Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977

B. Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977

Pembaharuan kehidupan politik masa Orde Baru di Indonesia memberikan dampak yang nyata bagi partai-partai politik diantaranya:

a. Partai dan Golkar tidak pernah bisa menjadi oganisasi politik yang mandiri. Hal ini tercermin pada pemilihan pemimpin partai politik yang ditentukan dari seberapa besar kemauan dan tanggapan politik pemimpin partai tersebut untuk lebih patuh dan taat pada gagasan pemerintah tanpa harus mengkritisi gagasan dan program-program pemerintah. Apabila pemerintah menghadapi pemimpin partai yang berhaluan keras, kritis, maka ada kecenderungan pemerintah ikut campur dalam urusan internal partai khususnya pada masa-masa pergantian pemimpin baik dalam musyawarah atau dalam muktamar.

b. Intervensi negara yang mengatasnamakan pembinaan politik berdampak pada munculnya para politisi yang memiliki cara pandang yang sama dengan pemerintah Orde Lama.

c. Pengendalian yang intens melalui pembinaan politik dari kalangan militer, sehingga cara pandang dan pendekatan yang dipakai bersifat militer pula (Arif Yulianto, 2002: 217).

Penciptaan jarak antara partai politik dan birokrasi menunjukkan terututupnya kesempatan bagi politisi yang berasal dari partai agar duduk atau menempati posisi dalam birokrasi pemerintahan, khususnya posisi sebagai menteri yang merupakan elit birokrasi. Posisi yang dapat diraih kalangan partai di DPR semakin kecil, sementara jumlah perolehan kursi fraksi pemerintah semakin meningkat. Fusi partai yang terjadi pada tahun 1973 membawa dampak yang cukup besar bagi pertumbuhan partai politik. Penggabungan sembilan partai

menjadi dua partai “baru” sebenarnya lebih didorong oleh faktor luar, dimana adanya desakan pemerintah dan perubahan politik nasional. Kenyataan ini memberi dampak pada rendahnya integrasi antara unsur-unsur partai yang ada. PPP yang terdiri dari keempat unsur partai Islam (NU, Parmusi, Perti, PSII) menunjukkan bahwa persepsi agama dan pandangan politik tidak selalu sama. Begitu juga dengan PDI yang bercirikan nasionalis mempunyai perbedaan- menjadi dua partai “baru” sebenarnya lebih didorong oleh faktor luar, dimana adanya desakan pemerintah dan perubahan politik nasional. Kenyataan ini memberi dampak pada rendahnya integrasi antara unsur-unsur partai yang ada. PPP yang terdiri dari keempat unsur partai Islam (NU, Parmusi, Perti, PSII) menunjukkan bahwa persepsi agama dan pandangan politik tidak selalu sama. Begitu juga dengan PDI yang bercirikan nasionalis mempunyai perbedaan-

Posisi yang kurang menguntungkan dirasakan oleh kalangan partai. Akibatnya, sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “akomodatif” dalam perilaku politiknya. Adapula sebagian yang lain bersikap “ radikal” dalam upaya

mempertahankan ideologi. Politisi yang bersikap radikal pada umumnya tersingkir dari panggung politik. Berdasarkan kasus konflik dalam tubuh PDI dan PPP terjadi tarik-menarik dan benturan antara kepemimpinan partai yang cenderung radikal dan akomodatif. Sikap politisi yang akomodatif dapat bertahan lama, tapi tidak berarti mereka mampu mengatasi kecenderungan politik yang berlangsung. Hal ini disebabkan oleh tiga hal diantaranya:

a. Politisi partai memang tidak terlibat dalam proses penataan politik. Kehadiran partai secara formal diakui, tetapi tidak menjadi bagian dalam struktur politik. Hal ini dapat dilihat pada pembuatan UU.

b. Ketidakpastian arah pembangunan sistem kepartaian. Partai politik dilema oleh aturan UU yang berlaku yang membatasi ruang gerak partai dan satu sisi partai dihimbau dan diminta lebih mandiri dan diminta lebih madiri dan juga berperan aktif dalam pembangunan. Partai formal diakui sejajar dengan Golkar, tetapi tidak mempunyai hak yang sama dengan birokrasi.

c. Tingkat kepekaan elit partai yang rendah terhadap arah perubahan poltik yang terjadi. Hal ini bersumber dari berkurangnya kalangan intelektual yang menjadi politisi partai.

Adanya restrukturisasi politik membawa berbagai masalah internal partai. Konflik partai politik terjadi karena fusi yang dilakukan belum tuntas dan matang serta adanya perbedaan kepentingan dan ideologis. Pada umumnya konflik internal PPP dan PDI terjadi akibat persoalan ideologis, kelangkaan posisi dan sumber kekusaan dalam kepengurusan partai politik serta alienasi politik. Perbedaan yang terjadi dalam tubuh PDI dan PPP pada hakekatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat fusi. Perbedaan yang ada telah menjadi ciri Adanya restrukturisasi politik membawa berbagai masalah internal partai. Konflik partai politik terjadi karena fusi yang dilakukan belum tuntas dan matang serta adanya perbedaan kepentingan dan ideologis. Pada umumnya konflik internal PPP dan PDI terjadi akibat persoalan ideologis, kelangkaan posisi dan sumber kekusaan dalam kepengurusan partai politik serta alienasi politik. Perbedaan yang terjadi dalam tubuh PDI dan PPP pada hakekatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat fusi. Perbedaan yang ada telah menjadi ciri

Pasca fusi keadaan PDI tidak jauh berbeda dengan PPP. Pada awal pembentukan sudah terjadi konflik antar unsur, dimana terjadi pembentukan DPD PDI Jakarta oleh eks. PNI, IPKI, Murba tanpa mengikutsertakan eks Partai Katolik dan eks Parkindo. Dalam DPD PDI juga terjadi konflik pada saat pembentukan Badan Pembina MPR 1973. Isnaeni dan Sunawar (dari eks PNI) sebagai ketua DPP PDI hasil konggres XII di Semarang, tidak mengikutsertakan IPKI dan Murba (Jurnal Ilmu Politik No. 13, 1993: 39 ). Tugas pokok PDI adalah memperjuangkan nasionalisme, demokrasi dan kerakyatan demi tegaknya Pancasila dan UUD 1945 serta pembangunan nasional yang berkeadilan sosial. Dalam pelaksanaanya, tujuan-tujuan yang sering diperjuangkan dengan ambisi kekuasaan yang berlebihan sehingga melunturkan nilai-nilai pengabdian yang diperjuangkan dan diamalkan. Namun demikian, ada pula berbagai perbedaan atau kekacauan orientasi dalam memperjuangkan tujuan PDI sehingga menimbulkan pertentangan yang sering sulit untuk dihindari. Fusi partai ini telah mengaburkan basis legitimasi identitas masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Implikasi politik pasca fusi menimbulkan pola konflik baru yaitu terjadinya perubahan sifat konflik dari antar partai sebelum fusi menjadi konflik antar unsur partai, terutama antar Partai katolik, Parkindo, IPKI, Murba versus PNI. Selain konflik diatas terjadi konflik baru yaitu terjadinya konflik anta elite PNI yang bermula dari keinginan PNI mendominasi kepanitiaan konggres, sebagaimana disepakati pada Munas PNI tanggal 2-3 Februari 1974. Sunawar Sukowati dan Isnaeni dicalonkan sebagai ketua umum DPP dan ketua umum MPP (Kacung Marijan, 1993: 30)

Bagi PDI adanya fusi partai juga membawa sejumlah konsekuensi. Konsekuessi pertama, timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh PDI. Konflik intern disebabkan oleh dua hal yaitu : persaingan antar unsur dan antar individu, justru konflik antar individu yang dilandasi kepentingan pribadilah yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh PDI. Konsekuensi kedua, hilangnya

identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda diantara partai yang berfusi menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya (Arif Zulkifli, 1996: 58). Faktor-faktor yang selama ini mengikat partai dengan massa pendukungnya, menjadi terputus. Dalam keadaan demikian, kepemimpinan partai sukar diharapkan berorientasi kebawah, sebaliknya lebih tergantung ke atas. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan. Saling berebut kursi sambil mendekatkan diri kepada pihak penguasa adalah konsekuansi logis dari rasa tidak perlunya pertanggungjawaban kepada anggota atau massa pendukung, yang memang tidak manfaatnya lagi. Faktor lain yang menjadi pemicu munculnya konflik dihadapkan pada sejumlah persoalan yang vital seperti masalah identitas pribadi partai dan kaderisasi (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 95). Dengan latar belakang idiologi dan sejarah pembentukannya yang berbeda-beda, PDI sulit untuk menentukan identias yang cocok. Dengan terjadinya fusi partai yang berarti berakhirnya eksistensi dari partai-partai itu, maka hilanglah identitas masing- masing partai.

Secara yuridis formal, PDI sebagai hasil peleburan kelima partai telah merumuskan identitas partainya. Sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasarnya yaitu berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia dan berkeadilan sosial. Tetapi ini nampak belum cukup teruji keampuhannya sebagai sumber legitimasi dan identitas partai, melalui mana PDI dapat mengidentifikasikan dirinya terhadap massa pendukungnya (Manuel Kaisepo, 1981). Usaha yang dilakukan PDI untuk lebih memperjelas identitas partainya misalnya dengan mengangkat kembali atribut-atribut yang pernah dipakai oleh PNI sebagai partai yang dominant dalam PDI. Dipakainya simbol banteng, warna merah dan hitam, dan dimunculkan kembali tokoh Soekarno pada saat kampanye pemilu, itu semua adalah usaha PDI untuk memperjelas identitas dan untuk menarik massa pemilihnya (Arif Zulkifli, 1996: 68).

Deliar Noer dalam (Arif Yulianto, 2002) tipologi unsur PPP pasca fusi 1973 ada dua diantaranya : (a) Kelompok modernis terdiri dari Partai Muslim Indonesia (Parmusi) dan PSII, (b) Kelompok tradisional yang terdiri dari NU dan Perti. Adanya unsur-unsur tersebut fusi banyak menimbulkan konflik dalam tubuh

partai. PPP sering terjadi perbedaan pendapat antara partai kelompok modern dan tradisional. Kelompok modern cenderung lebih pro pemerintah, sedangkan kelompok tradisioanaldianggap radikal. Dalam rangka menunjukkan identitas Islam, PPP menggunakan simbol lambang Ka‟bah sebagai tanda gambar PPP dalam pemilu. Hal ini ditolak oleh pemerintah, campur tangan dalam ideologi partai sering dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri/ pejabat militer. Unsur utamanya adalah persoalan perombakan struktur ideologi, mentalitas dan perilaku partai politik. Pertentangan kepentingan ideologi sering menjadi ancaman bagi para aktivis partai politik (Arif Yulianto, 2002: 68). Di dalam menghadapi pemilu 1977 dalam tubuh PPP sangat kompak, kekompakan itu dapat dilihat dari berhasilnya partai menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tahun 1975. Pada munas ini disepakati bahwa rasio perbandingan jatah kursi masing- masing unsur dalam PPP untuk pemilu 1977 didasarkan pada hasil nyata perolehan kursi dalam pemilu 1971, yakni ketika masing-masing unsur masih menjadi partai yang berdiri sendiri. Konsesus yang selanjutnya dikenal dengan konsesus 1975 ini, juga menghimbau bahwa demi menjaga ukhuwah Islamiyah, maka dalam pemilu 1977 nanti pihak yang sudah besar tidak perlu menuntut tambahan kursi secara mutlak, namun hendaknya rela menyerahkan sekedar satu atau dua kursi bagi pihak yang lebih kecil (Umaidi Radhi, 1984: 103).

Menjelang pemilu 1977 dalam tubuh PPP, khususnya dalam tubuh unsur NU kelihatan kompak sekali, sehingga tidak mengherankan apabila banyak warga (Islam) yang menitipkan suara politiknya kepada PPP. Dan tidak mengherankan pula karena kekompakkannya yang pada akhirnya menghasilkan kegigihan PPP dalam menghaapi pemilu 1977. (Syamsuddin Haris, 1991: 60). Kehadiran PDI secara formal disepakati adanya fusi partai politik yaitu pada tanggal 10 Januari 1973 dengan ditandataganinya deklarasi pambentukan PDI. Selama itu pula sejak terbentuknya PDI dalam perjalan politiknya selalu dihadapkan pada berbagai masalah. Selalu ada alasan untuk berbeda pendapat antar kelompok di dalamnya dan mengembangkannya sebagai sarana untuk saling pukul, saling memojokkan dan mengucilkan. Kegagalan PDI untuk membangun budaya organisasi tingkat nasional begitu transparan di mata umum sehingga bagi warga negara yang sudah Menjelang pemilu 1977 dalam tubuh PPP, khususnya dalam tubuh unsur NU kelihatan kompak sekali, sehingga tidak mengherankan apabila banyak warga (Islam) yang menitipkan suara politiknya kepada PPP. Dan tidak mengherankan pula karena kekompakkannya yang pada akhirnya menghasilkan kegigihan PPP dalam menghaapi pemilu 1977. (Syamsuddin Haris, 1991: 60). Kehadiran PDI secara formal disepakati adanya fusi partai politik yaitu pada tanggal 10 Januari 1973 dengan ditandataganinya deklarasi pambentukan PDI. Selama itu pula sejak terbentuknya PDI dalam perjalan politiknya selalu dihadapkan pada berbagai masalah. Selalu ada alasan untuk berbeda pendapat antar kelompok di dalamnya dan mengembangkannya sebagai sarana untuk saling pukul, saling memojokkan dan mengucilkan. Kegagalan PDI untuk membangun budaya organisasi tingkat nasional begitu transparan di mata umum sehingga bagi warga negara yang sudah

Pembinaan Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai politik yang sudah mempunyai tradisi dan mekanismenya, tetapi karena merupakan suatu penglompokan yang baru Golkar dapat tumbuh dengan pesat. Dengan menjadi jelasnya kehidupan politik selama proses penyederhanaan partai-partai politik itu semakin jelas peranan dan tempat Golkar. Rakyat di daerah-daerah pedesaan tidak terikat secara ketat pada organisasi- organisasi fungsionil dan profesi yang pendiriannya diprakarsai oleh Golkar tetapi tidak mempunyai ikatan formil dengan Golkar. Hal ini sesuai dengan cita-cita, disatu pihak untuk membuat partai-partai dan oganisasi politik menjadi partai dan organsasi kader dan dipihak lain untuk menumbuhkan kelompok-kelompok profesi dan fungsionil yang akan menjadi tulang punggung pembangunan (Ali Moertopo, 1982).