yang membahayakan kesehatan atau kehidupan.)

(3).The right to be informed. To be given the facts needed to make an

informed choice, and to be protected against dishonest or misleading

advertising and labelling. (Hak untuk mendapatkan informasi.

Mendapatkan data yang diperlukan agar mampu membuat pilihan berdasar informasi itu, dan terlindungi dari ketidakjujuran atau kesesatan iklan dan label.)

(4).The right to choose. To be able to select from a range of products and services offered at competitive prices with an assurance of satisfactory

      

126

M. Sadar dkk, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Akademia, 2012), hal. 26. 


(50)

quality. (Hak memilih. Dapat memilih dari banyak barang dan jasa dengan harga yang bersaing dengan jaminan kualitas yang memadai.)

(5).The right to be heard. To have customer interests represented in the

making and execution of government policy, and in the development of

products and services. (Hak untuk didengar. Konsumen mempunyai

perwakilan dalam hal membuat dan melaksanakan kebijakan pemerintah, dan dalam membuat barang dan jasa.)

(6).The right to redress. To receive a fair settlement of just claims, including compensation for mispresentation, shoddy goods or unsatisfactory

services. (Hak atas ganti rugi. Menerima penyelesaian yang layak atas

tuntutan wajar yang mencakup kompensasi untuk barang yang salah, barang yang rendah kualitasnya, atau pelayanan yang tidak nyaman.)

(7).The right to consumer education. To acquire knowledge and skills needed to make informed, confident choices about goods and services, while being aware of basic consumer rights and responsibilities and how to act on

them. (Hak atas pendidikan konsumen. Mendapatkan pengetahuan dan

keterampilan yang diperlukan agar mampu membuat pilihan yang meyakinkan berdasar informasi, sekaligus mengetahui hak dan kewajiban dasar konsumen dan bagaimana bertindak berdasar pengetahuan tersebut.) (8).The right to a healthy environment. To live and work in an environment

which is non-threatening to the well-being of present and future generations. (Hak atas lingkungan yang sehat. Hidup dan bekerja dalam suasana tidak terancam untuk kemakmuran saat ini dan pada masa datang.)


(51)

Kemudian kewajiban para konsumen menurut Consumer Rights and Duties. Consumer Guidance Society of India, adalah sebagai berikut:127

(a).Critical awareness. The responsibility to be more alert and questioning

about the price and quality of goods and services we use. (Kesadaran

kritis. Tanggung jawab untuk lebih waspada dan berhati-hati tentang harga dan kualitas barang dan jasa yang kita gunakan.)

(b).Action. The responsibility to assert ourselves and act to ensure that we get a fair deal. As long as we remain passive consumers we will continue to be

exploited. (Aktif. Tanggung jawab mengendalikan diri kita dan aktif

meyakinkan bahwa kita mendapatkan transaksi yang adil. Sepanjang kita sebagai konsumen hanya pasif, kita terus menerus akan dieksploitasi.)

(c).Social concern. The responsibility to be aware of the impact of our

consumption on other citizens, especially disadvantaged or powerless groups whether in the local, national or international community.

(Dampak sosial. Tanggung jawab untuk mengetahui dampak dari konsumsi kita terhadap orang lain, khususnya orang yang tidak beruntung atau kelompok yang lemah, baik di masyarakat local, nasional, maupun internasional.)

(d).Environmental awareness. The responsibility to understand the

environmental consequences of our consumption. We should recognize our individual and social responsibility to conserve natural resources and

protect the earth for future generations. (Kepedulian lingkungan.

      

127


(52)

Tanggung jawab memahami konsekuensi lingkungan dari konsumsi kita. Kita harus mengakui tanggung jawab individual dan sosial kita untuk menjaga sumber daya alam dan melindungi bumi bagi generasi yang akan datang.)

(e).Solidarity. The responsibility to organize together as consumers to develop the strength and influence to promote and protect our interests.

(Kesetiakawanan. Tanggung jawab mengatur diri bersama-sama sebagai konsumen untuk membangun kekuatan dan pengaruh guna memperlihatkan dan menjaga kepentingan kita.)

F. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan haknya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UUPK dinyatakan bahwa:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;


(53)

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.128

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada poin 2,3 dan 4, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada poin 2,3

      

128

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 50.


(54)

dan 4 tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti supaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.129

Terakhir tentang hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Pangan, dan undang-undang lainnya. Berkenaan dengan berbagai undang-undang tersebut, maka harus diingat bahwa UUPK adalah payung bagi semua aturan lainnya yang berkenaan dengan perlindungan konsumen.130 Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam Pasal 7 UUPK yang menyatakan bahwa:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; (Penjelasan Pasal 7 huruf c UUPK: “Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.”)

      

129

Ibid. hal. 51.

130


(55)

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; (Penjelasan Pasal 7 huruf e UUPK: “Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.”)

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Hak dan kewajiban Pelaku Usaha : timbal balik. Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus menciptakan iklim


(56)

usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat eratnya dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha.131 Dengan demikian, pokok-pokok kewajiban produsen/pelaku usaha adalah: beritikad baik dalam menjalankan usahanya, memberikan informasi, memperlakukan konsumen dengan cara yang sama, menjamin produknya, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji, dan memberi kompensasi.132

Sebagai kewajiban hukum, maka produsen harus memenuhinya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika produsen bersalah tidak memenuhi kewajibannya itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu. Artinya produsen harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban itu.133

G. Penyelesaian Sengketa Konsumen

UUPK memberikan 2 (dua) macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.

Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

      

131

M.Sadar dkk, op.cit. hal. 33-34.

132

Janus Sidabalok, op.cit. hal. 85.

133


(57)

Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Penjelasan Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa, bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 UUPK tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:

1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika; dan

2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Dengan demikian, terbuka 3 (tiga) cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu:

a. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan;

b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui tuntutan seketika; dan

c. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian


(58)

dengan cara kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan sebaliknya.134

      

134


(59)

BAB III

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDUSTRI FARMASI DAN PRODUK FARMASI

A. Syarat Pendirian Industri Farmasi

Menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 (selanjutnya disebut dengan Permenkes), yang dimaksud dengan Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri Farmasi memegang peranan yang besar dalam peningkatan kesehatan masyarakat, oleh karena itu pemerintah wajib untuk mengatur regulasi pendiriannya guna menjaga keamanan masyarakat.

Industri farmasi memiliki fungsi pembuatan obat dan atau bahan obat, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Industri farmasi yang memproduksi obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan industri farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasi dan instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Industri farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan atau bahan obat untuk semua tahapan dan atau sebagian tahapan.


(1)

B. Saran

1. Pemerintah tetap harus mengawasi dengan ketat syarat dan prosedur pembuatan serta pemasaran produk farmasi dan memberikan sanksi yang tegas agar memberikan efek jera terhadap produsen produk farmasi yang tak beritikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagai bentuk perlindungan konsumen terhadap produk farmasi di Indonesia.

2. Pemerintah hendaknya berkerja sama dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan pengadilan untuk meningkatkan kinerja kedua lembaga tersebut sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat cepat, berbiaya ringan, dan sederhana jikalau terjadi sengketa konsumen dimana konsumen produk farmasi dirugikan baik secara fisik ataupun batin oleh produsen/pelaku usaha produk farmasi yang tidak beritikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya.

3. Pemerintah hendaknya membentuk suatu badan pengawas harga-harga produk farmasi (obat) yang beredar di masyarakat dan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku usaha baik itu produsen, toko obat dan apotek yang menjual obat dengan harga yang tidak wajar (terlalu tinggi) kepada konsumen, sebagai bentuk pengawasan dan perlindungan konsumen produk farmasi terhadap harga produk farmasi yang tidak wajar di Indonesia.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Anief, Moh., 2007, Apa Yang Perlu Diketahui tentang Obat, Yogyakarta, UGM Press.

Barkatulah, Abdul Halim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, Bandung, Nusamedia.

Harahap, Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Keslinser, Fried N., 1996, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Sinar Grafika.

M. Sadar, dkk, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta, Penerbit Akademia.

Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers.

--- dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Rajawali Pers.


(3)

Nugroho, Susanti Adi, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara serta kendala Implementasinya, Jakarta, Prenada Media Group.

Sedamaryanti, dan Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, Bandung, Mandar Maju.

Sembiring, Sentosa, 2007, Himpunan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait, Bandung, Nuansa Aulia.

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Grasindo.

Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti.

---, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Bogor: Panta Rei.

Sidabalok, Janus, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Sitepoe, Mangku, 2002, Mendapatkan Harga Obat yang Wajar, Jakarta, tanpa penerbit.


(4)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Nornatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta, Rajawali Pers.

Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta, Visi Media.

Usman, Rachmadi, 2000, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta, Penerbit Djambatan.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Zulham, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Peraturan Perundang-undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


(5)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makan Republik Indonesia Nomor. HK.04.1.33.12.11.09947 Tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara Pembuatan Obat Yang Baik

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 085/Menkes/Per/I/1989 tentang Pemberlakuan Obat Generik di Instansi Pemerintahan

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69/Menkes/Per/I/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi Pada Label Obat

Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001

Internet

Wijaya, Lukman, Perlindungan Konsumen Kota Malang, Obat Berbahaya Bagi Konsumen,http://perlindungankonsumenkotamalang.blogspot.com/2012/1 1/obatberbahaya-bagi-konsumen-lukman.html?m=1, diakses pada 14 November 2013.

http://mutifa.com/companyprofile.html, diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 11:32 WIB.

http://id.wikipedia.org/wiki/Obat, diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 12.22 WIB.


(6)

http://liesriyadhul.blogspot.com/2013/09/penggolongan-obat_18.html, diakses pada tanggal 11 Februari 2014 pukul 13.01 WIB.

http://rizkaemel.blogdetik.com/2013/04/20/cara-pembuatan-obat-yang-baik-cpob/, diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 13.46 WIB

http://outlet-obat.blogspot.com/2012/05/obat-generik.html, diakses tanggal 15 Februari 2014 pukul 15.05 WIB.

http://nuranimahabbah.wordpress.com/2011/04/06/obat-generik/, diakses pada tanggal 15 Februari 2014 pukul 15.33 WIB.

http://hilalisme.wordpress.com/2012/12/21/rahasia-mahalnya-harga-obat/, diakses pada tanggal 15 Februari 2014 pukul 15.50 WIB.

Wawancara:

Wawancara dengan Amiruddin Pinem, HRD Manager PT. Mutiara Mukti Farma, Medan, pada tanggal 10 Februari 2014.

Wawancara dengan Hidayat Nur, Sales Manager PT. Mutiara Mukti Farma, Medan, pada tanggal 10 Februari 2014.