Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 di Indonesia
Tabel 3. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 di Indonesia
Jumlah Kursi Yang Diperoleh Tiap Daerah
Jumlah Suara Yang Diperoleh Tiap Organisasi No.
Organisasi Pemilihan
GOLKAR PDI
1 D.I.Aceh 641.256
6 4 - 2 Sumut
5 9 - 4 Riau
2 4 - 5 Sumsel
1 5 - 7 Bengkulu
1 3 - 8 Lampung
3.082.757 5.735.376 2.080.580 10.898.716 15 27 10 12 D.I.Y
2 4 - 16 Kalsel
5 5 - 17 Kaltim
1 3 - 20 Sulteng
4 - 21 Sulsel
3 20 - 22 Bali
1 3 - 26 Irian Jaya
18.743.491 39.650.097 5.504.757 63.998.344 99 232 29 Sumber: Suara Karya, 9 Juni 1977 .
Perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977 turun. Golkar memperoleh suara 62, 11 %, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971. Golkar mengalami kemrosotan dalam mengumpulkan kursi sedangkan dibeberapa daerah mengalami kenaikan. Di daerah pemilihan di Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Irian Jaya, mengalami pengurangan jumlah kursi. Sedangkan di Sulawesi Selatan dan Maluku Golkar mengalami kenaikan jumlah kursi (Sinar Harapan, 9 Juni 1977). Pada pemilu 1977 suara PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh PPP mengalahkan Golkar. Perbandingan suara PPP dan Golkar di Daerah Aceh adalah 641.256 : 460.992. Perolehan kursi PPP di Daerah Istimewa Aceh menjadi 6 kursi sedangkan Golkar turun menjadi 4 kursi. Kemenangan PPP di Daerah Istimewa Aceh sudah dapat diduga karena penduduknya yang mayoritas beragama Islam banyak memilih PPP. Sedangkan kemenangan PPP di DKI Jakarta mempunyai perbandingan suara 1.085.069 (PPP) : 980.452 (Golkar). PPP menang pada masyarakat pinggiran kota Jakarta yang juga merupakan masyarakat Islam.
Sejak pemilu 1955, DKI Jakarta merupakan daerah basis partai-partai Islam yang memperoleh 45 % suara. Kekalahan Golkar di Jakarta dikarenakan tidak maksimalnya penggunaan metode-metode represif dalam kampanye yang bisa dilakukan di daerah. Hal ini karena faktor penduduk kota Jakarta sendiri yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat mempunyai kemampuan dalam menilai dan memilih partai politik (Liddle, 1992: 47). Sedangkan menurut Riswandha Imawan kekalahan Golkar di Jakarta disebabkan kurang jelinya Golkar dalam menangkap aspirasi masyarakat ibukota. Sedangkan di Jawa Timur meskipun masyarakatnya juga Islam tetapi Golkar menyadari bahwa daerah tersebut merupakan yang terbanyak jumlah pemilihnya sehingga penggarapannya diintensifkan dalam arti konsolidasi organisasi dan mekanisme organisasi benar- benar dimantapkan dan ternyata sudah tergarap sampai kebawah, sehingga semua berjalan dengan baik, di Jawa Timur Golkar mengalami kenaikan dari 56 persen menjadi 61 persen dibandingkan dengan dengan pemilu 1971 (Sinar Harapan, 4 Mei 1977 ).
Secara nasional PPP berhasil meraih suara meraih PPP berhasil meraih suara 18.743.491 suara dengan perolehan 99 kursi atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam (NU, Perti, PSII, dan Parmusi) pada perolehan pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak daerah yang menjadi basis-basis eks Masyumi, hal ini seiring tampilnya tokoh Masyumi yang mendukung PPP, tetapi kenaikan PPP dibasis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi basis-basis NU, sehingga kenaikan suara PPP secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan. Tetapi kehilangan 12 kursi di Jateng, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional hanya bertambah
5 kursi. Kekalahan PDI pada pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yaitu hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi dibanding gabungan suara PNI, Parkindo, dan Partai Katolik. ( http://www.kpu.go.id.//sejarah/pemilu 1977 diakses tanggal 27 April 2010). PDI memperoleh tambahan kursi didaerah-daerah Jawa Barat, Lampung dan Irian Jaya sedangkan di Jawa Tengah, NTT dan Maluku mengalami pengurangan (Sinar Harapan, 9 Juni 1977 ).
Tabel 4.
Pergeseran Suara Propinsi-Propinsi, 1971-1977 (Dalam Persen )
PDI Propinsi
Golkar
PPP
1971 1977 Perubahan 1971 1977 Perubahan 1971 1977 Perubahan
Aceh 49,7
1,5 +0,1 Sumatera Utara
11,3 -2,7 Sumatera Barat
1,0 -1,2 Riau
2,7 - Sumatera Selatan
7,5 -0,1 Jambi
0,8 -0,6 Bengkulu
1,7 -0,2 Lampung
7,4 +1,4 Jawa Barat
17,3 -1,2 Jawa Tengah
19,1 -1,8 Yogyakarta
20,2 +5,1 Jawa Tmur
5,1 -0,7 Kalimantan Barat
9,3 -5,3 Kalimantan Tengah
3,5 -1,5 Kalimantan Selatan
1,0 -0,2 Kalimantan Timur
7,6 -7,6 Sulawesi Utara
9,5 -6,9 Sulawesi Tengah
1,4 -2,0 Sulawesi Tenggara
0,8 -1,1 Sulawesi Selatan
0,8 -2,0 Bali
13,0 -1,9 NTB
7,8 -21,4 Maluku
9,1 -18,6 Sumber : Liddle, 1992 Hasil pemilu 1971 dan 1977 tidak mengalami perubahan yang mencolok. Hasil pemilu 1971 merupakan kemenangan besar Golkar, pada pemilu 1977 Golkar memperoleh presentase suara lebih kecil dibandingkan perolehan
Dari dua belas propinsi persentase suara Golkar meningkat, empat propinsi merupakan penyumbang terbesar antara lain : Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT dan Sulawesi Selatan. Dalam presentase, propinsi-propinsi yang paling besar menaikkan suara Golkar adalah Nusa Tenggara Timur (+28,8%), Maluku (+24,1%), Sulawesi Utara (12,1%), Sulawesi Selatan (+6,8%), dan Jawa Timur (+3,9%). Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur persentase suara Golkar dan PPP meningkat sedangkan PDI menurun (Liddle, 1992: 47-48).
Kemenangan kembali Golkar dalam pemilu 1977 antara lain disebabkan oleh sifat masyarakat Indonesia yang patrenalistis atau bapakisme, yaitu terikatnya sifat masyarakat Indonesia pada pemuka agama sehingga kalau pemuka desa menentukan memilih Golkar, maka akan di ikuti masyarakatnya. Golkar dapat memanfaatkan kondisi tersebut dan menolak bahwa kepala desa melakukan tekanan-tekanan terhadap penduduknya. Golkar unggul dalam oganisasi, sebagai gambaran, Golkar mempunyai fasilitas dan peralatan yang dengan cepat mengetahui hasil-hasil pemungutan suara. Banyaknya pemilih Golkar bukanlah karena faktor-faktor program yang dijual pada massa kampanye, sebab cara yang
dan isi kampanye para kontestan tidak memenuhi harapan “ penjualan program” yang memang disebabkan oleh kondisi masyarakat yang belum mampu menerima uraian program-program. Dibawah ini diuraikan sebab kemenangan Golkar pada pemilu 1977 :
a. Peningkatan kualitas kestabilan nasional dengan ditumbuhkannya kesadaran dalam menjaga keseimbangan. Misal : dalam lalu lintas di a. Peningkatan kualitas kestabilan nasional dengan ditumbuhkannya kesadaran dalam menjaga keseimbangan. Misal : dalam lalu lintas di
b. Kelangsungan dan peningkatan pembangunan ekonomi untuk menjawab tantangan banyak hal seperti kesejahteran, pendidikan dan lapangan kerja.
c. Kelangsungan program yang mencerminkan keadilan dalam kemakmuran (Kompas, 4 Mei 1977).
Terciptanya hegemoni pada tangan Golkar didukung oleh, pertama, peran sosial politik militer dilegalisasi dengam kekuasaan yang besar untuk menjamin terciptanya stabilitas. Kedua, dilakukan depolitisasi massa dengan alasan agar seluruh rakyat berkonsentrasi dan mengarahkan perhatiannya pada pembangunan ekonomi. Ketiga, diperkenalkan kebijakan pembatasan peran partai-partai politik non Golkar. Keempat, pemilihan umum dilakukan dengan menajemen yang mendukung bagi terjaminnya kelestarian hegemoni Golkar dan kelangsungan kekuasaan Golkar dalam pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan dipilihnya sistem pemilihan umum yang kondusif bagi upaya tersebut, serta dengan melakukan pengaturan-pengaturan tertentu dalam praktek pelaksanaan pemilu. Kelima, partai-partai politik non Golkar menghadapi persoalan-pesoalan intern mereka berupa konflik antar unsur atau kepentingan, macetnya kaderisasi, kelangkan sumber daya, kelangkaan figur pemimpin yang aspiratif dan akomodatif dan lain-lain (Eep Sefulloh F, 2000: 196).
Pemilu 1977 memberikan pengaruh besar dalam perjalan politik di Indonesia. Golkar muncul sebagai kekuatan politik yang mampu menstabilkan posisinya. PPP muncul menjadi kekuatan nasional yang tetap potensial mendapat tantangan dari propinsi yang masih muda dan sedang berkembang diwilayah tertentu. Keberadaan PDI masa pemilu tidak mendapat dukungan secara menyeluruh di wilayah Indonesia, PDI muncul sebagai partai “Jawa”, karena
selain mendapat dukungan di Jawa juga mendapat dukungan di daerah-daerah transmigran, keturuan Jawa misalnya : Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung.
Golkar dalam pemilu 1977 dapat menunjukkan secara kuantitas dan proporsional memiliki hak politis atau konstitusional. Sedangkan golongan politik non Golkar tetap mendapat kesempatan untuk meningkatkan kegiatannya dalam pembangunan politik negara sehingga tidak ada alasan lagi untuk menekan golongan non Golkar dalam rangka penghayatan Demokrasi Pancasila (Suara Merdeka, 5 Mei 1977).