Hubungan antara misi C&MA dengan Pemerintah Kolonial Belanda
3.3.2. Hubungan antara misi C&MA dengan Pemerintah Kolonial Belanda
Dalam melihat hubungan antara pemerintah dengan misi C&MA ini kerangka yang dipakai adalah konsepsi Althusser tentang ISA dan RSA. Althusser berangkat dari premis Gramsci yang terkenal, yakni bahwa sebuah kekuasaan hanya dapat bertahan lama jika ada persetujuan dari pihak yang dikuasai. Untuk memperoleh persetujuan ini, tidaklah cukup kekuatan yang koersif berperang, diperlukan juga masyarakat yang terhegemoni, masyarakat yang berpikir sesuai dengan yang diinginkan pihak yang berkuasa dan karenanya menerima dominasi pihak yang berkuasa.
131 Ibid., hlm. 61
Althusser berangkat dari asumsi ini dan mengembangkannya lebih jauh lagi dengan membagi aparat negara menjadi dua jenis: Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA). RSA adalah aparat yang pada intinya memastikan keberlangsungan kekuasaan dengan menggunakan
kekerasan. 132 Yang termasuk RSA antara lain polisi, pemerintah, administrasi, pengadilan. 133
ISA di pihak lain adalah aparat yang memastikan keberlangsungan kekuasaan secara ideologis. 134 Yang menjadi fungsi utama dari ISA adalah
mereproduksi kepatuhan pada pihak yang berkuasa. 135 Yang istimewa dari ISA ialah bahwa ia tidak harus merupakan lembaga yang dibentuk pemerintah, ia bisa
saja merupakan lembaga swasta dan bersifat informal, namun selama ia menjalankan fungsi yang sudah disebut sebelumnya, ia termasuk ISA. Hal yang penting adalah bahwa menjadi ISA bukanlah sekedar masalah keinginan sadar dari sebuah institusi.
Menggunakan konsep yang demikian kehadiran dan karya zending dari C&MA diamati dan dijelaskan. Polisi dan administrasi pemerintah Belanda merupakan RSA. Penelitian ini secara umum memposisikan C&MA sebagai lembaga yang (entah secara sadar maupun tidak) menjadi ISA bagi pemerintah kolonial Belanda di wilayah Wisselmeren. Ini dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama dengan melihat cara kerja C&MA dalam ekspansi mereka ke wilayah
132 Althusser., loc.cit., 133 Ibid. 134 ‘Louis Althusser’, loc.cit. 135 Althusser, loc.cit 132 Althusser., loc.cit., 133 Ibid. 134 ‘Louis Althusser’, loc.cit. 135 Althusser, loc.cit
3.3.2.1. Kerja C&MA dalam Sektor Pendidikan
Membedah posisi C&MA sebagai ISA paling mudah dimulai dengan mengamati kontribusi mereka dalam bukan hanya dalam mengembangkan tetapi juga merintis dunia pendidikan formal. Di Nieuw Guinea Belanda, pendidikan menjadi aspek yang dikuasai oleh misi dan zending. Schoorl menyebut bahwa ‘kegiatan misi dan zending itu penting karena peranan mereka di bidang
pendidikan, pelayanan kesehatan dan aktivitas pembangunan lainnya.’ 136 Pernyataan Schoorl bukan hanya pujian, itu adalah pernyataan yang faktual
mengenai apa yang tampaknya merupakan kebijakan pemerintah Nieuw Guinea Belanda. Hal ini dikonfirmasi oleh Mickelson, seorang pekerja zending di wilayah Wisselmeren, ia menyebutkan bahwa pemerintah Belanda menyerahkan seluruh
program pendidikan dasar mereka kepada misi Katolik dan Protesten yang ada. 137 Menyerahkan seluruh program pendidikan dasar tidak berarti bahwa pemerintah
Belanda lepas tangan mengenai bagaimana semua program itu akan dilaksanakan. Campur tangan pemerintah tampak dalam ketentuan yang dibuat untuk mengatur lembaga-lembaga pendidikan.
136 Schoorl., op.cit., hlm. 2 137 Smalley, op.cit.,hlm 13
Pengaturan ini dijelaskan oleh Mickelson dalam suratnya kepada kantor pusat C&MA. Surat tersebut menguraikan bahwa walaupun C&MA memiliki ruang untuk memasukkan karya mereka dalam program pendidikan yang disusun, Misi harus ‘menghasilkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan dapat diterima oleh Pemerintah’. 138 Ini merupakan jalan tengah dan kompromi antara pemerintah Belanda dan pekerja zending dalam pekerjaan
mereka di wilayah Wisselmeren. Selain kompromi, ini merupakan kerjasama dan integrasi kerja C&MA ke dalam program pembangunan pemerintah kolonial.
Pada bulan Agustus tahun 1948, C&MA mendirikan sebuah Sekolah di
Enarotali. 140 Pada tahun 1950, Sekolah Rakyat lain didirikan di Obano. Pendidikan oleh zending C&MA dijalankan pada setidaknya dua lapisan, pada
satu titik mereka mengikuti ketentuan pemerintah dan karenanya lalu membuat sekolah yang merupakan bagian dari program pemberantasan buta huruf. Program
Pendidikan Buta Huruf dimulai oleh Marion Doble, 141 dan menjadi alat untuk memenuhi tujuan pemerintah Belanda untuk ‘membentuk lulusan yang memiliki
tempat yang progresif dalam masyarakat’. 142 Ketrampilan lain yang turut diprogramkan adalah ketrampilan bertani dan industri, namun tidak diketahui
sampai di tingkatan mana misi C&MA serius menjalankan program ini. Keiya menerangkan bahwa C&MA menjalankan program penginjilan dengan
138 Ibid., hlm. 14 139 Benny,op.cit., hlm. 30 140 Albert, op.cit., hlm. 148 141 Ibid., hlm. 74 142 Smalley, loc.cit.
pendidikan di bidang perikanan, pertanian dan peternakan, 143 namun tidak menjelaskan tingkat kesuksesan program-program ini.
Pada lapisan kedua, pendidikan diberikan dan dihubungkan dengan tujuan zending, yaitu penyebaran Injil di wilayah Wisselmeren. Karena tujuan ini lebih dekat dengan kepentingan C&MA, program ini dilaksanakan dengan serius. Bagaimanapun, ‘mempersiapkan orang lokal untuk menjadi Pembawa Kabar
Terang di lingkungan mereka sendiri’ 144 adalah ide yang diintegrasikan dalam program pendidikan mereka.
Matius Tebay, merupakan murid yang mengikuti program Pendidikan Buta Huruf dan kemudian terus bergabung dengan sekolah Alkitab mengingat masa pendidikannya.
Murid-murid diajarkan dengan cerita-cerita Alkitab lalu diberi kesempatan pada pertemuan berikutnya untuk mempraktekkan di depan kelas sesuai apa yang diajarkan itu. Kalau materi dari cerita Alkitab itu telah kuasai maka minggu berikutnya akan mengutus ke
tempat pelayanannya dilakukan selama satu bulan sekali. 145 Program Pendidikan Buta Huruf dan Sekolah Rakyat serta Sekolah Alkitab
yang ada di onderafdeling Wisselmeren memang mengakomodasi kepentingan pemerintah, namun didominasi oleh kepentingan C&MA. Dengan demikian posisi C&MA terhadap pemerintah turut berpengaruh pada pekerjaan dan didikan yang mereka berikan kepada orang-orang yang menerima zending.
143 Albert, op.cit., hlm. 182-184 144 Smalley,loc.cit. 145 Albert, op.cit., hlm. 77
3.3.2.2. Cara Kerja C&MA
Peranan zending C&MA sebagai penyedia pendidikan berarti bahwa posisi (stance) mereka dalam dinamika hidup secara umum penting. Pendirian zending turut menentukan orang-orang terpelajar seperti apa yang akan dihasilkan oleh lembaga pendidikan mereka. Pendirian ini juga berhubungan dengan posisi sebuah lembaga zending sebagai ISA. Untuk melihat bagaimana pendirian C&MA terhadap pemerintahan dan bagaimana ini kemudian menegaskan posisi C&MA sebagai ISA akan dipinjam konsepsi H.B. Cavalcanti.
Berdasarkan studi kasus tentang cara kerja dua lembaga penginjilan di Brazil, Cavalcanti menyimpulkan bahwa ada dua gaya penginjilan yang biasa dipakai oleh lembaga zending dalam pekerjaan mereka, yaitu difusi dan
akulturasi. 146 Difusi berarti bahwa gereja yang bertumbuh itu secara kultur memiliki jarak dengan budaya yang melingkupinya; akulturasi berarti mengambil
posisi sebaliknya, yakni merangkul budaya lokal. 147 Secara umum, sifat yang biasa diambil oleh zending adalah sifat yang pertama, terutama ketika misionaris
146 Lihat H.B. Cavalcanti, Human Agency in Mission Work: Missionary Styles and Their Political Consequences dimuat dalam Sociology of Religion, Vol.
66, No. 4 (Winter, 2005), pp.381-398. Hlm 382. Studi Cavalcanti dilakukan dengan melihat hasil akhir yang dicapai oleh dua lembaga gereja Protestan yang berbeda berdasarkan cara kerja mereka di Brazil. Dua lembaga yang dibandingkan ini adalah Southern Baptist mission dan Presbyterian. Studi kasus yang dilakukan oleh Cavalcanti relevan dan sesuai dengan penelitian ini karena lembaga yang diambil parallel dengan di Wisselmeren: lembaga Protestan Amerika yang mandiri dan tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah Amerika serta bekerja di daerah yang mulai terkena dampak dari modernisasi dan pengaruh dari negara Barat.
147 Ibid., hlm. 384 147 Ibid., hlm. 384
Yang kemudian perlu diuraikan ialah bagaimana sikap zending C&MA, dan di posisi manakah mereka kemudian diletakkan bila meminjam klasifikasi Cavalcanti tersebut. Posisi lembaga zending menjadi lebih penting karena ada perubahan drastis yang tengah dialami masyarakat, baik di Brazil yang menjadi lokasi studi Cavalcanti, dan lebih penting lagi di daerah Wisselmeren yang menjadi tempat kerja C&MA. Dubbeldam dengan jeli menunjukkan bahwa masyarakat Mee adalah masyarakat yang tengah mengalami begitu banyak perubahan yang mengguncang sistem hidup yang sudah dimiliki selama ini. Semua perubahan yang disebut oleh Dubbeldalm ini memiliki satu sumber:
kehadiran orang asing di wilayah Wisselmeren. 148 Dalam situasi seperti ini, Cavalcanti menyebut bahwa ‘bagi misionaris yang atentif, masalah-masalah yang
ada ‘memaksa’ pekerja misi yang ada untuk bertanya akan terlibat atau tidak dalam perjuangan sosial Brazil.’ 149
Yang kemudian menjadi pertimbangan ialah apakah para pekerja C&MA cukup atentif dan bila ternyata mereka cukup atentif, apakah mereka kemudian memutuskan untuk terlibat dalam perjuangan sosial masyarakat Mee. Dalam studi Cavalcanti ia menyebut apa yang dilakukan seorang pekerja zending yang bersifat difusi.
148 Dubbeldam, op.cit., hlm. 302 149 Cavalcanti, op.cit., hlm. 387
No one would know from his letters home how much the country had changed. Nor would Brazil’s condition be addressed ini his classes or publications. To him the country was mostly defined in denominational terms. (tidak ada yang akan tahu dari suratnya seberapa banyak negara itu sudah berubah. Demikian pun keadaan Brazil tidak akan disebut dalam kelas-kelas atau publikasinya. Baginya negara itu didefinisikan/ dijelaskan dalam hubungan dengan
denominasi). 150 Dalam kasus di C&MA sulit untuk menyatakan bahwa kita sama sekali
tidak mendapat keterangan tentang perubahan-perubahan di Wisselmeren dari membaca surat-surat dan publikasi para pekerja. Para pekerja C&MA di WIsselmeren berkali-kali menyebut keadaan sosial, budaya dan politik di
Wisselmeren, 151 jadi jelas bahwa mereka cukup atentif dan menyadari keadaan di sekitar mereka. Tapi apakah itu lantas membuat mereka termasuk dalam kategori
‘akulturasi’ yang disebut Cavalcanti?
Lembaga zending yang berada dalam kategori ‘akulturasi’ Cavalcanti ‘…one where the Christian faith was used to promote social justice,
not simply through the internal structures of the church but through that daily living of the faith in the larger society.’ (orientasi relijius di mana kepercayaan Kristen digunakan untuk mempromosikan keadilan sosial, tidak hanya melalui struktur internal gereja, tetapi juga melalui
kehidupan beriman dalam masyarakat yang lebih luas). 152 Jika ini adalah yang dituntut dari sebuah lembaga yang mengambil sifat
‘akulturasi’ maka misi C&MA juga tidak dapat dikatakan termasuk dalam kategori ini. C&MA tidak terlibat dalam ‘perjuangan sosial’ masyarakat Mee,
150 Ibid., hlm. 389 151 Smalley, op.cit., hlm. 7, 9, 13, 21, 23, 26, 29, 33-40, 61, 67, 92, 94, 123-
127, 129, dll. Keadaan sosial, budaya dan politik di daerah Wisselmeren berkali- kali terlintas dalam surat-surat dan berbagai publikasi C&MA, termasuk laporan tahunan.
152 Ibid., hlm. 390 152 Ibid., hlm. 390
meninggal karena menderita penyakit yang diderita masyarakat.’ 153 Berdasarkan checklist tersebut, di C&MA hanya melakukan satu hal: berbicara dalam bahasa
Mee. Surat menyurat yang sudah disebut sebelumnya dapat saja disebut sebagai wujud dari keterlibatan C&MA dalam perjuangan sosial, namun tidak akan dihitung karena hanya berisi reportase, tidak melibatkan sudut pandang dan cerita mengenai isu-isu sosial yang dihadapi oleh masyarakat, dan bahkan dalam kasus di mana ada konflik di masyarakat, hal ini hanya diperhitungkan dan dijelaskan sejauh berhubungan dengan pekerjaan C&MA dalam penginjilan mereka. Ini tampak sangat jelas dalam kasus pemberontakan yang dilakukan oleh Pupubago.
Pemberontakan Pupubago terjadi pada tahun 1953-1954. Pemberontakan ini terjadi di timur laut Danau Paniai, dan masyarakat yang terlibat melarang semua
ogai 155 untuk melewati wilayah mereka. Ijin lewat kemudian diberikan dengan persyaratan membawa kapak untuk membayar ongkos lewat, dan ketika polisi
G. Budi Subanar & Fl. Hasto Rosariyanto, 2004, Karya Misi dalam Tegangan Budaya: Catatan Perjalanan Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, dalam Hartono Budi & M. Purwatma (ed.), 2004, Di Jalan Terjal: Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Resiko, Yogyakarta: Kanisius, hlm 320
154 Kategori ogai yang kemudian dipakai oleh Pupubago memiliki arti yang lebih luas lagi, yaitu mencakup semua orang yang memakai baju.
155 Lihat Benny, op.cit., hlm. 50 155 Lihat Benny, op.cit., hlm. 50
Para pekerja C&MA menyebut peristiwa ini, namun hanya menyebutnya sehubungan dengan bagaimana pemberontakan ini menghalangi kontak mereka dengan pos mereka di Homeyo dan bagaimana ini mengancam mereka karena
keberadaan mereka sebagai ogai. 158 Di halaman berikutnya, Troutman (yang merupakan Board Representative C&MA) menyatakan ‘kami bersyukur karena
Allah memberi kemenangan dan sekarang sudah ada kedamaian.’ 159 Yang menunjukkan posisi C&MA adalah tidak adanya penjelasan mengenai
bagaimana kedamaian itu dicapai. Kedamaian itu dicapai setelah satu minggu perang antara masyarakat melawan Kontrolir dan 20 polisi bersenjata. 160 Setelah
kemenangan diperoleh oleh pemerintah Belanda desa itu dibakar, demikian juga dengan kebun masyarakat serta semua babi dibunuh. 161 Inilah posisi C&MA di
Wisselmeren; mereka tahu bahwa ada masalah-masalah yang muncul bersamaan dengan kehadiran mereka, tahu bahwa ada penolakan terhadap ogai dan usaha pemerintah Belanda untuk menegakkan kekuasaannya. Namun pengetahuan ini tidak begitu mereka perhatikan (secara resmi dalam surat-surat dan laporan, setidaknya) bila tidak berhubungan dengan pekerjaan mereka. Merujuk kembali
156 Ibid. 157 Ibid. 158 K.E. Troutman,1954, Report on the New Guinea Field for 1954, dalam
Smalley, op.cit., hlm. 196 159 Ibid., hlm. 197
160 Benny, loc.cit. 161 Ibid.
pada konsepsi Cavalcanti, maka dapat dikatakan bahwa misi C&MA bersifat difusi, karena meski ada perhatian untuk isu-isu sosial, isu-isu ini hanya dijelaskan dan dihadapi dalam denominational terms, yakni pengaruhnya bagi kerja mereka.
Mengambil sifat difusi berarti terlibat dalam proses kolonisasi, minimal pada tataran kolonisasi budaya. 162 Pendekatan ini seperti seperti telah disebutkan
sebelumnya, cenderung menjadi posisi utama misionaris hingga saat ini. Membuat pengikut hidup dalam semacam lingkungan yang terpisah dari masyarakat yang lain, dan penolakan utuk mempertanyakan kesesuaian nilai Kristen dengan lokasi baru ini sangat membantu pemerintah kolonial secara budaya. Selain itu tidak terlibat dalam ‘politik’ (yang berarti pertentangan pemerintah dengan warga) menjamin bukan saja ijin tinggal para misionaris, tetapi juga perlindungan dalam keadaan krisis dari pemerintah.
3.3.2.3. Kerja C&MA di bidang Pendidikan dan Posisinya sebagai ISA
Salah satu hal yang paling penting untuk dijawab yakni hubungan antara pekerja misi/ zending dengan pemerintah. Di satu sisi penting untuk mencatat bahwa misi dan zending merupakan bagian penting dari usaha perluasan
pengembangan pengaruh Belanda di Papua, 163 namun ini tidak berarti bahwa hubungan antara agen misi/ zending dan pemerintah kolonial adalah sesuatu yang
162 Cavalcanti, op.cit., hlm. 394 163 Lihat Jan Pouwer, The Colonisation, Decolonisation and Recolonisation
of West New Guinea dimuat dalam The Journal of Pacific History, Vol. 34, No. 2, Historical Perspectives on West New Guinea September 1999, hlm. 157-179. Hlm 161.
bisa taken for granted. Misi/ zending dalam konteks kolonial memang memperoleh keuntungan karena mereka merupakan bagian dari gerakan perubahan kultur yang lebih besar (selain kepercayaan, juga sektor ekonomi,
politik, budaya, dll), 164 namun ini tidak berarti bahwa usaha mereka menjadi lebih mudah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya ini malah membuat posisi yang
mereka ambil menjadi lebih rumit, terutama jika keadilan sosial turut menjadi pertimbangan para misionaris.
Dalam kerja C&MA di Wisselmeren, tampak jelas bahwa pendekatan difusi inilah yang diambil. Para misionaris mendirikan sekolah-sekolah mereka sendiri
(baik misionaris Katolik maupun Protestan), 165 di sekolah-sekolah inilah semua orang Mee yang telah masuk Kristen 166 kemudian dididik. Selain untuk mereka
yang telah masuk Kristen, sekolah ini kemudian juga menjadi alat mengajak anak- anak masuk Kristen dan memberi pengetahuan yang dirasa penting oleh para
misionaris Barat. 167 Pouwer menjelaskan bahwa sekolah-sekolah misi ini dijadikan tempat untuk mengajarkan siswa-siswanya nilai Kristen. Sekolah-
sekolah ini kemudian menjadi bagian dari ‘pulau’ yang dibuat para misionaris di tengah-tengah masyarakat.
Merujuk pada Cavalcanti, tidak tampak keragu-raguan para misionaris mengenai cocok tidaknya nilai-nilai yang mereka bawa. 168 Para pemeluk agama
164 Cavalcanti op.cit., hlm. 383 165 Pouwer, ibid., hlm. 164 166 ‘Kristen’ dimaksudkan untuk menyebut baik Katolik maupun Protestan 167 Pouwer, loc.cit 168 Cavalcanti, op.cit., hlm. 393
Kristen yang kemudian dihasilkan adalah umat yang berusaha mempertahankan kemurnian agama dan menjadikan pemeluknya ‘orang asing’ yang menolak
budaya mereka sendiri. 169 Dalam konteks ini Giay menjelaskan 4 asumsi teologis yang dimiliki C&MA: 170
1). Eskatologi misi, ini merupakan bagian dari usaha untuk melaksanakan Amanat Agung yang sudah disebutkan sebelumnya. Keyakinan ini kemudian tidak mengijinkan ekspresi religius dalam konteks budaya masyarakat, menjadi
Kristen menurut ide ini berarti, memutuskan hubungan dengan tradisi. 171 2). Pandangan C&MA tentang agama non-Kristen, yakni bahwa
keselamatan hanya dapat dicapai melalui Yesus Kristus dan karenanya mereka yang tidak/ belum menerima injil adalah orang-orang yang ‘hilang’. 172
3). Pengabaian masalah sosial-budaya dan ekonomi. Karena penekanan pada keselamatan jiwa, maka fokus kerja C&MA adalah aspek religius kehidupan
masyarakat Mee. 173 Hingga saat ini misi tertulis C&MA sama sekali tidak menyebut secara eksplisit niatnya untuk memberdayakan umatnya secara sosial
ekonomi. 174
169 Ibid. 170 Benny,op.cit, hlm. 43 171 Ibid., hlm. 44 172 Ibid., hlm. 45 173 Ibid. 174 ‘What
the Alliance, http://www.cmalliance.org/about/mission/ , diakses pada tanggal 30 Maret 2011.
is
Our
Mission?’,
Situs
4). Anggapan C&MA bahwa teologi yang mereka bawa benar secara universal dan lebih benar daripada penafsiran yang bisa dibuat oleh masyarakat
Mee. 175 Lembaga zending yang bekerja secara difusi dan memiliki cara pandang
seperti di atas ‘bersumbangsih pada kolonisasi kultural masyarakat tempat mereka bekerja.’ 176 Kehadiran lembaga zending yang mengambil posisi difusi ini memang
membantu penyebaran pengaruh Barat di tempat di mana mereka bekerja dan menghasilkan orang-orang pribumi yang berpikir dengan cara pikir Barat. Mengambil cara berpikir Barat ini menjauhkan mereka dari budaya sendiri, dan dengan demikianlah ‘peradaban’ kemudian dirangkul.
Dunch menolak asumsi bahwa imperialisme kultural (atau kolonisasi kultural, jika menggunakan istilah Cavalcanti) yang melibatkan misi atau zending
adalah proses satu arah. 177 Tentunya penerima memiliki otonomi dalam menerima, memilih dan membentuk kembali produk kultur yang mereka
terima. 178 Ini benar, tetapi sejauh apa penerima bisa menjalankan otonomi itu tanpa dituduh sesat? Di Wisselmeren ini dilakukan oleh Zakheus Pakage, dan
C&MA melaporkan bahwa Zakheus telah ‘memaksa untuk menggabungkan
175 Benny, op.cit., hlm. 46 176 Cavalcanti, loc.cit. 177 Lihat Ryan Dunch, 2002, Beyond Cultural Imperialism: Cultural Theory,
Christian Missions, and Global Modernity, dimuat dalam History and Theory, Vol. 41, No. 3 (Oct., 2002), hlm. 310-311
178 Ibid.
penyembahan setan lokal dengan injil.’ 179 Inilah yang terjadi pada usaha ‘penerima’ untuk menjalankan otonomi yang disebut Dunch sebelumnya, di
Wisselmeren keberadaan otonomi yang dijelaskan oleh Dunch dalam konteks kerja keagamaan terbuka untuk diperdebatkan.
Zending memang membantu misi pemerintah C&MA dalam usaha mereka untuk membangun Nieuw Guinea Belanda, namun ini tidak dilakukan secara sengaja atau sadar. Comaroff benar ketika menyatakan bahwa misionaris
bukanlah agen kolonisasi dalam arti (politik) yang sebenarnya, 180 namun dalam konsepsi ISA Althusser, hubungan langsung atau tidak langsung ini bukanlah inti
masalahnya. Lembaga C&MA adalah ISA pemerintah Belanda bukan hanya karena ia turut mendirikan sekolah dan melancarkan program pemerintah Belanda, tapi karena dengan menarik makin banyak orang Mee ke pihaknya ia juga menarik makin banyak orang ke pihak pemerintah Belanda. Orang-orang Mee yang telah menjadi Kristen tidak menolak kehadiran pemerintah Belanda, karena dengan menjadi Kristen mereka telah menjadi pengikut ogai. C&MA beroperasi di bawah pengawasan dan perlindungan pemerintah kolonial Belanda, dan karenanya tidak melawan pemerintah Belanda dan tidak melatih pengikutnya untuk peduli pada masalah sosial.
179 Smalley, op.cit., hlm. 95, Untuk penjelasan yang lengkap tentang Zakheus Pakage baca Benny, op.cit.
180 Comaroff dan Comaroff, ‘Christianity and Colonialism’ seperti dikutip oleh Dunch, op.cit., hlm. 312
Poin yang terakhir ini juga penting untuk diperhatikan, yaitu penekanan C&MA akan aspek rohani kehidupan masyarakat dan umat juga kemudian diturunkan kepada pengikutnya. Dengan demikian C&MA turut berperan serta dalam menghasilkan orang-orang yang tidak memperhatikan masalah-masalah sosial-budaya maupun ekonomi yang berkembang di sekitar mereka, apalagi masalah politik. Orang-orang yang sudah menjadi Kristen, bukan hanya menjadi pengikut Kristus, namun kemudian juga menjadi pihak yang pasif dalam usaha Belanda untuk menjalankan kekuasaaannya. Peran C&MA dalam inner- pacification orang Mee tidak dapat disangkal.
Sudah disebut sebelumnya bahwa sebuah institusi disebut ISA berdasarkan fungsi yang ia miliki dalam masyarakat, yaitu menunjang keberlangsungan kekuasaan. C&MA menunjang keberlangsungan kekuasaan pemerintah Belanda, orang-orang yang mengikuti C&MA kemudian minimal tidak lagi melawan pemerintah (penerimaan terhadap satu kelompok ogai berarti penerimaan terhadap ogai secara umum).