Tahapan Dasar Dalam Pengelolaan
3.1.2 Tahapan Dasar Dalam Pengelolaan
Restorasi mangrove merupakan upaya pengelolaan yang bertahap dan dalam hal ini, merencanakan suatu pengelolaan adalah hal terpenting, dengan beberapa tahapan perencanaan yang harus dicapai adalah sebagai berikut (diadopsi dan modifikasi dari Macintosh & Ashton, 2003; FAO, 1994; dan Biswas, et al., 2009). Alur pengelolaan ini sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, yang meliputi: a.) perencanaan; b.) pemanfaatan; c.) pengendalian; d.) pemeliharaan; e.) pengawasan; dan f.) penegakan hukum.
1. Menentukan permasalahan
Dalam suatu pengelolaan mangrove, hal utama yang harus ditentukan adalah kondisi habitat mangrove saat ini. Artinya, terlebih dahulu mendefinisikan permasalahan yang ada. Jika tidak terdapat masalah pada habitat mangrove, tentu tidak diperlukan suatu pengelolaan mangrove. Yang diperlukan hanya perlindungan habitat; sedangkan perlindungan habitat adalah salah satu bentuk adaptasi penyelesaian suatu masalah. Jadi, menentukan kondisi mangrove dan faktor-faktor berpengaruh terhadapnya adalah hal pertama yang harus dilakukan dalam suatu pengelolaan. Mengacu pada UNESCO (1997), permasalahan yang dapat didefinisikan berada dalam 3 kategori utama, administrasi, sosial-ekonomi, dan faktor alami.
2. Mendefinisikan sasaran dan tujuan
Tahap ini adalah tahap terpenting dalam suatu perencanaan rehabilitasi dalam rangka pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Maksudnya, sasaran pengelolaan mangrove haruslah tepat. Apakah suatu ekosistem mangrove perlu direhabilitasi, dilakukan restorasi, atau hanya dilakukan perlindungan sebagai upaya pencegahan kerusakan. Sasaran dan tujuan ini pada akhirnya harus dievaluasi untuk mendapatkan perencanaan yang adaptif.
3. Pembuatan model ekologis
Maksud di sini adalah menentukan parameter-parameter ekologis yang berpengaruh terhadap kondisi mangrove. Misalnya parameter ekologis pada suatu lahan mangrove yang terdegradasi. Variabel-variabel tersebut harus ditentukan sebagai bagian dari perencanaan, seperti: perubahan salinitas, pH, substrat, dan parameter lain yang relevan. Variabel ekologis ini sebenarnya berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove. Jika kita malakukan suatu perencanaan pengelolaan tanpa mempertimbangkan faktor ekologis, bisa saja pada akhirnya tidak mempertimbangkan polusi yang terjadi telah merubah kondisi biofisik habitat; yang akhirnya mangrove mengalami kerusakan.
4. Memiliki rencana kontijensi
Banyak resiko yang timbul dalam suatu program rehabilitasi. Resiko tersebut merupakan ketidakpastian/perubahan yang harus diantisipasi, seperti: jika terjadi badai, terbatas pendanaan, potensi kegagalan, dan lain-lain. Maka suatu program rehabilitasi harus memiliki rencana kontijensi dalam rangka antisipasi kegagalan yang dapat terjadi. Kegagalan tidak hanya berasal dari manusia, bisa jadi dalam pelaksanaan pengelolaan terjadi tsunami yang merusak habitat mangrove.
5. Desain, analisis keberhasilan program, dan eksperimen
Desain rehabilitasi dalam rangka restorasi ekosistem dapat dibuat dalam suatu model desain yang baru maupun perbaikan dari program yang telah dilakukan sebelumnya. Kebanyakan kegagalan program penanaman sebagai bagian dari pengelolaan mangrove yang dilakukan adalah karena tidaknya desain yang matang, terutama yang dilakukan oleh pemerintah.
6. Implementasi, monitoring, dan pengelolaan yang adaptif
Ini adalah tahap akhir dalam suatu program pengelolaan mangrove. Bagaimana melakukan suatu rencana yang telah disusun. Hal terpenting setelah implementasi program adalah upaya monitoring. Kegagalan atau lebih tepat dikatakan sebagai kurang efektifnya suatu program dikarenakan tidak adanya monitoring. Monitoring ini dimaksudkan agar pengelolaan tersebut dapat dievaluasi dan dilakukan pengelolaan yang adaptif, atau penyesuaian suatu program pengelolaan agar lebih baik.
Dalam tahapan perencanaan ini, hal yang tidak boleh dilupakan adalah menentukan area perencanaan. Maksudnya adalah batas-batas area mangrove yang akan dikelola, terutama dalam penentuan batas administrasif. Ini berpengaruh pada “kewenangan politik” yang akan mempengaruhi jalannya
program pengelolaan dimasa yang akan datang. Selain itu, durasi rencana pengelolaan haruslah didefinisikan juga. Dalam kaitannya dengan konservasi, durasi pengelolaannya mungkin tidak terbatas. Akan tetapi perlu pencapaian- pencapaian yang harus dihasilkan terutama dalam perencanaan pengelolaan yang adaftif. Beda halnya dengan rencana pengelolaan mangrove untuk direhabilitasi, ini apakah program dalam jangka pendek atau jangka panjang. Sedangkan untuk pengelolaan mangrove yang memproduksi kayu dalam bidang kehutanan, perencanaan pengelolaan haruslah dalam satu rotasi tebang-tanam. Ini sekitar 20 – 30 tahun.
Untuk penjelasan grafis mengenai tahapan dalam pengelolaan mangrove, dapat dilihat pada gambar 3.2.
Gambar 3.2. Bagan sistematis yang menunjukkan tahapan dalam rencana pengelolaan mangrove. Hal yang menjadi garis bawah adalah inventori kondisi mangrove saat ini dan kondisi mangrove yang ingin dicapai.
Dalam pelaksanaannya, tidak sepenuhnya sistematika perencanaan pengelolaan mangrove harus sesuai dengan hal yang telah dijelaskan. Dalam prakteknya harus menyesuaikan dengan tujuan dan sasaran. Karena setiap desain program pengelolaan untuk permasalahan mangrove yang berbeda memiliki desain yang berbeda pula. Seperti yang dilakukan oleh Fawzi (2016) pada gambar (3.3), secara garis besar adalah langkah yang sama, tapi dengan desain yang berbeda.
1. Degradasi mangrove akibat konversi menjadi tambak Mendefinisikan Masalah 2. Rendahnya peran kelembagaan 3. Rendahnya kesejahteraan masyarakat
4. Rendahnya produktivitas tambak 5. Perlunya upaya rehabilitasi
Sasaran: Restorasi ekosistem mangrove di Delta Mahakam.
Tujuan:
1. Rehabilitasi mangrove yang terdegradasi akibat Mendefinisikan Sasaran
pembangunan tambak. dan Tujuan
2. Meningkatkan produksi tambak dengan integrasi hutan mangrove (silvofisheries)