Representasi Feminisme dalam Novel Mimi lan Mintuno

C. Representasi Feminisme dalam Novel Mimi lan Mintuno

Berdasarkan referensi yang di dapat penulis, ditemukan bahwa di dalam menghasilkan karya sastra Remy Sylado cenderung mengambil tokoh utama seorang Berdasarkan referensi yang di dapat penulis, ditemukan bahwa di dalam menghasilkan karya sastra Remy Sylado cenderung mengambil tokoh utama seorang

Mansour Fakih mengemukakan bahwa perbedaan gender merupakan konstruksi sosial yang menyebabkan manifestasi ketidakadilan gender yang dialami perempuan (Mansor Fakih, 2004: 72). Dalam novel Mimi lan Mintuno ketidakadilan gender tersebut meliputi: (1) stereotipe atau citra buruk terhadap perempuan, (2) subordinasi atau penomorduaan, dan (3) kekerasan terhadap perempuan.

1. Stereotipe Perempuan

Stereotipe merupakan pandangan negatif masyarakat yang dilekatkan terhadap perempuan sehingga sangat merugikan perempuan. Seperti halnya pendapat yang diungkapkan oleh Mansour Fakih “stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang menimbulkan ketidakadilan.” (Mansour Fakih, 2005: 16). Dengan demikian stereotipe perempuan adalah pandangan buruk yang dilekatkan terhadap perempuan sehingga menimbulkan dampak yang negatif terhadap perempuan dan merugikan perempuan. Stereotipe perempuan dalam karya sastra dapat dilihat pada sikap dan pemikiran tokoh cerita serta penggambaran cerita oleh pengarang (Sugihastuti dan Suharto, 289: 2005).

Dalam teks novel Mimi lan Mintun, Remy Sylado mengungkapkan beberapa stereotipe masyarakat yang merendahkan martabat perempuan. Perempuan hanya dilihat dari keindahan fisiknya dan tidak melihat bahwa perempuan adalah manusia yang memiliki hati nurani. Perhatikan kutipan berikut.

Dasar laki-laki! Mereka menyukai tubuh yang mulus, mengabaikan hati yang tulus. Mereka cuma memandang perempuan dari sudut manfaat, bukan martabat. Mereka, melulu berpikir tentang nikmat wanita, ketimbang hikmat perempuan. Mereka bukan memberdayakan tapi memperdayakan.gerutu Indayati. (Remy Sylado, 2007: 160)

Dalam kutipan tersebut mengisyaratkan cara pandang yang berbeda mengenai sosok perempuan, yaitu tubuh yang mulus >< hati yang tulus, sudut manfaat >< martabat, nikmat wanita >< hikmat wanita. Pandangan tersebut terlihat sangat bertolak belakang dan cenderung menyudutkan perempuan. Dalam kehidupan masyarakat secara umum, terdapat sebagian laki-laki yang cenderung mengagungkan perempuan dari aspek fisik (tubuh yang mulus) dan mengesampingkan ketulusan hati perempuan. Pandangan negatif seperti itu berdampak pada munculnya keinginan untuk memanfaatkan perempuan sebagai pelampiasan hawa nafsu semata. Selain itu, hikmat atau harga diri perempuan menjadi tidak ada artinya ketika diperdayakan sebagai pelacur. Bahkan, martabat atau kehormatan perempuan juga seakan diinjak- injak dengan memanfaatkan tubuh perempuan sebagai objek yang berfungsi memberikan kepuasan seksual terhadap laki-laki tanpa memandang bahwa sebagai manusia, perempuan memiliki martabat yang seharusnya dijunjung tinggi.

2. Subordinasi (Penomorduaan)

Pandangan mengenai perbedaan gender ditengarai telah membuat perempuan dianggap sebagai bagian (sub-ordinat) dari laki-laki. Fenomena yang menganggap perempuan sebagai “bawahan” atau inferior masih dianut oleh sebagian besar masyarakat di Jawa. Sebagai contoh, terdapat tafsir kultural Jawa meyakini bahwa “Wanita ateges wani d tata”, yang artinya “wanita”, harus wani ditata. Dari istilah tersebut terlihat adanya ketidaksederajatan antara laki-laki dan perempuan. Perhatikan kutipan berikut.

Dalam pasrah dan nrimo, disertai dengan banyak memberi senyum, sehingga terkesan seakan-akan dirinya dungu, tidaklah berati dia rela untuk selama-lamanya diperlakukan sebagai perempuan yang tiada berharkat (Remy Sylado, 2007: 143).

Dari kutipan tersebut terlihat perempuan hanya sebagai objek, dan ditata sesuai dengan kepentingan penata (laki-laki), sehingga tidak ada kebebasan untuk menata (mengatur) nasib mereka sendiri.

Pada sebagian kultur kehidupan masyarakat Jawa, memposisikan perempuan hanya sebagai “konco wingking” (teman belakang) yang memposisikan perempuan sebagai “warga kelas dua”, yang pekerjaannya hanya dalam wilayah domestik dengan aktifitas mengurus rumah tangga, tanpa dilibatkan dalam sektor publik. Teks novel Mimi lan Mintuno yang dipengaruhi kultur Jawa menempatkan perempuan dalam posisi tersebut. Perhatikan kutipan berikut.“perempuan adalah semata-mata konco wingking yang tempatnya melulu di dapur...” (Remy Sylado, 2007: 9).

Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat Remy Sylado menggambarkan bahwa sebagai perempuan yang hidup dalam kultur Jawa, Indayati mengalami ketidakadilan gender karena dominasi laki-laki dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat yang menganut garis patrilineal membuat seorang suami cenderung mendapatkan perhormatan dan perlakukan istimewa dari istrinya. Pemikiran dan sikap yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua, secara langsung maupun tidak langsung akan muncul dalam tingkah laku yang memperlakukan perempuan bukan sebagai mitra dalam rumah tangga, melainkan sebagai `sub-ordinat` (bawahan laki-laki), yang tercermin melalui posisi perempuan sebagai konco wingking.

Selain disebut ”konco wingking”, dalam kultur Jawa perempuan sering diibaratkan “awan dadi theklek bengine ganti dadi lemek” (siang jadi alas kaki, malam naik pangkat jadi alas untuk ditindih). Persepsi yang merendahkan kaum perempuan ditentang keras oleh kaum feminis karena menjadikan perempuan terposisikan pada titik paling bawah. Situasi seperti itu banyak dijumpai oleh perempuan Indonesia sebagai akibat dari kultur budaya yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua. Jenis kelamin perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat atau bawahan, sedangkan jenis kelamin laki-laki sebagai superordinat atau menduduki posisi dominan sehingga membelenggu perempuan ke dalam format-format patriarki yang tidak menguntungkan posisi perempuan.

3. Kekerasan terhadap Indayati

Mansour Fakih mengungkapkan bahwa kekerasan yang menimpa perempuan dapat berasal dari berbagai gender tetapi kekerasan pada jenis kelamin tertentu, Mansour Fakih mengungkapkan bahwa kekerasan yang menimpa perempuan dapat berasal dari berbagai gender tetapi kekerasan pada jenis kelamin tertentu,

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi (Valentina Sagala, R dan Ellin Rozana, 2007: 29).

Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu wujud nyata dari budaya patriarki. Tidak adanya kesetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan merupakan karakteristik budaya patriarki yang menyebabkan timbulnya berbagai kekerasan terhadap perempuan. Paham androsentris membuat perempuan sering mengalami berbagai tindak kekerasan dan dianggap sebagai objek penindasan kaum laki-laki. Adapun bentuk kekerasan yang dialami perempuan dalam teks novel Mimi lan Mintuno terdiri atas kekerasan domestik dan kekerasan publik

a. Kekerasan Domestik Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ditengarai

sebagai suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. KDRT terjadi karena berbagai macam aspek, salah satunya nilai-nilai pribadi yang diterima dan dianut suami, yaitu sistem patriarki. Dengan ditetapkannya peran laki- laki sebagai kepala dan pemimpin rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga, dapat memberi peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (perempuan) dalam kehidupan perkawinan. Lebih lanjut Romany Sihite mengungkapkan bahwa masih kentalnya budaya patriarki pada sebagian besar kehidupan sosial telah menempatkan perempuan sebagai owner property atau sebagai harta milik dan berbagai anggapan keliru (inferior, lemah, tergantung) yang sebagai suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. KDRT terjadi karena berbagai macam aspek, salah satunya nilai-nilai pribadi yang diterima dan dianut suami, yaitu sistem patriarki. Dengan ditetapkannya peran laki- laki sebagai kepala dan pemimpin rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga, dapat memberi peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (perempuan) dalam kehidupan perkawinan. Lebih lanjut Romany Sihite mengungkapkan bahwa masih kentalnya budaya patriarki pada sebagian besar kehidupan sosial telah menempatkan perempuan sebagai owner property atau sebagai harta milik dan berbagai anggapan keliru (inferior, lemah, tergantung) yang

Dalam keadaan mabuk berat yang membuat matanya merah dan tubuhnya unggang anggit, dengan tangan kiri yang kuat lelaki itu memukul mulut istrinya. Cedera. Keluar darah. ...dengan tangan kanan yang lebih kuat lelaki ini memukul lagi. Istrinya terhuyung. Membentur dinding. Jengkang. Semaput. (Remy Sylado, 2007: 1).

...cedera di mulut dan mata yang kini membengkak besar, membuat wajah Indayati hilang cantiknya, dan bahkan sebaliknya berubah berantakan, entah berapa hari lagi baru bisa pulih seperti sediakala. (Remy Sylado, 2007: 4)

Di bibirnya bekas luka dari tamparan dan siksa Petruk selama itu. Itu belum lagi bekas luka yang tersembunyi di badannya yang tertutup baju. Hanya jika dia bertelanjang barulah terlihat beberapa bekas luka sudutan rokok di perut dan payudaranya yang dilakukan Petruk selama itu. (Remy Sylado, 2007: l13).

Berdasarkan beberapa kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa Remy Sylado menentang diskriminasi perempuan yang menekankan perempuan agar tunduk terhadap laki-laki sehigga menyebabkan ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Ketimpangan ini cenderung akan membuat perempuan tersubordinasi dan mengalami bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

b. Kekerasan Publik Perdagangan perdagangan perempuan atau trafficking ditengarai berakar dari

budaya patriarki sebab budaya yang mengukuhkan kekuasaan laki-laki tersebut cenderung menganggap perempuan sebagai objek terutama sebagai objek seks. Dengan adanya pandangan yang demikian maka perempuan menjadi suatu komoditas yang sangat dibutuhkan dan kemudian menjadi ajang untuk diperjual belikan (sebagai budaya patriarki sebab budaya yang mengukuhkan kekuasaan laki-laki tersebut cenderung menganggap perempuan sebagai objek terutama sebagai objek seks. Dengan adanya pandangan yang demikian maka perempuan menjadi suatu komoditas yang sangat dibutuhkan dan kemudian menjadi ajang untuk diperjual belikan (sebagai

Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk- bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Gadis Arivia, 2006: 250).

Ketika menyadari dirinya telah terjerumus dalam praktek prostitusi Indayati berusaha untuk melepaskan diri dari berbagai kekerasan dan penindasan yang sering diterimanya. Akan tetapi sayang sekali usaha yang dilakukan Indayati sia-sia. Bahkan, dia harus menerima kekerasan psikologis, fisik, maupun perampasan kemerdekaan dengan sewenang-wenang.

Selama Indayati terjerumus dalam sindikat perdagangan perempuan, dia tidak diperlakukan secara manusiawi, berbagai kekerasan fisik serta penindasan sering diterimanya. Perhatikan beberapa kutipan berikut.

Ketika Indayati mengangkat kepalanya, dengan mula-mula melihat sepatu Bunda di dekat kepalanya, tiba-tiba rambutnya dijambak supaya tubuhnya tegak berdiri. Dan, manakala Indayati sudah berdiri dengan merasa sakit oleh jambakan itu, Bunda memutar badannya, sehingga Indayati pun ikut terpusing pula, dan setelah itu melepas jambakannya itu. Begitu jambakan itu lepas, Indayati pun terempas, jatuh tersungkur dengan mulut menggelesor di lantai. Darah pun memerah di ngisi Indayati (Remy Sylado, 2007: 168)

Indayati meronta. Dia berteriak-teriak, memohon, menangis, meratap. Tak digubris. Akhirnya melihat jendela di lantai atas ini terbuka, dia menerjang, berlari ke jendela itu, siap hendak meloncat. Dul Dower menangkapnya, menjambak rambutnya, menyeret ke ranjang. Di situ Indayati meronta-ronta lagi, menjerit-jerit, menyerapah. Dul Dower memuntir tangannya ke belakang hingga lemas. (Remy Sylado, 2007: 98)

Dalam perdagangan tersebut, mereka diperlakukan sebagai komoditas, diperjualbelikan, dan tidak lagi dipandang sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai harkat dan martabat. Mereka dicabut kebebasan dan hak hidupnya tanpa pilihan. Perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja dan eksploitasi seks jelas merupakan korban dari sistem ekonomi yang eksploitatif dan juga korban dari sistem dominasi patriarki (Romany Sihite, 2007: 214).

Beberapa saat setelah Indayati tiba di Bangkok, dia dipaksa menjalani beberapa sesi pemotretan. Pada sesi pemotretan tersebut mereka dipaksa melepaskan seluruh pakaiannya. Ada beberapa perempuan yang menolak tetapi justru menimbulkan perlakuan kasar dan keras. “Bunyi klik diarahkan pada semua pose. Ini babak khusus bagi mereka yang masih perawan, yang akan dijual ke Tokyo dan Hongkong” (Remy Sylado, 2007: 96). Trafficking yang pada umumnya terjadi terhadap perempuan, akan membuat korban tereksploitasi secara seksual untuk kepentingan industri pornografi (Romany Sihite, 2007: 200). Para rraffikiers telah mengabaikan hak asasi korban karena memperlakukan mereka bukan sebagai manusia seutuhnya, tetapi cenderung sebagai komoditas. Perhatikan kutipan berikut.

Dalam babak pertama, babak pemotretan perawan-perawan itu, adegannya

tidak lebih hanya telanjang saja. Mereka semua dibugilkan. Caranya memang tidak langsung membuka habis pakaian-pakaian mereka, tapi mula-mula memotret sosoknya dengan bajurenang. Sehabis difoto dengan baju renang, lantasdisuruh buka bagian atas bajurenangnya, tustel berbunyi klik di atas tubuh dengan payudara yang tidak ditutup kain. Kemudian dibuka pula bagian bawah bajurenang itu. Dengan bagian bawah terbuka, artinya telanjang bulatlah objek yang difoto. (Remy Sylado, 2007: 97).

Berdasarkan kutipan tersebut, Remy Sylado menunjukkan bahwa dalam praktik rraffiking perempuan sering dianggap sebagai komoditas dan diperlakukan dengan semena-mena, sewenang-wenang. Lebih lanjut Romany Sihite mengungkapkan bahwa trafficking yang dilakukan terhadap perempuan merupakan bentuk eksploitasi seksual karena tubuh perempuan disalahgunakan sebagai objek seks (Romany Sihite, 2007:199).

Eksploitasi secara seksual terus mendera Indayati. Setiap kali dia dipaksa melayani para hidung belang. Perhatikan kutipan berikut. “Duh, bagaimana aku Gusti? Jauh-jauh bronto sampai negeri orang hanya ngreyeng jadi lonte, laknat, Eksploitasi secara seksual terus mendera Indayati. Setiap kali dia dipaksa melayani para hidung belang. Perhatikan kutipan berikut. “Duh, bagaimana aku Gusti? Jauh-jauh bronto sampai negeri orang hanya ngreyeng jadi lonte, laknat,

Kekerasan sering dilakukan oleh orang-orang yang dianggap lebih kuat atau yang lebih dominan dan memiliki otoritas tertentu dengan tujuan menunjukan kekuasaanya terhadap perempuan. “Sepekan Indayati disekap dalam ruangan gelap pekat ini bersama dengan Vanida dan yang lain-lain.. Katanya, “kita rugi sedikit menolak pelanggan, tidak apa-apa, asal untuk selamanya kita untung mengelola orang-orang yang patuh.” (Remy Sylado, 2007: 178). Para pelaku rraffikiers yang memiliki “kekuasaan” akan lebih melakukan kekerasan apabila wewenangnya dilanggar dan tidak dipatuhi. Akan tetapi Sean PV yang menyekap Indayati tidak sertamerta dapat menghasilkan efek jera, kapok, dan patuh. Dalam keadaan tertawan satu-satunya keinginan yang ada di hati Indayati adalah membalas dendam atas penghinaan, penistaan, dan pelecehan yang sudah dilakukan oleh Sean PV. Perhatikan Kutipan berikut.

...aku sudah bersumpah untuk membalas dendam. Membunuh mereka semua. Dia berteriak keras. Aku akan bunuh mereka. Ya. Ayo kita melawan dan membunuh bajingan-bajingan busuk Sean, Bunda Kiky. Bunuh mereka. (Remy Sylado, 2007: 265).

Indayati sudah beberapa hari dikurung tahanan ditindas, ditekan, dan dianiaya supaya menyerah dan patuh tetapi justru sebaliknya, Indayati merasa harus melakukan perlawanan agar terlepas dari seluruh penindasan yang dilakukan oleh para traffikiers. Relasi sosial antara pelaku dan korban mencerminkan tindak kekerasan dan subordinasi. Praktik–praktik prostitusi seperti itu mempunyai tujuan yang sangat merugikan perempuan, yaitu mencari keuntungan secara finansial dari tubuh perempuan (Romany Sihite, 2007:201).