Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Menengah

2.3.1 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Menengah

Citra penginderaan jauh resolusi menengah merupakan citra penginderaan jauh yang paling banyak digunakan dalam pemetaan mangrove. Ini mengingat ketersediaan data lebih dari 4 dekade dan mencakup skala regional, terlebih lagi mudah didapat dan gratis. Berbeda dengan ketika menggunakan citra penginderaan jauh resolusi tinggi yang membutuhkan biaya untuk membeli citra dan terbatasnya data untuk analisis multitemporal. Hal tersebut karena citra resolusi tinggi baru tersedia secara luas mulai awal tahun 2000an.

Beragam sensor digunakan dalam pemetaan mangrove menggunakan penginderaan jauh (Green, et al., 1998; Kuenzer, et al., 2011). Citra satelit resolusi menengah seperti seri satelit Landsat dan SPOT adalah yang paling sering digunakan. penggunaan sensor ASTER juga telah banyak digunakan. aplikasi yang secara luas dihasilkan adalah untuk analisis multitemporal yang melibatkan dua atau lebih waktu perekaman citra. Hal ini mendukung upaya monitoring ekosistem mangrove secara kontinu.

Permasalahan yang muncul adalah dengan informasi yang dapat diperoleh dengan menggunakan citra penginderaan jauh resolusi menengah ini. Informasi mangrove tersebut dapat berupa informasi mangrove dan non-mangrove, kerapatannya, hingga pada habitat tertentu dapat memperoleh informasi tentang zonasi ekologisnya. Kuenzer, et al., (2011) menyatakan untuk metode pemetaan yang digunakan, paling banyak menggunakan pemetaan otomatis berbasis piksel, baik klasifikasi supervised maupun unsupervised. Kemudian pemetaan menggunakan interpretasi visual, indeks vegetasi seperti NDVI, dan klasifikasi berbasis ANN.

2.3.1.1 Pemetaan Mangrove Secara Umum Menggunakan Citra Resolusi Menengah

Tantangan dalam pemetaan mangrove menggunakan citra resolusi menengah adalah informasi mangrove yang dihasilkan. Semakin meningkatnya teknologi pemetaan, informasi yang diperoleh tidak lagi informasi mangrove dan non- mangrove. Akan tetapi, dengan upaya pembedaan spektral yang lebih baik, informasi pemetaan semakin meningkat hingga ke zonasi ekologis mangrove/komonitas mangrove. Zonasi ekologis mangrove atau zonasi mangrove in merupakan susunan atau formasi mangrove yang mencirikan spesies-spesies dominan pada setiap kondisi ekologis yang berbeda dari arah laut ke darat atau sebaliknya (Smith, 1992).

Terkait masalah pemetaan, Myint, et al. (2008) menerangkan tentang hubungan yang cukup baik antara penggunaan citra Landsat TM dengan zonasi mangrove. Dengan klasifikasi berbasis piksel menghasilkan akurasi sebesar 62,8%, lebih rendah jika menggunakan klasifikasi berbasi objek yang menhasilkan akurasi sebesar 94,2%. Dari Myint, et al. (2008), kita juga dapat mengetahui kemampuan citra Landsat untuk pemetaan zonasi mangrove. Hal yang sama dilakukan oleh Giri, et al. (2014) yang juga menggunakan citra Landsat TM dan ETM + untuk memetakan zonasi mangrove di kawasan lindung mangrove Sundarban, India. Data citra satelit yang digunakan dari tahun 1999 – 2010. Giri, et al. (2014) mendapatkan lima kelas utama dalam zonasi mangrove, yaitu Avicennia sp., Excoecaria spp., Phoenix spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., dan kelas campuran. Untuk akurasi, pada tahun 1999 memiliki akurasi 80% dan untuk tahun 2010 memiliki akurasi 85,71%. Pemetaan zonasi mangrove menggunakan citra Landsat, dapat menghasilkan akurasi >90%. Seperti yang dilakukan oleh Jia, et al. (2013) yang memetakan mengrove di pesisir Tiongkok, yang menghasilkan akurasi pemetaan mencapai 92,6%.

Penggunaan citra Landsat TM dan foto udara dalam pemetaan mangrove, dilakukan oleh Sulong, et al. (2002). Sulong, et al. (2002) melakukan penelitian mangrove di Trengganu, Malaysia. Dengan menggunakan foto udara, didapatkan kelas klasifikasi zonasi mangrove mencapai 14 kelas dengan akurasi 91,2%. Sedangkan dengan citra Landsat TM mempu menghasilkan 7 kelas dengan akurasi 87,8%. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut, dapat dikatakan bahwa pemetaan zonasi mangrove menggunakan citra Landsat dapat dilakukan dengan akurat dari segi nilai akurasi yang dihasilkan.

Keberhasilan pemetaan mangrove hingga informasi zonasi mangrove – selain informasi tentang kerapatan, telah dijelaskan oleh Green, et al., (1998). Berbagai macam metode yang digunakan, mulai interpretasi visual, indeks vegetasi, dan klasifikasi multispektral, telah menghasilkan dua hingga tujuh kelas klasifikasi mangrove. Walaupun demikian, masih terdapat faktor pembatas di sini, adalah dilakukan atau tidak upaya validasi melalui survei lapangan. Secara lebih detail, Kuenzer, et al., (2011) menginventarisasi informasi pemetaan yang dihasilkan pada level regional menggunakan citra resolusi menengah:

 mangrove dan non-mangrove,  kerapatan mangrove,  status kerusakan mangrove, dan  komunitas spesies mangrove yang dominan dalam suatu habitat

mangrove. Lebih lanjut, seperti yang dikatakan oleh Dutrieux, et al. (2014), penginderaan

jauh adalah opsi terbaik, namun masih tetap membutuhkan validasi yang jauh adalah opsi terbaik, namun masih tetap membutuhkan validasi yang

Sebagai contoh, untuk mangrove di kawasan pantai utara pulau Jawa seringkali hanya hidup di garis pantai dengan lebar <100 meter. Sehingga perlu penyesuaian penggunaan resolusi citra yang sesuai dan informasi mangrove yang dihasilkan jika dilakukan pemetaan. Berbeda hal jika pemetaan dilakukan pada habitat mangrove yang luas, seperti di Delta Mahakam. Ekosistem mangrove yang ada cukup luas untuk dapat dideteksi dengan satelit Landsat. Karena ekosistem mangrove yang luas ini, perbedaan spektral komonitas mangrove atas setiap zonasi mangrove dapat dikenali melali rona/warna. Hal tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam deliniasi zonasi mangrove yang ada di delta. Terlebih lagi, komunitas mangrove yang membentuk suatu zonasi mangrove di Delta Mahakam hampir sepenuhnya homogen. Sehingga hasil deliniasi interpretasi visual memiliki nilai akurasi yang cukup tinggi.

2.3.1.2 Monitoring Konversi Mangrove menjadi Tambak

Fawzi (2016) melakukan pemetaan untuk monitoring hutan mangrove secara multitemporal di Delta Mahakam. Delta Mahakam berada di pantai timur Provinsi Kalimantan Timur, atau berlokasi antara koordinat 0 19'39" hingga

0 53'42" lintang selatan dan 11717'13" to 11737'47" bujur timur. Delta Mahakam terbentuk di muara Sungai Mahakam, yang berbatasan langsung dengan selat Makassar. Delta Mahakam memiliki luas sekitar 1.500 km 2 , yang tertutup vegetasi mangrove pada awal tahun 1990an (Dutrieux, 1991).

Monitoring yang dilakukan, terutama akibat konversi hutan mangrove menjadi tambak. Terutama untuk hutan mangrove pada daerah tropis, secara intensif telah dikonversi menjadi tambak untuk budidaya udang (Lee, 1999). Secara luas konversi mangrove menjadi tambak hampir terjadi pada kawasan-kawasan delta atau kawasan yang sesuai untuk pembudidayaan menggunakan tambak. Sebagai contoh di kawasan Delta Mahakam. Konversi hutan mangrove untuk pengembangan tambak udang terjadi di Delta Mahakam dan menjadi penyebab utama deforestasi pada kawasan delta (Bosma, et al., 2012; Dutrieux, et al., 2014; Samad, et al., 2013; Biswas, et al., 2009). Aktivitas tersebut dimulai sejak tahun 1990, yang menyebabkan 5% dari hutan mangrove di Delta Mahakam terkonversi menjadi tambak (Dutrieux, 2001; Dutrieux, et al., 2014). Pada tahun

2000, hutan mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang mencapai 47%, dan meningkat hingga 75% pada tahun 2010 (van Zwieten, et al., 2006; Rahman, et al., 2013). Rahman, et al. (2013) menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam mencapai 21.000 ± 152 ha selama rentang tahun 2000 hingga 2010.

Di sini, terdapat hubungan yang signifikan terhadap pembangunan tambak untuk budidaya udang dengan fragmentasi hutan mangrove. Seto & Fragkias (2007) meneliti pembangunan tambak di hutan lindung Xuan Thuy dan Tien Hai Vietnam, kawasan mangrove yang telah dilindungi secara hukum (atau secara global disebut dengan Ramsar). Data yang digunakan adalah citra Landsat TM untuk mendapatkan data mangrove secara spasial dan multitemporal. Hasilnya terjadi fragmentasi akibat pembangunan tambak, walaupun kawasan mangrove tersebut telah dilindungi. Li, et al. (2013) juga melakukan hal serupa di pantai Tiongkok. Dengan data citra Landsat dari tahun 1997-2010, dihasilkan perubahan tutupan mangrove akibat pembangunan tambak yang mengakibatkan fragmentasi mangrove. Akan tetapi, Li, et al. (2013) menjelaskan karena terdapat upaya untuk memperbaiki ekosistem, tutupan mangrove kembali bertambah di tahun 2010. Li, et al. (2013) juga menambahkan, perlu upaya yang serius untuk mengkonservasi tutupan mangrove, terkait perencanaan dan pengelolaannya.

Data penginderaan jauh yang digunakan adalah citra satelit Landsat multitemporal. Path/row citra yang digunakan berada pada path/row 116/60 dan 116/61. Data tersebut diinterpretasi secara visual untuk mendapatkan zonasi mangrove di Delta Mahakam. Data tersebut tidak merepresentasikan urutan tahun secara aritmetik atau bulan yang sama. Hal ini mengingat terbatasnya citra yang bebas awan. Data satelit Landsat yang digunakan diunduh pada situs resmi USGS (Badan Survei Geologi Amerika Serikat). Resolusi spasial untuk citra Landsat TM maupun Landsat OLI yang digunakan adalah 30 meter. Semua data penginderaan jauh telah terkoreksi geometrik level 1T dengan proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) zona 50 M dengan datum WGS 1984. Di sini, karena wilayah penelitian mencakup dua citra satelit yang berbeda path/row , maka sebelum dilakukan pengolahan data terlebih dahulu dilakukan penggabungan citra atau mozaik citra.

Tabel 2.5. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian.

Keterangan Satelit

(terkait pemilihan tahun pengamatan)

Tahun acuan untuk representasi hutan

17 Januari

mangrove yang masih utuh di Delta Mahakam.

Terjadinya

krisis ekonomi di

Indonesia dan menjadi titik acuan Landsat TM

3 Agustus

peningkatan pembangunan tambak. Era titik puncak pembangunan dan

31 Maret

peningkatan produksi tambak (Bosma, et al., 2012).

17 Juni

20 tahun setelah tahuan acuan pengamatan.

Kondisi Delta Mahakam saat ini dan Landsat OLI

1 Mei

untuk mengetahui perubahan yang terjadi.

Interpretasi dilakukan pada citra Landsat TM tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan citra Landsat 8 tahun 2015 untuk menghasilkan zonasi mangrove tiap-tiap tahun tersebut. Dasar interpretasi adalah perbedaan rona/warna pada citra dan perbedaan tekstur. Interpretasi visual yang dilakukan menghasilkan 8 kelas klasifikasi zonasi, yakni dengan membedakan tubuh air dan daratan, formasi Avicennia spp. (Avicennia L. 1753) yang dalam hal ini berasosiasi dengan formasi Rhizophora spp. (Rhizophora L. 1753) dan Acrostichum aureum Linnaeus 1753, formasi Nypa fruticans (Thunb.) Wurb. 1781, gabungan spesies Heriteira littoralis Dryan. in Aiton 1789 dan Oncosperma tigillarium (jack) Ridl. 1900 sebagai zona transisi hutan mangrove, hutan hujan tropis, dan kawasan tambak dan lahan terbuka.

Tiap-tiap spesies mangrove membentuk suatu formasi mangrove yang dipengaruhi oleh kondisi salinitas. Kondisi salinitas ini yang mempengaruhi formasi mangrove yang terbentuk pada zonasi mangrove yang dihasilkan. Pada zonasi Avicennia spp. merupakan formasi mangrove yang berbatasan dengan

laut secara langsung. Nilai salinitas bervariasi antara 20 o / oo – 35 o / oo . Pada zonasi Avicennia spp. ini didominasi oleh genus Avicennia yang terdiri atas Avicennia officinalis , A. alba, A. lanata, dan A. marina. Karena didominasi oleh Avicennia, maka terdapat spesies lain yang berada di zonasi ini dan mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas tinggi. Spesies tersebut termasuk dalam genus Sonneratia (zona pedada) dan Rhizophora (zona bakau). Untuk genus

Sonneratia terdiri atas 3 spesies, yakni: Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba dan Sonneratia ovata. Sedangkan untuk genus Rhizophora terdiri atas 2 spesies, yakni Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata. Zonasi berikutnya adalah formasi mangrove yang dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi,

dengan variasi nilai salinitas yang mencapai 5 o / oo – 25 o / oo . Zonasi ini didominasi oleh formasi Nypa fruticans. Berikutnya formasi Nypa mulai tergantikan pada nilai salinitas 5 - 6 o /oo pada kondisi air pasang. Zonasi berikutnya adalah zona transisi antara tumbuhan mangrove dan tumbuhan air tawar. Zona transisi ini berada pada salinitas dengan kondisi asin saat pasang saja (0 – 10 o / oo ). Zona transisi ini didominasi oleh tumbuhan Heriteira littoralis dan pohon kelapa Oncosperma tigillarium yang biasa disebut dengan pohon nibung. Kemudian pada zonasi berikutnya adalah zona hutan hujan tropis yang berasosiasi dengan kondisi air yang tawar. Pada analisis distribusi ini, sebenarnya terdapat pemukiman, lebih tepatnya perkampungan di Delta Mahakam.

Tabel 2.6. Perubahan luas zonasi mangrove di Delta Mahakam. Tahun dan luas perubahan mangrove (ha)

Zonasi Mangrove

Avicennia spp.

6.022,98 5.960,57 8.082,84 Nypa fruticans

20.296,94

14.921,23

27.713,51 28.859,13 33.276,21 Heriteira littoralis d an

77.368,09

66.492,03

9.776,23 9.776,51 8.462,52 Hutan hujan tropis

Oncosperma tigillarium

58.848,47 61.575,74 53.861,57 Lahan terbuka

1.848,44

13.988,37

5.680,97 1.745,57 4.136,58 Total

323,44

3.225,83

109.956,38

109.934,60

109.558,30 109.433,67 109.335,85

Gambar 2.11. Peta zonasi mangrove di Delta Mahakam untuk tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan 2015. Ditampilkan pula legenda peta.

Grafik perubahan luas mangrove

Avecennia Nypa Heriteira Hutan hujan Tambak Lahan spp.

fruticans littoralis dan

tropis

terbuka

Oncosperma tigillarium

Gambar 2.12. Grafik perubahan luas mangrove yang terjadi di Delta Mahakam dalam satuan hektare. Terlihat terjadi peningkatan luas tambak pada rentang tahun 1997 – 2004, disertai turunnya luasan hutan mangrove, terutama Nypa fruticans.

Dari hasil perhitungan, didapatkan luas Delta Mahakam mencapai 110.000 hektare atau 1.100 km 2 . Terjadi variasi perubahan hutan mangrove menjadi tambak pada rentang tahun 1989 hingga tahun 2015. Pada rentang tahun 1989 – 1997, telah terjadi perubahan hutan mangrove menjadi tambak dan lahan terbuka seluas 15.042,3 ha atau 15,65%. Selama 8 tahun pengamatan tersebut, pembuatan tambak dilakukan secara perlahan dan berada pada bagian formasi Avicennia dan sedikit pada Nypa.

Perubahan mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998. Selain akibat permintaan pasar yang besar terhadap komoditas udang yang meningkat dan mudahnya pembukaan lahan, melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga menjadi faktor penyebab utama. Di mana keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh jika dilakukan ekspor udang keluar negeri. Selama rentang pengamatan tahun 1997

– 2004, telah terjadi perubahan lahan mangrove menjadi tambak atau peningkatan total luas tambak mencapai 44.860,10 ha atau sekitar 40% dari area

delta terkonversi hampir hanya selama 7 tahun. Akibatnya sekitar 64.529,4 ha atau 58,89% area delta telah terkonversi menjadi tambak pada tahun 2004. Perubahan menjadi tambak tersebut sebagian besar terjadi di formasi Nypa. Pengaruh salinitas yang sesuai untuk budidaya udang pada formasi Nypa,

menjadi faktor penentu konversi menjadi tambak. Sehingga tidak ditemui konversi menjadi tambak pada zona transisi hutan mangrove, karena kondisi hidrologi didominasi oleh air tawar. Selain itu, pembukaan tambak pada formasi Nypa lebih kepada efisiensi, yakni mudah untuk ditebang sehingga lebih murah untuk membuat tambak (Bosma, et al., 2012).

Tren pembukaan tambak sedikit meningkat hingga tahun 2009, bahkan terkesan relatif tidak berubah. Selama rentang tahun 2004 - 2009, pembukaan hutan mangrove menjadi tambak hanya 2.727,27 ha. Jumlah ini adalah lahan terbuka yang dipersiapkan untuk menjadi tambak. Tren berikutnya terjadi penurunan luasan tambak di Delta Mahakam akibat turunnya produktivitas tambak ataupun tidak efisien lagi melakukan budidaya tambak di delta. Akibatnya terjadi penurunan jumlah tambak yang mencapai 7.714,17 ha atau 7% selama rentang tahun 2009 - 2015.

Penurunan luas tambak ini berimplikasi pada peningkatan jumlah mangrove yang ada di Delta Mahakam. Penambahan jumlah mangrove ini akibat penanaman yang dilakukan, maupun akibat suksesi sekunder yang terjadi. Hal lain yang menjadi perhatian bahwa akibat perubahan faktor biofisik delta akibat pembangunan tambak, mangrove yang tumbuh kembali dapat berbeda dengan kondisi awalnya. Terutama karena penanaman mangrove ataupun ketersediaan bibit yang ada dalam proses suksesi yang terjadi. Selama rentang tahun 2009 – 2015 yang terjadi penurunan luasan tambak dan peningkatan lahan terbuka, terjadi pula peningkatan luasan mangrove. Pada formasi Nypa, terjadi penambahan seluas 4.417,08 ha, dan pada formasi Avicennia, terjadi penambahan luas sebesar 2.122,27 ha.

Evaluasi mangrove menjadi penting mengingat tekanan kebutuhan manusia dari segi ekonomi. Pada sisi lain dalam pemetaannya, kendala resolusi yang cukup kasar pada citra yang digunakan dapat diselesaikan dengan validasi lapangan dan uji akurasi. Dalam pemetaan ini, melalui uji akurasi menggunakan metode confussion matrix , didapatkan nilai akurasi pemetaan zonasi mangrove untuk tahun 2015 adalah sebesar 94,1%. Nilai ini menandakan bahwa 94,1% informasi pada peta adalah benar dan diatas dianggap baik karena berada pada nilai diatas 85% (Anderson, et al., 1976).

2.3.1.3 Monitoring Hutan Mangrove Produksi

Variasi perubahan hutan mangrove tidak hanya terkonversi menjadi tambak dan lahan pertanian, tapi terdapat pula hutan mangrove yang dikhususkan untuk produksi kayu. Salah satu habitat mangrove untuk produksi kayu yang telah lama dikembangkan adalah Hutan Mangrove Matang. Hutang Mangrove Matang berada pada semenanjung Malaya bagian barat, dengan koordinat 4,1 o

lintang utara hingga 5 o lintang utara dan 110,2 o bujur timur hingga 100,45 o bujur timur. Secara administrasi berada pada distrik Larut Matang dan Krian, Negara Bagian Perak. Hutan mangrove Matang adalah cagar alam dengan manajemen yang sistematis sejak awal 1904 dan, telah diakui sebagai hutan mangrove dikelola terbaik di Malaysia dan juga di antara dunia. Hal ini dibagi menjadi empat sub-bidang dari utara ke selatan, yang terdiri dari utara Kuala Sepetang, selatan Kuala Sepetang, Kuala Trong dan Kuala Kerang.

Gambar 2.13. Peta lokasi penelitian di hutan mangrove Matang, Malaysia.

Ibrahim, et al. (2015) menggunakan data penginderaan jauh yang digunakan yakni citra Landsat TM tahun 1993, Landsat ETM tahun 1999, dan citra RapidEye tahun 2011. Dari data tersebut, metode klasifikasi mangrove yang digunakan yakni menggunakan klasifikasi unsupervised dengan metode ISODATA. Hasil klasifikasi tersebut digunakan sebagai dasar uji lapangan untuk validasi dan data uji akurasi. Dari data lapangan tersebut, peta akhir kemudian diklasifikasi kembali dengan metode klasifikasi supervised dengan informasi dari hasil survei. Hasilnya kemudian dilakukan uji akurasi. Untuk

membantu dalam klasifikasi, dilakukan pula transformasi band menggunakan NDVI. Untuk perubahan, digunakan metode subtraksi antar tahun pengamatan.

Klasifikasi supervised dari citra Landsat TM tahun 1993, Landsat ETM + tahun 1999 dan RapidEye tahun 2011 menghasilkan 12 kelas penggunaan dan tutupan lahan. Kelas penggunaan dan tutupan lahan terbagi atas dua jenis, yakni 5 kelas penggunaan lahan dan 7 kelas tutupan lahan. Untuk kelas penggunaan lahan terdiri dari perkebunan kelapa sawit, pertanian, tambak, sawah, dan perkotaan. Sedangkan untuk kelas tutupan lahan terdiri dari tubuh air, hutan hujan tropis, dan spesies mangrove: Rhizopora apiculata (RA), Rhizophora mucronata (RM), Avicennia – Sonneratia (AS), Bruguiera parviflora (BP), dan Bruguiera cylincrica (BC). Untuk akurasi pemetaan, masing-masing tahun 1993, 1999, dan 2011 adalah 85,7%, 90%, dan 88,9%.

Tabel 2.7. Statistik hasil pemetaan hutan mangrove tahun 1993, 1999, dan 2011

2011 Kelas Mangrove

R. apiculata 16.613,5 56,7 20.587 57,3 18.903 60,8 R. mucronata

23,2 6.963,1 22,4 Avicennia – Sonneratia

B. parviflora

B. cylindrica

Analisis pada tahun 1993, menghasilkan estimasi luas hutan mangrove sebesar 19.285,5 ha, dimana luas R. apiculata dan R. mucronata masing-masing adalah 16,613,5 ha dan 7.479,2 ha; atau seluas 82,2% dari total mangrove. Dan untuk luas B. parviflora dan B. cylindrica masing-masing adalah 145,4 ha dan 473,3

ha. Sedangkan pada tahun 1999, terjadi peningkatan luas mangrove, dengan total luas hutan mangrove mencapai 35.936,5 ha. Luas tersebut terdiri dari R. Apiculata, R. mucronata, Avicennia – Sonneratia, dan B. Cylincrica masing- masing adalah 10,587 ha, 8.339,9 ha, 3.642,5 ha dan 2.722,9 ha. Pada tahun 2011, analisis menggunakan citra RapidEye dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, menghasilkan luas total sebesar 31,067,7 ha. Luas mangrove terbesar adalah R. apiculata seluas 18.903 ha.

Gambar 2.14. Distribusi spesies mangrove di hutan mangrove Matang untuk tahun 1993, 1999, dan 2011. terdapat 5 kelas mangrove, yakni: Rhizophora apiculata, R. mucronata, Avicennia - Sonneratia, Brugueira parviflora, dan B. cylindrica. Sumber: Ibrahim, et al. (2015)

Dari hasil pemetaan tersebut, kita dapat mengamati zonasi mangrove yang terbentuk. Avicennia dan Sonneratia menempati habitat yang berbatasan dengan laut. Semakin kearah darat, mulai tergantikan oleh spesies Bruguiera dan Rhizophora . Menjadi garis bawah disini, zonasi Avicennia dan Sonneratia tidak berubah selama 18 tahun pengamatan. Berbeda halnya dengan zonasi Brugueira dan Rhizophora, mengalami perubahan yang dinamis, mengingat fungsi hutan mangrove Matang adalah sebagai hutan produksi penghasil kayu.

Pada penelitian ini, Ibrahim, et al. (2015) telah mampu memetakan mangrove hingga informasi spesies dengan menggunakan citra penginderaan jauh resolusi menengah. Akurasi pemetaannya pun cukup baik, semua berada >85%. Untuk perubahan mangrove yang terjadi, selama 18 tahun pengamatan, mangrove telah berubah seluas 8.017,3 ha, dimana 2.998 ha mangrove adalah hasil penanaman kembali. Selain itu, perubahan terjadi akibat erosi menjadi tubuh air seluas 2.490,6 ha (31,1%), menjadi hutan hujan tropis seluas 2.456,6 ha (30,6%), perkebunan kelapa sawit seluas 1.518,6 ha (18,9%), menjadi tambak seluas 890,

7 ha (11,1%), menjadi sawah seluas 391,1 (4,9%), perkebunan seluas 245,6 ha (3,1%), dan menjadi area perkotaan seluas 24,1 ha (0,3%). Dari sini telah terbukti pula bahwa pemetaan menggunakan penginderaan jauh telah mampu memberi informasi monitoring perubahan mangrove secara akurat.

Terkait dengan metode pemetaan, menjadi pertanyaan bagaimana bisa terjadi akurasi citra Landsat dengan resolusi 30 meter lebih tinggi dari akurasi citra RapidEye yang memiliki resolusi 5 meter. Sebenarnya, dalam pemetaan yang dilakukan ini adalah pemetaan komunitas mangrove yang membentuk suatu formasi. Tiap-tiap spesies memiliki pantulan spektral yang berbeda. Pada skala yang lebih kasar, dalam hal ini adalah Landsat, terjadi homogenitas piksel yang mempu membedakan antar spesies dengan cukup baik. Seperti pada gambar (2.15), diskriminasi warna antar komunitas spesie mangrove terjadi cukup baik. Sehingga klasifikasi akhir memiliki akurasi yang cukup baik, walaupun penggunaan citra Landsat dan pemetaan mangrove sampai pada informasi spesies. Ini berkaitan pula seperti pada penelitian Fawzi (2016), yang menentukan adalah luas wilayah pemetaan. Pada lokasi habitat mangrove yang luas lebih kecil, hal ini tentu tidak dapat dilakukan oleh citra Landsat, dan memungkinkan dilakukan pemetaan lebih baik menggunakan citra RapidEye dengan resolusi spasial yang lebih besar.

Gambar 2.15. citra yang digunakan untuk pemetaan mangrove. Terlihat bahwa diskriminasi komunitas spesies mangrove dapat dibedakan pada citra yang membentuk homogenitas tertentu. Sumber citra: NASA Earth Observatory (2006).