K EHUTANAN – S ILVIKULTUR
3.4 K EHUTANAN – S ILVIKULTUR
Salah satu kegunaan hutan mangrove adalah sumberdaya kayunya. Seringkali sumberdaya ini diperoleh dengan secara liar dan tanpa dikelola. Sehingga terjadi deforestasi hutan dan kerusakan ekosistem mangrove. Dalam hal ini, sumberdaya kayu dari hutan mangrove telah manjadi komoditas, tidak hanya kayu pada hutan hujan tropis. Sehingga banyak upaya pengelolaan pemanfaatan hasil kayu hutan mangrove untuk produksi berkelanjutan.
Ini adalah salah satu fungsi sosial-ekonomi dari mangrove. Agar dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lama atau berkelanjutan, maka perlu suatu pengelolaan sesuai yang tetap menjaga ekosistem mangrove itu sendiri. Salah satu tujuan dalam pengelolaan mangrove yang dimanfaatkan untuk produksi kayu adalah sebagai berikut.
Menjaga keberlanjutan tersedianya produk kayu; Menjamin regenerasi mangrove yang menjadi sumber produksi kayu
melalui metode yang sesuai;
Mengkonservasi dan melindungi fungsi dari hutan mangrove, terutama pada tanggul sungai, esturari, dan lahan marjinal lainnya.
Untuk itu, informasi yang harus diperoleh adalah informasi tentang komposisi mangrove dan lokasinya, volume mangrove, laju pertumbuhan, dan status regenarisasi (FAO, 1994). Dalam perolehan informasi ini, hal yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah hutan mangrove produksi dan yang bukan. Dengan kata lain, pengelolaan mangrove ditekankan pada hutan mangrove produksi, sedangkan hutan mangrove bukan produksi adalah untuk dilindungi.
Bagaimana dengan informasi mangrove yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh dalam bidang kehutanan ini? Beberapa informasi yang terkait dengan kehutanan untuk produksi kayu, terlebih dalam hal ini adalah mangrove; beberapa informasi dapat diperoleh dari penginderaan jauh. Tentunya dengan kombinasi validasi dari survei lapangan yang harus dilakukan. Informasi- informasi tersebut dapat berupa ketinggian pohon mangrove, kepadatan pohon, dan estimasi volume. Kepadatan mangrove mencirikan berapa banyak mangrove yang terdapat dalam satu area. Dengan menghitung banyaknya jumlah pohon dalam satu area tertentu, maka kita dapat menentukan kepadatan mangrove. Informasi ini mampu menentukan besaran volume mangrove yang tersedia. Tentunya untuk mendapatkan informasi ini diperlukan citra penginderaan jauh dengan resolusi yang sangat tinggi. Untuk estimasi volume, yang dimaksud adalah volume dengan mempertimbangkan diameter pohon, tinggi pohon, dan kepadatannya. Seringkali volume mangrove dikaitkan dengan biomassa dan stok karbon.
Untuk jenis pengelolaan pada hutan produksi adalah dengan menggunakan sistem silvikultur. Secara artikata, silvikultur merupakan sebuah proses untuk membangun, mengembangkan, reproduksi, dan konservasi dari hutan. Silvikultur berfokus pada perawatan keberadaan mangrove pada hutan untuk menjamin produktivitas. Dengan kata lain, untuk menjaga produktivitas tersebut, perlu dilakukan rotasi penanaman dan penebangan. Antara penanaman kembali dan penebangan membutuhkan perhitungan yang sesuai. Pada hutan mangrove Matang, sistem rotasi yang diberlakukan adalah selama 30 tahun.
Menurut permen kehutanan nomor 309/Kpts-II/1999, terdapat 4 jenis metode silvikultur yang dapat dilakukan. Metode tersebut adalah:
1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan kegiatan permudaan hutan.
2. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) adalah sistem silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan buatan.
3. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) adalah sistem silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam.
4. Tebang Pilih Tanam dalam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm diikuti permudaan buatan dalam jalur.
Untuk jangka waktu rotasi antara penebangan dan penanaman atau siklus dalam tebangan pohon dalam pengelolaan mangrove adalah 20 tahun untuk tujuan menghasilkan bahan baku serpih, dan 30 tahun untuk tujuan menghasilkan kayu arang, untuk pemanenan kayu diameter 10 cm keatas.