(OEE) Pada PT. XYZ
(OEE) Pada PT. XYZ
Gerry Anggasta Dhaneswara *1) , Fakhrina Fahma 2) 1,2) Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret,
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta, 57126, Indonesia Email: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Dalam dunia perindustrian, kelancaran proses produksi merupakan fokus utama pada perusahaan. Kelancaran proses produksi ditunjang oleh berbagai aspek salah satunya adalah aspek mesin dan peralatan produksi. Kondisi mesin dan alat produksi berpengaruh terhadap efektivitas mesin dan jumlah output yang dapat dihasilkan. PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dibidang garmen, dimana terdapat permasalahan pada departemen embroidery yaitu tidak tercapainya target produksi yang disebabkan oleh adanya gangguan pada mesin. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan metode Overall Equipment Efectiveness (OEE). OEE merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kinerja atau tingkat produktifitas mesin serta peralatan produksi yang menghasilkan Six Big Losses. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya berbagai macam losses (kerugian) pada mesin dan memberikan alternatif pencegahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas. Hasil perhitungan nilai Overall Equipment effectiveness (OEE) untuk kedua mesin masih bernilai lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai ideal OEE yaitu 85%.
Kata kunci : Downtime, Embroidery, OEE
1. Pendahuluan
Dalam dunia perindustrian, kelancaran proses produksi merupakan fokus utama pada perusahaan. Hal ini dikarenakan industri merupakan suatu perusahaan yang mengubah input menjadi output sehingga dapat menghasilkan produk siap pakai bagi konsumennya. Kelancaran proses produksi ditunjang oleh berbagai aspek salah satunya adalah aspek mesin dan peralatan produksi. Untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang baik, selain diperlukan sumber daya manusia yang berkompeten dan bahan baku serta material yang baik juga diperlukan mesin serta alat produksi yang memiliki kondisi prima. Hal ini dikarenakan kondisi mesin dan alat produksi berpengaruh terhadap efektivitas mesin dan jumlah output yang dapat dihasilkan. Mesin dengan kondisi yang tidak prima dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam Losses. Losses dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja mesin yang akan menganggu kelancaran proses produksi perusahaan ditandai dengan sering berhentinya mesin pada saat proses produksi sehingga Losses harus segera diminimalisir. Proses produksi yang terganggu dapat menimbulkan kerugian perusahaan dikarenakan dapat mengurangi keuntungan perusahaan karena ketidakmampuan mesin dalam menghasilkan jumlah output yang sudah ditentukan dan meningkatnya biaya untuk memperbaiki mesin yang bermasalah (Malik dan Hamsal, 2013).
PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dibidang garmen yang memproduksi berbagai pakaian sports dan pakaian outdoor yang diekspor ke Amerika Serikat, Asia, Australia, Eropa, Kanada, dan negara-negara lainnya. Perusahaan ini merupakan produsen garmen yang berorientasi pada proses make to order dimana perusahaan melakukan proses produksi apabila menerima pesanan dari konsumen. Berdasarkan pengamatan dan hasil observasi lapangan dengan para karyawan, pada proses embrodery (bordir) terjadi permasalahan yaitu tidak tercapainya target produksi. Tidak tercapainya target produksi disebabkan karena adanya gangguan pada mesin sehingga mesin tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya dalam menghasilkan produk.
Masalah yang ada dapat diatasi dengan melakukan pemeliharaan mesin dan alat produksi yaitu dengan dilakukan penerapan Total Productive Maintenance (TPM). Menurut Nakajima
(1989), TPM digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses produksi. TPM dapat diukur dengan menggunakan metode Overall Equipment Efectiveness (OEE). Menurut Almeanazel (2010), dengan perhitungan OEE, perusahaan dapat mengetahui efektifitas penggunaan mesin saat ini dan cara untuk meningkatkan efekivitas tersebut.
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai Overall Equipment Effectiveness antara lain yaitu pada Pengukuran Nilai Overall Equiment Effectiviness sebagai Dasar Usaha Perbaikan Proses Manufaktur Pada Lini produksi (Betrianis dan Robby Suhendra, 2005) dan Usulan Peningkatan Overall Equipment Effectveness (OEE) Pada Mesin Tapping Manual dengan Meminimumkan Six Big Losses (Alvira. D, Helianty. Y, Prassetiyo, H., 2015).
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya berbagai macam losses (kerugian) pada mesin dan memberikan alternatif pencegahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas. Nilai OEE diukur berdasarkan losses (kerugian) yang terdapat pada mesin embroidery (bordir) sebagai dasar dalam perhitungan efektivitas, dan produktivitas.
2. Metode
Penelitian ini diawali dengan tahap pengumpulan data downtime, data operation time mesin, data loading time dan data produksi mesin Embroidery pada tanggal 14 – 31 Agustus 2017. Kemudian dilakukan pengolahan data dengan perhitungan Metode OEE. OEE adalah sebuah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kinerja atau tingkat produktifitas mesin serta peralatan produksi yang menghasilkan Six Big Losses atau enam kerugian yang harus dihindari. Six Big Losses dikategorikan menjadi tiga yaitu :
1. Down Time Losses
Down Time Losses terjadi disebabkan oleh adanya Equipment Failure yaitu kerusakan pada mesin yang terjadi saat mesin sedang beroperasi dan Set Up and Adjustment yaitu kerugian kehilangan waktu yang dibutuhkan untuk set up dan penyesuaian (adjustment).
2. Speed Losses
Speed Losses terjadi disebabkan oleh adanya Idling and Minor Stoppages yaitu kerugian akibat kerusakan pada mesin saat sedang beroperasi dan Reduced Speed Losses yaitu kerugian yang terjadi jika kecepatan mesin yang digunakan belum optimal.
3. Quality Losses
Quality Losses terjadi disebabkan oleh adanya Defect in process yaitu produk cacat dan Reduced Yield Losses yaitu perbedaan kualitas produk yang di produksi pada awal proses dengan mesin dalam keadaaan stabil.
OEE digunakan sebagai alat untuk mengukur kinerja dari suatu sistem dalam hal ketersediaan mesin atau peralatan (availability), efisiensi produksi (performance), dan kualitas (Quality) produksi. Untuk itu hubungan antara ketiga elemen produktifitas tersebut dapat dilihat pada rumus dibawah ini.
(1) Availability menunjukan seberapa besar mesin serta peralatan produksi tersedia yang dapat
dihitung dengan membandingkan waktu operasi dengan waktu persiapan. Pengukuran terhadap Availability dengan persamaan berikut
(2) Downtime = Loading Time – Operation Time
(3) Dimana, Downtime merupakan waktu yang terbuang atau waktu tidak produktif. Operation Time menunjukan waktu yang digunakan oleh mesin untuk melakukan produksi dan Loading Time adalah menunjukan waktu kerja mesin seharusnya.
Performance digunakan untuk menilai kinerja mesin serta peralatan dalam menghasilkan output terhadap tingkat kecepatan standar yang sudah ditentukan. Formula pengukuran ini adalah sebagai berikut :
Quality rate digunakan untuk menilai kualitas output suatu proses produksi yang dihitung dengan membandingkan jumlah output jadi yang baik dengan jumlah output yang masih dalam proses. Formula pengukuran ini adalah sebagai berikut :
Berikut merupakan kriteria nilai ideal OEE
Tabel 1. Nilai Ideal Perhitungan OEE
Sumber: Seiichi Nakajima (1989)
3. Hasil dan Pembahasan
Pehitungan yang dilakukan adalah perhitungan Availability Rate, Performance Rate, dan Quality Rate . Setelah ketiganya dihitung kemudian baru dilakukan perhitungan Overal Equipment Effectiveness (OEE).
Tabel 2. Perhitungan Availability Mesin 1
MESIN 1
Ideal Availability No.
Loading Time
Operation Time
Tanggal Availability Rate
Rata - rata
Tabel 3. Perhitungan Availability Mesin 2
MESIN 2
Ideal Availability No.
Loading Time
Operation Time
Tanggal Availability Rate
Rata - rata
Contoh perhitungan Availability Rate Mesin 1 pada tanggal 14 Agustus 2017 :
Nilai rata-rata dari availability rate pada mesin 1 adalah 86% dan nilai rata-rata dari availability rate pada mesin 2 adalah 87%. Nilai Availability rate mesin 1 lebih rendah dibanding mesin 2 namun nilai Availability rate kedua mesin masih dibawah nilai ideal availability rate, dan ini dianggap masih rendah untuk perusahaan.
Tabel 4. Perhitungan Performance Mesin 1
Performance No.
Actual Cycle
Tanggal
Cycle Time
Performance
Time (Detik)
Rata -rata
Tabel 5. Perhitungan Performance Mesin 2
Performance No.
Actual Cycle
Tanggal
Cycle Time
Performance
Time (Detik)
Rata -rata
Contoh perhitungan Performance Rate pada 10 Agustus 2017 :
Nilai rata-rata dari performance rate mesin 1 adalah 96,64% dan nilai rata-rata dari performance rate mesin 2 adalah 96,64%, kedua nilai performance rate ini bernilai sama dan dianggap sudah ideal untuk perusahaan.
Tabel 6. Perhitungan Quality Rate Mesin 1
MESIN 1
Jumlah Produksi Produk Defect Good Output Quality Ideal Quality No. Tanggal
Rate Rate
Rata -rata
Tabel 7. Perhitungan Quality Rate Mesin 2
MESIN 2
Ideal Jumlah Produksi Produk Defect Good Output Quality
No. Tanggal Quality
Rate Rate
Rata -rata
Contoh perhitungan Quality Rate mesin 1 pada tanggal 14 Agustus 2017 :
Pada tanggal 14 Agustus 2017 hingga 31 Agustus 2017 nilai rata-rata dari quality rate pada mesin
1 adalah 96% dan pada mesin 2 adalah 97%. Nilai quality rate tersebut tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan nilai Quality Rate ideal, namun dianggap kurang karena nilainya masih berada dibawah 99%. Nilai Quality Rate tersebut menunjukkan mesin bordir masih menghasilkan produk dengan proporsi cacat yang sedikit.
Tabel 8. Perhitungan OEE Mesin 1
MESIN 1
Ideal No.
Quality Rate
OEE
Rate
Rate
OEE
1 14-Agu-17
2 15-Agu-17
3 16-Agu-17
4 18-Agu-17
5 21-Agu-17
6 22-Agu-17
7 23-Agu-17
8 24-Agu-17
9 25-Agu-17
10 28-Agu-17
11 29-Agu-17
12 30-Agu-17
13 31-Agu-17
Rata-Rata
Tabel 9. Perhitungan OEE Mesin 2
MESIN 2
Ideal No.
Quality Rate
Contoh perhitungan OEE mesin 1 pada tanggal 14 Agustus 2017 :
Nilai rata-rata dari OEE pada mesin 1 adalah 82,93% dan pada mesin 2 adalah 82,78%. Jika dilihat kedua nilai rata-rata OEE pada mesin bernilai sama yaitu masih berada dibawah nilai ideal.
Pareto Six Big Losses Mesin 1
Breakdown Losses
Setup and adjustment
Idling and minor
stoppages
Total Time Losses (Detik)
Persentase
Gambar 1. Pareto Six Big Losses Mesin 1
Pareto Six Big Losses Mesin 2
Breakdown Losses
Setup and adjustment
Idling and minor stoppages
Total Time Losses (Detik)
Persentase
Gambar 2. Pareto Six Big Losses Mesin 2
Losses yang paling sering terjadi pada kedua mesin Embroidery selama tanggal 14 Agustus 2017 sampai 31 Agustus 2017 adalah Breakdown losses, kemudian setup and adjusment dan terakhir Idling and minor stoppages. Jadi losses yang harus segera di prioritaskan untuk dikurangi adalah breakdown losses atau dapat dilihat sebagai availibility losses, karena waktu yang digunakan untuk mengganggur sangat tinggi dan sangat mempengaruhi availability rate.
Gambar 3. Fishbone Diagram Breakdown Losses
Berdasarkan gambar 3 untuk diagram fishbone terdapat enam akar permasalahan yang menyebabkan lamanya pada mesin bordir. Pertama dari segi mesin, faktor-faktornya adalah mesin kotor dan mesin sering breakdown, kedua hal tersebut mengakibatkan operator harus menunggu untuk menggunakannya apabila bahan tersangkut atau terjadi pergantian komponen rusak.
Kemudian dari segi manusia, adalah operator kurang responsif terhadap kondisi lapangan, hal itu dikarenakan kurang disiplinnya operator. Operator melakukan pengecekan jika mengingatnya. Operator seharusnya melakukan pengecekan setiap hari dan setiap shift Kemudian dari segi manusia, adalah operator kurang responsif terhadap kondisi lapangan, hal itu dikarenakan kurang disiplinnya operator. Operator melakukan pengecekan jika mengingatnya. Operator seharusnya melakukan pengecekan setiap hari dan setiap shift
Rekomendasi yang dapat dilakukan dalam peningkatan performa atau keefektifitasan mesin adalah membuat SOP yang jelas mengenai perawatan mesin secara berkala dan melakukan pelatihan-pelatihan untuk menanam kesadaran kepada seluruh karyawan agar ikut berperan aktif dalam meningkatan produktivitas dan efisiensi perusahaan.
4. Simpulan
Dari hasil perhitungan nilai Overall Equipment effectiveness (OEE) pada bagian embroidery (bordir) didapatkan nilai OEE pada mesin 1 berkisar 74,99% hingga 85,88% dan pada mesin 2 berkisar 77,64% hingga 87,18%. dengan nilai rata-rata mesin 1 sebesar 82,93% dan pada mesin
2 sebesar 82,78%. Kedua nilai tersebut bernilai sama masih rendah dibandingkan nilai ideal OEE yaitu 85%. Faktor yang menyebabkan rendahnya nilai OEE disebabkan oleh rendahnya Availability rate yang disebabkan masih banyaknya stop loss.
Dilihat dari diagram pareto adalah banyaknya waktu breakdown loss. Kemudian dibuat fishbone diagram untuk waktu breakdown loss tersebut, dan didapatkan faktor yang menyebabkan breakdown loss adalah penjadwalan pergantian komponen belum efektif, mesin kotor, mesin sering breakdown, dan operator kurang responsif terhadap kondisi lapangan, setelah dianalisis Sehingga harus dilakukan kaizen (improvement) untuk meningkatkan nilai Overall Equipment Effecttiveness (OEE) .
Daftar Pustaka
Almeanazel, O.T.R. (2010). Total Productive Maintenance Review and Overall Equipment Effectiveness Measurement. Jordan Journal of Mechanical and Industrial Engineering ,Vol. 4, No. 4. ISSN 1995-6665,Department Of Industrial Engineering, Hashemite University, Zarqa, Jordan.
Davis, Roy. (1995). Productivity Improvements Through TP :The Philosophy and Application of Total Productive Maintenance . Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc. Lisnawati, Cut. (2009). Usulan Perbaikan Efektifitas Mesin dengan Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness Sebagai Dasar Penerapan Total Productive Maintenance di PT Wika, Medan.
Malik, N.A. dan Hamsal, M. (2013). Pengukuran Kinerja Operasional Melalui Implementasi Total Productive Maintenancedi PT. XYZ. Journal of Business and Entrepreneurship Magister Manajemen . Vol. 1, No. 2, ISSN: 2302 - 41 19. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Nakajima, Seiichi. (1989). TPM Development Program : Implementing Total Productive Maintenance , Cambridge : Productivity Press, Inc.
Pengurangan Waste Dengan Pendekatan Lean Manufacturing
untuk Memperbaiki Lead Time
Hally Nur Aflah 3) , Endang Prasetyaningsih , dan Chaznin R. Muhammad
1, 2, 3) Prodi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung,
Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116 Indonesia Email : [email protected] 1) [email protected] 2) [email protected] 3)
ABSTRAK
Home industry CIP merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pembuatan kaos kaki. Kegiatan produksi yang dilakukan saat ini masih terdapat pemborosan (waste) yang menyebabkan bertambahnya lead time . Hal tersebut mengakibatkan pesanan tidak dapat terpenuhi sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Pada penelitian ini, pengurangan lead time dilakukan dengan mengurangi waste menggunakan pendekatan lean manufacturing. Tahapan yang dilakukan meliputi pembuatan diagram SIPOC, identifikasi waste dengan menggambarkan ke dalam Value Stream Mapping (VSM) current state, serta melakukan perbandingan cycle time dengan takt time. Selanjutnya, jenis waste yang terjadi diidentifikasi dengan pendekatan Waste Assessment Model (WAM), sehingga diketahui empat jenis waste yang memiliki persentase tertinggi ialah waste jenis defect, inventory, motion, dan waiting. Kemudian, akar penyebab terjadinya waste diidentifikasi dengan metode 5W-1H. Terakhir, diusulkan perbaikan pada keempat jenis waste tersebut, sehingga diharapkan dapat terjadi penurunan lead time sebesar 34,146%.
Kata Kunci: Lean Manufacturing, Value Stream Mapping (VSM), Waste Assessment Model (WAM)
1. Pendahuluan
Citra Iqra Pratama merupakan perusahaan home industry di Bandung yang bergerak dalam bidang pembuatan kaos kaki seperti kaos kaki sekolah, sport, dan muslimah. Semua proses produksi dilakukan di perusahaan tersebut mulai dari proses pengolahan benang yang telah dibeli sampai menjadi kaos kaki siap kirim.
Untuk memenuhi permintaan dan kepuasan konsumen, perusahaan ini selalu berusaha meningkatkan produksinya dengan melakukan penurunan waktu proses pengerjaan produk. Namun demikian, pada kegiatan produksi yang dilakukan saat ini masih terdapat kegiatan yang tidak memiliki nilai tambah (non-value added). Hal tersebut mengakibatkan pesanan tidak dapat terpenuhi sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Berdasarkan observasi awal diperoleh data produk yang tidak dapat dipenuhi selama bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2017 yang mengakibatkan berkurangnya kepuasan konsumen. Berdasarkan pengamatan lanjutan ditemukan adanya beberapa kendala produksi, yakni proses produksi dilakukan di lantai satu untuk proses permesinan dan di lantai dua untuk proses finishing, sehingga memerlukan waktu transportasi yang lama. Selain itu, terdapat juga proses menunggu ketika terjadi kerusakan mesin. Adapun gerakan operator yang berlebihan saat mengambil part yang akan diproses juga menyebabkan kendala produksi. Sementara itu, terjadi penumpukan WIP (Work In Process) pada mesin som, yang disebabkan oleh jumlah mesin hanya 1 unit. Penumpukan ini meningkat apabila operator tidak masuk kerja. Selanjutnya terdapat juga produk cacat yang mengakibatkan berkurangnya jumlah produk akhir. Semua hal tersebut dapat dikatakan sebagai pemborosan (waste) dalam kegiatan produksi dan menyebabkan permasalahan bertambahnya lead time.
Salah satu upaya mengurangi lead time adalah dengan menciptakan aliran lancar pada proses produksi. Menurut Gaspersz (2006) pendekatan lean manufacturing merupakan suatu pendekatan dengan melakukan efisiensi atau perampingan, dengan sasaran untuk menciptakan aliran lancar produk sepanjang proses value stream (value stream process) dan menghilangkan semua jenis pemborosan. Suatu proses produksi dikatakan lancar jika bahan melewati proses dengan waktu sesingkat mungkin (Arif, 2017). Sementara itu, Rother dan Shook (1999) menyatakan bahwa Value Stream Mapping (VSM) dapat digunakan sebagai tools pada lean manufacturing untuk mengidentifikasi pemborosan. Alat VSM adalah alat grafis yang membantu dalam menganalisis Salah satu upaya mengurangi lead time adalah dengan menciptakan aliran lancar pada proses produksi. Menurut Gaspersz (2006) pendekatan lean manufacturing merupakan suatu pendekatan dengan melakukan efisiensi atau perampingan, dengan sasaran untuk menciptakan aliran lancar produk sepanjang proses value stream (value stream process) dan menghilangkan semua jenis pemborosan. Suatu proses produksi dikatakan lancar jika bahan melewati proses dengan waktu sesingkat mungkin (Arif, 2017). Sementara itu, Rother dan Shook (1999) menyatakan bahwa Value Stream Mapping (VSM) dapat digunakan sebagai tools pada lean manufacturing untuk mengidentifikasi pemborosan. Alat VSM adalah alat grafis yang membantu dalam menganalisis
Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Mengetahui jenis waste yang menyebabkan bertambahnya lead time pada proses produksi.
2. Mengetahui akar penyebab adanya waste.
3. Memberikan usulan perbaikan kepada perusahaan untuk dapat mengurangi waste.
2. Metode
Lean Manufacturing – kadang disebut juga Lean Production – adalah filosofi bisnis yang awalnya dikembangkan di Toyota Motor Company, atau TPS (Toyota Production System). Tujuannya adalah untuk menghilangkan segala bentuk pemborosan dalam proses produksi agar urutan waktu siklus produksi (waktu dari penerimaan pesanan untuk penerimaan pembayaran) dikompres dan hasilnya adalah siklus pendek dan waktu pengiriman, kualitas lebih tinggi, dan biaya yang lebih rendah. Tujuan Lean Manufacturing adalah menghasilkan produk berkualitas tinggi yang dibangun sesuai dengan kebutuhan pelanggan dengan biaya lebih rendah daripada manufaktur tradisional (Ehrlich, 2002).
Diagram Supplier, Input, Process, Output, dan Customer yang disingkat SIPOC dapat digunakan untuk menggambarkan proses-proses kunci beserta pelanggan yang terlibat dalam suatu proses yang dievalusi. Purnawarto (2010, h. 77) yang melaporkan penelitian Widjaja (2004) menyatakan bahwa diagram SIPOC dapat merefleksikan pola pikir proses, dan oleh karenanya tepat untuk digunakan pada organisasi berbasis proses.
Alat Lean Manufacturing yang lain, yaitu Value Stream Mapping merupakan proses identifikasi dan pencatatan arus informasi, proses, dan barang fisik di seluruh rantai pasok dari bahan baku hingga ke pelanggan. Value Stream Mapping adalah alat perencanaan dasar untuk mengidentifikasi waste, merancang solusi, dan mengkomunikasikan konsep lean (Dailey, 2003). Pembuatan current state map dapat digunakan untuk menganalisis keadaan saat ini sehingga dapat mengembangkan keadaan masa depan (future state) dengan mereduksi hambatan-hambatan yang terjadi pada saat ini (Rother dan Shook,1999).
Perhitungan takt time dilakukan untuk perancangan future state yang bertujuan untuk mensinkronkan laju produksi agar sesuai dengan kecepatan penjualan. Takt time dihitung dengan cara membagi waktu kerja yang tersedia dengan tingkat permintaan pelanggan, sehingga diketahui seberapa sering produk harus dihasilkan berdasarkan tingkat penjualan (Rother dan Shook, 1999).
Harrison dan Hoek (2005) pada penelitian terakhir mereka menemukan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah yang merupakan suatu bentuk pemborosan (waste) dengan cara memetakan proses melalui rantai pasok sehingga dapat diurutkan proses mana saja yang memberikan nilai tambah dan tidak. Terdapat tujuh macam pemborosan yaitu overproduction, waiting, transportation, inappropriate processing, unnecessary inventory, unnecessary motions , dan defects.
Waste Asessment Model (WAM) merupakan suatu model yang digunakan untuk menyederhanakan pencarian dari permasalahan waste dan mengidentifikasi akar penyebab waste, dimulai dengan mengartikulasikan definisi dari setiap jenis waste. Kriteria dibuat untuk mengukur kekuatan hubungan langsung antar waste, sehingga mengarah pada penciptaan matriks waste dengan menggunakan metode Waste Relationship Matrix (WRM). Selanjutnya, kuesioner penilaian diperkenalkan dengan menggunakan metode Waste Assessment Questionnaire (WAQ) Waste Asessment Model (WAM) merupakan suatu model yang digunakan untuk menyederhanakan pencarian dari permasalahan waste dan mengidentifikasi akar penyebab waste, dimulai dengan mengartikulasikan definisi dari setiap jenis waste. Kriteria dibuat untuk mengukur kekuatan hubungan langsung antar waste, sehingga mengarah pada penciptaan matriks waste dengan menggunakan metode Waste Relationship Matrix (WRM). Selanjutnya, kuesioner penilaian diperkenalkan dengan menggunakan metode Waste Assessment Questionnaire (WAQ)
Salah satu aktivitas yang penting dalam program peningkatan kualitas yaitu dengan cara penetapan rencana tindakan (action plan). Penetapan tersebut berarti bahwa tim peningkatan kualitas harus memutuskan target yang harus dicapai, alasan dilakukannya proses tindakan, dimana rencana tindakan akan diterapkan, siapa yang akan bertanggung jawab, bilamana rencana tindakan itu akan dilakukan, dan bagaimana terlaksananya rencana tindakan tersebut. Merujuk Gaspersz (2002) maka, penelitian ini mengembangkan rencana tindakan perbaikan atau peningkatan kualitas menggunakan metode 5W+1H.
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan observasi awal diperoleh data produk yang tidak dapat dipenuhi selama bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2017 sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 9. Kekurangan Jumlah Produk Bulan Januari-Mei 2017
Permintaan Dipenuhi
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa selama bulan Januari sampai Mei 2017 selalu terjadi kekurangan yang mengakibatkan berkurangnya kepuasan konsumen. Hal tersebut terjadi karena adanya permasalahan yang mengakibatkan bertambahnya lead time.
Pengolahan data yang dilakukan agar dapat mereduksi lead time pada proses produksi dengan menggunakan lean manufacturing perlu dilakukan beberapa tahapan dengan memanfaatkan data yang telah diperoleh. Berikut tahapan yang dilakukan:
3.1 Pembuatan Diagram SIPOC
Pemetaan diagram SIPOC pada Home Industry Citra Iqra Pratama dapat dilihat pada Gambar
Mesin rajut
Mesin rajut
Kaos kaki
Quality Control
Mesin Obras Nilon Mesin som
Karet
Quality Control
Balikan Setting (oven) Quality Control
Lipatan Pengepakan
Gambar 16. Diagram SIPOC Home Industry Citra Iqra Pratama
3.2 Value Stream Mapping Current State Map
Proses pembuatan VSM current state map dilakukan melalui beberapa langkah sesuai dengan urutan yang dikemukakan oleh Rother dan Shook (1999) agar dapat digunakan untuk menganalisis keadaan saat ini. Gambar 2 menunjukkan VSM current state.
Citra Iqra Pratama
Mesin Rajut
(Manual)
Mesin Rajut
(Otomatis)
Quality Control
Knitting
Mesin Obras
Supplier
Mesin Som
Setting (Oven)
Quality Control
Lipatan
Quality Control
Value Added = 105,852 menit
Lead Time = 1,417 707,958 menit
SUPERVISIOR
Departemen Produksi
Storage
Warehouse
Jumlah Mesin= - CT= 1,8 menit Set Up Time = - C/O= -
Uptime = - Utilitas = - Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= - CT= 1,4 menit Set Up Time = - C/O= - Uptime = - Utilitas = - Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= 1 CT=65,8menit/12 lusin Set Up Time = 32 menit C/O= - Uptime = 100% Utilitas = 100 % Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= - CT= 1,3 menit Set Up Time = - C/O= - Uptime = Utilitas = Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= 1 CT= 5,965 menit Set Up Time = 3 menit C/O= 6,23 menit Uptime = 100% Utilitas = 100% Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= 1 CT= 1,040 menit Set Up Time=3,47menit C/O= 11,13 menit Uptime = 100% Utilitas = 100 % Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= - CT=4,867 menit Set Up Time = - C/O= - Uptime = - Utilitas = - Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= 8 CT= 7,500 menit Set Up Time = 13 menit C/O= 10 menit Uptime = 94 % Utilitas = 94% Working Time= 1 shift
Jumlah Mesin= 12 CT=11,250 menit Set Up Time=20,3 menit C/O= 10 menit Uptime = 91 % Utilitas = 91 % Working Time= 1 shift
Januari : 2704 Februari : 2000 Maret : 2825 April : 2660 Mei : 3029
Spandex Polyester Nilon Karet
The Value To Waste Ratio = 105,852/707,958
Current Sta
g Takt Ti
T ak
t tim
e d igun
an un tuk m
enye la
ra sk an
la ngk
p roduk
p roduk
d al a
e m enuh i
pe rhc itung
fini shi
p roduk
si di l
ant ai 1
m en
it/ lu si
Takt time proses produksi di lantai 2 = = = 4,355 menit/lusin Keterangan:
T = Waktu yang tersedia selama periode produksi (jam/menit/detik)
D = Satuan Permintaan selama periode produksi (unit) Untuk mencapai jumlah unit yang diminta oleh konsumen, cycle time harus lebih rendah atau sama dengan takt time. Namun, pada kenyataanya nilai cycle time untuk setiap stasiun kerja masih terdapat nilai yang melebihi takt time sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 2.
Tabel 10. Perbandingan Takt Time dengan Cycle Time
Stasiun Kerja
Cycle Time
Takt Time
Keterangan
(Menit/ Lusin) (Menit/ Lusin)
Cycle Time > Takt Time Mesin Rajut (Otomatis)
Mesin Rajut (Manual)
Cycle Time > Takt Time Quality Control Knitting
Cycle Time > Takt Time Mesin Obras
Cycle Time < Takt Time Mesin Som
Cycle Time > Takt Time Quality Control Balikan
Cycle Time < Takt Time Setting (Oven)
Cycle Time > Takt Time Quality Control Lipatan
Cycle Time < Takt Time Packing
Cycle Time < Takt Time
3.4 Waste Assessment Model (WAM) Jenis waste pada VSM current state map diidentifikasi dan diukur dengan Waste Assessment
Model (WAM), yaitu dengan menyebarkan kuesioner seven waste relationship untuk menyusun Waste Relationship Matrix (WRM) sehingga diketahui matriks keterkaitan hubungan antar waste yang terjadi. Selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner yang terdiri dari 68 pertanyaan untuk menyusun Waste Assessment Questionaire (WAQ). Penyusunan WAQ bertujuan untuk melakukan penilaian jenis waste apa saja yang terjadi dan menentukan persentase dari masing- masing waste.
3.4.1 Waste Relationship Matrix (WRM)
Waste Relationship Matrix (WRM) merupakan suatu matriks yang terdiri atas baris dan kolom yang disusun untuk menganalisa kriteria pengukuran. Setiap baris menunjukkan efek dari waste tertentu terhadap enam jenis waste lainnya. Demikian pula setiap kolom menunjukkan sejauh mana jenis waste tertentu dipengaruhi oleh waste lainnya. Penyebaran kuesioner berupa seven waste relationship untuk mengetahui penilaian hubungan antar pemborosan (waste) yang terjadi. Keseluruhan hubungan yang saling mempengaruhi berjumlah 31 hubungan (Rawabdeh, 2005).
Hasil Waste Relationship Matrix (WRM) terhadap proses produksi di Home Industry Citra Iqra Pratama dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut dapat dilihat hubungan setiap jenis waste yang terjadi, yaitu O=over production, I=inventory, D=defect, M=motion, T=transportation, P=process, dan W=waiting. Tipe hubungan dalam WRM ini kemudian dikuantifikasi kedalam skala angka, sehingga didapatkan hasil Waste Relationship Value pada Tabel 4. Rawabdeh (2005) menggunakan skala 10 untuk menyatakan hubunngan antar waste, dan menentukan bahwa A=10, E=8, I=6, O=4, U=2, dan X=0.
Tabel 11 . Waste Relationship Matrix (WRM) Pembuatan Kaos Kaki Sekolah
From/To
WO
Tabel 12. Waste Relationship Value Pembuatan Kaos Kaki Sekolah
From/To
3.4.2 Waste Assessment Questionaire (WAQ)
Waste Assessment Questionnaire (WAQ) memiliki fungsi untuk mengidentifikasi dan mengalokasikan waste yang terjadi pada lini produksi dengan cara menyebar kuesioner (Rawabdeh, 2005). Kuesioner WAQ terdiri dari 68 pertanyaan yang mewakili suatu aktivitas, suatu kondisi, atau perilaku yang dapat menyebabkan waste tertentu. Untuk tiap pertanyaan WAQ memiliki bobot berdasarkan 3 buah jawaban yang memilki nilai 1 Ya, 0,5 Sedang, dan 0 Tidak. Tahap yang digunakan untuk menilai dan merangking hasil WAQ salah satunya yaitu memasukkan bobot awal pertanyaan kuesioner WAQ berdasarkan hasil WRM pada Tabel 4. Hasil rekapitulasi dari penilaian Waste Assessment Questionnaire (WAQ) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 13. Hasil Perhitungan Waste Assessment Qoestionnaire (WAQ)
PW
Skor (Yj)
0,455 0,503 Faktor Pj
199,95 229,167 305,556 225,000 153,472 105,556 189,583 Hasil akhir (Yj final)
48,010 95,321 Hasil akhir (%)
Hasil akhir (%) dari perhitungan Waste Assessment Qoesionnaire (WAQ) menunjukkan bahwa waste yang memiliki persentase ke empat tertinggi ialah waste jenis defect, motion, inventory, dan waiting. Hasil akhir (%) tersebut disajikan dalam bentuk diagram batang yang ditunjukkan pada Gambar 3 agar dapat dilihat secara jelas masing-masing persentase untuk setiap jenis waste.