BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan pangan yang memiliki kandungan zat gizi yang tinggi. Kandungan gizi pada ikan adalah protein, lemak, vitamin-vitamin, mineral,
karbohidrat, serta kadar air. Dalam proses pendistribusian dan pengolahannya, ikan merupakan suatu bahan pangan yang cepat mengalami proses pembusukan yang
disebabkan oleh bakteri dan mikroorganisme. Hal ini dapat terjadi karena susunan komposisi ikan seperti kandungan air yang tinggi dan kondisi lingkungan yang
memungkinkan sebagai tempat pertumbuhan mikroba pembusuk. Kondisi lingkungan tersebut meliputi suhu, pH, oksigen, kadar air, waktu simpan dan kondisi
kebersihan sarana dan prasarana. Komposisi ikan segar per seratus gram antara lain terdiri dari komponen
kandungan air 76,00 , protein 17,00, lemak 4,50 dan mineral dan vitamin 2,52 - 4,50. Dapat dipastikan bahwa kadar air yang terkandung di dalam ikan
sebagai faktor utama penyebab kerusakan bahan pangan. Untuk memperpanjang daya simpan atau membuat pangan lebih awet, kadar air harus diturunkan. Pengurangan
kadar air dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberian bahan pengawet yang dapat mengikat air, serta membatasi dan membunuh
aktivitas mikroba perusak bahan pangan. Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan maka semakin besar kemungkinan kerusakannya, baik sebagai akibat
aktivitas biologis internal metabolism maupun masuknya mikroba perusak Setyo, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Ikan bandeng adalah jenis ikan air payau yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan karena banyak digemari masyarakat. Hal ini disebabkan
ikan bandeng memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis ikan lainnya yaitu memiliki rasa cukup enak dan gurih, rasa daging netral tidak asin seperti ikan
laut dan tidak mudah hancur jika dimasak. Selain itu, harganya juga terjangkau oleh segala lapisan masyarakat Purnomowati, 2007.
Berdasarkan data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2009, ikan bandeng termasuk komoditas utama dalam produksi perikanan budidaya memiliki
pertumbuhan produksi yang sangat tinggi dalam periode 2005 sampai 2009, dimana pada tahun 2005 254.067 ton, 2006 212.883 ton, 2007 263.139 ton, 2008
277.471 ton dan 2009 291.300 ton dengan mengalami kenaikan rata-rata 4,46 pada periode 2005-2009 dan 4,98 pada periode 2008-2009.
Produksi bandeng sebagian besar berada di Provinsi Aceh di enam daerah yaitu Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Produksi ikan bandeng di
Aceh sangat besar dan mengalami peningkatan setiap tahunnya serta diperkirakan akan terus meningkat. Hal ini dikarenakan harga ikan laut yang sering berfluktuasi akibat
musim dibandingkan ikan bandeng yang harganya cukup stabil dan budaya masyarakat aceh yang gemar makan ikan bandeng Anonim, 2011.
Ikan bandeng memiliki kandungan gizi yang sangat baik dan digolongkan sebagai ikan berprotein tinggi dan berlemak rendah. Adapun nillai gizi ikan bandeng
per 100 gram berat ikan mengandung 129 kkal energi, 20 gram protein, 4,8 gram lemak,150 gram fosfor, 20 gram kalsium, 2 mg zat besi, 150 SI vitamin A, 0,05 gram
vitamin B1 dan 74 gram air Saparinto, 2006. Sebagaimana kita ketahui bersama
Universitas Sumatera Utara
bahwa ikan bandeng juga memiliki sifat yang sama dengan komoditas perikanan lainnya, yaitu mudah busuk. Karenanya, untuk memperpanjang daya simpan atau
membuat ikan bandeng lebih awet selain kadar air yang harus diturunkan maka perlu adanya suatu bahan pengawet pada ikan bandeng.
Bahan pengawet merupakan bahan kimia yang berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan baik yang disebabkan mikroba pembusuk,
bakteri, ragi maupun jamur dengan cara menghambat, mencegah, dan menghentikan proses pembusukan dan fermentasi dari bahan makanan. Pengawet memang
diperlukan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme dengan mempertimbangkan keamanan dari bahan pengawet tersebut
Undang-undang No.7 tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah aman, bergizi,
bermutu, dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Aman yang dimaksud disini mencakup bebas dari pencemaran biologis, mikrobiologis, kimia dan logam
berat, akan tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi dalam penggunaan bahan pengawet tidak mengindahkan kesehatan konsumen seperti penggunaan formalin
pada ikan. Di Indonesia pemanfaatan tanaman bahan-bahan alami sebagai pengawetan
banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan alami tersebut memiliki potensi untuk menghambat aktivitas mikroba yang disebabkan oleh komponen
tertentu yang ada di dalamnya. Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman rempah seperti belimbing wuluh, jahe, kayu manis,
daun nimba, dan sebagainya telah banyak dilakukan Prahasta, 2009. Direktorat
Universitas Sumatera Utara
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dalam Elidahanum 2007, menyatakan di Indonesia terutama pada masyarakat yang berada di daerah pedesaan dalam
pengawetan ikan sering menggunakan tumbuhan sebagai pengawet. Rempah-rempah yang mempunyai efek sebagai antimikroba salah satunya
adalah belimbing wuluh. Banyak peneliti di bidang pertanian mencoba mengkaji lebih jauh pemanfaatan air belimbing wuluh sebagai alternatif untuk mengawetkan
ikan dan daging Anonim, 2010. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan batang belimbing wuluh mengandung sifat kimiawi saponin, tannin, glukoside, calsium
oksalat, sulfur, asam format, dan peroksidase serta kalium sitrat yang terdapat pada daunnya Amnur, 2008. Selain itu pada buah belimbing wuluh juga terkandung
flavonoid dan terpenoid Kamilah, 2009. Belimbing wuluh Averrhoa bilimbi L atau sering disebut belimbing asam
termasuk salah satu jenis tanaman tropis yang mempunyai kelebihan yaitu dapat berbuah sepanjang tahun dan dapat hidup dengan mudah di pekarangan rumah yang
terkena sinar matahari Safitri, 2010. Belimbing wuluh dapat dimanfaatkan atau diolah menjadi belimbing kering asin atau biasa disebut asam sunti sehingga dapat
disimpan dalam waktu lebih dari tiga bulan. Kandungan asam dan garam yang cukup tinggi pada asam sunti diduga dapat menghambat proses pembusukan oleh
mikroorganisme. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lathifah 2008, tentang uji efektifitas
ekstrak kasar pada buah belimbing wuluh dilakukan terhadap bakteri S. aureus dan E. coli menggunakan metode difusi cakram dengan konsentrasi ekstrak 100, 150, 200,
Universitas Sumatera Utara
250, 300, 350, 400 dan 450 mgmL membuktikan bahwa
Ekstrak kasar buah belimbing
wuluh dianggap berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri S. aureus dan E. coli.
Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap konsentrasi larutan
yang digunakan untuk pengamatan terhadap sampel selama masa perendaman didapatkan
bahwa pada konsentrasi 10, 20 dan 30 dapat digunakan untuk perendaman sampel.
Menurut Nasran dalam Pratiwanggini 1986 mengemukakan bahwa ikan bandeng utuh mempunyai daya awet 16 ½ jam pada suhu kamar 4°C – 28,5°C dan
pada suhu 28,5°C – 32,2°C mempunyai daya awet 9 ½ jam. Berdasarkan hal di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian terhadap uji
coba asam sunti sebagai bahan pengawet pada ikan bandeng Chanos-chanos dengan konsentrasi 0, 10, 20 dan 30 Selama 10 jam.
1.2 Perumusan Masalah