Mangrove Karakteristik Pemetaan dan Peng
HALAMAN JUDUL
Mangrove Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya
Mangrove
Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya
Oleh:
Nurul Ihsan Fawzi
Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya
Oleh: Nurul Ihsan Fawzi
Diterbitkan oleh Penerbit Sibuku Media Bantul, Yogyakarta, 55713
Cover Mangrove di Sundarban, Bangladesh. Gambar diperoleh dari situs NASA Diterbitkan pertama kali Maret 2016
Copyright © 2016 Nurul Ihsan Fawzi
Hak Cipta dilindungi undang-undang. All rights reserved. Dilarang mengutup atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin penerbit atau penulis. Setiap publikasi atau referensi untuk penggunaan pribadi atau pekerjaan harus secara eksplisit mengidentifikasi sumber aslinya. Hal ini untuk menjamin hak cipta dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Fawzi, Nurul Ihsan Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaanya / Nurul Ihsan Fawzi. -- Yogyakarta: Sibuku Media, 2016. viii, 100 p. : il. : ind ; 21 cm.
ISBN 978-602-6233-06-6
KATA PENGANTAR
Kebutuhan informasi tentang mangrove menjadi kendala ketika berhadapan dengan pustaka dalam Bahasa Inggris yang akan sulit dimengerti oleh pemula yang mau belajar tentang mangrove. Belum lagi jika berhadapan dengan perolehan informasi mangrove dan pengelolaannya, yang terkadang membuat beberapa peneliti merasa kebingungan. Oleh karena itu, dalam buku ini dibahas secara singkat bagaimana perolehan informasi mangrove melalui penginderaan jauh dan pengelolaan yang dapat dilakukan.
Harapannya, dengan membaca buku ini yang sistematis dirancang bertahap dimulai dari karakteristik mangrove, pemetaan, dan pengelolaannya; peneliti dan pembaca akan terbantu dalam penelitiannya. Terlebih lagi kebutuhan informasi tentang ekosistem mangrove menjadi semakin besar tatkala terdapat rencana-rencana pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan ekosistem.
Terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu, terutama dalam koreksi dan penambahan materi agar lebih sesuai. Semoga buku ini dapat membantu pelajar dan para peneliti yang membutuhkan referensi mengenai tema ini.
Selain itu, segala saran dan kritik penulis nantikan dengan hormat.
Saran dan kritik
Jika ada saran dan atau kritik, termasuk koreksi terhadap buku ini, mohon disampaikan pada alamat berikut.
Email : [email protected] Hp
: +62-811-1011-041
1 BAB 1 KONSEPSI MANGROVE
Pada bab ini akan dibahas mengenai dasar-dasar pengenalan mangrove. Termasuk dalam hal definisi, taksonomi, distribusi spasial, manfaat, dan ancamannya. Ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi mengenai
“mangrove” yang dibahas pada bab ini.
1.1 D EFINISI
Terdapat perbedaan definisi mengenai mangrove, atau lebih tepatnya banyak pendekatan-pendekatan untuk mendefinisikan ekosistem mangrove (Kuenzer, et al., 2011). Definisi pertama, mangrove didefinisikan atas lokasi hidupnya. Mangrove merupakan belukar atau pohon yang tumbuh di kawasan pesisir diantara 25 – 30 o lintang selatan hingga 25-30 o lintang utara (ini berbeda untuk tiap ahli) dan mampu bertahan terhadap air payau, air laut, dan lokasi di mana terjadi penguapan yang membuat air asin dua kali salinitas air laut (Kuenzer, et al., 2011).
Definisi lainnya, mangrove diterjemahkan sebagai semua spesies atau komunitas spesies yang mampu hidup di air asin (Tomlinson, 1995). Terdapat 110 spesies mangrove, sekitar 54 spesies dalam 20 genus dari 16 family (tabel
1.1 dan 1.2) yang merupakan jenis mangrove yang dapat tumbuh di habitat mangrove itu sendiri. Secara umum mangrove dapat didefinisikan sebagai ekosistem yang berada di zona pasang surut yang mampu beradaptasi di lingkungan pesisir, yang beradaptasi dengan sistem perakaran yang menonjol (akar nafas/pneumatofor), sebagai suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau anaerob (Tomlinson, 1995).
1.2 D ISTRIBUSI M ANGROVE
1.2.1 Distribusi Mangrove Saat Ini
Secara global, tanaman mangrove dapat ditemukan disekitar garis tropis (gambar 1.2). Sekitar 124 negara yang berlokasi diantara 25 o – 30 o lintang selatan hingga 25 o -30 o lintang utara menjadi lokasi habitat ekosistem mangrove (Kuenzer, et al., 2011). Ekosistem ini tumbuh dan menutup sekitar 75% garis Secara global, tanaman mangrove dapat ditemukan disekitar garis tropis (gambar 1.2). Sekitar 124 negara yang berlokasi diantara 25 o – 30 o lintang selatan hingga 25 o -30 o lintang utara menjadi lokasi habitat ekosistem mangrove (Kuenzer, et al., 2011). Ekosistem ini tumbuh dan menutup sekitar 75% garis
Total area mangrove saat ini berkisar antara 167.000 km 2 hingga 181.000 km 2 (Kuenzer, et al., 2011). FAO (2007) mengestimasi tutupan mangrove untuk tahun 2005 adalah 152.000 km 2 , turun dari 188.000 km 2 pada tahun 1980. Sedangkan Giri, et al. (2011) mendapatkan luas mangrove secara global menggunakan citra penginderaan jauh tahun 2000, didapatkan luasan mangrove
sebesar 137.760 km 2 yang tersebar di 118 negara. Hasil luas mangrove global yang dihasilkan oleh Giri, et al. (2011) memiliki luas lebih kecil disebabkan oleh penggunaan resolusi citra penginderaan jauh yang digunakan yang lebih detail (30 meter) dibandingkan dengan yang digunakan oleh FAO (2007) dalam memetakan mangrove. Jumlah luas mangrove paling besar terdapat di kawasan Asia Tenggara (Indonesia), di mana lokasi yang baik untuk tumbuh dan memiliki diversitas spesies yang tinggi.
Tabel 1.1. Negara dengan jumlah mangrove terbesar.
Persentase Persentasi No
Negara
Luas (ha)
global (%) kumulatif (%)
8. Papua Nugini
12. Guinea Bissau
75,3 Sumber: Giri, et al. (2011)
15. Filipina
Secara floristik terdapat dua perbedaan jenis mangrove dalam distribusi ini (gambar 1.1), yakni zona timur yang terdiri atas pantai timur Afrika, Asia Tenggara, kepulauan di Pasifik, dan Australia; dan zona barat yang terdiri atas pantai barat Afrika, pantai di Amerika, dan kepulauan Karibia (FAO, 1994). Secara intensif mangrove berkembang cukup pesat di muara sungai besar, seperti muara sungai Gangga di Banglades, muara sungai Mahakam di Kalimantan Timur, muara sungai Fly di Papua Nugini, dan muara sungai Mekong di Vietnam. Sedangkan muara sungai Amazon dan sungai Kongo, salah satu sungai terbesar di dunia ini, tidak memiliki hutan mangrove yang tumbuh secara intensif karena besarnya debit sungai yang memasok air tawar.
Gambar 1.1. Distribusi mangrove diseluruh dunia, direpresentasikan dengan garis tebal. Garis putus-putus secara vertikal menujukkan batas bio-geografi, dan garis putus-putus horizontal menunjukkan batas hidup mangrove yang berada pada daerah tropis.
Sumber: Hogarth (2007).
1.2.2 Faktor Pembatas Distribusi Mangrove
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi mangrove di seluruh dunia. Faktor utama penyebab batasan tersebut adalah kondisi fisiologi yang mendukung atau tidak untuk spesies mangrove dapat hidup atau tidak. Selebihnya, terdapat campur tangan manusia yang mempengaruhi distribusi mangrove yang ada saat ini dan yang akan datang.
1.2.2.1 Campur Tangan Manusia
Beberapa habitat mangrove berada pada lokasi – lokasi yang berada dekat dengan perkotaan. Konversi habitat mangrove untuk pembangunan perluasan perkotaan seringkali tidak dapat dihindarkan. Akibatnya eksistensi mangrove pada daerah tersebut berubah, atau bahkan menghilang jika tidak dilakukan upaya perlindungan. Secara lebih luas, jika konversi mangrove tersebut dilakukan pada skala besar untuk aktivitas tertentu, maka peta distribusi mangrove yang ada saat ini perlu untuk direvisi.
Perubahan-perubahan eksistensi mangrove akibat pengaruh manusia beragam untuk berbagai aktivitas yang berhubungan dengan faktor ekonomi tentunya. Horning, et al. (2010) menyatakan penelitian saat telah menginventarisasi kehilangan mangrove secara global mencapai 12% dari tahun 1975-2005. Penyebab utama deforestasi hutan mangrove secara global tersebut adalah untuk pertanian (81%), tambak (12%), dan menjadi wilayah perkotaan (2%). Akan tetapi, penyebab utama deforestasi hutan mangrove untuk setiap Negara adalah berbeda. Contohnya di Thailand, penyebab deforestasi mengrove terbesar adalah untuk pertanian (50%) dan pembangunan tambak (41%). Sedangkan di Filipina, konversi hutan mangrove menjadi menjadi tambak adalah penyebab kerusakan mangrove paling besar, hingga tahun 1981 konversi mangrove menjadi tambak telah dilarang (Janssen & Padilla, 1999). Hal ini tidak bisa dihindarkan, mengingat kebutuhan manusia untuk makanan terus meningkat, dan produksi tambak di areal mangrove menyumbang separuh dari konsumsi global untuk makanan laut (produksi mendekati 50 juta metrik ton) (FAO, 2013).
Untuk di Indonesia, Ilham, et al. (2016) menemukan bahwa konversi mangrove menjadi tambak adalah penyebab utama deforestasi mangrove. Lebih dari 600.000 ha mangrove telah terkonversi menjadi tambak. Fawzi (2016) menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam yang menyebabkan 53,8% wilayah delta berubah menjadi tambak. Ini tentu akan mempengaruhi distribusi mangrove yang ada saat ini. Pada sisi lain, pengaruh distribusi mangrove tidak hanya diakibatkan oleh deforestasi yang terjadi. Upaya penanaman mangrove seringkali dilakukan pada lokasi yang sebelumnya tidak terdapat mangrove. Sehingga dapat dikatakan pada lokasi yang baru tersebut mangrove dapat tumbuh.
Faktor-faktor lain yang jarang terjadi adalah kerusakan mangrove akibat terjadinya perang. Van, et al. (2015) menemukan kerusakan mangrove seluas 104.939 ha atau 36% dari mangrove yang terdapat di Vietnam. Penyebab kerusakan tersebut selain karena bahan peledak, pihak Amerika Serikat juga Faktor-faktor lain yang jarang terjadi adalah kerusakan mangrove akibat terjadinya perang. Van, et al. (2015) menemukan kerusakan mangrove seluas 104.939 ha atau 36% dari mangrove yang terdapat di Vietnam. Penyebab kerusakan tersebut selain karena bahan peledak, pihak Amerika Serikat juga
1.2.2.2 Salinitas
Salinitas juga menjadi penentu dalam distribusi mangrove yang lebih kepada lokasi in situ. Hal ini karena spesies mangrove hanya dapat tumbuh pada rentang kondisi salinitas tertentu. Terkait dengan hal ini, Smith (1992) menjelaskan tentang syarat hidup jenis -jenis mangrove yang berhubungan dengan salinitas. Untuk spesies Avicennia spp., beberapa penelitian menberi nilai adaptasi spesies yang berbeda terhadap salinitas. Clarke & Hannon (1970) dalam Smith (1992) menemukan bahwa spesies Avicennia marina dapat hidup pada rentang salinitas 0 – 35 o / oo , dengan salinitas tumbuh maksimal adalah 7 –
14 o / oo . Smith (1992) juga menjelaskan bagaimana penelitian yang dilakukan oleh Downton (1982) melaporkan bahwa Avicennia marina mampu hidup pada salinitas 3 – 20 o / oo . Untuk spesies Rhizophora stylosa, memiliki nilai tumbuh optimum pada salinitas 9 o / oo , dan terjadi penurunan biomassa jika berada pada salinitas diatas 18 o / oo . Untuk nilai salinitas maksimal untuk tumbuh bisa mencapai 35 o / oo , yakni nilai salinitas air laut. Bahkan Smith (1992) dalam kompilasi penelitiannya, menunjukkan bahwa spesies Avicennia spp. mampu hidup pada nilai salinitas >60 o / oo . Akan tetapi, untuk tumbuh secara optimal, rentang salinitas 7 – 14 o / oo adalah yang paling sesuai.
Adaptasi yang dikembangkan oleh mangrove adalah akar nafas untuk beradaptasi pada kondisi pasang surut. Jadi, ketika terkena pasang, akar-akar nafas tersebut masih bisa memperoleh oksigen untuk pertumbuhannya. Dan karakteristik ini berbeda tiap spesies. Selain itu bentuk adaptasi lainnya adalah mengolah air dengan salinitas tinggi untuk dapat hidup. Mengrove memiliki beberapa metode untuk mendapatkan air tawar dari air laut, dengan menyerap air air asin dari akar, dan membuang kelebihan garam di daun dengan menggunakan kelenjar ekskresi garam (terutama pada genus Avicennia, Aegiceras and Aegialitis). Pada spesies lain menggunakan transpirasi pada daun, atau mengakumulasi garam pada daun dan kemudian menggugurkannya.
1.2.2.3 Letak Lintang dan Iklim
Secara esensial mangrove merupakan tumbuhan tropis, yang dapat hidup dengan batasan terjauh di lintang selatan adalah Florida Selatan, Afrika Selatan, dan Victoria, Australia; dan betasan di lintang utara terjauh adalah Jepang bagian selatan. Berdasarkan letak lintang, mangrove dapat hidup pada lokasi paling selatan di titik terjauh yakni 38 o 59' lintang selatan, atau berada di Australia, dan untuk batas lintang utara dapat hidup hingga 31 o 22' lintang utara yang berada di Jepang (Giri, et al., 2011). Secara rinci, batasan letak lintang di mana mangrove ditemukan disajikan pada tabel (1.2).
Tabel 1.2. batasan letak lintang untuk distribusi mangrove.
Letak lintang di mana mangrove ditemukan Benua
dapat tumbuh Lintang utara
Lintang selatan
Amerika bagian timur
28 o 56’ Amerika bagian barat
32 o 20’
5 o 30’ Afrika bagian barat
30 o 15’
12 o 20’ Afrika bagian timur/Laut Merah
19 o 50’
32 o 59’ Australia bagian barat
28 o 24’
33 o 16’ Australia bagian timur
38 o 45’ Asia
- Sumber: Saenger (2002) Dalam hubungannya dengan iklim, persebaran mangrove secara langsung
31 o 21’
dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Mangrove merupakan tumbuhan yang tidak mampu beradaptasi pada suhu yang rendah. Mangrove dapat hidup dengan suhu permukaan laut minimal yakni 24 o
C. Lebih rendah dari suhu tersebut, maka spesies mangrove akan sulit sekali beradaptasi dan tidak dapat tumbuh. Untuk wilayah tropis, suhu tidak berpengaruh pada mangrove karena permukaan laut selalu hangat dan terkena sinar matahari sepanjang tahun. Akan tetapi, pada wilayah subtropis, dan semakin mendekati kutub suhu permukaan laut semakin dingin, dan ini menjadi salah satu faktor pengaruh yang membatasi distribusi mangrove; berasosiasi dengan letak lintang.
1.2.2.4 Pasang Surut Air Laut
Pasang dan surut air laut mempengaruhi penggenangan air laut terhadap habitat mangrove. Jika semakin tinggi pasang dan area yang tergenang oleh air laut, maka distribusi mangrove pada habitat tersebut akan semakin luas. Jika pada area-area pantai yang terjal dan tidak tergenang oleh air laut, maka tidak terdapat mangrove. Selain itu, pada daerah muara sungai, pasang dan surut air laut akan mempengaruhi perubahan salinitas air di mana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
1.2.2.5 Sedimen dan Ombak
Tanaman mangrove tidak dapat hidup pada wilayah pantai yang memiliki ombak yang cukup besar. Dengan kata lain, mangrove hanya dapat hidup pada area pantai atau habitat yang memiliki ombak relatif tenang. Ombak yang relatif tenang akan membantu persebaran bibit mangrove dan akumulasi sedimen yang berguna untuk nutrisi mangrove itu sendiri.
1.3 T AKSONOMI M ANGROVE
Saenger (2002) membagi mangrove secara umum dengan 26 family dan 39 genus. Berbeda dengan Tomlinson (1995) yang membagi mangrove dalam tiga kategori, yakni: mangrove utama, mangrove peralihan, dan asosiasi mangrove. Jadi pada definisi mangrove sebelumnya disebutkan terdapat 20 genus dari 16 family , pembagian tersebut pada mangrove utama dan mangrov peralihan. Pada pembahasan ini, kita akan mengacu pada Tomlinson (1995) untuk mempermudah dalam pembelajaran.
1.3.1 Mangrove Utama dan Mangrove Peralihan
Melihat definisi mangrove yang merupakan tumbuhan halofit, terdapat dua pembedaan yang dapat dilakukan, yakni yang mampu beradaptasi penuh dengan air asin dan beradaptasi dengan air tawar. Berdasar hal tersebut, Tomlinson (1995) membagi taksonomi mangrove atas dua bagian utama, yakni ‘true’
mangrove atau mangrove utama (major mangrove) dan mangrove peralihan (minor mangrove). Perbedaan keduanya adalah dari jenis adaptasi terhadap air tawar. Sebagaimana Avicennia yang mampu hidup optimal pada nilai salinitas
7 – 14 o / oo . Berbeda halnya dengan Heriteria littoralis yang hanya mampu beradaptasi pada air payau saja ketika berada pada pasang tertinggi, selebihnya mampu beradaptasi pada air tawar. Jika Heriteria littoralis ‘diletakkan’ pada wilayah yang sepenuhnya air asin, maka tidak dapat beradaptasi.
Pada mangrove utama, spesies mangrove yang termasuk didalamnya sepenuhnya beradaptasi dengan kondisi salinitas yang tinggi yang dikontrol oleh pasang surut. Bentuk adaptasi tersebut dapat berupa akar nafas atau pnematofora, bibit yang vivipary, mekanisme adaptasi sekresi garam, dan adaptasi fisiologis terhadap kondisi salinitas tinggi. Sedangkan pada mangrove peralihan, telah mampu beradaptasi dengan salinitas rendah dan atau air tawar, dan bahkan tidak mampu beradaptasi dengan salinitas yang tinggi (air laut). Mangrove peralihan ini berhabitat pada area pantai kearah darat.
Secara detail mengenai taksonomi mangrove dapat dijelaskan pada tabel 1.3 dan tabel 1.4. Penjelasan mengenai taksonomi mangrove secara detil pada tiap family dijabarkan pada subbab berikutnya.
Tabel 1.3. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove utama
Akar Family
Jumlah
Genus Vivipary?
spesies
gantung
Avicenniaceae Avicennia
8 ++ + Combretaceae
Laguncularia
1 + - Lumnitzera
2 + - Palmae
1 - + Rhizoporaceae
1 - ++ Rhizophora
8 ++ ++ Sonneratiaceae
5 ++ - Total
Sonneratia
9 34 Sumber: Tomlinson (1995)
Tabel 1.4. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove peralihan
Akar Family
Jumlah
Genus Vivipary?
spesies
gantung
Bombacaceae Camprostemon
2 + - Euphorbiaceae
- - Lythraceae
Exoecaria
1 (-2)
2 - - Meliaceae
Pemphis
2 ++ - Myrsinaceae
Xylocarpus
2 - + Myrtaceae
Aegiceras
Osbornia 1 - - Pellicieraceae
1 - + Plumbaginaceae
Pelliciera
2 - + Pteridaceae
Aegialitis
3 - - Rubiaceae
Acrostichum
1 - - Sterculiaceae
Scypiphora
3 - - Total
Heriteria
11 20 Sumber: Tomlinson (1995)
Keterangan tabel 1.2 dan 1.3:
+ = memiliki akar gantung dan/atau vivipary, ++ = memiliki dan terbentuk cukup baik - .. = tidak memiliki Vivipary = merupakan benih yang terbentuk, apakah mangrove memiliki “buah” yang menjadi benih untuk regenerasinya. yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Vivipary ini lebih sering dikatakan sebagai propagul.
1.3.1.1 Avicenniaceae
Nama Avicennia didedikasikan dari nama Ibnu Sina (980-1037). Hal ini dikarenakan di Eropa ketika itu, Ibnu Sina terkenal sebagai Avicenna, salah seorang pakar dan perintis kedokteran modern dari Persia. Family Avicenniaceae hanya memiliki satu genus, yakni genus Avicennia L. 1753 (Tomlinson, 1995). Genus ini memiliki 8 spesies, yang mampu beradaptasi dengan tingkat salinitas yang tinggi. Tumbuh sebagai zonasi paling depan yang berhadapan dengan laut, dan mampu tumbuh hingga mencapai 30 meter. Untuk wilayah Indo-Pasifik dan Afrika Timur, spesies Avicennia yang ada yakni: Avicennia officinalis , A. alba atau A. marina, A. lanata, A. eucalyptifolia, dan A. balanophora . Untuk daerah pantai barat Afrika dan Amerika, spesies Avicennia yang ada yakni: Avicennia germinan, A. bicolor, A. schaueriana, dan A. africana . Cara membedakan spesies Avicennia dapat dilakukan berdasarkan bunga yang dihasilkan. Pada Avicennia germinan: berwarna putih dan memiliki panjang 10 – 13 mm, pada A. officinalis: berwarna kuning dengan panjang 6 –
8 mm, dan pada A. marina: berwarna kuning atau jingga dengan panjang 4 –8 mm.
Avicennia merupakan spesies yang memiliki toleransi terhadap salinitas yang tinggi. Sehingga dalam lokasi hidupnya berada pada daerah yang berhadapan langsung dengan laut. Adaptasi terhadap penggenangan air laut ketika pasang adalah dengan memiliki akar nafas (pneumatafor) yang muncul 10 – 30 cm dari tanah, dengan diameter 0,5 – 1 cm. Untuk adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, Avicennia mengeluarkan kelebihan garam pada daunnya melalui saluran khusus di daunnya, yang pada akhirnya garam tersebut akan luruh oleh angin atau hujan.
Gambar 1.2. Pohon Avicennia yang dicirikan dengan akar nafas yang muncul ke permukaan. Daun, bunga, buah, dan pohon dari Avicennia marina. Sumber: Noor, et al. (2006)
1.3.1.2 Bombacaceae
Pada family ini hanya memiliki satu genus, yaitu Camprostemon Masters 1872. Genus Camprostemon memiliki dua spesies, yakni C. schultzii Masters 1872 di utara Australia dan Papua Nugini, dan C. philippinense (Vidal) Becc. 1898 yang menyebar dari Filipina hingga Kalimantan.
1.3.1.3 Combretaceae
Combretaceae memiliki hampir 50 genus dan 1.000 spesies yang menyebar diseluruh benua kecuali di Eropa. Untuk jenis mangrove yang diketahui berada pada family ini adalah genus Laguncularia Gaertn.f. 1805 yang hanya terdiri atas spesies Laguncularia racemose (L.) Faertn.f.; genus Lumnitzera Willd. 1803 yang terdiri atas spesies Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. 1845,
Lumnitzera racemose Willd. 1803, dan Lumnitzera rosea (Gaud.) Presl. 1834; genus Terminalia L. 1767 yang memiliki satu spesies Terminalia catappa L. 1767; dan genus Conocarpus L. 1753 dengan satu spesies Conocarpus erectus L. 1953. Genus Terminalia dan Conocarpus termasuk dalam asosiasi mangrove.
1.3.1.4 Euphorbiaceae
Euphorbiaceae adalah tanaman dengan jumlah spesies lebih dari 7000 spesies (Saenger (2002) menyebut hingga 8000 spesies). Euphorbiaceae memiliki dua genus mangrove, yaitu Exoecaria L. 1759, Hippomane L. 1753, dan Glochidion J. R. & G. Forst 1776. Exoecaria menyebar dari Afrika dan Asia hingga ke Pasifik.
1.3.1.5 Lythraceae
Lythraceae termasuk dalam family yang cukup besar, karena memiliki hampir
25 genus dan 500 lebih spesies. Yang termasuk mangrove dalam Lythraceae hanya genus Pemphis Frost. 1776, dengan spesies Pemphis madagascariensis (Baker) Koehne 1903. Spesies P. madagascariensis merupakan spesies endemic pada area savanna semi-arid di Madagaskar.
1.3.1.6 Meliaceae
Meliaceae memiliki hampir 50 genus dengan jumla spesies sekitar 1.200 spesies. Meliaceae yang termasuk mangrove hanya pada genus Xylocarpus K őnig 1784, dengan dua spesies yakni: Xylocarpus granatum Kőnig 1784 dan Xylocarpus mekongensis Pierre 1897. Xylocarpus terdistribusi di timur Afrika dan daerah tropis Indo-malaya.
1.3.1.7 Myrsinaceae
Myrsinaceae memiliki 18 genus dan 300 spesies (Saenger (2002) menyebut 35 genus dan 1.000 spesies). Distribusi utama Myrsinaceae berada di Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Yang termasuk dalam mangrove dalam Myrsinaceae hanya satu genus, Aegiceras Gaertner 1788. Genus Aegiceras memiliki dua spesies, yakni Aegiceras comiculatum (L.) Blanco 1837 dan Aegiceras floridum Roemer & Schultes 1819.
1.3.1.8 Myrtaceae
Myrtaceae hanya memiliki satu genus Osbornia F. Mueller 1862 dan satu spesies Osbornia octodonta F. Muell. loc. cit. Myrtaceae sebenarnya family yang cukup besar dengan genus lebih dari 155 dan 3.000 spesies. Osbornia octodonta sendiri menyebar di utara Australia hingga Filipina.
1.3.1.9 Palmae
Family Palmae merupakan family dari kelapa, dengan hampir 200 genus dan 2600 spesies. Akan tetapi, yang termasuk dalam kategori mangrove hanya terdapat 3 spesies, yakni Nypa fruticans, Calamus erinaceus, dan Oncosperma tigillarium . Nypa fruticans merupakan mangrove utama, sedangkan Calamus erinaceus dan Oncosperma tigillarium merupakan asosiasi mangrove.
Nypa Fruticans atau Nypa merupakan tanaman mangrove yang hidup pada muara sungai atau estuari. Habitat terbesar Nypa di Indoneisa berada di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Secara umum, distribusi Nypa berada dari Sri Langka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Tiongkok, dan Australia. Selain itu, Nypa juga telah ditanam menjadi spesies baru di wilayah Barat Afrika dan Amerika Tengah.
Gambar 1.3. Nypa fruticans yang berada di Delta Mahakam. Secara habitat alami, Nypa dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi,
mencapai variasi nilai salinitas 5 o / oo – 25 o / oo . Fawzi (2016) menemukan bahwa nilai salinitas tersebut yang bervariasi antara 5 o / oo – 25 o / oo merupakan variasi dari kondisi pasang dan surut air laut dan juga dipengaruhi oleh besarnya debit sungai Mahakam terkait musim kemarau atau hujan. Nypa fruticans mampu beradaptasi dalam kondisi salinitas ini. Zona transisi Nypa berada saat kondisi pasang dengan nilai salinitas air 6 o / oo . Sebenarnya Nypa dapat beradaptasi pada rentang 0
– 25 o / oo , karena pada saat surut, pada lokasi yang sama bernilai salinitas 0 o / oo yang artinya air tawar. Akan tetapi karena kondisi payau saat air
pasang, maka Nypa dapat tumbuh. Formasi Nypa mulai tergantikan dengan pasang, maka Nypa dapat tumbuh. Formasi Nypa mulai tergantikan dengan
1.3.1.10 Pellicieraceae
Pellicieraceae memiliki satu genus Pelliciera Planchon & Triana 1862 dengan satu spesies Pelliciera rhizophoreae Triana & Planchon 1862. Pelliciera adalah pohon kecil, dengan ketinggian 5 – 10 meter. Untuk saat ini Pelliciera hanya ditemukan melimpah di Teluk Buenaventura, Kolombia, hingga ke Kosta Rika; dan pantai yang terletak di Samudra Atlantik, seperti Kepulauan Karibia.
1.3.1.11 Plumbaginaceae
Plumbaginaceae adalah family kecil yang termasuk jenis semak-semak, dengan distribusi hampir di wilayah pesisir di seluruh dunia. Terdapat satu genus Aegialitis R. Brown 1810, dengan dua spesies, yakni Aegialitis annulata R. Brown 1810 dan Aegialitis rotundifolia Roxburgh 1824. Aegialitis adalah semak dengan bunga sempurna, tinggi mencapai 3 meter, dan habitat biasanya pada daerah berpasir atau berbatu di wilayah pantai.
1.3.1.12 Pteridaceae
Pteridaceae adalah tumbuhan jenis pakis-pakisan dengan 35 genus dan lebih dari 1.000 spesies. Untuk genus yang mampu beradaptasi pada daerah asin adalah Acrostichum L. 1753. Acrostichum terdistribusi pada asosiasi dengan Rhizophora mangle dan pada wilayah estuari. Jumlah spesies yang termasuk dalam genus ini adalah 3 spesies, yakni: Acrostichum aureum Linneaeus 1753, Acrostichum danaeifolium Langsdorff & Fischer 1810, dan Acrostichum speciosum Willdenow 1810.
1.3.1.13 Rhizophoraceae
Rhizophoraceae memiliki 16 genus dan 120 spesies yang terdiri atas jenis pohon dan semak-semak. Untuk jenis mangrove sendiri, terdiri atas 4 genus dan 16 spesies. Seringkali disebut dengan “mangrove Rhizophoraceae,” dengan 4
genus tersebut adalah Bruguiera Lamarck 1793-7, Ceriops Arnold 1838, Kandelia Wight & Arnold 1834, dan Rhizophora L. 1753. Faktor persamaan yang menempatkan 4 genus tersebut dalam satu family mangrove adalah bentuk bunga dan buah yang bersifat vivipary.
Spesies-spesies mangrove yang terdapat dalam family ini adalah: Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk. 1797-8, Bruguiera sexangula (Lour.)
Poir. 1816, Bruguiera exaristata Ding Hou 1957, Bruguiera parviflora Wight & Arnold ex Griffith 1936, Bruguiera cylindrica (L.) Blume 1827, dan Bruguiera hainesii C.G. Rogers 1919;
Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 1958 dan Ceriops tagal (Perr.) C.B. Robinson 1908; Kandelia candel (L.) Druce 1914; dan Rhizophora apiculata BL. 1827, Rhizophora mangle L. 1753,
Rhizophora samoensis (Hochr.) Salvoza 1936, Rhizophora x harrisonii Leechman 1918, Rhizophora mucronata Lamk. 1804, Rhizophora racemosa Meyer 1818, Rhizophora stylosa Griff. 1854, Rhizophora x lamarckii Montr. 1860, dan Rhizophora x selala (Salvoza) Tomlinson 1978.
Rhizophora
Genus ini hampir berada diseluruh habitat mangrove di dunia. Dengan pohon yang mampu tumbuh mencapai 30 – 40 meter, dengan kecepatan tumbuh mencapai <1 meter/tahun (Duke, 2006). Dalam hal ini, Rhizophora menjadi genus yang penting dalam hubungannya dengan mangrove. Seringkali Rhizophora menjadi rujukan dari kata mangrove itu sendiri. Dan terlebih lagi Rhizophora sering digunakan sebagai bibit untuk penanaman kembali mangrove pada areal yang telah rusak.
Untuk membedakan spesies dalam genus Rhizophora adalah tidak mudah. Beberapa spesies dapat dibedakan hanya dengan bunga dan buah. Namun demikian, terdapat pola distribusi Rhizopora pada wilayah Indo-Pasifik yang berdasar pada karakteristik adaptasinya (gambar 1.4). Namun, Duke (2006) memberikan beberapa karakteristik pembeda untuk spesies Rhizophora, yakni:
R. mucronata dapat berada pada wilayah yang berasosiasi dengan aliran air tawar seperti sungai/muara sungai. R. stylosa seringkali berada di daerah pantai, lebih mengarah pada wilayah pantai yang berhubungan langsung dengan laut (bukan pada muara sungai atau berdekatan).
R. apiculata dapat ditemukan pada lokasi yang hampir sama dengan R. mucronata, akan tetapi lebih sering tumbuh pada muara sungai atau estuari yang lebih besar.
Hybrid R. x lamarckii dapat ditemukan pada wilayah pantai dengan julat pasang surut yang relatif tinggi.
Gambar 1.4. Distribusi Rhizophora yang berada di Indonesia dan sekitarnya. Terlihat batas persebaran spesies R. apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa. pada kenyataannya, terjadi overlap dari ketiga distribusi spesies tersebut di wilayah Indonesia. Sumber: Duke (2006).
Untuk beradaptasi terhadap salinitas yang tinggi, Rhizophora juga memiliki akar nafas pnematafor yang berbeda bentuk dari Avicennia. Sedangkan untuk mendapatkan pasokan air tawar, Rhizophora melakukan transpirasi pada daunnya dan terdapat membran khusus untuk menyaring garam. Daun pada Rhizophora juga mampu meminimalkan kehilangan air berlebih, meminimalkan pemanasan berlebih, dan mampu memaksimalkan proses fotosintesis melalui optimasi sudut dan ukuran daun. Untuk berkembang biak, buah mangrove yang telah berkecambah akan jatuh dan langsung menancap ke tanah. Hal ini dapat terjadi karena bentuk adaptasinya yang memungkinkan hal tersebut terjadi (gambar 1.5).
Gambar 1.5. Kiri: Bunga Rhizophora yang telah dewasa (kiri ke kanan) Rhizopora apiculata, R. x lamarckii, R. stylosa, dan R. mucronata. Kanan: propagul pada R. stylosa. Sumber: Duke (2006)
Gambar 1.6. Perbedaan bunga pada A. R. apiculata, B. R. x lamarckii, C. R. mucronata, D. R. stylosa, E. R. apiculata, D. R. x lamarckii, G. R. mucronata, H. R. stylosa. Sumber: Setyawan & Ulumuddin (2012).
Bruguiera
Bruguiera merupakan genus yang termasuk dalam family Rhizophoraceace, memiliki 6 spesies yang terbagi atas dua jenis utama. Jenis pertama adalah yang memiliki bunga relatif besar: Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B. exaristata ; dan jenis kedua adalah yang memiliki bunga relatif kecil: B. parviflora , B. cylindrica, dan B. hainesii (Tomlinson, 1995). Penamaan Bruguiera berasal dari penghormatan terhadap penjelajah dan ahli biologi dari Prancis, Jean Guillaume Bruguière (1750 –1798). Genus Bruguiera tersebat dari pantai timur Afrika dan Madagaskar, India, Sri Lanka, Asia Tenggara, Australia dan kepulauan Polinesia di Samudra Pasifik.
Pohon Bruguiera mampu tumbuh hingga mencapai ketinggian 40 meter, selalu hijau sepanjang tahun dan juga selalu tumbuh, memiliki akar nafas yang pendek. Bunga pada Bruguiera dibedakan atas bunga yang relatif besar (panjang 2 – 4 cm) dan bunga yang relatif kecil (panjang 1 – 1,5 cm), dengan jumlah helai 13 pada bunga relatif besar dan 8 helai pada bunga relatif kecil.
1.3.1.14 Rubiaceae
Rubiaceae adalah salah satu family terbesar dengan lebih dari 500 genus dan 6.000 spesies. Untuk genus yang berada pada jenis mangrove hanya genus Scyphiphora Gaertn.f. 1805. Scyphiphora hanya memiliki satu spesies mangrove peralihan, yakni Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn.f. 1805. Scyphiphora terdistribusi dari selatan India, Indocina, melewati kepulauan di Malaya dan Filipina, hingga ke Australia melalu kepulauan Palau.
1.3.1.15 Sonneratiaceae
Soneratiaceae memiliki satu genus Sonneratia L.f. 1781 dan 5 spesies. Spesies- spesies tersebut adalah Sonneratia caseolaris (L.) Engler 1897, Sonneratia alba J. Smith 1819, Sonneratia apetala Buch.-Ham. 1800, Sonneratia griffithii Kurz 1871, dan Sonneratia ovata Backer 1929. Persebaran Sonneratia meliputi timur Afrika, Indo-Malaya hingga ke Australia, dan kepulauan Mikronesia dan Melanisia.
Gambar 1.7. Perbedaan buah dari spesies Bruguiera yang berbeda: 1: B. hainesii. 2:
B. sexangula. 3: B. gymnorhiza. 4: B. cylindrica. 5: B. parviflora. CL: calyx lobe, CT: calyx tube, FB: flower bud, Fr: bunga, Ft: fruit (buah), H: hypocotyl, VS: bibit vivipary.
A. batang dan buah dari Bruguiera, dan B. adalah tahapan perkembangan buah hingga siap untuk tumbuh menjadi bibit. Sumber: Sheue, et al. (2005)
1.3.1.16 Sterculiaceae
Sterculiaceae memiliki 65 genus dan sekitar 1.100 spesies yang tersebar pada daerah tropis dan sub-tropis. Genus yang termasuk dalam Sterculiaceae adalah Heritiera Aiton. 1789, dengan tiga spesies mangrove, yakni: Heritiera littoralis Dryand. in Aiton 1789, Heritiera fomes Buch-Ham. 1800, dan Heritiera globose Kostermans 1959. Heritiera globose hanya ditemukan di Kalimantan. Heritiera littoralis secara luas terdistribusi pada daerah tropis timur Afrika, Asia Tenggara, Australia, dan kawasan Samudra Pasifik. Sedangkan Heritiera fomes ditemukan dari India dan Banglades hingga Myanmar.
1.3.2 Spesies Asosiasi Mangrove
Pada dasarnya, klasifikasi pada tabel (1.3) dan (1.4) merupakan pengkelasan mangrove yang dilakukan oleh Tomlinson (1995) untuk mempermudah analisis. Pengkelasan tersebut dengan tidak memasukkan tanaman jenis semak-semak dalam mangrove. Hal ini mengingat mangrove lebih mengarah kepada ‘pohon’ dibandingkan dengan semak-semak walaupun sama-sama mampu beradaptasi dengan kondisi asin. Pada tabel (1.5) secara rinci adalah jenis-jenis spesies yang berasosiasi dengan mangrove yang terdiri atas 60 spesies.
Tabel 1.5. Spesies yang berasosiasi dengan mangrove
Spesies Spesies Family
Genus
Pantai Darat
1 (-2) - Baignoniaceae
2 - Ebenaceae
1 - Flacourtiaceae
2 40 Leguminosae (Caesalpinoideae)
Barringtonia
Cynimetra
2 40 (Papilionoideae)
Caesalpinia
Aganope
Dalbergia
Derris
Inocarpus
Intsia
Mora
1 2 Malvaceae
pongamia
Hibiscus
Pavonia
2 15 Melastomataceae
Thespesia
1 5 Meliaceae
Octhocharis
1 20 Myristicaceae
Amoora
Myristica
Lanjutan tabel 1.4.
Family
Genus
Spesies Spesies Pantai
1 - Sapindaceae
46 60 Sumber: Tomlinson (1995)
1.4 Z ONASI M ANGROVE
1.4.1 Definisi Zonasi Mangrove
Tempat hidup mangrove sangat terkait dengan geomoforlogi tertentu, atau dapat dikatakan berada pada habitat yang telah “ditentukan.” Zonasi ekologis mangrove atau zonasi mangrove in merupakan susunan atau formasi mangrove yang mencirikan spesies-spesies dominan pada setiap kondisi ekologis yang
berbeda dari arah laut ke darat atau sebaliknya (Smith, 1992). Terkait zonasi mangrove itu sendiri, terdapat beberapa keadaan yang membuat zonasi mangrove berbeda. Dengan beberapa hal yang berpengaruh terhadap distribusi mangrove tersebut, pada dasarnya adalah menyangkut dengan kondisi habitat mangrove itu sendiri.
Pola yang terbentuk dari zonasi mangrove ini, dapat dibedakan dari arah laut ke darat atau sebaliknya. Dan pola-pola yang terbentuk akan berbeda di tiap-tiap habitat mangrove. Secara umum (pada gambar 1.9), pada wilayah yang berdekatan dengan laut, zonasi yang terbentuk adalah komunitas Avicennia dan Sonneratia . Keduanya mampu beradaptasi dengan terpaan ombak dan genangan air laut yang lebih intens dan salinitas tinggi. Berikutnya akan diikuti oleh komunitas Rhizophora, biasanya ditemukan berasosiasi dengan komunitas Bruguiera dan Ceriops. Dan pada zona ke arah darat ditandai dengan Pola yang terbentuk dari zonasi mangrove ini, dapat dibedakan dari arah laut ke darat atau sebaliknya. Dan pola-pola yang terbentuk akan berbeda di tiap-tiap habitat mangrove. Secara umum (pada gambar 1.9), pada wilayah yang berdekatan dengan laut, zonasi yang terbentuk adalah komunitas Avicennia dan Sonneratia . Keduanya mampu beradaptasi dengan terpaan ombak dan genangan air laut yang lebih intens dan salinitas tinggi. Berikutnya akan diikuti oleh komunitas Rhizophora, biasanya ditemukan berasosiasi dengan komunitas Bruguiera dan Ceriops. Dan pada zona ke arah darat ditandai dengan
1.4.2 Hal Berpengaruh Terhadap Zonasi Mangrove
1.4.2.1 Penggenangan oleh Air Laut
Mangrove mampu beradaptasi dengan genangan oleh air laut yang memiliki kadar salinitas tinggi. Penggenangan terjadi ketika pasang, dan mangrove akan sedikit tergenang atau tidak tergenang oleh air laut ketika surut. Periode penggenangan oleh air laut berbeda-beda di setiap lokasi habitat mangrove, tergantung pada topografi pantai yang berasosiasi dengan karakteristik pasang surut, debit sungai, hujan, air tanah, dan evapotranspirasi. Genangan air laut yang terjadi mengakibatkan kadar oksigen pada tanah menurun. mangrove beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut dengan sistem akar yang lebih menghujam tanah lebih dalam. Hasilnya, ditemukan hampir biomassa akar mangrove ditemukan pada kedalaman 70 cm di bawah tanah.
Perbedaan lamanya waktu penggenangan dan lokasinya, mempengaruhi zonasi mangrove yang terbentuk. Hal ini pertama kali dipublikasikan oleh Watson (1928) dalam penelitiannya di semenanjung malaya. Secara umum, Watson (1928) telah membagi pola zonasi mangrove yang terjadi dengan beberapa klasifikasi yang sesuai. Pola-pola yang terbentuk dapat dijelaskan dengan klasifikasi berikut (secara rinci pada tabel 1.6).
1. Kelas 1: tergenang pada saat terjadi pasang. Dengan kata lain, spesies pada kelas ini mampu beradaptasi dengan tingkat penggenangan yang tinggi tatkala terjadi pasang air laut. Spesies mangrove yang mampu hidup adalah Rhizophora mucronata, R. stylosa dan R. apiculata. Untuk R. mucronata lebih banyak tumbuh pada areal yang lebih banyak pasokan air tawar; dan R. stylosa dan R. apiculata dapat tumbuh dengan baik pada kondisi salinitas yang tinggi. Untuk beberapa wilayah seperti di Teluk Bintuni, Papua, zona ini didominasi oleh Avicennia. Terutama untuk wilayah-wilayah yang terbentuk daratan baru (akresi), akan melimpah spesies Avicennia (terutama Avicennia marina).
2. Kelas 2: mangrove tergenang pada saat pasang dengan ketinggian medium/sedang. Spesies yang dominan pada zona ini adalah Avicennia alba , A. marina, Sonneratia alba, dan R. mucronata.
3. Kelas 3: mangrove tergenang pada saat pasang normal. Pada zona ini, banyak
terutama mangrove minor/peralihan. Spesies yang dapat tumbuh pada zona ini antara lain dominasi oleh spesies Rhizopora, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Lumnitzera littorea dan Excoecaria agallocha.
spesies yang
mampu
tumbuh,
4. Kelas 4: mangrove tergenang hanya saat pasang tertinggi saja. Spesies mangrove peralihan banyak tumbuh dan mampu beradaptasi. Spesies yang tumbuh umumnya adalah Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera littorea , dan Excoecaria agallocha. Untuk Rhizopora jarang ditemui pada zona ini, mengingat terbatasnya penggenangan air laut yang terjadi.
5. Kelas 5: mangrove tergenang saat terjadi pasang yang sangat tinggi, seringkali dikategorikan sebagai zona abnormal. Pada zona ini didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza, Intsia bijuga, Nypa fruticans , Heritiera littoralis, Excoecaria agallocha.
Tabel 1.6. Kelas penggenang air laut yang disampaikan oleh Watson (1928)
Ketingian dari muka air Frekuensi Genangan terjadi
Kelas laut dalam satuan kaki, (dengan dalam kurung
penggenangan ketika:
bersatuan meter) (kali/bulan)
1 Saat pasang
56 - 62
2 Pasang menengah
3 Pasang normal
4 Pasang tertinggi
15 2 Sumber: Tomlinson (1995)
5 Pasang abnormal
1.4.2.2 Gradien Zonasi Biofisik
Analisis yang sering digunakan untuk menjelaskan tentang ekologi mangrove adalah tentang adaptasi mangrove terhadap komponen lingkungan yang spesifik. Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap pertumbuhan tiap-tiap spesies mangrove. Hal ini dikarenakan tiap-tiap spesies memiliki prasyarat kondisi optimal untuk tumbuh dengan baik. Sehingga pada kondisi lingkungan tertentu, spesies yang paling beradaptasi adalah yang mampu tumbuh dengan baik; dan muncullah zonasi mangrove tersendiri.
Parameter yang paling banyak digunakan adalah nilai salinitas. Ada beberapa mangrove yang tidak dapat hidup sepenuhnya jika terkena air asin, dan ada Parameter yang paling banyak digunakan adalah nilai salinitas. Ada beberapa mangrove yang tidak dapat hidup sepenuhnya jika terkena air asin, dan ada
Gambar 1.8. zonasi mangrove yang terbentuk oleh gradien salinitas di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Sumber: Fawzi (2016).
1.4.2.3 Geomorfologi
Geomorfologi disini dapat dikatakan sebagai lokasi hidup mangrove. Perbedaan lokasi hidup mangrove memberikan pembedaan terhadap zonasi mangrove yang ada. Hal ini dikarenakan mangrove akan merespon perubahan geomorfologi yang terjadi dalam suatu habitat. Faktor geomorfologi yang mempengaruhi adalah suplai sedimen, jenis tanah, akresi, erosi, dan faktor iklim seperti curah hujan. Dari sini kita dapat membagi dua bagian utama pembeda zonasi mangrove, yakni zonasi mangrove pada daerah pantai dan zonasi mangrove pada muara sungai.
Pada zonasi daerah pantai adalah zonasi yang umum terjadi pada mangrove. Yakni pada bagian berbatasan dengan laut didominasi oleh Avicennia, kemudian Rhizophora dan Bruigueira. Setelah itu diikuti dengan mangrove peralihan. Sebagai contoh pada gambar 1.9.
Gambar 1.9. Zonasi mangrove di Pesisir Cilacap, Jawa Tengah. Sumber: Noor, et al.
Untuk zonasi mangrove yang berada pada muara sungai, cukup berbeda dengan di daerah pantai. Hal ini mengingat suplai air tawar dan air laut yang berbeda, akumulasi sedimen yang lebih besar, dan gradien pantai yang lebih landai. Beberapa lokasi hutan mangrove yang cukup besar berada di muara sungai. Hal ini dipengaruhi oleh pasokan sedimen yang cukup besar; mengandung banyak nutrisi untuk hidup kembang mangrove dan subtrat yang sesuai. Pada zona ini biasanya terbentuk delta seabgai habitat mangrove. Sebut saja muara sungai Gangga dan Brahmaputra di India, muara sungai Mahakam yang membentuk Delta Mahakam, muara sungai Mekong di Veitnam. Zonasi yang tebentuk seperti pada gambar 1.9, di mana terdapat gradien salinitas yang mempengaruhi spesies mangrove yang mampu beradaptasi. Pada zonasi ini, jenis mangrove lebih didominasi oleh mangrove peralihan.
1.4.2.4 Persebaran Propagul
Terdapat hipotesis bahwa zonasi mangrove di Panama dikontrol oleh aktivitas pasang surut yang berpengaruh terhadap propagul. Aktvitas pasang surut yang terjadi telah menyortir propagul mangrove berdasarkan ukuran propagul tersebut. Penyebaran propagul Avicennia germinans dan L. recemosa terbatas pada lokasi pasang tertinggi, karena ukuran propagule yang kecil dan pasang tertinggi mampu membawanya jauh ke arah darat. Sedangkan ukuran propagul yang lebih besar, seperti yang dimiliki Rhizophora mangle dan P. rhizophorea, Terdapat hipotesis bahwa zonasi mangrove di Panama dikontrol oleh aktivitas pasang surut yang berpengaruh terhadap propagul. Aktvitas pasang surut yang terjadi telah menyortir propagul mangrove berdasarkan ukuran propagul tersebut. Penyebaran propagul Avicennia germinans dan L. recemosa terbatas pada lokasi pasang tertinggi, karena ukuran propagule yang kecil dan pasang tertinggi mampu membawanya jauh ke arah darat. Sedangkan ukuran propagul yang lebih besar, seperti yang dimiliki Rhizophora mangle dan P. rhizophorea,
Gambar 1.10. Zonasi yang berbeda, di mana Avicennia berada pada lokasi ke arah daratan. hipotesis persebaran propagul inilah yang mampu menjelaskan. Sumber: Smith (1992)
1.4.2.5 Kompetisi Spesies
Bagaimana jika dua spesies mangrove mampu beradaptasi dalam kondisi biofisik yang sama? Apakah kedua spesies tersebut dapat tumbuh bersama atau hanya satu spesies yang dapat hidup. Jika sortir propagul yang terjadi membawanya ke “zona pertumbuhan yang salah,” maka apakah propagul tersebut mampu hidup berkompetisi dengan spesies yang telah ada di zona tersebut. Dalam penjelasan oleh Smith (1992), Ball (1980) melakukan penelitian tentang kolonisasi Rhizophora mangle dan Laguncularia racemose di Florida Selatan. Berdasar pada foto udara yang ada menunjukkan pada koloni mangrove di wilayah tersebut, Laguncularia telah digantikan oleh Rhizophora. Dutrieux, et al. (2014) yang melakukan penelitian di Delta Mahakam, mendapatkan bahwa suksesi yang terjadi di delta akibat konversi menjadi tambak, telah merubah zonasi yang ada. Maksudnya, spesies yang tumbuh akan berbeda dari spesies awalnya. Atau dengan contoh, pada banyak tempat di Delta Mahakam, Nypa telah digantikan oleh Avicennia atau spesies lain.
1.4.2.6 Predasi Propagul
Watson (1928) mengatakan bahwa “musuh utama mangrove adalah kepiting.” Hal ini bukan tidak mendasar, karena kepiting adalah konsumen yang memakan propagul atau bibit mangrove. Akibatnya tentu saja persebaran mangrove akan terganggu. Jika propagule telah dimakan oleh kepiting, maka potensi untuk hidup akan kecil. Terdapat hubungan antara spesies dominan terhadap jumlah propagule yang dimakan oleh kepiting. Smith (1992) menjelaskan tentang eksperimen yang dilakukan di pantai timur laut Queensland, Australia. Pada pantai tersebut, zonasi yang ada menunjukkan tidak adanya A. marina. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan memagari bibit Avicennia marina yang ditanam. Hasilnya spesies A. marina mampu hidup dan tumbuh. Dengan Watson (1928) mengatakan bahwa “musuh utama mangrove adalah kepiting.” Hal ini bukan tidak mendasar, karena kepiting adalah konsumen yang memakan propagul atau bibit mangrove. Akibatnya tentu saja persebaran mangrove akan terganggu. Jika propagule telah dimakan oleh kepiting, maka potensi untuk hidup akan kecil. Terdapat hubungan antara spesies dominan terhadap jumlah propagule yang dimakan oleh kepiting. Smith (1992) menjelaskan tentang eksperimen yang dilakukan di pantai timur laut Queensland, Australia. Pada pantai tersebut, zonasi yang ada menunjukkan tidak adanya A. marina. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan memagari bibit Avicennia marina yang ditanam. Hasilnya spesies A. marina mampu hidup dan tumbuh. Dengan
1.5 M ANFAAT DAN A NCAMAN
1.5.1 Manfaat Keberadaan Mangrove
Ekosistem mangrove tidak serta merta hanya hidup dan sebagai habitat makhluk hidup lainnya. Terdapat banyak peran dari kehadiran ekosistem mangrove, terutama sebagai penghalang dari dinamika laut yang seringkali terdapat erosi pantai. Kemampuan melindungi garis pantai ini secara luas juga melindungi dari bencana alam, seperti badai, tornado, dan tsunami. Secara umum, berikut adalah peran ekosistem mangrove bagi kelangsungan hidup manusia dan ekologi.
Melindungi pantai dari erosi dan abrasi pantai. Melindungi pemukiman penduduk dari terpaan badai dan angin dari
laut. Mencegah intrusi air laut. Tempat hidup dan berkembang biak berbagai satwa liar seperti ikan,
udang, kepiting, burung, monyet, dsb. Menghasilkan bahan-bahan alami yang bernilai ekonomis seperti kayu untuk bahan bangunan, bahan perahu dan kayu bakar. Memiliki potensi edukasi dan wisata. Mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dari udara, dan lain-
lain. Dari peran itu semua, terdapat peran ekonomi yang sering dilupakan.
perhitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove adalah sebesar US $9.900/ha (Constanza, et al., 1997). Untuk total keseluruhan nilai ekonomi ekosistem di Bumi, nilai estimasi (sebagian besar tidak terdapat di pasar) berkisar antara US
$ 16-54 triliun (10 12 ) per tahun.
1.5.2 Ancaman Terhadap Ekosistem Mangrove
Telah disebutkan bawah konversi hutan mangrove adalah berubah untuk pertanian (81%), tambak (12%), dan menjadi wilayah perkotaan (2%). Itulah persentasi konversi mangrove secara global. Untuk wilayah Indonesia ancaman terbesar terhadap ekosistem mangrove adalah konversi menjadi tambak. Pada intinya budidaya tambak sangat tepat dilakukan pada wilayah dengan kondisi air payau. Lokasi-lokasi tersebut umumnya berada di muara sungai atau didekatnya, yang menjadi habitat mangrove. Permintaan komoditas tambak seperti udang dan ikan bandeng, membuat usaha konversi menjadi tambak meningkat pesar. Sebagai contoh konversi hutan mangrove manjadi tambak di Delta Mahakam (Bosma, et al., 2012; Dutrieux, et al., 2014; Samad, et al., 2013;