Representasi Feminisme Pengarang di Tengah Kultur Jawa

D. Representasi Feminisme Pengarang di Tengah Kultur Jawa

Penulis novel Mimi lan Mintuno adalah Remy Sylado, ia lahir di Makasar dengan nama Yapi Panda Abdiel Tambayong. Biarpun tidak dilahirkan di Jawa tetapi Remy Sylado lekat dengan kebudayaan Jawa karena sejak kecil hingga remaja dia bertempat tinggal di kota Solo dan Semarang. Di dalam memaparkan ide-ide dan gagasannya, seorang penulis tidak dapat lepas dari kondisi sosial, budaya, dan lingkungan masyarakatnya. Berdasarkan faktor tersebut, secara tidak langsung kebudayaan Jawa memberikan pengaruh terhadap hasil karyanya, novel Mimi lan Mintuno. Pada teks novel Mimi lan Mintuno terdapat banyak kosakata yang menggunakan bahasa Jawa (ngoko). Perhatikan kutipan berikut.

....aku wong wadon kang murtad. Aku lara kaya rinemet-nemet, dhuh, pagering jantungku dheg-dhegan, ora bisa lerem, amarga aku krungu swaraning kalasangka, gumuruhing perang. Gempuran-gempuran kawartakake, saindenging nagara dirusak. Kemahku dirusak dadakan, samono ugo tendhaku mung sakedhap netra. Isih pira suwene maneh aku ndeleng umbul-umbul abang putih, lan krungu swaraning kalasangka iku (Remy Sylado, 2007: 182).

Apabila dialihbahasakan menjadi bahasa Indonesia kutipan di atas mempunyai sebagai berikut. “....aku wanita yang murtad. Aku sakit diguncang geliat, duh sekat

jantungku berdebar tidak bisa tenang, sebab aku dengar bunyi nafiri, gempitannya perang. Penghancuran demi penghancuran diberitakan, seluruh negeri di rusak. Tendaku dirusak, hanya dalam sekejap mata. Masih berapa lama lagi aku melihat bendera merah-putih, dan mendengar suara nafiri itu?”

Selain kutipan di atas, di dalam teks novel Mimi lan Mintuno masih terdapat banyak kalimat-kalimat dan kosakata yang menggunakan bahasa Jawa. Bahkan, dari segi pemilihan judul novel, Remy Sylado mengambil konsep Jawa yaitu, “Mimi lan Mintuno”. Mimi lan Mintuno dipercaya masyarakat Jawa sebagai wujud penggambaran cinta sejati antara 2 makhluk yang berbeda jenis. Perhatikan kutipan berikut.

‘mimi’ itu adalah ‘unam’, sejenis siput laut, dan ‘mintuno’ itu adalah ‘belangkas’, sejenis ketam berekor. Mereka yang berbeda jenis ini bisa saling rukun ‘bercinta’ dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Kalau mimi hilang, tertangkap manusia, atau mati, pasti mintuno mencarinya, dan kalau tidak ketemu dia akan sengaja membiarkan dirinya mati di pasir ‘mimi’ itu adalah ‘unam’, sejenis siput laut, dan ‘mintuno’ itu adalah ‘belangkas’, sejenis ketam berekor. Mereka yang berbeda jenis ini bisa saling rukun ‘bercinta’ dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Kalau mimi hilang, tertangkap manusia, atau mati, pasti mintuno mencarinya, dan kalau tidak ketemu dia akan sengaja membiarkan dirinya mati di pasir

Berbicara mengenai status dan posisi perempuan tidak lepas dari ajaran nilai, norma, dan tradisi budaya masyarakat di sekelilingnya. Secara turun temurun ajaran nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat ditanamkan kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebagai bekal dalam upaya menjaga kelanggengan kehidupan sosial bermasyarakat. Ajaran ini akan dipatuhi, ditaati dan dilaksanakan oleh sebagian orang dengan sebaik-baiknya sehingga menjadi acuan dalam berpikir, bersikap, berperilaku terhadap sesama, termasuk kepada isteri atau suaminya. Secara tidak langsung ajaran nilai, norma, dan tradisi budaya dapat membentuk karakteristik seseorang. Sebagai contoh, seorang perempuan yang hidup dalam masyarakat Jawa akan membentuk karakteristik perempuan tersebut sesuai dengan ajaran nilai, norma, dan tradisi yang telah diterimanya. Karakteristik perempuan Jawa pada umumnya sebagai berikut:

1. Patuh dan Taat

Dalam tradisi Jawa perempuan dibatasi oleh tradisi “keperempuanan” ideal yang mengutamakan nilai-nilai kepatuhan dan ketaatan. Nilai ini menginterpretasikan laki-laki sebagai pemimpin sehingga mengharuskan perempuan patuh terhadap suaminya. Bahkan, kepatuhan ini direfleksikan dalam ungkapan “swarga nunut nraka katut ”, artinya seorang isteri harus patuh dan mengikuti suaminya dengan setia. Remy Sylado melihat dalam kehidupan masyarakat Jawa, perempuan tidak hanya dituntut menjadi ibu rumah tangga yang baik, tetapi juga isteri setia yang patuh terhadap suami. Perhatikan kutipan berikut.

Petruk memang tipe lelaki tradisional yang ngotot mempertahankan nilai- nilai hidup `djaman doeloe` yang sudah kadaluarsa, bahwa perempuan adalah semata-mata konco wingking yang tempatnya melulu di dapur mengiris-ngiris brambang, nyulak-nyulaki kursi, nyapu-nyapu teras, gosek-ngosek kakus, ngelus-ngelus burung (Remy Sylado, 2007: 1)

Tidak adanya kesetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan merupakan karakteristik budaya patriarki yang menyebabkan timbulnya berbagai kekerasan

terhadap perempuan. Budaya Jawa yang memposisikan perempuan di bawah laki-laki membuat perempuan dianggap sebagai obyek penindasan kaum laki-laki, sehingga kaum perempuan sering mengalami berbagai tindak kekerasan. Untuk mengkritik posisi subordinasi perempuan dalam masyarakat Jawa, Remy Sylado menceritakan penyesalan Petruk yang telah menganiaya Indayati. Bahkan, orang tua Petruk yang memegang teguh ajaran, norma, dan tradisi Jawa menyarankan agar Petruk mencium kaki Indayati sebagai bentuk permintaan maaf. Perhatikan Kutipan berikut. “Kalau kamu benar-benar sudah sembuh, cepat kamu jemput istri–anakmu. Minta maaf kepada Indayati. Kalau perlu basuh kakinya dengan narwastu, dan harus cium kakinya itu” (Remy Sylado, 2007: 70). Kutipan tersebut merupakan kritikan tajam Remy Sylado terhadap budaya patriarki yang mengukuhkan dominasi laki-laki dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat.

2. Perempuan Milik Suami

Dalam tradisi Jawa apabila seorang perempuan menikah, maka ia akan menjadi “milik” suaminya. Kehidupan perempuan (isteri) bukan lagi menjadi miliknya secara otonom melainkan telah menjadi hak suami. Sebagian besar masyarakat Jawa beranggapan bahwa istri yang baik adalah seorang isteri yang menjalankan perannya dalam rumah tangga seperti mengurus rumah, mengasuh anak dan melayani suami sesuai dengan peran yang ditentukan secara sosial. Rutinitas seperti itu membuat perempuan cenderung sibuk dalam urusan rumah tangga dan tidak memikirkan keinginan pribadinya. Kondisi semacam itu dapat menghambat upaya perempuan untuk mengembangkan potensi diri dan berkiprah dalam kehidupan sosial di luar rumah tangga. Sebagai hak milik suami, Isteri diharuskan dapat merahasiakan keadaan rumah tangganya termasuk tabiat suaminya kepada orang lain. Remy Sylado menentang hal tersebut dengan mengisahkan kepergian Indayati ke rumah pamannya di Semarang. Di sana Indayati menceritakan segala keluh kesahnya, termasuk tindak kekerasan yang selalu dilakukan Petruk terhadapnya. Kepergian Indayati mengisaratkan bahwa Remy Sylado mendukung perempuan untuk mendapatkan kebebasan atas diri, tubuh, dan pikirannya.

3. “Nrimo” atau Pasrah

Dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa perempuan (isteri) cenderung menerima kelakuan suami atau ”nrimo”. Perempuan lebih banyak diam dan menerima semua perlakuan suami, baik itu perlakuan baik maupun buruk sebagai “jalan hidupnya”. Sebagian perempuan tidak berani mengungkapkan berbagai perihal yang menjadi beban dalam rumah tangga karena merasa takut mendapat ancaman dan perlakuan kasar secara fisik dari suaminya. Melalui novel Mimi lan Mintuno, Remy menunjukkan ketidaksepahamannya terhadap sikap perempuan dalam masyarakat Jawa yang cenderung nrimo dan pasrah menerima segala tindakan suami. Hal tersebut ditunjukkan Remy Sylado dengan keputusan tokoh Indayati yang meninggalkan suaminya. Perhatikan kutipan berikut.

Tapi lama-lama, dirasa-rasa, dipikir-pikir, naga-naganya semakin hari Indayati semakin buruk jua keadaannya. Maka, inilah harinya Indayati merasa mesti mengucapkan di dalam hatinya pernyataan selamat tinggal bagi suaminya. Dia telah sampai pada rasa puncak tidak tahan lagi tinggal serumah dengan seorang suami yang menjadikannya sebagai tawanan. (Remy Sylado, 2007: 2)

Melalui keputusan Indayati tersebut, Remy Sylado memberikan gambaran bahwa perempuan yang tertindas dan diperlakukan semena-mena oleh suami harus berani memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia untuk memperoleh keadilam dan dalam kehidupan rumah tangga.

Lewat novel Mimi lan Mintuno, Remy Sylado memberikan motivasi agar para para perempuan yang mengalami penindasan dan penderitaan harus tetap berani berjuang untuk memperoleh keadilan. Selain mengungkap permasalahan perempuan dalam kehidupan rumah tangga, lewat novel Mimi lan Mintun, Remy Sylado memberikan gambaran tentang pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya trafficking. Melalui contoh kasus KDRT dan trafficking yang dialami Indayati diharapkan dapat membantu mengurangi praktek kekerasan terhadap perempuan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan.

4. Perlindungan dan Pertolongan Laki-laki

Pada masyarakat Jawa terdapat stereotipe yang menunjukkan bahwa perempuan yang baik di mata masyarakat adalah perempuan yang lemah lembut dan halus dalam bertutur kata. Alam bawah sadar perempuan yang meyakini bahwa dirinya lembut membawa pengaruh besar pada keinginannya tergantung kepada laki- laki, yang dipandang lebih kuat oleh masyarakat Jawa. Keinginan untuk bersandar pada kekuatan laki-laki secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perempuan tunduk dan patuh kepada laki-laki. Di sisi lain, kepatuhan dan sifat tunduk tersebut dapat menjadi belenggu bagi perempuan untuk memiliki kekuatan mandiri. Dalam novel Mimi lan Mintuo, Remy Sylado menggunakan tokoh Siti Anastasia sebagai bentuk kritikan terhadap sosok perempuan yang cenderung distereotipkan lemah lembut dan tergantung terhadap laki-laki. Perhatikan kutipan-kutipan berikut.

Luar biasa ambisi Somphon hendak mengalahkan Siti. Dia kepalang beranggapan perempuan yang berada di hadapannya ini hanyalah wanita yang sama dengan para stok di gedung ini: lemah, manut, dungu, dan sering menangis. Dia tidak menyangka bahwa perempuan di hadapannya ini adalah seseorang betina perkasa yang sanggup membuatnya menyesal menjadi manusia (Remy Sylado, 2007: 254).

“Siti yang titis, yang juara tembak Perbakin ini, dengan serta merta menarik picu pistolnya. Peluru langsung melesat dan dengan tepat, sesuai harapannya, memembusi jidat Sean PV.” (Remy Sylado, 2007: 274) Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahawa melalui tokoh Siti Anastasia yang memiliki fisik kuat, jago beladiri, dan juara Perbakin, Remy Sylado berusaha menghapuskan citra perempuan yang sering distereotipkan lemah oleh sebagian besar masyarakat, khususnya di Jawa.