Intervensi internal terhadap biodegradasi bahan organik limbah karamba jaring apung di Waduk Ir H Djuanda dalam upaya memperbaiki kualitas perairan

(1)

INTERVENSI INTERNAL TERHADAP BIODEGRADASI

BAHAN ORGANIK LIMBAH KARAMBA JARING APUNG

DI WADUK IR H DJUANDA DALAM UPAYA

MEMPERBAIKI KUALITAS PERAIRAN

LISMINING PUJIYANI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Intervensi internal terhadap biodegradasi bahan organik limbah karamba jaring apung di Waduk Ir H Djuanda dalam upaya memperbaiki kualitas perairan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015 Lismining Pujiyani Astuti NIM C261090081


(4)

RINGKASAN

LISMINING PUJIYANI ASTUTI. Intervensi internal terhadap biodegradasi bahan organik limbah karamba jaring apung di Waduk Ir H Djuanda dalam upaya memperbaiki kualitas perairan. Pembimbing ENAN M ADIWILAGA, BUDI INDRA SETIAWAN dan NIKEN TM PRATIWI

Waduk Ir. H. djuanda merupakan waduk multi fungsi baik secara ekonomi, ekologi dan sosial yang salah satunya adalah untuk kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung (KJA). Salah satu permasalahan yang timbul di waduk ini adalah menurunnya kualitas air dari waktu ke waktu. Masuknya bahan organik dari sisa pakan yang terbuang, feses, dan urin ikan diduga menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas air. Meningkatnya masukan bahan organik menyebabkan meningkat pula konsumsi oksigen yang dapat menyebabkan deplesi oksigen yang selanjutnya dapat menyebabkan defisit oksigen. Oksigen merupakan faktor kunci bagi kehidupan biota akuatik sehingga ketersediaan oksigen terlarut merupakan indikator kesehatan perairan. Kondisi hipoksia merupakan kondisi apabila konsentrasi oksigen terlarut <3 mg/L yang dapat menyebabkan terganggunya proses dekomposisi bahan organik maupun terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan biota akuatik.

Proses dekomposisi bahan organik oleh mikrobia memerlukan oksigen sehingga menghasilkan senyawa yang tidak membahayakan lingkungan. Namun apabila oksigennya kurang mencukupi, maka hasil dari dekomposisi dapat berupa senyawa-senyawa yang bersifat toksik seperti sulfida, nitrit, dan amonia. Untuk itu perlu usaha untuk meningkatkan oksigen pada lapisan yang telah mengalami deplesi oksigen atau kondisi hipoksia. Aerasi adalah salah satu teknik restorasi untuk meningkatkan oksigen. Aerasi injeksi merupakan salah satu cara perbaikan kualitas perairan dengan intervensi secara internal pada perairan tersebut dengan memompakan udara ke lapisan perairan yang telah mengalami hipoksia.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013 meliputi penelitian pendahuluan, penelitian skala laboratorim dan penelitian penerapan di lapangan. Aerasi injeksi udara menggunakan kompresor sebagai sumber udara yang dilengkapi dengan filter udara yang berfungsi untuk menyaring udara kompresor agar bebas dari air dan oli sebelum masuk ke lapisan perairan. Aerasi dilakukan

selama 4 jam pada skala laboratorium dan 8 jam di lokasi KJA Waduk Ir. H. Djuanda. Tekanan udara yang dipompakan lebih besar dari tekanan

hidrostatik di kedalaman air yang dituju. Adapun tujuan penelitian ini adalah 1) mengkaji kondisi hipoksia dan laju dekomposisi bahan organik di lokasi budidaya ikan dalam KJA Waduk Ir. H. Djuanda, 2) mengkaji konsumsi oksigen oleh ikan dan peningkatan oksigen terlarut melalui aerasi pada skala laboratorium, 3) mengkaji pengaruh metode intervensi internal dengan cara aerasi lapisan hipoksia terhadap konsentrasi oksigen terlarut perairan, 4) mengetahui pengaruh metode intervensi internal dengan cara aerasi lapisan hipoksia terhadap laju Biochemical Oxygen Demand (BOD), 5) untuk mengkaji pengaruh metode intervensi internal dengan cara aerasi lapisan hipoksia terhadap konsentrasi bahan organik total dan orthofosfat perairan. Melalui aerasi diharapkan dapat diperoleh kualitas perairan yang lebih baik.


(5)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman hipoksia di lokasi budidaya ikan Waduk Ir. H. Djuanda mulai terjadi pada kedalaman 3 m. Laju dekomposisi bahan organik (k) pada lokasi budidaya ikan dalam karamba adalah 0,189 per hari (suhu 28,5°C) dan 0,016 per hari (suhu 27°C).

Berdasarkan pengamatan di laboratorium terlihat adanya penurunan konsentrasi oksigen dalam tangki pemeliharaan akibat dikonsumsi oleh ikan. Konsumsi oksigen berfluktuasi tergantung kondisi ikan. Aerasi dapat meningkatkan oksigen terlarut dalam tanki pemeliharaan dan lebih cepat meningkat apabila dilakukan pada tanki tanpa ikan.

Aplikasi aerasi injeksi udara yang dilakukan selama 8 jam belum dapat meningkatkan konsentrasi oksigen perairan terutama pada kedalaman 3,6 dan 4 m karena adanya peningkatan laju deplesi oksigen oleh hypolimnion oxygen demand, water oxygen demand dan konsumsi oksigen oleh ikan. Hal ini digambarkan banyaknya ikan pada lapisan bawah di dekat lubang aerator dibandingkan lokasi kontrol yang lebih banyak ikan berada di permukaan. Profil oksigen berdasarkan jarak dari sumber oksigen oleh injeksi udara adalah pada awal aerasi mengalami penurunan dan setelah 4 jam aerasi meningkat dan kemudian turun lagi. Profil oksigen berdasarkan kedalaman yaitu pada kedalaman 3; 3,6 dan 4 m memperlihatkan gambaran sebagai berikut konsentrasi okisgen pada permulaan aerasi menurun, kemudian berfluktuasi setelah aerasi 3-4 jam serta meningkat kembali setelah 6 jam aerasi. Namun pada kedalaman 1 dan 2 meter, konsentrasi oksigen cenderung meningkat.

Aerasi merupakan upaya meningkatkan oksigen perairan agar mampu mencukupi kebutuhan oksigen untuk mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Nilai BOD5 hari pada air sebelum diaerasi lebih tinggi dibandingkan

sesudah aerasi. Laju dekomposisi bahan organik (k) dari air yang telah diaerasi lebih tinggi dibandingkan sebelum aerasi yang artinya bahwa aerasi dapat meningkatkan oksigen sehingga terjadi kecukupan oksigen bagi mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik.

Konsentrasi bahan organik pada jarak 0; +1,5 m; +6 m dan kiri 1,5 m cenderung menurun, pada titik kanan 1,5 m cenderung berfluktuasi sedangkan pada titik + 3 m; -1,5 m dan kontrol cenderung meningkat. Konsentrasi ortofosfat pada titik +1,5 m; +6 m; 0; kanan 1,5 m dan kiri 1,5 m cenderung menurun, pada jarak +1,5 m cenderung berfluktuasi sementara pada jarak +3 m dan kontrol cenderung terus meningkat. Berdasarkan konsentrasi ortofosfat menunjukkan bahwa Waduk Ir H Djuanda dalam kondisi meso-eutrofik

Kata kunci: Aerasi, oksigen terlarut, bahan organik, ortofosfat, Waduk Ir. H. Djuanda


(6)

SUMMARY

LISMINING PUJIYANI ASTUTI. Internal intervention against biodegradation of organic matter from waste of floating net cage Ir H Djuanda Reservoir to improve water quality. Supervised by ENAN M ADIWILAGA, BUDI INDRA SETIAWAN and NIKEN TM PRATIWI

Ir. H. Djuanda reservoir is a multi-purpose dam both economical, ecological and social, one of which is for fish farming activities in floating net cage. One of the problems that arise in these reservoirs is declining water quality from time to time. Input of organic matter from the rest of wasted feed, feces and urine of fish thought to be one of the causes of the decline in water quality. Increased input of organic matter also cause increasing of oxygen consumption which can cause oxygen depletion furthermore can cause oxygen deficit. Oxygen is a key factor for aquatic biota that the availability of dissolved oxygen is an indicator of the health of the waters. Hypoxic conditions is a condition when the dissolved oxygen concentration < 3 mg/L which can cause disruption of the process of decomposition of organic matter and impaired growth and development of aquatic biota.

The process of organic matter decomposition by microbes need oxygen to produce compounds that do not harm the environment. However, if oxygen is insufficient, then the result of decomposition may be compounds that are toxic substance such as sulfide, nitrite and ammonia. For that we need an effort to increase the oxygen depletion layer that has undergone oxygen or hypoxic conditions. Aeration is one of restoration techniques to improve oxygen. Aeration injection is one way water quality improvement interventions internally in these waters by pumping air into the water layer which has hypoxia conditions.

This research was conducted in 2012-2013 includes a preliminary study, laboratory-scale research and application research in the field. Aeration air injection used compressors as air sources equipped with air filters to filter the air compressor to be free of water and oil before going into the water layer. Aeration was carried out for 4 hours at laboratory scale and 8 hours on floating net cage location at Ir. H. Djuanda Reservoir. Pumped air pressure was greater than the hydrostatic pressure of the water depth target. The objectives of this study were 1) to review the conditions of hypoxia and the rate of organic matter decomposition at the aquaculture site in Ir. H. Djuanda Reservoir, 2) assess the oxygen consumption by fish and increase dissolved oxygen through aeration at laboratory scale, 3) assess the effect of the internally intervention methods by means of aeration of hypoxia layer on the water oxygen concentration, 4) to know the effect of the internally intervention methods by means of aeration of hypoxia layer on the rate of Biochemical Oxygen Demand (BOD), 5) to assess the effect of the internally intervention methods by means of aeration hypoxia layer on the total organic matter concentration and orthophosphate. Through aeration is expected to improve the better water quality.

The results showed that the depth of hypoxia in fish cultures site Ir. H. Djuanda reservoir starts at a depth of 3 m. The rate of organic matter decomposition (k) at the fish cultures site were 0,189 per day (temperature


(7)

28,5°C) and 0,016 per day (temperature 27°C). Based on laboratory scale observations showed that the fish consumed oxygen thus decreasing the oxygen for the maintenance of fish in the tank. Oxygen consumption fluctuates depending on the condition of the fish. Increasing of dissolved oxygen by aeration on a tank without fish was faster than on tank with fish.

Application aeration air injection performed for 8 hours have not been able to increase the waters dissolved oxygen concentration, especially at depths of 3.6 and 4 m due to an increased rate of oxygen depletion by hypolimnion oxygen demand, water oxygen demand and oxygen consumption by fish depicted in the lower layers of fish near the aerator holes compared to control sites more fish on the surface. Oxygen profiles based on distance from the source of oxygen by air injection looks no different were that at the start of aeration decreased and after 4 hours of aeration increases and then down again. Oxygen profiles based on the depth that were at a depth of 3; 3,6 and 4 m, oxygen concentration at the beginning of aeration decreased later after 3-4 hours of aeration rose and fluctuation then rise again after 6 hours of aeration. However, at a depth of 1 and 2 meters, the oxygen concentration tends to increase.

Aeration is an effort to increase the oxygen waters to be able to meet the need of oxygen to the microorganisms in the decomposition of organic matter. BOD5days value pre aerated was higher than post aerated. The decomposition of

organic matter rate (k) post aerated was higher than pre aerated, which means that the aeration could increase the oxygen resulting in sufficient oxygen for the microorganisms to decompose organic matter.

The concentration of organic matter at 0; +1.5 m; +6 m and 1,5 m left tend decreased; at the right point of 1,5 m tends fluctuated while at + 3 m; -1,5 m and control tend increased. Orthophosphate concentration at +1,5 m; +6 m; 0; right and left 1,5 m tend to decreased, at +1,5 m tend fluctuated while at +3 m and control tend increased. Based orthophosphate concentration, Ir. H. Djuanda reservoir was meso-eutrophic level.

Keywords: Aeration, dissolved oxygen, organic matter, orthophosphate, Ir. H. Djuanda Reservoir


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

INTERVENSI INTERNAL TERHADAP BIODEGRADASI

BAHAN ORGANIK LIMBAH KARAMBA JARING APUNG DI

WADUK IR H DJUANDA DALAM UPAYA MEMPERBAIKI

KUALITAS PERAIRAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Hefni Effendi Dr. Majariana Krisanti Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Krismono


(11)

Judul disertasi : Intervensi internal terhadap biodegradasi bahan organik limbah karamba jaring apung di Waduk Ir H Djuanda dalam upaya memperbaiki kualitas perairan

Nama : Lismining Pujiyani Astuti NIM : C261090081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M Adiwilaga Ketua

Prof.Dr.Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr Anggota

Dr.Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr


(12)

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penyusunan disertasi yang berjudul “Intervensi internal terhadap biodegradasi bahan organik limbah karamba jaring apung di Waduk Ir H Djuanda dalam upaya memperbaiki kualitas perairan”. Penulis menyadari bahwa karya ini dapat terselesaikan melalui banyak orang yang membantu baik tenaga, doa maupun semangat selama penyusunan proposal, penelitian maupun penyusunan disertasi ini. Oleh karena itu terima kasih Penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing

2. Bapak Prof. Dr. Budi Indra Setiawan dan Ibu Dr. Niken TM Pratiwi sebagai anggota komisi pembimbing

3. Bapak Dr. Hefni Effendi dan Ibu Dr. Majariana Krisanti selaku penguji luar pada sidang tertutup

4. Bapak Prof. Dr. Krismono dan Bapak Dr. Yusli Wardiatno selaku penguji luar pada sidang terbuka.

5. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) dan bapak ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat bermanfaat.

6. Kepala Pusat Pengembangan Sumbardaya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar program doktoral. 7. Dr. Fayakun Satria selaku Kepala Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi

Sumberdaya Ikan

8. Ibunda Siyem Marhenti yang tak pernah berhenti memberikan doa, semangat dan bantuan dalam setiap kesulitan dan Alm Ayahanda Purwadi semoga bahagia di sisi Allah SWT.

9. Suamiku tercinta, Andri Warsa dan anak-anakku tersayang M. Geo Priambodo H dan M Lintang Akbar H yang senantiasa memberikan doa, semangat dan cinta kasihnya tanpa henti

10. Ibu Rumini yang senantiasa mendoakan dan menyemangati dan Alm Bapak Azwar Said semoga bahagia di sisi Allah SWT.

11. Kakakku Rudi Wibowo, keluaga adikku Triasih Nugrohowati dan keluarga Lusia Sanjayaningsih

12. Seluruh teman-teman di lingkungan Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (BP2KSI)

13. Teman-teman seperjuangan di program S3 SDP: Bu Rika, Pak Yoga, Pak Udin, Pak Yoyok, Pak Bahtiar dan Pak Zahid

14. Bapak Asmita atas kesediaanya meminjamkan KJA untuk penelitian ini.

15. Teman-teman di Laboratorium Teknik Sumberdaya Air Fakultas Keteknikan Pertanian IPB

16. Semua pihak yang telah membantu dan telah banyak memberikan bantuan dan saran kepada saya dalam penulisan disertasi ini

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Februari 2015 Lismining Pujiyani Astuti


(13)

DAFTAR ISI

RINGKASAN iv

SUMMARY vi

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang 1

1.2 Perumusan masalah 2

1.3Tujuan dan Manfaat 3

1.4 Novelty 3

1.5 Kerangka Pemikiran 4

1.6 Hipotesis 4

2 KONDISI HIPOKSIA DAN LAJU DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LOKASI BUDIDAYA IKAN DALAM KARAMBA JARING APUNG (KJA) WADUK IR. H. DJUANDA

2.1 Pendahuluan 6

2.2 Bahan dan Metode 7

2.3 Hasil dan Bahasan 9

2.4 Simpulan dan Saran 13

3 KONSUMSI OKSIGEN OLEH IKAN DAN PENINGKATAN OKSIGEN TERLARUT MELALUI AERASI PADA SKALA LABORATORIUM

3.1 Pendahuluan 14

3.2 Bahan dan Metode 15

3.3 Hasil dan Bahasan 18

3.4Simpulan 21

4 PENGARUH AERASI INJEKSI UDARA TERHADAP

KONSENTRASI OKSIGEN TERLARUT DI LOKASI BUDIDAYA IKAN WADUK IR. H. DJUANDA

4.1 Pendahuluan 22

4.2 Bahan dan Metode 23

4.3 Hasil dan Bahasan 24

4.4Simpulan dan Saran 29

5 PENGARUH AERASI TERHADAP LAJU BIOCHEMICAL

OXYGEN DEMANDA (BOD) DI LOKASI BUDIDAYA IKAN WADUK IR. H. DJUANDA

5.1 Pendahuluan 30

5.2 Bahan dan Metode 30

5.3 Hasil dan Bahasan 32


(14)

6 PENGARUH AERASI INJEKSI UDARA TERHADAP KONSENTRASI BAHAN ORGANIK TOTAL (BOT) DAN ORTHOFOSFAT (P-PO4) DI LOKASI BUDIDAYA IKAN WADUK IR. H. DJUANDA

6.1 Pendahuluan 35

6.2 Bahan dan Metode 36

6.3 Hasil dan Bahasan 36

6.4Simpulan 39

PEMBAHASAN UMUM 40

SIMPULAN DAN SARAN 44

DAFTAR PUSTAKA 46

LAMPIRAN 51


(15)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan jumlah KJA dan produksi ikan Waduk Jatiluhur 6 2 Nilai BOD5hari, laju dekomposisi bahan organik (k) dengan perlakuan

suhu

12 3 Nilai laju dekomposisi bahan organik (k) (per hari) untuk limbah

rumah potong, limbah tekstil dan air sungai Ciliwung yang diinkubasi pada beberapa suhu

12

4 Spesifikasi alat aerasi 15

5 Besarnya nilai BOD5hari, laju dekomposisi bahan organik (k) dan BOD

ultimat (Lo) sebelum dan sesudah aerasi

34


(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir kerangka pendekatan pemecahan masalah penelitian 5

2 Lokasi penelitian di Waduk Ir. H. Djuanda 8

3 Profil oksigen terlarut secara vertikal pada (a) bulan Februari, (b) Maret dan (c) April

10 4 Pengamatan BOD harian selama tujuh hari (a) pengamatan ke-1 pada suhu

28,5°C; (b) pengamatan ke-1 pada suhu 20°C; (c) pengamatan ke-2 pada suhu 27°C dan (d) pengamatan ke-2 pada suhu 30°C

11

5 Sketsa pemasangan alat aerasi pada tanki air 15

6 Penempatan tanki aerasi, kompresor dan filter udara 16

7 Grafik penurunan oksigen selama pemeliharaan ikan 18

8 Grafik konsumsi oksigen oleh ikan 19

9 Peningkatan oksigen selama proses aerasi 20

10 Ukuran kja (dalam meter) dan posisi pengukuran oksigen secara horizontal dan vertical (dalam meter)

24 11 Hasil pengamatan oksigen terlarut berdasarkan jarak dari lokasi aerator

(a) 0 m; (b) +1,5 m; (c) -1,5 m; (d) kanan 1,5 m; (e) kiri 1,5 m; (f) +3 m; (g) +6 m dan (h) control

26 12 Konsentrasi oksigen terlarut berdasarkan kedalaman (a) permukaan; (b) 1 m;

(c) 2 m; (d) 3 m; (e) 3,6 m dan (f) 4 m

27 13 Pengamatan BOD harian selama tujuh hari (a) pengamatan 1 sebelum

aerasi, (b) pengamatan 1 sesudah aerasi, (c) pengamatan 2 sebelum aerasi, (d) pengamatan 2 sesudah aerasi, (e) pengamatan 3 sebelum aerasi, (f) pengamatan 3 sesudah aerasi, (g) pengamatan 4 sebelum aerasi, (h) pengamatan 4 sesudah aerasi

33

14 Grafik bahan organik total (mg/L) selama aerasi 36

15 Konsentrasi P-PO4 (mg/L) selama aerasi 38

16 Konsentrasi oksigen sebelum dan setelah aerasi serta prosentase perubahannyaBanyaknya oksigen terlarut (mg) pada tiap kedalaman (a) luasan antara -1,5 m; 0 kanan 1,5 dan kiri 1,5 m (b) luasan antara 0, +1,5 m; kanan dan kiri 1,5 m (c) luasan antara +1,5 dan 3 m

42

17 Prosentase perubahan konsentrasi oksigen pada tiap jarak dan kedalaman

43 18 Banyaknya oksigen pada tiap lapisan di titik pengamatan 0; +1,5 m;

kanan dan kiri 1,5 m. sebelum aerasi, sesudah aerasi, sesudah aerasi ditambah oksigen untuk dekomposisi


(17)

DAFTAR LAMPIRAN


(18)

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Waduk Ir H Djuanda atau yang dikenal juga dengan sebutan Waduk Jatiluhur merupakan suatu badan air yang membendung Sungai Citarum yang beroperasi sejak tahun 1967 dengan luas maksimal 83 km2 terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat pada ketinggian 111 m dpl. Secara geografis terletak pada 6⁰29’LS-6⁰41’LS dan 107⁰18’BT-107⁰24’BT dan dikelilingi oleh pegunungan kapur. Waduk Ir. H. Djuanda dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, sumber air minum, sumber air untuk industri, irigasi, transportasi, pengendali banjir, pariwisata, olahraga serta kegiatan perikanan sehingga waduk ini dapat dikatakan mempunyai fungsi ekologi, sosial dan ekonomi.

Kualitas air merupakan salah satu komponen penting untuk keberlanjutan fungsi-fungsi vital waduk ini. Kualitas air dapat berubah dan berfluktuasi tergantung pada kondisi perairan seperti adanya masukan limbah, dekomposisi bahan organik dan batuan. Untuk kegiatan perikanan baik perikanan tangkap dan budidaya, kualitas air memegang peranan penting karena air merupakan habitat ikan bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Perubahan kualitas air dapat terus terjadi seiring dengan meningkatnya pemanfaatan waduk dan pencemaran dari wilayah sekitar waduk.

Salah satu bentuk pemanfaatan waduk di bidang perikanan adalah untuk kegiatan budidaya ikan melalui sistem keramba jaring apung (KJA) dan perikanan tangkap. Kegiatan budidaya ikan dalam KJA pertama kali diujicobakan di Waduk Ir. H. Djuanda pada tahun 1974. Pada awalnya, kegiatan budidaya dengan sistem KJA ternyata memberikan dampak yang positif terhadap pendapatan pembudidaya ikan sehingga budidaya ikan dengan sistem ini terus berkembang. Perkembangan jumlah pembudidaya dan jumlah unit KJA memberikan dampak secara langsung terhadap kualitas perairan. Peningkatan jumlah unit KJA berarti peningkatan jumlah ikan yang dibudidayakan sehingga terjadi kenaikan jumlah pakan ikan yang diberikan ke perairan. Sebagian pakan yang diberikan untuk ikan ternyata tidak tercerna oleh ikan dan terbuang ke perairan. Pakan tidak tercerna yang terbuang ke perairan dan feses ikan merupakan sumber bahan organik dan dapat terendapkan ke lapisan dasar. Pada tahun 1996 jumlah unit KJA yang aktif adalah 764 unit, jumlah ikan yang dibudidayakan 282 ton dan jumlah pakan yang diberikan 3780 ton akibatnya jumlah pakan yang terbuang sekitar 1134 ton (Nastiti et al. 2001).

Peningkatan jumlah unit KJA berarti ada peningkatan jumlah ikan dan pakan yang ada di perairan. Pakan yang terbuang dan ekskresi ikan budidaya memberikan dampak negatif pada lingkungan perairan yaitu terjadi degradasi kualitas lingkungan perairan. Perubahan kualitas air seiring dengan peningkatan KJA di waduk. Kecerahan semakin menurun yaitu pada tahun 1984 sekitar 1-4 m menjadi 0,5-1,26 m di tahun 2004 (Krismono et al. 2008). Hal ini diduga terjadi karena adanya partikel terlarut yang meningkat, baik dari partikel tanah yang terbawa runoff ataupun dari sisa pakan kegiatan budidaya ikan dalam KJA.

Konsentrasi oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan yaitu pada tahun 1977 berkisar 5,4-7,3 mg/L menjadi 2,1-5,41 mg/L di tahun 2006


(19)

2

(Krismono dan Hardjamulia 1986; Tjahjo dan Purnamaningtyas 2008). Hal ini diduga berkaitan dengan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Sumber bahan organik dapat berasal dari sampah-sampah organik yang masuk ke perairan, runoff lapisan tanah atas yang kaya akan bahan organik, limbah industri dan rumah tangga serta buangan hasil kegiatan budidaya ikan seperti sisa pakan yang terbuang, feses ikan dan sampah buangan penunggu KJA serta dari plankton ataupun biota air yang telah mati. Hasil penelitian Simarmata (2007) menyebutkan bahwa lapisan oksik (oksigen terlarut ≥ 3 mg/L) di zona transisi yang merupakan lokasi budidaya ikan pada musim kemarau hanya terbatas pada kedalaman 0,66-1,77 m. Ini merupakan indikasi akibat adanya budidaya ikan yang menyebabkan lapisan oksik tipis.

Proses konsumsi oksigen yang terjadi secara alami di waduk dan danau meliputi oksidasi bahan kimia perairan, respirasi biota akuatik dan dekomposisi bahan organik secara aerobik. Apabila suplai oksigen dari proses difusi dari atmosfir, aerasi oleh arus dan gelombang serta hasil fotosintesisi fitoplankton dan makrofita akuatik tidak mencukupi untuk konsumsi oksigen, maka dapat mengakibatkan terjadinya deplesi oksigen. Deplesi oksigen dapat diperparah dengan adanya alga dan makrofita di zona fotik yang dalam siklus hidupnya berada di kolom air (Gantzer et al. 2009). Deplesi oksigen dapat berlanjut menjadi defisit oksigen apabila konsumsi oksigen lebih besar dari suplai oksigen. Untuk itu perlu upaya peningkatan oksigen melalui aerasi pada lapisan yang mengalami oksigen rendah atau hipoksia. Kondisi hipoksia merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara produksi biologi dan konsumsi oksigen (Pena et al. 2010). Hipoksia dapat terjadi karena banyaknya input nutrien akibat kegiatan antropogenik dan bahan organik ke perairan. Kondisi hipoksia dapat mempengaruhi sistem reproduksi ikan yaitu dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan testis dan ovarium, berkurangnya fertilitas ikan, mempengaruhi produksi dan kualitas sperma dan telur ikan serta mempengaruhi daya tahan (survival) larva (Wu 2009).

Aerasi merupakan salah satu teknik restorasi danau dan waduk dengan prinsip ekoteknologi. Ekoteknologi didefinisikan sebagai penggunaan sarana teknologi untuk pengelolaan ekosistem dengan prinsip-prinsip ekologi dan pengelolaanya sehingga kerusakan lingkungan dapat diminimalkan (Straskraba 1994; Koswara 2011).

1.2 Perumusan Masalah

Adanya penurunan kualitas air di Waduk Ir. H. Djuanda ditandai dengan terjadinya deplesi oksigen terlarut. Deplesi oksigen terlarut dapat terjadi apabila konsentrasi bahan organik total telah melebihi daya dukung perairan atau telah menyebabkan oksigen terlarut kritis di perairan atau ketersediaan oksigen terlarut yang tidak cukup untuk mendekomposisi bahan organik yang disebabkan oleh beban bahan organik yang berlebihan. Salah satu penyebab meningkatnya bahan organik adalah pemberian pakan dari kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung secara berlebihan sehingga meningkatkan sisa pakan yang terbuang ke perairan. Sisa pakan dan feses ikan merupakan salah satu sumber bahan organik perairan. Sumber bahan organik ke perairan lainnya dapat berasal dari luar yang masuk melalui aliran inflow dari inlet.


(20)

Bahan organik di zona epilimnion mengalami proses biodegradasi yang memanfaatkan oksigen terlarut dari hasil fotosintesis, gelombang dan difusi oksigen dari atmosfer. Sementara pada lapisan yang lebih dalam, konsentrasi oksigen terlarut mengalami penurunan (kondisi hipoksia) atau bahkan dalam kondisi anaerob, namun proses biodegradasi bahan organik terus berjalan. Jika oksigen semakin berkurang, maka dekomposisi akan menghasilkan gas-gas toksik yang tidak teroksidasi sehingga menjadi unsur yang berbahaya seperti amonia, nitrit dan sulfida. Hal ini menyebabkan perairan tidak mampu menyediakan oksigen yang cukup untuk proses dekomposisi bahan organik dan di Waduk Ir. H Djuanda telah mengalami penurunan oksigen.

Perairan mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menyediakan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik dari kegiatan KJA. Untuk membantu meningkatkan oksigen perairan pada lapisan hipoksia maka dilakukan intervensi internal seperti dengan aerasi. Melalui perlakuan intervensi internal dengan sistem aerasi pada lapisan hipoksia berupaya untuk meningkatkan oksigen pada lapisan yang mengalami hipoksia sehingga proses dekomposisi bahan organik dapat berlangsung lancar.

1.3Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan kondisi Waduk Ir. H. Djuanda, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengkaji kondisi hipoksia dan laju dekomposisi bahan organik di lokasi budidaya ikan dalam KJA waduk Ir. H. Djuanda.

2. Mengkaji konsumsi oksigen oleh ikan dan peningkatan oksigen terlarut melalui aerasi pada skala laboratorium.

3. Mengkaji pengaruh metode intervensi internal dengan cara aerasi lapisan hipoksia terhadap konsentrasi oksigen perairan.

4. Mengetahui pengaruh metode intervensi internal dengan cara aerasi lapisan hipoksia terhadap laju Biochemical Oxygen Demand (BOD).

5. Mengkaji pengaruh metode intervensi internal dengan cara aerasi lapisan hipoksia terhadap konsentrasi bahan organik total dan orthofosfat perairan Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah melalui intervensi internal dengan cara aerasi lapisan hipoksia dapat meningkatkan proses biodegradasi limbah bahan organik dari kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung diharapkan dapat diperoleh kualitas perairan yang lebih baik.

1.4 Novelty

Penelitian di Waduk Ir.H. Djuanda telah banyak dilakukan terutama mengenai produktivitas primer dan sekunder. Penelitian mengenai intervensi internal dengan cara aerasi di lokasi KJA di Waduk Ir. H. Djuanda juga pernah dilakukan namun aerasi pada lapisan hipoksia dengan parameter laju dekomposisi bahan organik, konsentrasi bahan organik total dan konsentrasi orthofosfat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu kebaruan penelitian ini adalah aerasi lapisan


(21)

4

hipoksia dengan parameter yang diamati laju dekomposisi bahan organik, konsentrasi bahan organik dan orthofosfat di lokasi KJA Waduk Ir. H. Djuanda.

1.5 Kerangka Pemikiran

Keberadaan budidaya ikan dalam KJA dapat meningkatkan beban masukan bahan organik ke perairan. Hal ini akan mempengaruhi daya dukung lingkungan perairan. Menurut Sunu (2001), daya dukung lingkungan adalah kapasitas atau kemampuan ekosistem dalam mendukung kehidupan organisme secara sehat sekaligus mempertahankan produktivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbarui diri dari organisme yang ada di dalamnya. Simarmata (2007) menyatakan bahwa daya dukung perairan adalah kemampuan perairan dalam menerima, mengencerkan dan mengasimilasi beban tanpa menyebabkan pencemaran.

Oksigen merupakan kunci bagi kehidupan ikan dan biota akuatik lainnya, sedangkan bahan organik merupakan sumber nutrien nitrogen (N) dan fosfor (P) bagi produser yaitu fitoplankton. Apabila konsentrasi bahan organik tinggi yang tidak diimbangi dengan oksigen tinggi maka hasil dekomposisi adalah zat-zat toksik seperti H2S, nitrit dan ammonia. Zat-zat toksik tersebut berbahaya bagi

ikan dan biota perairan lainnya. Keberadaan oksigen di lapisan epilimnion sangat banyak yang bersumber dari difusi udara, hasil fotosintesis fitoplankton serta aerasi oleh angin dan gelombang. Sementara keberadaan oksigen di lapisan bawah sangat terbatas. Keberadaan oksigen di lapisan hipoksia dipengaruhi oleh suhu, kedalaman dan oksigen tambahan. Dekomposisi bahan organik tergantung dari jumlah bahan organik dan oksigen serta suhu yang mempengaruhi proses oksidasi. Diagram alir kerangka pendekatan pemecahan masalah penelitian disajikan pada Gambar 1.

1.6 Hipotesis

Jika dilakukan aerasi pada lapisan hipoksia maka akan meningkatkan oksigen terlarut, menurunkan bahan organik, meningkatkan laju dekomposisi bahan organik serta menurunkan konsentrasi orthofosfat sehingga kualitas air menjadi lebih baik.


(22)

Gambar 1. Diagram alir kerangka pendekatan pemecahan masalah penelitian

5

Kualitas air lebih baik: - Bahan organik

total < - BOD < Kegiatan

budidaya Ikan dalamKJ

Fotosintesis

Intervensi internal

dengan aerasi Bahan

organik

DO

Δ DO?

Inflow Biodegradasi

bahan organik


(23)

6

2

KONDISI HIPOKSIA DAN LAJU DEKOMPOSISI BAHAN

ORGANIK DI LOKASI BUDIDAYA IKAN

WADUK IR. H. DJUANDA

2.1 Pendahuluan

Teknologi budidaya ikan dalam karamba jaring apung (KJA) merupakan salah satu paket teknologi yang cocok untuk diterapkan di perairan umum khususnya perairan danau dan waduk. Sistem budidaya ini merupakan sistem budidaya secara intensif dengan padat tebar tinggi dan keharusan pemberian pakan ikan sebagai input energi untuk pertumbuhan ikan. Tidak semua yang diberikan pada ikan dapat dimanfaatkan karena keterbatasan kemampuan ikan. Sebagian akan terbuang ke lingkungan perairan yang akan memberikan dampak terhadap perairan (Azwar et al. 2004). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa perikanan budidaya intensif dan pengkayaan nutrien berdampak potensial pada perubahan kualitas air (Simarmata 2007). Mc. Donald et al. (1996) menyatakan bahwa 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Selanjutnya Barg (1992) menyatakan partikel bahan organik akan mengendap disekitar lokasi KJA jika kecepatan pengendapan partikel jauh lebih besar dari pada kecepatan arus. Menurut Krismono (1992), pakan ikan yang terbuang pada KJA ukuran 7x7x3 m3 adalah 20%-30% dan untuk ukuran 1x1x1 m3 sebanyak 30%-50%.

Usaha budidaya ikan melalui KJA di waduk ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan SK Bupati Purwakarta No 06 Tahun 2000, jumlah KJA yang optimum adalah 2100 unit. Ternyata sampai akhir tahun 2010 telah mencapai 19630 atau sembilan kali lipat lebih dari kapasitas yang diijinkan (Tabel 1). Peningkatan jumlah KJA akan meningkatkan jumlah pakan dan biomassa ikan yang dibudidayakan yang selanjutnya dapat meningkatkan jumlah bahan pencemar berupa sisa pakan yang terbuang dan feses ikan yang akhirnya dapat berdampak pada perubahan kualitas air termasuk oksigen perairan.

Tabel 1. Perkembangan jumlah KJA dan produksi ikan di Waduk Jatiluhur Tahun Unit KJA Produksi (ton)

1988 15 54,9

1989 146 213,82

1990 312 808,7

1991 502 1973

1992 546 2679

1993 650 2149

1994 850 1998

1995 2100 2070

1996 2100 1003

1997 2100 2795

1998 2194 2180

2000 2537 3791.1

2001 2642 3223,24


(24)

Tahun Unit KJA Produksi (ton)

2003 2882 6079.5

2004 4700 7048,36

2005 5141 -

2006 13814 21036,5

2007 14000 33314

2008 16200 33448,82

2009 17093 36351,61

2010 19630 71095,96

Sumber: Azwar et al. (2004); Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta (2011)

Oksigen sangat penting dalam proses respirasi untuk fauna akuatik. Masukan oksigen terlarut tergantung pada input dari atmosfer dan proses fotosintesis dan hilang melalui oksidasi kimia dan biologi. Distribusi oksigen penting karena diperlukan oleh fauna akuatik dan mempengaruhi ketersediaan beberapa nutrien yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas perairan (Wetzel 2001). Oksigen terlarut merupakan faktor kunci bagi kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya. Menurut Buttner & Soderberg (1993) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 82 Tahun 2001, untuk kegiatan budidaya ikan memerlukan konsentrasi oksigen > 3 mg/L. Toufeek and Korium (2009) menyebutkan bahwa oksigen yang baik untuk ikan adalah 5-6 mg/L dan paparan oksigen bebas < 2 mg/L selama beberapa hari dapat mematikan ikan dan organisme akuatik lainnya. Kondisi hipoksia merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara produksi biologi dan konsumsi oksigen (Pena et al. 2010). Kondisi hipoksia merupakan salah satu permasalahan di perairan air tawar karena dapat menyebabkan stress biota atau bahkan kematian biota akuatik, bau, dan gangguan estetika lainnya (Schierholz et al. 2006; Desa et al. 2009).

Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik. Nilai BOD dipengaruhi oleh suhu, pH, waktu inkubasi, dan ketersediaan oksigen (Dhage et al. 2012). Nilai k (konstanta laju BOD) menunjukkan besarnya laju penguraian bahan organik oleh mikroorganisme aerob perairan (Astono, et.al. 2008). Tujuan penelitian ini untuk mengkaji kedalaman hipoksia di lokasi karamba jaring apung untuk budidaya ikan dan pengaruh suhu terhadap besarnya laju dekomposisi bahan organik (k) di Waduk Ir. H. Djuanda.

2.2 Bahan Dan Metode

Penelitian dilakukan pada bulan Februari-April 2013 pada salah satu KJA di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta (Gambar 2). Penentuan kedalaman hipoksia dengan pengamatan profil konsentrasi oksigen secara vertikal dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 82 tahun 2001 yang menyatakan bahwa oksigen untuk kegiatan perikanan adalah > 3 mg/L sehingga kondisi hipoksia apabila konsentrasi oksigen < 3 mg/L.


(25)

8

Gambar 2. Lokasi Penelitian di Waduk Ir. H. Djuanda

Selanjutnya pada kedalaman hipoksia diambil sampel air untuk pengukuran BOD dalam rangka penentuan laju dekomposisi bahan organik. Penentuan laju dekomposisi bahan organik melalui pengukuran BOD dilakukan di laboratorium kualitas air Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Sampel air yang diambil sebanyak 3 L kemudian diaerasi selama 2 jam yang bertujuan agar selama tujuh hari pengamatan tidak kehabisan oksigen dan selanjutnya dimasukkan ke dalam botol winkler gelap sebanyak 8 botol. Pengamatan BOD melalui pengamatan oksigen terlarut (DO) setiap hari dengan metode Winkler. Oksigen hari 0 di ukur sebagai DO awal kemudian sampel yang lain diinkubasi sesuai dengan hasil pengamatan suhu lapangan dan setiap hari diukur DO-nya. Suhu inkubasi di inkubator disesuaikan dengan suhu kedalaman hipoksia di lapangan yaitu suhu 27°C dan 28,5 °C. Perlakuan suhu yang lebih rendah dari suhu lapangan adalah 20 °C, sedangkan 30 °C merupakan suhu yang lebih tinggi dari kondisi lapangan. Perlakuan inkubasi suhu 28,5°C dan 20 °C adalah pengamatan 1 dan pengamatan 2 dengan suhu 27°C dan 30 °C. Pengamatan BOD dilakukan setiap hari selama 7 hari seperti penelitian Singh (2004). Perhitungan nilai BOD adalah:

����= [��� �� − ���]

Untuk menentukan nilai laju oksidasi (k) bahan organik berdasarkan hasil pengamatan BOD harian berdasarkan least square method (Tchobanoglous et al. 2003; Singh 2004) yaitu:


(26)

dimana: Lt = L0 - yt

yt = BODt

dy/dt = k(L0-yt)

dy/dt = kL0 - kyt

Penentuan nilai k dan L0:

Sxx= n∑yt2–(∑y)2

Sxy= n∑yt(dy/dt) –(∑yt)(∑dy/dt)

Slope atau –k = Sxy/ Sxx

Intersep atau kL0= ∑(dy/dt)/n + k∑(yt)/n

L0 = Intersep / (-slope)

dy/dt = (yt+1– yt-1)/2∆t

yt : nilai BOD hasil pengamatan

∆t : waktu selang pengamatan t : pengamatan hari ke 1, 2,3,... L0 : BOD ultimat (mg/L)

n : Jumlah total pengamatan k : Laju reaksi oksidasi (per hari)

2.3 Hasil dan Bahasan

2.3.1 Kedalaman Hipoksia

Hasil monitoring kondisi hipoksia di lokasi budidaya ikan dalam karamba di Waduk Ir. H. Djuanda disajikan pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa profil oksigen secara vertikal adalah pada permukaan perairan konsentrasi oksigen terlarut tinggi dan menurun sejalan dengan meningkatnya kedalaman. Kedalaman hipoksia pada pengamatan 1, 2 dan 3 berturut turut 4; 4 dan 3 m di dalam karamba. Kedalaman hipoksia berfluktuasi, terutama pada saat pengamatan 2 yaitu cuaca yang berangin kencang sehingga mengakibatkan gelombang yang mempercepat proses reaerasi yang dapat meningkatkan oksigen. Sesuai dengan pengamatan 3 maka kedalaman hipoksia dimulai pada kedalaman 3 m ke bawah.

Kondisi hipoksia merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara produksi biologi dan konsumsi oksigen (Pena et al. 2010). Kondisi hipoksia merupakan salah satu permasalahan di perairan air tawar karena dapat menyebabkan stress biota atau bahkan kematian biota akuatik, bau dan gangguan estetika lainnya (Schierholz et al. 2006; Desa et al. 2009). Konsentrasi oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke dalam air (Effendi 2003). Oksigen terlarut perairan berasal dari hasil fotosintesis plankton (90-95%) dan difusi dari udara. Oksigen dapat berkurang oleh oksidasi karbon organik, nitrifikasi dan respirasi (Ji 2008).


(27)

10

(a) (b)

(c)

Gambar 3. Profil oksigen terlarut secara vertikal pada (a) bulan Februari, (b) Maret dan (c) April

Oksigen sangat diperlukan dalam proses respirasi dan metabolisme ikan. Kadar oksigen yang rendah dapat menyebabkan penurunan daya hidup ikan, memepengaruhi kecepatan makan ikan dan menurunkan proses metabolisme bahkan apabila konsentrasinyua sangat rendah dapat mematikan ikan dan biota akuatik lainnya. Apabila mengalami stress karena oksigen rendah biasanya ikan akan menelan air (gulp) di permukaan. Ini sebagai reaksi bahwa antara permukaan air dan udara terdapat oksigen yang dapat ditranfer dari atmosfer ke perairan. Untuk ikan nila, apabila konsentrasi oksigen < 1,5 mg/L dapat menyebabkan kecepatan makannya berkurang dan bila < 1 mg/L dapat menyebabkan ikan berhenti makan. Beberapa konsentrasi oksigen untuk beberapa jenis ikan antara lain ikan gurami > 5 mg/L; ikan mas 5-7 mg/L; ikan nila 3-5 mg/L (Cahyono 2006; Stickney 2009).

Hasil penelitian Simarmata (2007) menyebutkan bahwa kedalaman lapisan oksik di zona transisi yaitu daerah sekitar kegiatan KJA di Waduk Ir.H.Djuanda pada musim kemarau berkisar 0,66-1,77 m; pada musim peralihan 1,92-2,56 m dan pada musim penghujan 6,08-7,55 m. Pada pengamatan bulan April (Gambar 3), konsentrasi oksigen terlarut adalah < 3 mg/L dimulai pada kedalaman 3 m ke bawah atau lapisan oksik pada kedalaman 3 m ke atas berarti kedalaman hipoksia lebih dalam atau lapisan oksik lebih tebal dibandingkan pada musim kemarau dan musim peralihan namun lebih dangkal atau lapisan oksik lebih tipis dibandingkan musim penghujan. Konsentrasi oksigen di waduk dataran rendah di India paling tinggi di


(28)

permukaan hingga kedalaman 5 m kemudian menurun secara cepat hingga kedalaman 21 m (Desa et al. 2009).

Pada permukaan, konsentrasi oksigen lebih tinggi karena adanya pertukaran oksigen atmosfer dan lapisan epilimnion dan hasil fotosintesis alga. Menurunnya oksigen pada lapisan di bawah epilimnion karena digunakan untuk respirasi (Salmin 2009; Desa et al. 2009). Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan

organik dan anorganik. Ketersediaan oksigen pada lapisan hipolimnion sangat

penting untuk proses oksidasi serta penting bagi organisme yang hidup pada lapisan tersebut. Pada lapisan hipolimnion, konsentrasi oksigen terlarut akan semakin sedikit atau bahkan tidak ada oksigen (anoksik) karena oksigen telah dimanfaatkan untuk proses oksidasi bahan organik dan proses respirasi

2.3.2 Laju dekomposisi bahan organik

Hasil pengamatan BOD setiap hari selama tujuh hari disajikan pada Gambar 4.

(a) (c)

(b) (d)

Gambar 4. Pengamatan BOD harian selama tujuh hari (a) pengamatan ke-1 pada suhu 28,5°C; (b) pengamatan ke-1 pada suhu 20°C; (c) pengamatan ke-2 pada suhu 27°C dan (d) pengamatan ke-2 pada suhu 30°C.


(29)

12

Hubungan antara waktu dan nilai BOD sangat erat yang ditunjukkan dengan nilai R mendekati 1 pada semua pengamatan. Hubungan antara nilai BOD dan waktu inkubasi pada suhu 20°C adalah y = 0,361x – 0,005 dengan R2 = 0,907; suhu

28,5 °C adalah y = 0,572x + 0,416 dengan R2 = 0,961; suhu 30 °C adalah y = 0,679x + 0,703 dengan R2 = 0,902; suhu 27 °C adalah y = 0,582x + 0,279 dengan

R2 = 0,974. Semakin lama waktu inkubasi maka semakin besar nilai BOD. Hal ini karena ketersediaan oksigen yang menipis sementara masih ada bahan organik yang belum terdekomposisi serta adanya sebagian bakteri aerob yang mati karena ketersediaan oksigen tidak mencukupi untuk kehidupannya, akibatnya bakteri tersebut menjadi salah satu sumber yang meningkatkan bahan organik.

Tabel 2. Nilai BOD5hari, laju dekomposisi bahan organik (k) dengan perlakuan suhu

Parameter Penelitian 1 Penelitian 2

Suhu 20°C Suhu 28,5°C * Suhu 27°C * Suhu 30°C

BOD5hari (mg/L) 1,47 3,19 2,95 3,26

k (per hari) 0,141 0,189 0,016 0,114

*Merupakan suhu pengamatan di lapangan

Berdasarkan Tabel 2. menunjukkan pada pengamatan pertama, laju dekomposisi bahan organik yang diinkubasi pada suhu 28,5 ⁰C yaitu 0,189/hari lebih besar dibandingkan yang diinkubasi pada suhu 20 ⁰C yaitu 0,141/hari. Demikian juga pada pengamatan kedua menunjukkan bahwa laju dekomposisi bahan organik yang diinkubasi pada suhu 30 ⁰C yaitu sebesar 0,114/hari lebih besar dibandingkan yang diinkubasi pada suhu 27 ⁰C yaitu 0,016/hari. Berdasarkan kedua pengamatan menunjukkan bahwa suhu 28,5 ⁰C mempunyai laju dekomposisi bahan organik tertinggi. Laju dekomposisi yang diinkubasi pada suhu 30ºC (pengamatan 2) lebih rendah daripada yang diinkubasi pada suhu 28,5⁰C dan 20 ⁰C (pengamatan 1) karena antara pengamatan 1 dan 2 berbeda waktu pengambilan sampel airnya sehingga berbeda pula kualitas airnya. Menurut Simarmata et al. (2008), laju dekomposisi bahan organik di zona budidaya ikan Waduk Jatiluhur adalah 0,03– 0,015/hari. Hasil pengamatan penelitian ini adalah 0,016/hari dan 0,189/hari yang artinya ada peningkatan laju dekomposisi bahan organik dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Simarmata (2008). Pengamatan laju dekomposisi sedimen dasar kolam budidaya ikan adalah 0,4/tahun (Avnimelech et al. 1995). Hasil penelitian Dhage et al. (2012), nilai k untuk limbah domestik lebih tinggi pada suhu inkubasi 27°C (0,2–0,3 per hari) dibanding suhu 20°C (0,12-0,2 per hari). Hasil penelitian Polli (1994) menunjukkan bahwa nilai k pada suhu 30°C lebih tinggi dibandingkan suhu 20°C dan 25°C seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai laju dekomposisi bahan organik (k)(per hari) untuk limbah rumah potong hewan, limbah tekstil dan air Sungai Ciliwung yang diinkubasi pada beberapa suhu.

Jenis limbah Suhu 20 °C Suhu 25 °C Suhu 30 °C

Rumah potong hewan 0,151 0,196 0,283

Limbah tekstil 0,128 0,149 0,233

Air Sungai Ciliwung 0,123 0,183 0,228


(30)

Suhu dapat mempengaruhi reaksi oksidasi karena mempengaruhi kinerja enzim-enzim pada mikroorganisme pengoksidasi. Hasil pengamatan laju dekomposisi pada danau di Hanoi yang tercemar oleh bahan organik adalah 0,93/hari (Thang et al. 2005). Laju dekomposisi dipengaruhi oleh suhu dan oksigen, serta dipengaruhi pula oleh komposisi penyusun bahan organik seperti gula, selulosa atau lignin. Laju dekomposisi gula, hemiselulosa, selulosa, dan lignin adalah berbeda-beda dan secara berurutan adalah 1,15; 0,1; 0,05 dan 0,002/hari (Avnimelech et al. 1995).

2.4 Simpulan dan Saran 2.4.1 Simpulan

Kedalaman hipoksia di lokasi budidaya ikan waduk Ir. H. Djuanda dimulai pada kedalaman 3 m. Nilai laju dekomposisi bahan organik (k) pada lokasi budidaya ikan dalam karamba tertinggi adalah 0,189 per hari.

2.4.2 Saran

Perlu dilakukan pengamatan kualitas air secara kontinyu terutama oksigen terlarut agar terpantau kedalaman lapisan oksigen dan permulaan kedalaman hipoksia terutama di lokasi budidaya sebagai early warning system terhadap kemungkinan terjadinya kematian ikan akibat konsentrasi oksigen yang rendah. Untuk menghindari terjadinya kondisi kritis oksigen dapat dilakukan melalui peningkatan oksigen terlarut seperti dengan teknik aerasi pada lapisan hipoksia.


(31)

14

3

KONSUMSI OKSIGEN OLEH IKAN DAN PENINGKATAN

OKSIGEN TERLARUT MELALUI AERASI PADA

SKALA LABORATORIUM

3.1 Pendahuluan

Oksigen merupakan faktor kunci bagi kehidupan biota air. Sumber oksigen di lingkungan perairan adalah difusi atmosfir, gerakan angin dan gelombang serta fotosintesis (Floyd 1997). Oksigen terlarut di perairan yang merupakan hasil fotosintesis plankton berkisar 90-95%. Oksigen terlarut dibutuhkan untuk respirasi plankton (65%), respirasi ikan (20%) dan juga organisme dasar. Pada danau eutrofik, rendahnya oksigen terlarut dan meningkatnya CO2 dapat menyebabkan Low

Dissolved Oxygen Syndrome (LODOS), stres ekologi pada ikan, dan tidak stabilnya ekologi (Schumittou 1991). Konsentrasi oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk kedalam air (Effendi 2003).

Menurut Boyd (1998) oksigen atmosfer masuk ke air melalui difusi dan cepat mencapai kondisi jenuh. Sementara oksigen permukaan berdifusi ke lapisan bawah lebih lambat dibandingkan pada waktu difusi dari atmosfer menuju permukaan perairan. Udara mengandung oksigen 20,95%. Pada tekanan barometrik standar (760 mm Hg), tekanan oksigen di udara adalah 157 mm Hg (760x0,2095). Tekanan oksigen di udara menggerakkan oksigen masuk air sampai tekanan oksigen di air sama dengan tekanan oksigen di udara.

Untuk kegiatan budidaya dan kehidupan ikan memerlukan konsentrasi oksigen > 3 mg/L (Buttner & Soderberg 1993; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 82 Tahun 2001) dan Toufeek and Korium (2009) menyebutkan bahwa oksigen untuk kehidupan ikan adalah 5-6 mg/L. Paparan oksigen < 2 mg/L untuk beberapa hari dapat mematikan ikan dan organisme akuatik lainnya (Toufeek and Korium 2009).

Konsumsi oksigen atau proses respirasi adalah pengambilan oksigen dari lingkungan ke dalam tubuh biota untuk mengoksidasi bahan makanan dalam tubuh biota sehingga menghasilkan energi. Fry (1959) dalam Rostim (2001) menyatakan bahwa konsumsi oksigen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen. Laju konsumsi oksigen oleh ikan akan berkurang apabila kandungan oksigen pada air juga berkurang.

Aerasi merupakan proses transfer gas terutama oksigen dari fase gas ke fase cair. Aerasi terdifusi (diffused aeration) didefinisikan sebagai injeksi udara yang

kaya oksigen dengan tekanan tertentu di bawah permukaan cairan (Muller et al. 2002). Aerasi bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi oksigen

terlarut dalam air. Tujuan penelitian untuk mengkaji konsumsi oksigen oleh ikan dan peningkatan oksigen dengan aerasi.


(32)

3.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Sumberdaya Air Fakultas Keteknikan Pertanian IPB pada bulan Januari dan Februari 2013. Penelitian dilakukan secara eksperimental. Bahan dan alat yang digunakan adalah ikan nila, tanki air dari fiber dengan ukuran diameter 75 cm dan tinggi 60 cm dan ketebalan tanki air ½ cm, kompresor, penyaring udara, Water quality checker, air, pipa PVC dan sambungannya. Alat aerasi dirancang dengan spesifikasi seperti tertera pada Tabel 4. Sketsa pemasangan alat aerasi disajikan pada Gambar 5 dan penempatan tanki aerasi, kompresor dan filter disajikan pada Gambar 6.

Tabel 4. Spesifikasi alat aerasi

Parameter Ukuran Skema

Pipa

a. Panjang pipa PVC tipe AW (cm) b. Diamater pipa (inch)

c. Tebal pipa (mm) d. Diameter lubang (mm) e. Jumlah lubang

f. Jarak lubang pertama bawah dengan dasar pipa (cm) 55 ¾ 1,8 2 1 10 Kompresor

a. Tenaga (PK) b. Kecepatan (rpm) c. Pengeluaran (L/min) d. Tekanan maksimal (bar) e. Suhu udara(°C)

1 2050

126 8 28

Gambar 5. Sketsa pemasangan alat aerasi pada tanki air

75 cm 50 cm 20 cm 30 cm 60 cm 0,5cm 10 cm 10cm 55 cm 10 cm


(33)

16

Gambar 6. Penempatan tanki aerasi, kompresor, dan filter Besarnya tekanan hidrostatik (P) pada kedalaman tertentu adalah Patm + Pair

Tekanan air pada lubang outlet pada titik kedalaman air (h) adalah: Pair= ρ g h

Jadi tekanan hidrostatiknya adalah Patm + Pair = Patm + (ρ g h)

Dimana:

P = tekanan hidrostatik pada kedalaman tertentu (Pa) Patm = Tekanan atmosfer (Pa) = 1 atm = 101325 Pa

Pair = tekanan air (Pa)

ρ = densitas air (1000 kg/m3)

g = percepatan gravitasi bumi (9,8 m2/dt) h = kedalaman lubang (m)

Tekanan dari kompresor yang diberikan lebih besar dari tekanan hidrostatiknya. Berdasarkan perhitungan maka besarnya tekanan air (Pair) pada kedalaman 30 cm

adalah 2940 Pa sehingga besarnya tekanan hidrostatiknya adalah 104265 Pa. Jalannya penelitian meliputi:

1. Tanki air dibersihkan dari berbagai kotoran selanjutnya dipasang alat aerasi sesuai dengan rancangan (Gambar 6).

2. Mengisi air pada tanki dengan ketinggian genangan 50 cm. 3. Pengukuran oksigen terlarut sebelum penebaran ikan

4. Penebaran ikan nila sebesar 0,85 kg yang beratnya 100-200 gr/ekor

5. Pengukuran oksigen terlarut setiap 1 jam sampai mencapai kondisi hipoksia 6. Apabila telah mencapai hipoksia, maka dilanjutkan

- Percobaan 1 (tanpa ikan uji):

Pembersihan kotoran ikan dan pengangkatan ikan untuk selanjutnya diaerasi. Berkurangnya ketinggian air dicatat untuk mengetahui jumlah volume air ditambahkan sehingga ketinggian genangan air tetap 50 cm.

- Percobaan 2 (dengan ikan uji)

Langsung dilakukan aerasi tanpa pembersihan kotoran dan pengambilan ikan.

tanki


(34)

7. Pengamatan oksigen terlarut sebelum diaerasi

8. Aerasi dilakukan dengan tekanan udara dari kompresor sebesar 2 atm atau 196133 Pa

9. Pengamatan oksigen setiap jam selama proses aerasi berlangsung hingga mencapai konsentrasi oksigen terlarut >3 mg/L.

Konsumsi oksigen oleh ikan dengan satuan mg oksigen per berat ikan per jam pada waktu tertentu dihitung berdasarkan Pavlovskii (1964) yaitu:

t1 = (([O2]0-[O2]1×V0)/(W1))/(t1-t0)

tn= (([O2]tn-1-[O2]n×Vn-1)/(Wn))/(tn-tn-1)

Dimana

t0 = waktu pada jam ke-0 (awal)

t1 = waktu pada jam ke-1

tn = waktu pada jam ke-n (n=1, 2, 3,...,6)

tn-1 = waktu pada jam ke-n-1 (n=1, 2, 3,...6)

[O2]0 = konsentrasi O2 pada saat t0

[O2]n = konsentrasi O2 pada saat tn

V0 = volume air pada saat t0

Vn-1 = volume air pada saat tn-1

Wn = bobot ikan pada saat tn

Untuk mengetahui jumlah oksigen dalam dihitung berdasarkan persamaan gas ideal : P.V = n.R.T

Massa gas (gr) = n x MR

Dimana

P = Tekanan gas oksigen (atm) V = Volume gas (liter)

N = Jumlah mol gas

R = Konstanta umum gas (0,0821 atm l/mol K) T = Temperatur gas ( oK)

MR = Molekul relative

Udara mengandung 20,95% oksigen sehingga tekanan oksigen = 20,95% x tekanan udara.


(35)

18

3.3 Hasil dan Bahasan

3.3.1 Penurunan oksigen selama pemeliharaan ikan dan konsumsi oksigen Hubungan konsentrasi oksigen dan waktu aerasi pada percobaan pertama

adalah y = -0,3741x + 6,0751 dengan R2= 0,9919 dan percobaan kedua adalah y = -0,3619x + 5,8866 dengan R2 = 0,9978 (Gambar 7). Ini menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang sangat erat antara waktu dan oksigen terlarut yang dimanfaatkan untuk konsumsi ikan yang ditunjukkan dengan nilai R mendekati 1. Pada percobaan pertama, konsentrasi oksigen menurun mencapai 2,91 mg/L setelah 8 jam pemeriharaan ikan dan menjadi 1,37 mg/L setelah pemeliharaan ikan selama 13 jam. Pada percobaan kedua, konsentrasi oksigen mencapai hipoksia setelah 9 jam pemeliharaan yaitu 2,66 mg/L dan menjadi 1,93 mg/L setelah 11 jam pemeliharaan ikan. Oksigen terlarut menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Pada percobaan pertama, penurunan oksigen berkisar 0,18-0,69 mg/L O2/jam atau rata-rata

0,35 mg/L O2/jam dan selama 13 jam pemeliharaan oksigen turun sebanyak 4,57

mg/L O2. Pada percobaan kedua penurunan oksigen berkisar 0,21-0,51 mg/LO2/jam

atau rata-rata 0,36 mg/L O2/jam. Pemeliharaan ikan selama 11 jam menyebabkan

oksigen turun sebanyak 3,93 mg/L. Adanya penurunan oksigen akibat dimanfaatkan oleh ikan dalam proses respirasi untuk menghasilkan energi. Apabila konsentrasi oksigen rendah atau kekurangan oksigen maka dapat mengganggu metabolisme dalam tubuh ikan, pertumbuhan dan reproduksi, ketahanan hidup, pola makan, serta kesehatan ikan terutama ikan budidaya (Kremer 1987; Endo et al. 2008). Ikan biasanya akan mengambil oksigen atmosfer apabila oksigen perairan mengalami penurunan sehingga ikan akan lebih banyak di permukaan perairan (Kremer 1987).

Gambar 7. Grafik penurunan oksigen selama pemeliharaan ikan

Besarnya oksigen awal sebelum dilakukan pemeliharaan ikan adalah lebih besar dari 5 mg/L yang artinya bahwa besarnya oksigen terlarut memenuhi standar untuk kehidupan ikan seperti pendapat Toufeek and Korium (2009) yaitu antara 5-6 mg/L. Besarnya konsumsi oksigen tiap jam berbeda tergantung kondisi ikan yang


(36)

dipelihara. Konsumsi oksigen yang berubah-ubah diduga juga karena adanya penggantian ikan yang mati dengan ikan yang segar sehingga kemampuan mengambil oksigen dari lingkungan dapat meningkat. Biomassa ikan juga mempengaruhi besarnya konsumsi oksigen artinya biomassa yang tinggi cenderung membutuhkan oksigen yang lebih banyak (Budiardi et al. 2005).

Pada percobaan pertama, konsumsi oksigen ikan nila berkisar 45,47–174,32 mgO2/kg ikan/jam dengan rata-rata 92,64±42,66 mg O2/kg ikan/jam dan total

konsumsi oksigen selama 13 jam adalah 1146,22 mg O2. Pada percobaan kedua,

konsumsi oksigen ikan nila berkisar 53,48-133,04 mg O2/kg ikan/jam dengan

rata-rata 93,88±26,18 mg O2/kg ikan/jam dan total konsumsi oksigen selama 11 jam

pemeliharaan adalah 1032,64 mg O2. Hasil percobaan 1 dan 2 tidak terlalu jauh

berbeda (Gambar 8). Menurut Beveridge (2004), konsumsi oksigen untuk ikan nila berukuran 50 gr berkisar 0,16-0,4 g O2/kg ikan/jam. Konsumsi oksigen oleh ikan nila

yang berukuran besar (100-200 gr) lebih rendah dibandingkan yang berukuran lebih kecil (50 gr). Organisme yang berbobot lebih besar mempunyai konsumsi oksigen yang lebih sedikit, karena organisme yang lebih kecil mempunyai laju metabolisme tubuh yang lebih besar sehingga membutuhkan oksigen lebih banyak (Vernberg dan Vernberg (1972) dan Spotte (1970) dalam Budiardi et al. 2005). Hasil pengamatan konsumsi oksigen untuk ikan bawal air tawar, nilem dan tawes berturut-turut 373,96 mg O2/kg/jam; 277,82 mg O2/kg/jam dan 243,54 mg O2/kg/jam (Rostim 2001).

Gambar 8. Grafik komsumsi oksigen oleh ikan 3.3.2 Peningkatan oksigen saat aerasi

Setelah kondisi oksigen turun dan mencapai kondisi hipoksia (< 3 mg/L) maka dapat dilakukan aerasi seperti pendapat Jensen et al. (1989) yang menyatakan apabila perairan untuk budidaya ikan mempunyai konsentrasi oksigen telah mencapai 3 mg/L atau di bawahnya maka disarankan untuk melakukan aerasi. Pada percobaan pertama, konsentrasi oksigen sebelum diaerasi adalah 2,05 mg/L yang juga merupakan hasil dari penambahan air sebanyak 39,57 L. Konsentrasi oksigen sebelum diambil ikan ataupun dibersihkan kotorannya merupakan titik akhir pengamatan konsumsi oksigen yaitu sebesar 1,37 mg/L. Artinya penambahan air


(37)

20

sebanyak 39,57 L menyebabkan peningkatan oksigen sebesar 0,68 mg/L atau setara dengan 26,91 mg oksigen. Pada percobaan kedua, konsentrasi oksigen sebelum diaerasi adalah 1,93 mg/L.

Menurut Triyatmo et al. (1996) menyatakan bahwa aerasi dapat meningkatkan oksigen terlarut lebih besar daripada tanpa aerasi. Hasil pengamatan konsentrasi oksigen selama proses aerasi menunjukkan adanya peningkatan oksigen secara nyata. Terdapat hubungan positif yang erat antara waktu aerasi dengan konsentrasi oksigen. Hubungan waktu aerasi dan konsentrasi oksigen pada percobaan pertama adalah Y = 0,908x+2,832 dengan R2 = 0,8197 dan pada percobaan kedua adalah Y = 0,7915x+2,413 dengan R2 = 0,9031 (Gambar 9). Setiap kali waktu aerasi

bertambah maka meningkat pula konsentrasi oksigen terlarut di perairan. Soewondo and Yulianto (2008) menyebutkan bahwa konsentrasi oksigen yang dilakukan aerasi secara terus menerus selama empat jam cenderung stabil yaitu 5 mg/L sedangkan konsentrasi oksigen yang aerasinya dihentikan selama empat jam cenderung menurun karena tidak ada suplai oksigen yang cukup. Berdasarkan persamaan regresi di atas, maka waktu untuk meningkatkan oksigen menjadi 3 mg/L pada percobaan pertama tanpa ikan uji adalah 11 menit sementara percobaan kedua dengan ikan uji adalah 45 menit. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan oksigen lebih cepat pada kondisi aerasi tanpa ikan uji (percobaan 1) daripada dengan ikan uji (percobaan 2). Hal tersebut diduga karena oksigen hasil aerasi tanpa ikan uji hanya digunakan untuk mendekomposisi bahan organik yang tersisa sementara oksigen hasil aerasi dengan ikan uji dimanfaatkan untuk respirasi ikan dan dekomposisi bahan organik yang berasal dari feses ikan seperti pendapat Oliveira and Franca (1998) bahwa aplikasi aerasi pada kolam budidaya maka oksigen akan dikonsumsi oleh ikan. Konsumsi oksigen oleh ikan ini lebih cepat daripada penyerapan oksigen di permukaan air (Oliveira and Franca 1998).

Gambar 9. Peningkatan oksigen selama proses aerasi

Percobaan pertama, kondisi hipoksia adalah 2,05 mg/L dan setelah diaerasi selama 4 jam menjadi 5,89 mg/L sehingga terjadi penambahan oksigen sebesar 3,84 mg/L atau setara dengan 921,6 mg oksigen. Pada percobaan kedua, kondisi hipoksia dengan konsentrasi oksigen sebesar 1,93 mg/L dan diaerasi selama 4 jam


(38)

meningkat menjadi 5,18 mg/L sehingga terjadi penambahan oksigen sebanyak 3,25 mg/L atau setara dengan 780 mg oksigen. Berdasarkan persamaan gas ideal maka dalam satu tabung kompresor 24 L mengandung 51,38 g oksigen.

3.4 Simpulan

Ikan membutuhkan oksigen untuk proses respirasinya sehingga terjadi penurunan oksigen selama pemeliharaan ikan. Semakin lama waktu memelihara ikan maka oksigennya semakin menurun. Rata-rata penurunan oksigen selama pemeliharaan ikan nila adalah 0,35-0,36 mg/L O2/jam. Konsumsi oksigen

berfluktuasi tergantung kondisi ikan. Rata-rata konsumsi oksigen ikan nila selama pemeliharaan ikan adalah 92,64-93,88 mg O2/kg ikan/jam. Aerasi selama 4 jam dapat

meningkatkan oksigen terlarut sebesar 3,84 mg/L untuk tanki tanpa ikan dan 3,25 mg/L untuk tanki dengan pemeliharaan ikan.


(39)

4

PENGARUH AERASI INJEKSI UDARA TERHADAP

KONSENTRASI OKSIGEN TERLARUT DI LOKASI

BUDIDAYA IKAN WADUK IR. H. DJUANDA

4.1 Pendahuluan

Kegiatan perikanan di Waduk Ir. H. Djuanda yang memberikan dampak ekologi maupun ekonomi adalah perikanan budidaya. Secara ekologi, kegiatan budidaya dapat meningkatkan input bahan organik ke perairan yang berasal dari sisa pakan yang tidak tercerna, feses dan urin ikan. Secara ekonomi dapat memberikan peningkatan pendapatan petani pemilik karamba maupun karyawannya.

Jumlah karamba jaring apung dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan pada tahun 2010 telah mencapai 19630 unit yang artinya telah melebihi kapasitas yang diijinkan yaitu 2100 unit. Salah satu dampaknya adalah penurunan kualitas air seperti konsentrasi oksigen cenderung mengalami penurunan yaitu pada tahun 1977 berkisar 5,4-7,3 mg/L menjadi berkisar 2,1-5,41 mg/L di tahun 2006 (Krismono dan Hardjamulia 1986; Tjahjo dan Purnamaningtyas 2008).

Aerasi merupakan upaya meningkatkan oksigen terlarut yang dapat dilakukan pada saat kondisi oksigen terlarut kristis dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kematian ikan (Demoyer et al. 2001; Qoyyum et al. 2005). Endo et al. (2008) menyatakan bahwa apabila kondisi oksigen rendah dapat mempengaruhi aktifitas makan, konversi pakan, pertumbuhan dan kesehatan ikan budidaya. Menurut Specce (1971) dan Fast et al. (1975) dalam Kowsari (2008) ada dua cara untuk meningkatkan oksigen di lapisan hipolimnion yaitu destratifikasi dan aerasi hipolimnion. Destratifikasi didefinisikan sebagai pencampuran lapisan danau dengan sirkulasi buatan (artificial circulation) sementara aerasi hipolimnetik adalah oksigenasi tanpa terjadi perubahan profil suhu di badan air. Sementara menurut Seller (1981), aerasi hipolimnetik adalah suatu cara untuk meningkatan oksigen hipolimnion dimana proses aerasi secara menyeluruh terjadi di lapisan hipolimnion dengan tekanan udara dari kompresor tanpa ada pembalikan massa air ke permukaan danau atau waduk. Memasukkan udara ke dalam lapisan hipolimnion dapat meningkatkan kandungan oksigen terlarut pada lapisan bawah (Seller 1981). Beberapa keuntungan aerasi hipolimnetik antara lain 1). Tidak meningkatkan suhu pada lapisan hipolimnetik, 2). Tidak memindahkan nutrien dari hipolimnion ke epilimnion yang dapat memacu pertumbuhan alga, 3). Meningkatkan konsentrasi oksigen dan mencegah peningkataan konsentrasi beberapa materi kimia seperti besi, mangan, dan sulfida yang menyebabkan air berbau, berwarna di lapisan hipolimnion (Kowsari 2008).

Udara mengandung oksigen 20,95%. Tekanan oksigen di udara menggerakkan oksigen masuk air sampai tekanan oksigen di air sama dengan tekanan oksigen di udara (Boyd 1998). Menurut Boyd (1998) oksigen atmosfer masuk ke air melalui difusi dan cepat mencapai kondisi jenuh. Sementara oksigen permukaan berdifusi ke lapisan bawah lebih lambat dibandingkan pada waktu difusi dari atmosfer menuju permukaan perairan. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh aerasi dengan injeksi udara terhadap konsentrasi oksigen terlarut perairan di lokasi budidaya ikan.


(40)

4.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di lokasi budidaya ikan dalam karamba jaring apung pada bulan Juni-Agustus 2013. Penelitian dilakukan pada satu karamba yang berukuran panjang 7 m, lebar 7 m dan kedalaman 4 m. Aerasi dilakukan dengan memompakan udara pada kedalaman hipoksia sesuai dengan hasil pengamatan pada Bab 2 yaitu > 3 m sehingga dilakukan pada 3,6 m dengan kompresor bertekanan 3 atm merupakan tekanan yang lebih besar dari tekanan hidrostatik pada kedalaman 3,6 m yaitu 136605 Pa atau 1,35 atm. Berdasarkan penelitian Santoso (2010) semakin besar tekanan udara untuk aerasi yang diberikan akan meningkatkan oksigen yang terlarut ke air sehingga mikroorganisme akan berkembang dengan baik sebagai pengurai zat organik. Instalasi alat aerasi dengan sistem difusi ini seperti pada skema Gambar 4. Pipa aerasi yang digunakan adalah pipa PVC (Mobley and Brock 1995) jenis AW yang kuat pada tekanan tinggi; berdiameter ¾ inch; ketebalan pipa 1,8 mm dan panjang pipa 3,7 m. Lubang pipa dibuat pada kedalaman 3,6 m dengan diameter 2 mm dengan tujuan agar menghasilkan gelembung berukuran kecil. Diameter lubang berpengaruh terhadap transfer oksigen. Diameter lubang yang lebih kecil akan menghasilkan gelembung yang lebih kecil. Gelembung yang lebih kecil mempunyai luas permukaan per unit gelembung lebih besar, laju kenaikan sampai atas berkurang sehingga dapat meningkatkan waktu kontak gelembung dan air karena semakin sering molekul oksigen kontak dengan air maka pelarutan oksigen ke dalam air semakin besar (Haryanto et al. 2005), serta terjadi peningkatan jumlah total gelembung di kolom air setiap pertukaran gas sehingga dapat meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas (Sahoo and Luketina 2003; Tucker 2005; Ashley et al. 2009; EPA 2009). Gelembung udara yang lebih kecil mempunyai kemampuan transfer oksigen enam kali lebih besar dibandingkan gelembung yang besar (Schierholz et al. 2006). Pengamatan oksigen terlarut dilakukan setiap jam yaitu secara vertikal pada kedalaman 0;1;2;3;3,6 dan 4 m dan secara horizontal pada jarak -1,5 m (di belakang pipa diffuser); 0 (pada pipa diffuser); 1,5 m (sebelah kanan dan kiri pipa); +1,5; +3 dan +6 m (di depan pipa diffuser) ( seperti Gambar 10) serta jarak 17 m dari pipa yang merupakan kontrol.

Selain ukuran pori dan gelembung yang mempengaruhi transfer oksigen, ternyata oli pelumas dari kompresor dapat juga mempengaruhi transfer oksigen sehingga diperlukan filter udara pada proses aerasi ini. Filter udara yang berfungsi untuk menyaring udara dari kompresor sebelum masuk ke pipa yang disalurkan ke perairan sehingga kontaminan seperti air dan minyak pelumas atau oli dapat disingkirkan. Udara kompresor mengandung oli pelumas yang akan mempengaruhi laju transfer oksigen ke perairan. Kompresor akan melepaskan sedikit oli pelumas sekitar 28 gr/L dalam udara kompresor. Oli ini merupakan kontaminan dari gelembung udara yang dapat menghambat transfer oksigen dari udara ke permukaan air sehingga mengurangi efisiensi transfer oksigen (Ashley 1985).


(1)

Cowell BC, Dawes CJ, Gardiner WE, Scheda SM. 1987. The influence of whole lake aeration on the limnology of a hypereutrophic lake in central Florida.

Hydrobiologia 148:3-24

Dauve B, Middleburg JJ, Herman PMJ. 2001. Effect of the oxygen on the degradability of organic matter in subtidal and intertidal sediment on the north Sea area. Marine Ecology Progress Service 215: 13-21

DeMoyer CD, Gulliver JS, Wilhelms SC. 2001. Comparison of sub merged aerator effectiviness. Journal of Lake and Reservoir Management 17 (2): 139-152

Desa E, Madhan R, Maurya P, Navelker G, Mascerontias A, Prabhudesai S, Afzulpurkar SA, Pascoal A, Nambiar. 2009. The detection of annual hypoxia in a low latitude freshwater reservoir in Kerala, India using the small AUV maya.

Marine Technology Society Journal 43 (3): 60-70

Dhage SS, Dalvi AA, Prabhu D. 2012. Reaction kinetics and validity of BOD test for domestic wastewater released in marine ecosystems. Environ. Monit. Assess 184: 5301-5310

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta. 2011. Statistik Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta. p 51

Donk EV, Hessen DO, Verschoora AM, Gulati RD. 2008. Re-oligotrophication by phosphorus reduction and effects on seston quality in lakes. Limnologica 38: 189-202

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air : Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan Lingkungan . Kanisius. Yogyakarta. p 250

Endo A, Srithongouthai S, Nashiki A, Teshiba I, Iwasaki T, Hama D, Tsutsumi H. 2008. DO-increasing effects of a microscopic bubble generating system in a fish farm. Marine Pollution Bulletin 57: 78-85

Environmental Protection Agency (EPA). 2009. Waste water technology : fine bubble aeration. Fact sheet EPA 832 F 99. p 7

Floyd RF. 1997. Dissolved Oxygen for Fish Production. Fact Sheet FA-27. Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida.

Gantzer PA. 2002. Diffuser Operations at Spring Hollow Reservoir. Thesis. Virginia Tech, Virginia

Gantzer PA, Bryant LD, Little JC. 2009. Effect of hypolimnetic oxygenation on oxygen depletion rates in two water supply reservoir. Water Research 43: 1700-1710

Gawroska H, Brzozowska R, Grochowska J, Lossow K. 2003. Possibilities reduce internal loading to water by artificial aeration. Polish Journal of Environmental Studies 12 (2): 171-179

Grochowska J, Gawronska H. 2004. Restoration effectiviness of a degraded lake using multi year artificial aeration. Polish journal Environmental Studies 13 (6): 671-681

Guo L, Li Z, Xie P, Ni L. 2009. Assessment effects of cage culture on nitrogen and phosphorus dynamics in relation to fallowing in a shallow lake in China.

Aquacult Int 17: 229-241

Hartoto DI. 1993. Experimental aeration with Limnotek 3.1, impacts to dissolved oxygen level. Limnotek 1 (1) : 33-37

Haryanto E, Arum I, Susetyaningsih R. 2005. Pengaruh bentuk diffuser terhadap transfer oksigen. Jurnal Rekayasa Perencanaan 2 (1): 1-18


(2)

Jensen GL, Bankston JD, Jensen JW. 1989. Pond Aeration. SRAC Publication No. 371

Ji ZG. 2008. Hydrodynamics and Water Quality: Modelling Rivers, Lakes, and Estuaries. Wiley Interscience. p 675

Koswara B. 2011. Restorasi Waduk Saguling melalui aplikasi metoda ekoteknologi.

Jurnal Akuatika 2 (2): 126-134

Kowsari A. 2008. Analysis of design factors influencing the oxygen transfer efficiency of a speece cone hypolimnetic aerator. Thesis. University of British Columbia. p 119

Kramer DL. 1987. Dissolved oxygen and fish behavior. Environmental Biology of Fishes 18 (2): 81-92

Krismono, Astuti LP, Warsa A. 2008. Evaluation of Water quality at Ir H Djuanda Reservoir, Jatiluhur in two decades (1984 – 2004). Proceeding international conference on Indonesian inland water : system and its utilazation. Research Institute for Inland Fisheries, Palembang.

Krismono ASN, Hardjamulia A. 1986. Distribusi vertikal oksigen terlarut, suhu air dan kandungan bahan organik di Waduk Jatiluhur Jawa barat.

Bull.Penel.Perik.Darat. 5 (2): 83-89.

Krismono. 1992. Hubungan antara Tingkat Trofik dengan Populasi KJA mini di suatu badan air. Buletin Penelitian Perikanan Darat 1: 45-50

Masser MP. 1997. Cage Culture: Site Selection and Water Quality. Southern Regional Aquaculture Center (SRAC) Publication No. 161. p 4

Mc. Donald, Tikkanen ME, Axler CA, Larsen C P, Host G. 1996. Fish Simulation Culture Model (FIS-C): A Bioenergetics Based Model for Aquacultural Wasteload Application. Aquaculture Engineering 15 (4): 243-259

Mc. Queen DJ, Lean DRS, Charlton MN. 1986. The effect of hypolimnetic aeration on iron phosphorus interaction. Wat.Res. 20 (9): 1129-1135

Mobley MH, Brock WG. 1995. Widespread Oxygen bubble to improve reservoir release. Lake and Management II (3): 231-234

Mueller JA, Boyle WC, Popel HJ. 2002. Aeration : Principles and practice. Volume 11. Editor: Eckenfelder, W.W., J.F. Malina and J.W. Potterson. CRC Press. p 368.

Mustapha MK. 2008. Assessment of the Water Quality of Oyun Reservoir, Offa, Nigeria, Using Selected Physico-Chemical Parameters. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 8: 309-319

Nastiti AS, Krismono, Kartamihardja ES. 2001. Dampak Budidaya Ikan Dalam Karamba Jaring Apung terhadap Peningkatan Unsur N dan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 7 (2): 22-30.

Nordin RN, McKean CJP. 1982. A review of lake aeration as a technique for water quality improvement. APD Bulletin 22. Ministry of Environment, Province of British Columbia. p 40

Numberg GK. 2004. Quantified hypoxia and anoxia in lake and reservoir. The Scientific World Journal 4: 42-54.

Oliveira MEC, Franca AS. 1998. Simulation of oxygen mass transfer in aeration system. Int.Comm.Heat Mass Transfer 25 (6): 853-862

Panhotta RS, Bianchini Jr I. 2003. Potential cycling of organik matter in a eutrophic reservoir (Barra bonita, SP- Brazil). Acta Limnol Bras. 15 (2): 1-11


(3)

Pavlovskii EN. 1964. Techniques for the investigation of fish physiologi. Israel Program for scientific Translation Ltd, Jerusalem

Pena MA, Katsev S, Oguz T, Gilbert D. 2010. Modelling a dissolved oxygen dynamic and hypoxia. Biogeoscience 7: 933-957

Philips MJ, Beveridge MCM, Macintosh DJ. 1990. The impact of aquaculture on the coastal environment. Proceedings of ISCZC

Polli. B. 1994. Kajian konsep pengukuran BOD sebagai indicator pendugaan pencemaran bahan organik di perairan daerah tropis. Disertasi. IPB, Bogor. p 80 Qayyum A, Ayub M, Tabinda AB. 2005. Effect of Aeration on Water Quality, Fish

Growth and Survival in Aquaculture Ponds. Pakistan J. Zool. 37 (1): 75-80

Romayanto MEW, Wiryanto Sajidan. 2006. Pengelolaan limbah domestic dengan aerasi dan penambahan bakteri Pseudomonas putida. Bioteknologi 3 (2): 42-49

Rostim A. 2001. Tingkat konsumsi oksigen ikan bawal air tawar (Colossoma macroponum), ikan nilem (Osteochillus hasselti, C.V.) dan ikan tawes (Puntius Javanicus Blkr). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. p 52

Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan ksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana 30 (3): 21-26

Santoso B. 2010. Proses pengelolaaan air buangan industry tapioca. Jurnal Ilmiah Teknologi Dan Rekayasa 15 (3): 213-220

Sarnita AS. 1981. Pengelolaan Perikanan Waduk Jatiluhur. Prosiding Seminar Perikanan Periran Umum. Puslitbang Perikanan. Jakarta. p 211-221

Schierholz EL,. Gulliver JS, Wilhelms SC, Henneman HE. 2006. Gas Transfer from air diffusers. Water Research 40: 1018-1026

Schmittou HR. 1991. Cage Culture: A Method of Fish Production in Indonesia. Fisheries Research and Development Project. Central Research Institute for Fisheries, Jakarta

Seller BH. 1981. Destratification and Reaeration as Tools for In-Lake Management.

Water SA 7.(3): 185-191

Selvamuruga M, Doraisamy P, Maheswari M, Nandakumar NB. 2010. Evaluation of Batch Aeration as a Post Treatment for Reducing the Pollution Load of Biomethanated Coffee Processing Waste Water. Global Journal of Environmental Research4 (1): 31-33

Simarmata AH. 2007 Kajian keterkaitan antara kemantapan cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di Waduk Ir. H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. p 141

Simarmata AH, Adiwilaga EM, Lay BW, Partono T. 2008. Kajian keterkaitan antara cadangan oksigen dan beban bahan organikdi zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Djuanda. Jurnal penelitian Perikanan Indonesia 14 (1): 1-14

Singh B. 2004. Determination of BOD kinetic parameters and evaluation of alternate methods. Thesis. Department Of Biotechnology & Environmental Sciences. Thapar Institute Of Engineering & Technology. p 74

Soewondo P, Yulianto A. 2008. The effect of aeration mode on submerged aerobic bio filter reactor for grey water treatment. Journal of Applied Science in Environmental Sanitation 3 (3): 169-175

Soltero RA, Sexton LM, Ashley KI, McKee KO. 1994. Partial and full lift hypolimnetic aeration of Medical Lake, W.A to improve water quality. Wat.Res 28 (11): 2297-2308


(4)

Stickney RR. 2009. Aquaculture, 2nd Edition : An introductory text.Cambridge University Press, UK. p 320

Straskraba M. 1994. Ecotechnological models for reservoir water quality management. Ecological Modelling 74: 1-38

Sudjana T. 2004. Kebijakan Perum Jasa Tirta II Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Waduk Ir. H Djuanda Untuk Perikanan Budidaya. Prosiding Pengembangan Budidaya Perikanan di Perairan Waduk. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta. p 1-8

Sulihingtyas WD, Suyasa IWB, Wahyuni NMI. 2010. Efektivitas sistem pengolahan instalasi pengolahan air limbah Suwung Denpasar terhadap kadar BOD, COD, dan amonia . Jurnal Kimia 4 (2): 141-148

Sunanisari, S. 1993. Experimantal aeration with Limnotek 3.1, impact on organic matter and ammonia. Limnotek 1 (1): 47-52

Sunu P. 2001. Melindungi lingkungan dan menerapkan ISO 14001. PT Grasindo, Jakarta

Tchobanoglous G, Burton FL, Stensel HD. 2003. Waste water engineering ; Treatment and reuse. 4th edition. Mc. Graw Hill. p 1818

Thang VQ, Quan PV, Ha BTT, Thuy NT. 2005. Evaluation of biodegradation rate constant (k) and BOD pollution in the lake system of Hanoi. Annual Report of FY 2004,The Core University Program between Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) and Vietnamese Academy of Science and Technology (VAST). p 115-119

Tjahjo DWH, Purnamaningtyas SE. 2008. Kajian kualitas air dalam evaluasi pengembangan perikanan di waduk Ir. H djuanda, Jawa Barat Jurnal penelitian Perikanan Indonesia 14 (1): 15-30

Toufeek MAF, Korium MA. 2009. Physicochemical Characteristics of Water Quality in Lake Nasser Water. Global Journal of Environmental Research 3 (3): 141-148

Triyatmo B, Radjagukguk B, Lelana IYB. 1996. Kualitas air dan tanah tambak udang yang mendapat perlakuan pengeringan dan aerasi setelah penggenangan. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada 1 (1): 1-11

Tucker C. 2005. Pond aeration. Southern Regional Aquaculture Center (SRAC) Publication No 3700.

Ujang ZMR, Salim, Khor SI. 2002. The effect of aeration and non aeration time on simultaneaous organik, nitrogen and phosphorus removal using an intermittent aeration aeration membrane bio reactor. Water Science and Technology 46 (9): 193-200

Verma N, Dixit S. 2006. Effectiviness of aeration units in improving water quality of Lower Lake, Bophal, India. Asian J.Exp. Sci. 20 (1): 87- 95

Wetzel RG. 2001. Lymnology Lake and River Ecosystem Third Edition. Academic Press, California. p 1006

Wu RSS. 2009. Effect of hypoxia on fish reproduction and development. In Hypoxia. Edited by Richard JG, Farrel AP, Brauner CJ.. Elsevier. p 528


(5)

Lampiran 1. Foto-foto selama kegiatan aerasi di Waduk Ir. H. Djuanda

Pemasangan alat aerasi di KJA Saat aerasi

Ikan berkumpul di bawah permukaan dekat lubang aerator pada karamba teraerasi

Ikan di permukaan pada karamba tidak diaerasi


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sleman pada tanggal 20 Desember 1974 sebagai anak kedua dari pasangan Purwadi, B.A dan Siyem Marhenti. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret lulus tahun 1998. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan doktoral diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan dan Perikanan sejak tahun 2004 dan ditempatkan di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan yang terletak di Purwakarta, Jawa Barat. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah sumberdaya dan lingkungan di bawah kelompok penelitian rehabilitasi habitat.

Karya ilmiah yang telah diterbitkan antara lain:

1. Astuti LP, Adiwilaga EM, Setiawan BI, Pratiwi NTM. 2014. Effect of Aeration on the Rate of Biochemical Oxygen Demand (BOD) in Floating Net Cages in Ir. H Djuanda Reservoir, West Java, Indonesian. Journal of Applied Biotechnology 2 (2): 82 – 90

2. Astuti LP, Adiwilaga EM, Setiawan BI, Pratiwi NTM. 2014. Kondisi Hipoksia dan Laju Dekomposisi Bahan Organik di Lokasi Budidaya lkan Waduk lr. H. Djuanda. Jurnal Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap 6 (4).

3. Astuti LP, Adiwilaga EM, Setiawan BI, Pratiwi NTM. 2014. Oxygen cosumption by fish and dissolved oxygen increasing by diffused aeration

Proceeding of International Conference on Inland Fisheries. Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum.