P ENGELOLAAN H UTAN M ANGROVE YANG T ERKONVERSI M ENJADI T AMBAK
3.3 P ENGELOLAAN H UTAN M ANGROVE YANG T ERKONVERSI M ENJADI T AMBAK
Konversi hutan mangrove menjadi tambak adalah permasalahan utama dalam kerusakan ekosistem mangrove hampir di seluruh dunia. Untuk pengelolaan hutan mangrove yang telah menjadi tambak, maka bentuk pengelolaan yang tepat adalah dengan mengintegrasikan mangrove pada tambak. Pembangunan tambak yang terintegrasi dengan hutan mangrove atau sebaliknya, telah menjadi program rehabilitasi hutan mangrove yang terdegradasi hampir di seluruh dunia. Hal ini selain mengakomodir tujuan konservasi untuk mempertahahankan ekosistem alami, juga untuk penggunaan bersama terkait sosial-ekonomi. Implementasi program rehabilitasi untuk kawasan tambak sebenarnya tidak mungkin menjadikan kawasan tambak tersebut sebagai hutan mangrove secara keseluruhan. Salah satu bentuk upaya rehabilitasi dalam bentuk penanaman mangrove yang dilakukan pada tambak adalah dengan silvofisheries atau wanamina (FitzGerald, 2002). Secara umum, silvofisheries bukanlah produk rehabilitasi yang utama, tetapi beragam bentuk implementasi yang telah dilakukan diseluruh dunia. Dikembangkan di Myanmar lebihd ari 50 tahun yang lalu, dan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1987. Berikut pada tabel 3.2 dan 3.3 adalah program-program integrasi mangrove – tambak sebagai upaya Konversi hutan mangrove menjadi tambak adalah permasalahan utama dalam kerusakan ekosistem mangrove hampir di seluruh dunia. Untuk pengelolaan hutan mangrove yang telah menjadi tambak, maka bentuk pengelolaan yang tepat adalah dengan mengintegrasikan mangrove pada tambak. Pembangunan tambak yang terintegrasi dengan hutan mangrove atau sebaliknya, telah menjadi program rehabilitasi hutan mangrove yang terdegradasi hampir di seluruh dunia. Hal ini selain mengakomodir tujuan konservasi untuk mempertahahankan ekosistem alami, juga untuk penggunaan bersama terkait sosial-ekonomi. Implementasi program rehabilitasi untuk kawasan tambak sebenarnya tidak mungkin menjadikan kawasan tambak tersebut sebagai hutan mangrove secara keseluruhan. Salah satu bentuk upaya rehabilitasi dalam bentuk penanaman mangrove yang dilakukan pada tambak adalah dengan silvofisheries atau wanamina (FitzGerald, 2002). Secara umum, silvofisheries bukanlah produk rehabilitasi yang utama, tetapi beragam bentuk implementasi yang telah dilakukan diseluruh dunia. Dikembangkan di Myanmar lebihd ari 50 tahun yang lalu, dan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1987. Berikut pada tabel 3.2 dan 3.3 adalah program-program integrasi mangrove – tambak sebagai upaya
Tabel 3.2. Sistem integrasi mangrove – tambak yang telah dilakukan di Asia.
Nama Permasalahan Negara
Tambak integrasi
sistem
Mangrove
yang muncul
Hongkong Gei-wai
Mangrove yang
Larva pasang- Pencemaran oleh
terbentuk alami:
surut, makanan industri, penurunan
produksi udang Indonesia
Avicennia alami
Tambak
Mangrove yang
Larva pasang- Intensifikasi tambak
terbentuk alami
surut, makanan
maupun penanaman:
alami
Avicennia atau Rhizophora
Silvofisheries
Mengrove hasil
Larva alami, Pengelolaannya
penanaman:
makanan alami yang sulit, terjadi Rhizophora atau buatan
ketidaksesuaian spesies mangrove yang ditanam
Vietnam Tambak-
Udang alami Penurunan produksi Mangrove
Mengrove hasil
penanaman:
pasang-surut, udang, konversi Rhizophora makanan alami
mangrove secara illegal
Pilipina Aqua-
Larva/udang/ Kematian mangrove, silviculture
Mangrove yang
terbentuk alami:
kepiting alami, kejenuhan makanan
Avicennia,
makanan alami pada tambak Rhizophora atau buatan
Sumber: Primavera (2015) Rehabilitasi mangrove di Indonesia di kenal dengan sistem silvofhiseries, sama
halnya dengan yang dilakukan di Hongkong, Vietnam dan Pilipina, hanya berbeda nama. Silvofisheries ini merupakan pendekatan yang digunakan untuk rehabilitasi mangrove yang terbaik hingga saat ini. Silvofisheries sendiri merupakan perlindungan hutan mangrove dengan membuat tambak berbentuk saluran, sehingga terdapat keuntungan ekonomis dan ekologis tetap terjaga (FitzGerald, 2002). Di sini berarti sistem silvofisheries dibuat dari hutan mangrove menjadi tambak, dan dalam pendekatan silvofisheries dalam rehabilitasi ini, tambak yang telah ada dikembalikan fungsi ekologisnya dengan penanaman mangrove yang berbasis pada sistem silvofisheries.
Tabel 3.3. Teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove yang telah dilakukan di wilayah Asia.
Teknologi,
Ukuran,
Negara dan tahun di
perbandingan
Tujuan Area
mulai
mangrove dan
tambak
Hongkong Tradisional Gei
Produksi ikan atau ~250 ha, wai,
~10 ha tambak
udang, konservasi Situs ramsar 1940
Produksi makanan, Luas tambak,
1 – 4 ha tambak,
stabilisasi tanah, 1400an
mangrove hanya
makanan ternak, Indonesia
berada di tanggul
tambak
Silvofisheries ,
Menyelesaikan Luas, misal 1976
0,1 – 1 ha tambak
konflik, rehabilitasi 6.600 ha di
mangrove
Cikiong, Jawa Barat
Vietnam Sistem 750 – 3.200 m 2 Mengurangi konflik Tersebar luas campuran
lahan, rehabilitasi antara tambak
tambak, 70:20:10
(untuk rumah)
mangrove
dan mangrove, Pertengahan 1980
Pilipina Aqua-
Konservasi mangrove, eksperimen silviculture
<2 ha tambak
peningkatan produksi 1987
ikan
Sumber: Primavera (2015) Sistem integrasi yang digunakan dalam sistem silvofisheries adalah penggunaan
mangrove pada tambak yang dibangun. Integrasi tersebut dicirikan dengan persentase antara mangrove dan kolam yang digunakan, persentase mangrove adalah yang paling besar. Pada dasarnya terdapat dua sistem sistem silvofisheries (gambar 3.4). Model pertama adalah mangrove yang berada dalam tambak, dengan persentase rasio mangrove 60 – 80% dan rasio kolam air tambak sebesar 20 – 40%. Model kedua adalah model sistem integrasi mangrove – tambak yang terpisah antara mangrove dan kolam air pada tambak, namun memiliki rasio yang sama dengan model pertama. Model kedua ini lebih menguntungkan dalam pengelolaan, produksi tambak yang lebih tinggi, dan biaya pembuatan yang lebih rendah, dan menghindari potensial keracunan dari daun pohon mangrove yang jatuh.
Gambar 3.4. Model silvofisheries. (a) standar model empang parit dengan mangrove di tengah tambak, (b) modifikasi dengan menambah kanal/saluran, (c) dan (d) merupakan silvofisheries yang memisahkan antara kolam tambak dan mangrove. Sumber: FitzGerald (2002)
Pola yang telah digunakan dalam pendekatan ini yakni pola empang parit atau tumpangsari. Karena tidak adanya lokasi lain yang dapat dijadikan sebagia mangrove terpisah, mengingat telah terbentuk tambak. Pola ini berbeda dengan sistem gei wai di Hongkong, di mana pola berbentuk tidak beraturan. Pada sistem empang parit, mangrove yang telah ditanam berada ditengah tambak dengan pola persegi, dan memberi celah antara mangrove dan tanggul (model 1 pada gambar 3.4). Sistem empang parit sendiri sebenarnya dibangun dengan membuat saluran air tempat membudidayakan ikan, yang berada antara hutan mangrove dan tanggul yang dibentuk. Atas dasar ini, maka metode ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan area tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, dengan menyisakan area kolam tambak yang tidak ditanami sejalur atau sejajar dengan tanggul. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Dalam penerapan sistem silvofisheries tersebut, kendala yang dihadapai adalah kurangnya bibit dan dana untuk program penanaman dalam rangka rehabilitasi.
Gambar 3.5. Sistem integrasi mangrove – tambak atau silvofisheries, (a) sistem gei wai di hongkong, (b) model silvofisheries di Thailand (rasio 7:3), dan (c) di Vietnam. Sumber: FitzGerald (2002).
Gambar 3.6. Sistem silvofisheries yang dapat digunakan untuk rehabilitasi mangrove pada area-area tambak. Sumber: Takashima (2000).
Gambar 3.7. Model silvofisheries yang disempurnakan. Sumber: FitzGerald (2002).
Terdapat perbedaan model-model integrasi mangrove – tambak seperti pada tabel 3.2 yang divisualkan pada gambar 3.3. Pada intinya model-model tersebut adalah modifikasi dari sistem silvofisheries. Sistem silvofisheries yang digunakan untuk rehabilitasi mangrove (area tambak yang ditanami mangrove untuk meningkatkan produktivitas) adalah seperti gambar 3.6. Model tersebut adalah model yang paling sesuai dan telah terbukti untuk dapat dilakukan pada area tambak di Indonesia. Hal ini terutama berkaitan dengan harapan hidup mangrove yang telah ditanam. Penanaman mangrove terebut dilakukan pada tengah tambak dengan menyisakan 20% kolam air di tambak yang tersisa. Perkembangannya, model tersebut dapat disempurnakan pada gambar 3.7 dengan membentuk tanggul pada tempat mangrove ditanam.
Sebenarnya pembukaan tambak di delta adalah secara ekstensif, lebih murah dibandingkan dengan budidaya secara intensif. Jika total penjualan tersebut digunakan untuk investasi perbaikan tambak yang terintegrasi mangrove, maka akan menghasilkan produksi yang lebih banyak lagi. Menurut literatur yang didapat, terjadi peningkatan produktivitas dari tambak yang dengan mangrove. Tabel 3.4 menunjukkan perbedaan produksi dari masing-masing tutupan mangrove yang ada. Untuk produksi tambak sendiri, van Zwieten, et al. (2006) menyatakan untuk produksi awal di tambak adalah 125,4 kg/ha. Untuk 2 hingga
3 kali panen setahun, maka udang yang diproduksi pertahun adalah 250,8 – 376,2 kg/ha. Produksi ini menurun setelah tahun kelima menjadi hanya 66 kg/ha, sehingga untuk produksi pertahun adalah 130 – 190 kg/ha/tahun.
Tabel 3.4. Produktivitas tambak tanpa mangrove dan telah terintegrasi mangrove pada lokasi di Karawang, Jawa Barat, dan perbandingan produksi tambak di Delta Mekong, Vietnam.
Karawang, Jawa Barat Tanpa
Tutupan mangrove Mangrove
70-80% >80% Produktivitas
40-60%
355 414 (kg/ha/tahun)
Produktivitas tambak di Delta Mekong, Vietnam
Integrasi mangrove
Sistem Sistem
ekstensif intensif Produktivitas
– tambak
242-475 2.400-6.000 (kg/ha/tahun)
228-365
Sumber: Takashima (2000); Joffre, et al. (2015) Tabel 3.4 menunjukkan perbedaan produksi udang pada tutupan mangrove
>80%, dengan produksi mencapai dua kali lipat dari produksi tambak tanpa mangrove. Pada lokasi yang berbeda, di Vietnam, produksi tambak secara ekstensif (tanpa mangrove) hampir sama dengan tambak yang telah terintegrasi mangrove. Akan tetapi, yang disampaikan oleh Joffre, et al. (2015) untuk tambak di Vietnam adalah umur tambak dan besarnya tutupan mangrove. Secara umum, dengan integrasi mangrove pada tambak akan meningkatkan produktivitas dan kontinuitas produksi tambak. Hal lainnya adalah tetap menekankan aspek konservasi mangrove.
FitzGerald (2002) pun menunjukkan keberhasilan metode silvofisheries dalam upaya restorasi hutan mangrove. Patut ditekankan di sini, program-program yang berhasil tersebut adalah diinisiasi oleh pemerintah. Jumlah biaya rehabilitasi yang diperlukan dan dana yang diterima dinas terkait tidak lah cukup untuk rehabilitasi secara parsial, apalagi keseluruhan. Belum lagi luas wilayah kabupaten yang harus diurus. Untuk itu salah satu solusinya adalah dengan membawa masyarakat agar terlibat aktif dengan membuat percontohan metode tambak silvofisheries yang telah berhasil.
Permasalahan lain dalam pengelolaan mangrove yang terkonversi untuk tambak adalah kondisi tanah yang asam dengan pH <3,5. Ini tentu mengganggu mangrove untuk tumbuh dan beradaptasi. Berkaitan dengan rehabilitasi tambak untuk memulihkan ekosistem mangrove, sudah jadi penanaman mangrove kembali dengan mengembangkan sistem silvofisheries adalah pilihan utama. Rehabilitasi dimaksudkan sebagai penguatan ekosistem mangrove agar Permasalahan lain dalam pengelolaan mangrove yang terkonversi untuk tambak adalah kondisi tanah yang asam dengan pH <3,5. Ini tentu mengganggu mangrove untuk tumbuh dan beradaptasi. Berkaitan dengan rehabilitasi tambak untuk memulihkan ekosistem mangrove, sudah jadi penanaman mangrove kembali dengan mengembangkan sistem silvofisheries adalah pilihan utama. Rehabilitasi dimaksudkan sebagai penguatan ekosistem mangrove agar
Dalam hal ini, hal yang tidak boleh dilupakan dalam perencanaan pengelolaan adalah masalah biaya pengelolaan itu sendiri. Contoh kasus adalah jika akan melakukan rehabilitasi hutan mangrove yang ada di Delta Mahakam yang rusak akibat konversi menjadi tambak. Untuk rehabilitasi perlu dilakukan penanaman mangrove kembali. Penanaman mangrove untuk rehabilitasi idealnya dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove. Untuk kepraktisan dan keberlanjutan tambak, jarak tanam yang disarankan adalah 2 x
2 meter. Jarak ini untuk mencegah air yang beracun akibat pembusukan daun dan kurangnya sinar matahari. Dengan jarak tanam 2 x 2 meter tersebut, memperhitungkan 80% area yang ditanam, maka untuk setiap hektare tambak membutuhkan ± 1.600 bibit mangrove. Dengan jumlah tambak hasil interpretasi yang dilakukan oleh Fawzi (2016) untuk mencapai tutupan mangrove sebesar 80% adalah seluas ± 57.997 ha, maka jumlah bibit yang ditanam dapat mencapai 92.795.200 bibit mangrove. Jika biaya yang dibutuhkan setiap bibit mangrove adalah sebesar Rp 2.025,00 (Akram, 2015), maka biaya total untuk merehabilitasi mangrove di Delta Mahakam adalah sebesar ± Rp 187.910.280.000,00 atau dibulatkan sebesar ± 188 milyar rupiah. Ini adalah biaya yang harus dipenuhi secara bertahap, dan belum mempertimbangkan faktor lain yang berkaitan yang membuat biaya rehabilitasi semakin membesar.