Citra Perempuan dalam Novel Mimi lan Mintuno

A. Citra Perempuan dalam Novel Mimi lan Mintuno

1. Sebagai Makhluk Individu

Dalam analisis ini akan diuraikan citra perempuan, yang terekspresi oleh tokoh yang bernama Indayati. Citra perempuan sebagai makhluk individu terbagi dalam dua kategori, yaitu citra Indayati dalam aspek fisik, dan aspek psikis.

a. Citra Indayati dalam Aspek Fisik Untuk menggambarkan citra fisik tokoh Indayati, akan dibahas dengan

menguraikan keadaan fisik Indayati dari jenis kelamin, usia, keadaan tubuh, dan ciri- ciri wajah. Dari segi fisik Indayati digambarkan sebagai perempuan yang cantik, berkulit kuning langsat, hidung mancung, dan rambut lurus panjang. Selain dikaruniai wajah yang cantik Indayati juga memiliki postur tubuh yang proporsional. Perhatikan kutipan berikut.

Bunda menyandar di jendela, dan dengan begitu dia melirik ke arah Indayati di balik kacamata Carera-nya. Tampak benar betapa dia memperhatikan dengan kesenangan tertentu di hati akan bentuk tubuh Indayati... Dalam amatannya sekarang ini dia berani berkata kepada dirinya, bahwa Indayati adalah sesungguhnya perempuan cantik, seksi, sensual. (Remy Sylado, 2007: 31)

Biarpun Indayati memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang indah tetapi dia tidak menonjolkan kecantikannya. Bahkan, Indayati tidak seperti perempuan pada Biarpun Indayati memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang indah tetapi dia tidak menonjolkan kecantikannya. Bahkan, Indayati tidak seperti perempuan pada

Di laci itu tidak ada alat-alat rias yang lazim bagi perempuan – sebab memang Indayati tidak biasa merias-rias diri – kecuali bedak yang mengandung mentol, jepit rambut, bando, karet gelang, sisir, dan gunting kuku. (Remy Sylado, 2007: 29)

Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa dari ciri fisiknya Indayati lebih suka berpenampilan sederhana, tidak terlalu memperhatikan penampilannya, dan cenderung apa adanya

Apabila dilihat dari tingkat kedewasaan melalui faktor usia, Indayati yang telah berusia 22 tahun termasuk dalam kategori perempuan dewasa. Status “dewasa” dapat dilihat berdasarkan pada tingkat kematangan fisik atau apabila pertumbuhan pubertas telah selesai dan apabila organ kelamin anak telah mampu bereproduksi. Secara fisiologis, perempuan dewasa dapat dicirikan oleh tanda-tanda jasmaninya, melalui perubahan-perubahan fisik, seperti tumbuhnya bulu di bagian tubuh tertentu, perubahan suara, dan lain sebagainya. Seperti halnya perempuan dewasa pada umumnya, secara fisiologis Indayati juga telah mengalami fase-fase perubahan fisik tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa perempuan dewasa merupakan sosok individu, hasil dari pembentukan proses biologis bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya telah mencapai taraf kedewasaan.

Berkaitan dengan aspek fisik, secara umum perempuan mengalami hal-hal khas yang tidak dialami laki-laki, misalnya secara kodrat mengalami haid, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui. Faktor-faktor biologis yang secara fisik dimiliki Berkaitan dengan aspek fisik, secara umum perempuan mengalami hal-hal khas yang tidak dialami laki-laki, misalnya secara kodrat mengalami haid, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui. Faktor-faktor biologis yang secara fisik dimiliki

b. Citra Indayati Dalam Aspek Psikis Perempuan sebagai makhluk individu terbentuk dari aspek fisik dan aspek

psikis. Oleh karena itu, citra fisik yang terbentuk secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh terhadap terhadap citra psikisnya, begitu pun sebaliknya. Aspek psikis perempuan dapat tercitrakan dari gambaran pribadi. Gambaran pribadi perempuan dewasa secara karakteristik dan normatif sudah terbentuk dan sifatnya relatif stabil (Kartini Kartono, 1981: 179). Kestabilan tersebut memungkinkan baginya untuk memilih relasi sosial yang sifatnya juga stabil, misalnya perkawinan, pilihan sikap, pilihan pekerjaan, dan sebagainya. Dalam teks Novel Mimi lan Mintuno citra fisik Indayati digambarkan sebagai perempuan yang dewasa dan telah menikah. Perjalanan usia yang semakin matang, mengantarkan seorang anak perempuan menjadi dewasa secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap pengambilan sikap dan tindakan yang dapat dinilai pantas atau tidak baginya, maupun bagi lingkungan masyarakatnya. Sebagai citra perempuan yang telah dewasa, sudah sepantasnya Indayati dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri dalam berpikir, bersikap, bertingkah laku, dan dalam mengambil keputusan. Salah satu keputusan terbesar yang diambil oleh perempuan dewasa adalah menikah. Menurut Kartini Kartono `menikah` merupakan manifestasi dari ikatan janji kesetiaan, cinta kasih antara pria dan wanita dalam relasi suami istri (Kartini Kartono 1981: 318). Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” ( http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-perkawinan- pernikahan-dan-dasar-tujuan-nikah-kawin-manusia ). Mengacu pada pengertian pernikahan yang terdapat pada Undang-Undang tersebut maka pernikahan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Namun, pada pernikahan Indayati dan Petruk yang seharusnya bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia telah ternodai dengan tindakan Petruk yang selalu menganiaya dan menindas Indayati.

Dalam teks novel Mimi lan Mintuno terlihat bahwa citra psikis tokoh Indayati menunjukkan kejiwaan seorang perempuan dewasa, yang telah memahami arti norma-norma susila dan nilai-nilai etis, sehingga ketika ia melanggarnya, pelanggaran tersebut dapat disadarinya. Sebagai gambaran bahwa Indayati perempuan dewasa yang telah mampu menjaga norma susila, terlihat ketika Indayati dipaksa melayani hasrat laki-laki hidung belang di Thailand. Di dalam relung batin Indayati terdapat kesadaran bahwa norma-norma agama dan nilai-nilai susila yang sudah dikenal, dipahami dan dijunjung tinggi telah dilanggarnya. Menyadari kesalahan tersebut menimbulkan batinnya bergejolak dan mendatangkan pertanggungjawaban dalam batin Indayati yang harus dipikulnya, yaitu berupa rasa bersalah dan penyesalan. Perhatikan kutipan-kutipan berikut.

Dia menangis. Tengkurap di ranjangnya. Tapi tengkurap rasanya salah. Maka dia berbalik terlentang. Tapi terlentang pun rasanya salah. Lalu dia menghadap dinding. Lagi, menghadap dinding pun salah. Semua-muanya terasa salah. Serba salah. (Remy Sylado, 2007: 100)

Dalam diam barangkali ada 1000 kata sesal yang bisa disembuhkan. Namun ada 1000 kata sangkal yang meyadarkan indranya bahwa yang sudah terjadi dalam perbuatan, takkan bisa lagi dihapus dengan stip, kecuali menggantikannya dengan tekad untuk mengubah nasib pada hari- hari mendatang. (Remy Sylado, 2007: 181)

Biarpun perbuatan asusila yang telah dilakukan Indayati adalah paksaan dan di luar kehendaknya tetapi hal tersebut menimbulkan rasa sesal dan bersalah baginya. Indayati merasa harus menanggung konsekuensi dan pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut terhadap Tuhan. Rasa tanggungjawab kepada Tuhan untuk memperbaiki kesalahannya menandai ciri psikis Indayati sebagai perempuan dewasa yang telah memahami norma-norma yang harus dijunjungnya. Hal tersebut senada dengan Kartini Kartono yang mengungkapkan bahwa dalam aspek psikisnya, kejiwaan wanita dewasa ditandai antara lain oleh sikap pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, bertanggung jawab atas nasib sendiri, dan atas pembentukan diri sendiri (Kartini Kartono, 1981: 175)

Secara psikis Indayati telah menjadi seorang ibu, mempunyai kepekaan naluri yang kuat terhadap anaknya, perhatikan kutipan-kutipan berikut ini. “Dia peluk anaknya itu. Menangis pula. Tanpa air mata. Luka di hati kiranya lebih perih pedih ketimbang luka di badan. Juga, cadangan airmatanya pun sudah kering, asat...” (Remy Sylado, 2007: 1). “Kemarin-kemarin Indayati masih berdoa, berharap siapa tahu ada mukjizat yang bisa mengubah kelakuan Petruk.” (Remy Sylado, 2007: 1)

Dari kutipan-kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam aspek psikis Indayati adalah seorang perempuan yang memiliki kesabaran, dan ketegaran dalam menghadapi kerumitan dan konflik kehidupan rumah tangganya. Walaupun hatinya terluka dengan sikap semena-mena yang dilakukan oleh Petruk tetapi Indayati masih cenderung bersabar dan mempunyai harapan yang begitu besar akan adanya perubahan sikap suaminya tersebut.

Secara psikis Indayati juga digambarkan sebagai sosok perempuan yang optimis dalam menjalani hidupnya, meskipun kehidupan rumah tangganya tidak seperti yang diharapkan, namun Indayati masih mencoba tetap bertahan dan berjuang demi anaknya. Perhatikan kutipan berikut.

Dia menangis tak berdaya. Namun dalam begini muncul sebuah sosok dalam pikirannya yang terucapkan namanya dengan cinta dan penyesalan, tapi alih-alih membuat harkatnya tetap permai rindang dipayungi rasa percaya diri. “Eka anakku,” katanya meyebut nama sosok itu. (Remy Sylado, 2007: 101)

Dari kutipan di atas, menunjukan bahwa pada saat menghadapi berbagai cobaan yang datang dalam kehidupannya, Indayati berusaha tetap tegar dan percaya diri untuk menghadapi segala persoalan yang menimpanya, bagi Indayati anak semata wayangnya menjadi sebuah pendorong semangat.

Sebuah konsep teoretis yang dikemukakan oleh Kartini Kartono disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki dilahirkan secara biopsikologi yang berbeda dan perbedaan itu konstitusional serta berpengaruh pada terjadinya perbedaan perkembangan kepribadian antara perempuan dan laki-laki (Kartini Kartono, 1981: 183). Perempuan mempunyai kecenderungan lebih mengedepankan perasaan daripada logika. Ciri psikis perempuan yang dikemukakan Kartini Kartono tersebut juga menandai citra psikis Indayati. Indayati yang pada dasarnya mencitrakan psikis perempuan yang mandiri, tegar, kuat, dan optimis, sempat merasa tak berdaya akibat terbawa perasaan, dan membuatnya bertindak tanpa logika. Perhatikan kutipan berikut.

Dia memang kalut sekali. Dia bangkit dari ranjangnya. Berdiri di pintu. Dibukannya pintu itu. Tak terbuka. Panik. Dia tabrak pintu itu. Tetap tak terbuka. Dia memekik panjang. Dia memukul-mukul dan menendang- nendang pintu, sampai tubuhnya letih sendiri, tersengal-sengal kembang kempis tersandar di pintu. Di situ dia menangis tak berdaya. (Remy Sylado, 2007: 100)

Dalam kondisi tertentu ada kalanya kejiwaan seorang perempuan dapat menjadi labil karena berbagai persoalan yang menghimpit. Begitu pula saat Indayati sudah tidak tahan diperlakukan semena-mena oleh suaminya dan kemudian memutuskan untuk pergi dari rumah, saat mengambil keputusan tersebut perasaan Indayati sempat diliputi kecemasan dan kekhawatiran. Perhatikan kutipan berikut.

“...di tanah lereng yang sejuk dia mengendap-endap meninggalkan rumah. Langkahnya menuju timur. Tapi duapuluh langkah di depan sana dia berhenti. Tercenung. Ragu.” (Remy Sylado, 2007: 2)

Sebagai manusia, adakalanya seseorang akan gamang dan merasa rapuh ketika sedang menghadapi cobaan hidup yang berat. Begitu pula Indayati, saat memutuskan meninggalkan rumah dan suaminya dia sempat mengalami keraguan. Namun, berbagai kecemasan dan kekhawatiran tersebut tidak merubah keputusannya meninggalkan Petruk, Indayati memilih untuk mendapatkan kebebasanya kembali sebagai manusia yang hidup tanpa penindasan dan tekanan.

Dalam aspek psikis, Indayati merasa bahwa perempuan sering tersudutkan melalui ungkapan-ungkapan, dan pandangan sebagian besar masyarakat yang kerap menunjukan diskriminasi seks terhadap perempuan, misalnya dalam kegiatan prostitusi, perempuan (pelacur) lebih sering dicitrakan sebagai pihak yang disalahkan, dihina, bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat dan sebagainya. Persepsi negatif masyarakat dalam kasus prostitusi jarang sekali ditujukan terhadap laki-laki yang justru memanfaatkan praktik tersebut untuk kesenangan dan nafsu semata. Perhatikan kutipan berikut. “Duh, bagaimana aku Gusti? Jauh-jauh bronto sampai negeri orang hanya ngreyeng jadi lonte, laknat, terkutuk, dinaiki bajingan-bajingan mancanegara.” (Remy Sylado, 2007: 181)

Anggapan masyarakat yang buruk terhadap perempuan dalam kasus pelacuran, membawa dampak pada citra psikis Indayati, dia merasa anggapan tersebut sangat menyudutkannya sebagai perempuan. Padahal pelacuran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan minimal dua pihak, yaitu orang yang melacurkan diri atau terpaksa melacur atau bahkan dipaksa menjadi pelacur, serta orang yang memanfaatkan jasa tersebut, bahkan kemungkinan juga melibatkan tiga orang atau lebih, yaitu germo yang justru memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari praktik pelacuran. Perhatikan kutipan berikut.

Kata Indayati kepada Vanida, Ini melabihi perbudakan yang paling keji. Aku

tidak terima ini. Bangsat-bangsat Sean PV, Bunda, dan Kiki sudah makan dari perbuatan lacur, tapi aku tidak dapat bagiannya, malah terus diperas, seperti kerbau dicucuk hidung. Demi setan, aku bersumpah akan membunuh mereka. (Remy Sylado, 2007: 180)

Citra psikis perempuan tidak hanya langsung berkaitan dengan citra fisik, namun juga berkaitan dengan cara berpakaian. Pakaian dapat memberikan kepuasan secara emosional dan dapat mencitrakan kepribadian seseorang. Dalam masyarakat Jawa terdapat sebuah istilah ajining raga ana ing busana, ajining diri ana ing lathi. Hal tersebut menggambarkan bahwa pakaian yang dikenakan seseorang dapat memberikan gambaran mengenai konsep diri orang tersebut. Perhatikan kutipan berikut.

Siang ini indayati berpakaian santai: blus floral yang dominan warna scarlet di atas latar putih, celana jins putih, dan sapatu hak tinggi scarlet

pula. Pakaian Indayati bermacam model. Sesuai dengan tren. Penampilannya memang sangat metropolis. Tidak ada rasa canggung sedikitpun. Oleh sebab itu, siapalah pula yang menyangka bahwa setengah tahun silam dia berada di Gunungpati sebagai perempuan desa yang disia- siakan suaminya. (Remy Sylado, 2007:142)

Tidak dapat disangkal bahwa pakaian yang dikenakan perempuan, seringkali mempunyai efek yang penting terhadap suasana hati dan kemudian dapat mempengaruhi psikologis perempuan tersebut. Hal itu berhubungan rasa percaya diri dibangun oleh pikiran positif dan kemudian tercitrakan oleh fisiknya, melalui sikap dan tingkah laku.

Dalam aspek psikis, secara umum perempuan memiliki kecenderungan senang dipuji mengenai hal-hal yang berhubungan dengan fisiknya, begitu juga dengan Indayati. Perhatikan kutipan berikut.

Rayuan Kiki–dengan kata-kata yang kelihatanya sangat hafalan itu – memang sungguh mematikan. Sementara, Indayati sebagai perempuan, seperti berjajar perempuan-perempuan lain, secara alami merasa senang akan pujian atas kecantikannya. (Remy Sylado, 2007: 14)

Dilihat dari aspek psikis tersebut terbukti bahwa terdapat ideologi yang sifatnya patriarkal, secara tidak langsung berkembang dalam psikis perempuan. Sebenarnya citra psikis perempuan yang digambarkan pengarang melalui sosok Indayati telah merasakan ketersudutannya atas ideologi gender dan pria masih tercitrakan sebagai makhluk yang `berkuasa`. Indayati secara sadar mengetahui kenyataan ini, tetapi dia belum mampu membongkar selubung sistem patriarkal yang melingkupi kehidupan masyarakatnya.

c. Citra Diri Indayati Berdasarkan klasifikasi citra fisik dan citra psikis, maka kedua citra tersebut

dapat diabstraksikan menjadi citra diri. Sebagai komponen yang mewujudkan citra diri perempuan, maka kesatuan aspek fisik dan aspek psikis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dari aspek fisik, citra diri Indayati terlihat khas sebagai makhluk yang feminim

karena diperkuat oleh pengalaman-pengalaman tertentu yang hanya dialami perempuan seperti menstruasi, melahirkan, dan menyusui anak. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang tersebut, maka secara tidak langsung berpengaruh pada struktur tingkah lakunya yang penuh dengan welas asih dan kasih sayang terhadap putra semata wayangnya. Perhatikan kutipan berikut. “Sambil memeluk erat-erat putranya yang diselimuti kain batik untuk menjaga angin malam di tanah lereng yang sejuk...” (Remy Sylado, 2007: 2). “Sejenak kata-kata Indayati teralihkan karena bangunnya Eka Prakasa. “O, anak Mama bangun ya?” kata Indayati mengangkat anaknya itu, dan menggendongnya menimang-nimang.”

(Remy Sylado, 2007: 28). “Sembari refleks Indayati mengangkat anaknya dari ranjang, lalu membuai-buai anaknya, menimang-nimang supaya anakya itu berhenti menangis.” (Remy Sylado, 2007: 62). “Aku teringat anakku. Makin hari makin tersiksa. Aku bingung, siapa yang memberinya susu?” (Remy Sylado, 2007: 138).

Dari kutipan di atas, ciri-ciri feminim yang penuh kasih tercitrakan pada diri Indayati melalui perilaku dan sikapnya yang lembut serta naluri seorang ibu yang penuh perhatian, rasa kasih sayang, dan ingin senantiasa melindungi anaknya. Citra diri Indayati sebagai sosok perempuan optimis, kuat, dan tegar serta mampu memperjuangkan hak-hak asasinya sebagai manusia terwujud dengan pilihannya keluar dari rumah dan meninggalkan suaminya. Perhatikan kutipan berikut.

Tapi lama-lama, dirasa-rasa, dipikir-pikir, naga-naganya semakin hari Indayati semakin buruk jua keadaannya. Maka, inilah harinya Indayati merasa mesti mengucapkan di dalam hatinya pernyataan selamat tinggal bagi suaminya. Dia telah sampai pada rasa puncak tidak tahan lagi tinggal serumah dengan seorang suami yang menjadikannya sebagai tawanan. (Remy Sylado, 2007: 2)

Selain memilih keputusan mengakhiri rumah tangga yang telah menjadikannya tawanan, sosok Indayati yang tidak mudah menyerah dan optimis berani semakin memiliki keberanian melawan para traffikiers dan berusaha untuk melepaskan diri dari mereka. Ketika ada kesempatan untuk terbebas Indayati berani menyerang Kiki yang notabene seorang laki-laki. Perhatikan kutipan berikut.

Aku sudah bersumpah untuk membalas dendam. Membunuh mereka semua. Dia berteriak keras. Aku akan bunuh mereka. Indayati pun mencekik leher Kiki. Atau, lebih tepat dia menggelantung di leher Kiki. Sambil menggelantung erat, menurut Aku sudah bersumpah untuk membalas dendam. Membunuh mereka semua. Dia berteriak keras. Aku akan bunuh mereka. Indayati pun mencekik leher Kiki. Atau, lebih tepat dia menggelantung di leher Kiki. Sambil menggelantung erat, menurut

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa perempuan yang sering dicitrakan sebagai makhuk yang lemah secara fisik dapat berubah, ketika perempuan tersebut memperjuangkan martabatnya sebagai seorang manusia dan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya.

2. Sebagai Makhluk Sosial

Di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, secara naluri manusia tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Pada dasarnya citra sosial perempuan merupakan citra perempuan yang erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat tempat perempuan tersebut menjadi anggota dan mengadakan hubungan antarmanusia. Citra sosial perempuan juga menyangkut masalah pengalaman diri atau pengalaman hidup yang pernah dialami. Pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial perempuan dalam masyarakat. Citra sosial perempuan memberi arti kehidupan baginya dan merupakan realisasi diri

dalam masyarakat. Realisasinya berangkat dari perannya dalam keluarga. Peran perempuan dalam keluarga terwujud karena perkawinan, kemudian suami istri membentuk keluarga.

Sebagai perempuan dewasa, salah satu peran yang menonjol adalah perannya dalam keluarga, yaitu menyangkut perannya sebagai istri, dan sebagai ibu. Citra

Indayati dalam keluarga pada novel Mimi lan Mintuno digambarkan sebagai perempuan dewasa, seorang istri, dan seorang ibu rumah tangga. Dalam aspek keluarga, perempuan dapat berperan sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota keluarga, namun masing-masing peran tersebut mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Ketika seorang perempuan menikah, akan terjadi perubahan peran dari masa lajang menuju ke sebuah jenjang perkawinan. Perubahan tersebut peran secara langsung maupun tidak langsung akan membawa tanggung jawab dan kewajiban yang berbeda dengan perempuan yang masih lajang. Perhatikan kutipan berikut.

Fitrahnya sebagai seorang perempuan sejati selaku istri atau ibu, lengkap dengan piranti rohani cinta-kasih dan kasih-sayang. Mula-mula anak dalam kehidupan insani senantiasa memberi ilham-ilham tanggungjawab kemanusiaan ibu untuk tulus berikhtiar memasuki misteri masa depannya. (Remy Sylado, 2007: 156)

Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa di dalam lingkungan sosial Indayati yang bersuku Jawa, terbentuk pelabelan mengenai “ibu” di dalam masyarakat. Permasalahan yang utama dalam labelisasi ibu adalah seorang perempuan dituntut untuk berperilaku sebagaimana umumnya yang dikehendaki masyarakat sekelilingnya. Artinya, ia harus memenuhi kriteria keibuannya, patuh pada suami, menjaga anak dengan baik dan menganggap bahwa pekerjaan yang tidak dibayar ini adalah pekerjaan yang paling mulia

Dalam novel Mimi lan Mintuno citra Indayati dalam keluarga hadir sebagai sosok individu yang harus menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai rutinitas pekerjaan domestik. Citra Indayati dalam keluarga menggambarkan perempuan yang tergantung pada laki-laki dari segi ekonomi, sebab setiap hari

Indayati terkungkung dalam kesibukan rutin pekerjaan rumah tangga, dan pekerjaannya tersebut tidak menghasilkan uang, seperti dalam kutipan berikut. “...konco wingking yang tempatnya melulu di dapur mengiris-ngiris brambang, nyulak-nyulaki kursi, nyapu-nyapu teras, ngosek-ngosek kakus, ngelus-ngelus burung.” (Remy Sylado, 2007: 9).

Melalui kutipan tersebut, diketahui bahwa pada novel Mimi lan Mintuno, Indayati dicitrakan sebagai perempuan yang berada dalam kesulitan karena dalam lembaga perkawinan, suaminya cenderung bersikap menguasai dan mengendalikan lembaga perkawinan atau lembaga keluarga dengan menyudutkannya melalui berbagai rutinitas pekerjaan rumah tangga.

Indayati merupakan perempuan yang bercita-cita mengembangkan dirinya menjadi sosok yang mandiri secara intelektual, untuk itu Indayati menempuh pendidikan di Sekolah Asisten Apoteker di Semarang setelah menyelesaikan sekolahnya, Indayati bekerja di sebuah apotek besar di Ungaran. Perempuan yang memandang pendidikan penting baginya dan mandiri secara ekonomi seperti Indayati didukung sepenuhnya oleh gerakan feminis. Namun, sayang sekali setelah menikah Indayati terpaksa meninggalkan pekerjaan tersebut karena Petruk suaminya melarang bekerja dan meminta Indayati memfokuskan diri sebagai ibu rumah tangga. Perhatikan kutipan berikut.

Dulu, sebelum kawin dengan Petruk, dia bekerja di Apotek besar di Ungaran. Dia keluar dari situ, sebab setelah nikah dengan Petruk, suaminya ini melarangnya bekerja. Petruk memang tipe lelaki Indonesia tradisional yang ngotot mempertahankan nilai-nilai hidup `djaman doeloe` yang sudah kadaluarsa, bahwa perempuan adalah semata-mata konco wingking yang tempatnya melulu di dapur. (Remy Sylado, 2007: 9)

Setelah keluar dari pekerjaannya sebagai apoteker, Indayati tidak mandiri secara ekonomi dan menggantungkan suaminya dalam hal mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Ketergantungan atau ketidakmandirian perempuan secara ekonomi ditengarai menjadi faktor utama yang “melumpuhkan” perempuan, sebab membuat perempuan kurang mampu mewujudkan potensi diri mereka dengan sepenuhnya. Selain itu, ketergantungan perempuan terhadap suami dalam segi ekonomi, ditengarai menjadi faktor penyebab terjadinya KDRT.

Berkaitan dengan hal itu, suami yang menjadi pemegang peran penting dalam perekonomian rumah tangga menjadi mudah bertindak sewenang-wenang terhadap istri .

Kebangsaan atau suku keturunan Indayati adalah suku Jawa, yang masih cenderung memegang teguh tradisi dan dalam bersikap cenderung berpijak nilai-nilai tradisi. Hal tersebut termaktub dalam beberapa ungkapan yang di ucapkan orang tuanya ketika memberikan wejangan. perhatikan kutipan berikut.

Lihatlah, sungguh setia mimi terhadap mintuno, dan sebaliknya. Kesimpulannya, sedangkan hewan yang cuma punya naluri, bisa setia dalam berpasangan hidup, apalagi semestinya manusia yang memiliki akal-budi, nalar, hati (Remy Sylado, 2007: 283).

“Manawa kowe nesu, aja nganti gawe dosa. Srengenge aja nganti angslupn sadurunge nesumu ilang. ” (Remy Sylado, 2007: 283). Apabila ungkapan tersebut dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia menjadi “Bilamana kamu marah, jangan sampai berbuat dosa. Jangan sampai matahari keburu terbenam sebelum marahmu hilang.”

Orang tua Indayati bertempat tinggal di Muntilan, begitu juga Indayati, dia lahir dan dibesarkan di daerah tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan SMU-nya, Indayati berpindah ke Semarang untuk menempuh pendidikan di Sekolah Asisten Apoteker, setelah menikah dengan Petruk, dia bertempat tinggal di Gunungpati, Semarang. Dalam segi spiritual, Indayati dan keluarganya menganut agama Islam sehingga pandangan hidup Indayati dipengaruhi oleh ajaran dan norma-norma agama Islam

Dalam novel Mimi lan Mintuno stereotip-stereotip tradisional terlihat menandai citra Indayati sebagai makhluk sosial, antara lain ditunjukkan oleh superioritas laki-laki dalam kultur masyarakat Indayati. Dalam keluarga suku Jawa seorang anak laki-laki mendapat tempat yang lebih tinggi dari pada perempuan. Ia akan lebih diutamakan daripada anak perempuan dalam segala aspek hidupnya. “Sebelum kawin dengan Petruk, dia bekerja di apotik besar di Ungaran. Dia keluar dari situ, sebab setelah nikah dengan Petruk, suaminya ini melarangnya bekerja” (Remy Sylado, 2007: 283). Dalam posisi demikian, secara sadar ataupun tidak sadar Indayati terpaksa menerima dan menyetujuinya sebagai sesuatu yang semestinya terjadi karena perempuan yang hidup dalam lingkungan tersebut sangat sulit untuk keluar dari nilai-nilai tradisional yang telah ada.