Polisi Belanda sebagai RSA dan Wajah Belanda
2.4.1. Polisi Belanda sebagai RSA dan Wajah Belanda
Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan Belanda tercermin dalam cara kerja para pelaksana kebijakan pemerintah pada level yang paling bawah dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Berdasarkan pekerja yang langsung berhadapan dengan masyarakatlah citra pemerintah kemudian terbentuk. Di koloni-koloni Belanda pihak yang berperan dalam membangun wajah ini terutama adalah kepolisian yang bertugas mendorong pelaksanaan kebijakan pemerintah segera setelah diputuskan di kalangan masyarakat. Polisi juga penting karena dalam usaha pemerintah kolonial untuk menjalankan kekuasaannya serta
87 Ibid., hlm. 40 87 Ibid., hlm. 40
Di tengah sebuah pemerintahan yang baru mulai menjalankan kekuasaannya, polisi memainkan peranan yang penting. Polisi menjadi makin penting ketika dominasi pemerintah kolonial semakin didemonstrasikan, karena
makin penting untuk berurusan dengan isu keamanan. 89 Pada tahap ketika pemerintah kolonial makin dominan, rencana pemerintah untuk tidak ikut campur
dalam politik dan masalah lokal sudah hilang, dan intervensi pemerintah bisa dipastkan. Görlich mencirikan tahap ini dengan momen ketika patroli polisi
dilakukan untuk menanggapi adanya pembunuhan di suatu daerah. 90 Tindakan tersebut menunjukkan mulai adanya campur tangan pemerintah kolonial dalam
isu-isu yang dalam tahap sebelumnya tidak disentuh karena administrasi pemerintah belum kokoh.
Pada tahun 1946, pemerintah mulai menjalankan dengan serius kekuasaan mereka di Wisselmeren, dan dampak kehadiran mereka lebih terasa. Sebagian dikarenakan sudah relatif stabilnya politik dunia pasca Perang Dunia, setidaknya di Belanda dan juga karena orang Mee setelah membantai orang Jepang memiliki paradigma baru sehubungan dengan kehadiran kembali orang asing. Di Wisselmeren ketika Belanda mulai dengan makin intensif hadir dan mulai ikut
88 Bloembergen, op.cit.,hlm. xvii
89 Ibid., hlm. xix
90 Lihat Joachim Görlich, 1999, The Transformation of Violence in the Colonial Encounter: Intercultural Discourses and Practices in Papua New
Guinea dimuat dalam Ethnology, Vol. 38, No. 2 (Spring, 1999), hlm. 156 Guinea dimuat dalam Ethnology, Vol. 38, No. 2 (Spring, 1999), hlm. 156
Perubahan merupakan tujuan dan dampak dari kehadiran pemerintah Belanda. Kehadiran mereka di daerah Wisselmeren merupakan bagian dari agenda besar pemerintah Belanda untuk membangun Nieuw Guinea Belanda. Usaha untuk membangun Wisselmeren tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan, atau integrasi Wisselmeren ke dalam administrasi pemerintahan Belanda, namun juga usaha untuk menghentikan semua praktek yang dianggap menghambat kemajuan. Di bidang pendidikan, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan misi dan zending untuk memodernkan orang Mee. Untuk integrasi ke dalam administrasi pemerintah Belanda, yang bergerak adalah para pekerja pemerintah Belanda sendiri, dengan memanfaatkan kontrolir dan aparat untuk membuat infrastruktur yang mengakomodasi kerja pemerintah Belanda.
Praktek yang dianggap menghambat kemajuan terbukti lebih sulit untuk diakhiri. Inauri menuturkan bahwa pemerintah Belanda dibenci oleh masyarakat karena dianggap mengekang, menekan dan melarang kehidupan sosial-budaya
mereka. 92 Ketika pemerintah Belanda menemukan kebiasaan yang menghambat program pembangunan mereka, maka kebiasaan itu dilarang. Pelarangan praktek
dan usaha untuk ‘menertibkan’ massa inilah yang kemudian menimbulkan masalah dalam hubungan pemerintah Belanda dengan masyarakat.
91 Maclean, N. 1998. Mimesis and Pacification: The Colonial Legacy in Papua New Guinea seperti dikutip dalam ibid.,
92 Lihat Gerrit Jan Inauri, Perang Tiga Bulan di Paniai dalam Leontine E. Visser & Amapon Jos Marey, 2008, Bakti Pamong Praja Papua: di Era Transisi
Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Kompas. Hlm. 113
Perang antarkampung merupakan salah satu praktek yang paling menghambat usaha pemerintah untuk mengintegrasi masyarakat dan memajukan Wisselmeren. Perang terjadi dalam frekuensi yang tinggi, pada bulan Juni 1951 saja ada setidaknya dua konflik lokal yang berlangsung di dua daerah yang
berbeda pada waktu yang sama. 93 Demikian juga pada Juli 1952, ada dua konflik yang terjadi pada saat yang sama, 94 menunjukkan bahwa konflik dan perang
antarkampung merupakan hal yang sering terjadi dan merupakan bagian tetap dari kehidupan orang Mee.
Perang dan konflik merupakan faktor yang paling penting untuk dilihat jika ingin mengetahui kerja polisi dan dampak langsung kehadiran administrasi Belanda di Wisselmeren. Campur tangan pemerintah Belanda (dengan polisi- polisinya) dalam konflik-konflik lokal inilah yang paling dirasakan oleh masyarakat luas, dan tidak bisa diabaikan.
Perang merupakan titik di mana perbedaan antara paradigma pemerintah Belanda dan masyarakat Mee berkonfrontasi. Seperti beberapa suku di pedalaman
Papua, hidup orang Mee berjalan dengan prinsip reciprocity. 95 Prinsip ini tidak berlaku hanya dalam kehidupan sehari-hari dan hubungan sosial namun juga
dalam situasi konflik, sebagai prinsip untuk menyelesaikan masalah yang ada
93 Smalley, op.cit., hlm. 26
94 Benny, op.cit., hlm. 36
95 Görlich, op.cit., hlm. 152, dalam jurnal ini Gorlich menguraikan hidup dan prinsip reciprocity seperti dijalani oleh orang Kobon di Papua New Guinea,
namun prinsip ini dan pemberlakuannya sama dengan yang dihidupi orang Mee dan karenanya dipakai.
dalam masyarakat. 96 Prinsip reciprocity menjadi bagian dari manajemen konflik lokal, namun tidak dapat diterima oleh orang Barat yang memiliki pandangan
berbeda tentang hukum dan prosedurnya sebagai manajemen konflik. Bagi orang Mee (sama seperti bagi orang Kobon dalam tulisan Görlich), konflik seperti ini merupakan bagian dari siklus hidup biasa dan bukannya masalah yang harus
diselesaikan untuk mencapai keadaan sosial yang stabil. 97 Pandangan bahwa konflik harus diselesaikan untuk mengembalikan tertib sosial merupakan
pandangan Belanda. Polisi dalam pandangan ini penting karena ia berfungsi untuk mengembalikan ketertiban.
Perbedaan perspektif merupakan salah satu alasan mengapa semua konflik yang ada kemudian membuat makin nyata jarak antara masyarakat Mee dengan polisi (dan pemerintah) Belanda. Selain perbedaan perspektif, ada satu motif yang tak kalah penting bagi orang Belanda, yakni memastikan keberlangsungan kekuasaan. Bloembergen mengutip David Arnold menyatakan bahwa dalam kepentingan pemerintah kolonial, semua gejolak sosial perlu untuk disikapi
sebagai ancaman terhadap status quo. 98 Semua konflik dan kebiasaan berkonflik dalam pandangan pemerintah Belanda perlu dihentikan karena merupakan
ancaman dan hambatan bagi eksekusi kekuasaan pemerintah Belanda di Wisselmeren. Monopoli kekerasan oleh negara dan aparatur negara merupakan tanda kewenangan dan kekuasaan negara atas warganya. Dengan menghentikan
96 Ibid.
97 Ibid., hlm. 153
98 Bloembergen, op.cit., hlm. xxiv 98 Bloembergen, op.cit., hlm. xxiv
Polisi merupakan Repressive State Apparatus, aparat yang bekerja mengamankan kepentingan pemerintah Belanda menggunakan kekerasan. Mengambil posisi sebagai RSA, posisi mereka sebagai pihak yang berseberangan dengan masyarakat jelas dalam ingatan masyarakat. Posisi polisi dalam benak masyarakat dan dalam skema pertentangan antara masyarakat Mee-pemerintah Belanda sudah jelas. Polisi tidak memiliki kesempatan untuk berpretensi atau mempertahankan posisi mereka di wilayah abu-abu seperti para pekerja C&MA. Polisi merupakan wajah dan bagian penting dari ingatan massa akan keberadaan pemerintah Belanda di wilayah Wisselmeren.