" INOVASI DAN APLIKASI TEKNOLOGI PERTAMBANGAN UNTUK NEGERI"

2. PERMASALAHAN

Apakah air danau dapat dimanfaatkan?

3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan utama adalah meneliti/mengkaji usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pengolahan air lubang pasca tambang (danau) untuk mengurai kandungan bahan pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, Tujuan utama adalah meneliti/mengkaji usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pengolahan air lubang pasca tambang (danau) untuk mengurai kandungan bahan pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi,

4. KAJIAN PUSTAKA

Industri pertambangan menghasilkan dan membuang jutaan meter kubik air setiap harinya bersumber dari air permukan dan air tanah. Air ini akan menjadi permasalahan pencemaran air di dalam dan di sekitar daerah pertambangan apabilah tidak dikeloladenganbaik karena pH 2-6, tetapi air ini juga akan bermanfat apabilah mutunya memenuhi standar mutu air baku (pH 7-9).

Debit air permukaan yang masuk kedalam lubang bukaan tambang/danau dalam kegiatan pertambangan dapat dihitung dengan persamaan rasional berikut:

Q = 0,278 x C x I x A

Dimana : 3 Q = Debit rencana,(m /det)

C = Koefisien material (Koeff. Limpasan)

I = Intensitas hujan rencana, mm/jam

A = Luas catchment area, ha

Perhitungan debit air tanah biasanya dilakukan pada kondisi pengontrolan air tanah yang sulit di atasi. Persamaan Thiem sering digunakan untuk menghitung debit air tanah yang dasar perhitungannya adalah pengurangan air dalam akuifer. Asumsi- asumsi yang terlibat dalam persamaan ini adalah bahwa aliran air bersifat steady, merata baik kearah horizontal maupun radial didalam akuifer, isotropis dan walaupun terjadi penyebaran air kearah horizontal, tetapi tidak mengurangi penetrasi terhadap sumur. Persamaan dibawah ini adalah persamaan Thiem.

K2 m (S - S )  1 2

C log 10 (R/r)

Dimana : Variable

MEINZER DARCY Q

Keterangan

Laju aliran gallon/menit ml/det K

Darcy M

Permeabilitas

Meinzer

Ketebalan penjenuhan rata-

cm rata dari akuifer yang diukur melalui 2 titik pengamatan

feet

R Jari-jari titik pengamatan Dapat diukur dengan satuan yang jauh dari sumur

sejenis karena hasilnya hanya R

Jari-jari sumur atau titik merupakan perbandingan pengamatan terdekat

C Konstanta

Viskositas centipoise centipoise S 1 Penurunan air tanah pada titik

Atm terdekat sumur pengamatan S 2 Penurunan air tanah pada titik

feet

Atm terjauh sumur pengamatan

feet

a. Volume waduk Volume waduk bekas galian tambang sangat bervariasi tergantung dari volume

lapisan tanah penutup, batuan penutup serta batubara atau mineral lainnya yang dibuka atau ditambang hingga pada batas akhir penambangan dan menghasilkan lubang bukaan yang terisi oleh air hujan atau air rembesan/airtanah sehingga lubang bukaan tersebut akan menjadi waduk atau danau. Volume waduk ditentukan oleh luas waduk beserta kedalaman air pada waduk tersebut.

Gambar 1. Penampang Waduk Bentuk Trapesium

Volume waduk = Luas waduk ((b’+ b)/2) x kedalaman air dalam waduk (h)

b. Curah Hujan Curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh pada satu satuan luas,

dinyatakan dalam milimeter.Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu.

Daerah Kalimantan Selatan termasuk daerah yang beriklim tropis, salah satu wilayah perusahan pertambangan mempunyaicurah hujan bulanan maksimum 634,7 mm pada bulan Maret tahun 2008 dan curah hujan bulanan minimum mencapai 114 mm pada bulan Juni tahun 2008.

Tabel 1 Curah Hujan Maksimal Daerah Tambang xyz Periode 2004 - 2008 TAHUN

(mm) Januari

c. Evaporasi Peristiwa air atau es menjadi uap dan naik ke udara disebut penguapan dan

berlangsungtidak berbenti-henti dari permukaan air, permukaan tanah, padang rumput,persawahan, hutan dan lain-lain. Penguapan ini terjadi pada tiap keadaan suhu, sampaiudara di atas permukaan menjadi jenuh dengan uap. Tetapi kecepatan berlangsungtidak berbenti-henti dari permukaan air, permukaan tanah, padang rumput,persawahan, hutan dan lain-lain. Penguapan ini terjadi pada tiap keadaan suhu, sampaiudara di atas permukaan menjadi jenuh dengan uap. Tetapi kecepatan

Evaporasi dihitung dengan Rumus empiris Penman (Suyono S: 1999):

E = 0,35(e a –e d )(1 + v/100)

Keterangan:

E = evaporasi (mm/hari).

e a = tekanan uap jenub pada suhu rata-rata harian (mm/Hg).

e d = tekanan uap sebenarnya (mm/Hg).

V = kecepatan angin pada ketingginan 2m di atas permukaan tanah (mile/hari).

d. Transpirasi Air dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuh-tumbuhan. Peristiwa

inidisebut transpirasi. Banyaknya berbeda-beda, tergantung dari kadar kelembabantanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya banyaknya transpirasi yang diperlukanuntuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan dinyatakan dalamgram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah kira-kira 200 sampai 600 gram danuntuk daerah kering kira-kira dua kali lipat dari itu. Salah satu persamaan yang digunakan untuk menghitung transpirasi adalah Blaney-Crinddle (Suyono S: 1999) sebagai berikut:

KP . .(45, 7 t 813)

100 K=K xK t c

K t  0, 0311 t  0, 240

Dimana: U

= tarnspirasi bulanan (mm) t o = suhu udara rata-rata bulanan ( C)

Kc = Koefisien tanaman bulanan P

= Persentase jam siang bulanan dalam setahun = Persentase jam siang bulanan dalam setahun

permukaan airtanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama diabsorsi untuk meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun kepermukaan airtanah dan mengalir kesamping (Suyono S: 1999). Untuk penentuan kapasitas infiltrasi dapat digunakan cara menggunakan alat ukur infiltrasi dan cara dengan menggunakan analisa hidrograf.

f. Kualitas Air Tambang Fenomena air asam tambang akan timbul apabila senyawa sulfide terutama

pirit (FeS 2 ) yang terdapat dalam batubara maupun pada lapisan tanah penutup, secara langsung terdedah/terbuka oleh oksigen yang terdapat dalam air maupun udara (Barton, 1978).

2FeS 2 + 2H 2 O

FeSO 4 + 2H 2 SO 4

2FeSO 4 + 2H 2 SO 4 +H 2 O

2Fe 2( SO 4 ) 3 +H 2 O

Fe 2 (SO 4 ) 3 +6H 2 0 →

2Fe(OH) 3 + 3H 2 SO 4

15Fe + 2SO 4 + 16H Disamping reaksi tersebut diatas, diketahui pula bakteri Thiobasillus juga memegang peranan penting dalam oksidasi pirit. Reaksi kimia tersebut menunjukkan oksida pirit akan menghasilkan sulfat, Fe2+, dan ion H+ bebas yang akan menyebabkan pH air menjadi rendah serta kandungan besi dan sulfat akan menjadi tinggi dalam air tirisan tambang.

FeS +

2 + 14Fe + 8H 2 O

Semakin rendah pH air dapat menyebabkan berbagai senyawa dan logam dari batuan akan mudah terlarut. Terlarutnya senyawa dan unsur dari batuan selanjutnya akan menyebabkan kandungan padatan terlarut total (garam-garam terlarut) dalam air akan meningkat. Dengan demikian sifat kimia air akan meningkat. Karakteristik air asam tambang (Smith, 1974) umumnyamempunyai pH 2-6, sehingga tidak dapat dijadikan sebagi sumber air baku dan bahkan dapat mencemari lingkungan apabilah dialirkan ke sungai seperti tertera pada table 2.

Tabel 2. Karakteristik Limbah Air Asam Tambang

No.

Parameter

Angka Kisaran

1 pH

2,0-6.0

2 2+ Fe (ppm)

10-2000

3 3++ Fe (ppm)

5 HCO 3 (ppm)

0-200

6 2+ Ca (ppm)

10-1000

7 3+ Al (ppm)

0-150

Baku mutu limbah kegiatan penambangan batubara menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003 seperti pada table 3 berikut:

Tabel 3. Baku mutu limbah Kegiatan penambangan batubara*

Parameter Satuan Kadar Maksimum pH

6-9

Residu tersuspensi mg/l

Besi (Fe) total

mg/l

Mangan (Mn) total mg/l

*Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003

4.1. Water Demand Pada Daerah Sekitar Tambang Kebutuhan airbaku setiap harinya disekitar daerah pertambangan per orang (Birdie G.S: 1990) seperti pada table 4 dalamliters per capita daily (LPCD)

Tabel 4. Kebutuhan Air (LPCD)*

No.

Purpose

Volume (LPCD)

1 Kebutuhan Rumah Tangga

2 Industri (tambang/sawit)

3 Fasilitas umum (tempat ibadah/sekolah) 2.5

4 Pemadam Kebakaran

5 Kebocoran (kehilangan)

Total

*Sumber: Birdie G.S

tetapi menurut WHO merekomendasikan kebutuhan air perharinyaserperti pada table 5.

Perhitung kebutuhan air, apabilah didasarkan atas pelayanan dengan menggunakan Hidran Umum (HU) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

a. Hitung Kebutuhan Air Dengan Formula : Q

=Pxq Q md =Qxf md

Tabel 5. Kebutuhan air per hari rekomendasi WHO*

No Purpose WHO’s recommendation liter/person/day

1 Drinking/Cooking

2 Bathing/Personal Washing

3 Utensiles Washing

4 Cloth Washing, Washing

5 House Washing

6 Flushing/Refuse disposal Washing

20 Total (litres)

*Sumber: Birdie G.S

Dengan pengertian: Qmd

= kebutuhan air (liter/hari) q

= kebutuhan air perorang perhari (Liter / orang /hari) P

= jumlah jiwa yang akan dilayani sesuai dengan tahun

perencanaan (jiwa)

fmd = faktor maksimum (1,05 – 1,15)

b. Hitung Kebutuhan Total Air Dengan Formula : Qt

= Qmd x 100/80 Dengan pengertian: Qt

= Kebutuhan air total dengan faktor kehilangan air 20% (liter/hari)

4.2. Prinsip Pengolahan Air Asam Tambang Pengolahan air asam tambang bertujuan untuk menurunkan kadar polutan yang terdapat didalam air asam tambang, terutama parameter-parameter pH, BOD dan COD. Secara umum pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan cara :

a. Pengolahan cara Fisika

b. Pengolahan cara Kimia

c. Pengolahan cara Biologi Sistim apa yang dipilih tergantung dari karakteristik air asam tambang maupun

lahan yang tersedia untuk pengolahan air asam tambang.

a. Pengolahan cara Fisika Adalah merupakan cara Pengolahan air limbah dengan cara seperti

pengendapan (tanpa penambahan bahan kimia ), penyaringan dan pengadukan, dll.

b. Pengolahan cara kimia Adalah merupakan cara pengolahan dengan cara menambahkan bahan-bahan

kimia kedalam air limbah, antara lain meliputi, netralisasi, koagulasi dan lain-lain.

c. Pengolahan cara biologi Adalah cara pengolahan dengan cara memecah bahan-bahan organik

biodegradable yang terdapat didalam air limbah untuk diubah menjadi senyawa- senyawa lain yang stabil sehingga apabila dibuang ke lingkungan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Cara yang umum dikenal dan banyak dipergunakan adalah dengan sistem lumpur aktif.

4.3. Analisis

a. Perhitungan Volume air netto Studi kasus pada PT XYZ mempunyai salah satu lubang bukaan pasca tambang

dengan dimensi lubang bukaan yang tidak dapat di timbun kembali, yaitu 309.5 m x 154,8 m x 20.1, dimana debit air yang masuk ke lubang bukaan tersebut dengan

Intensitas curah hujan = 110,12 mm/jam, Luas daerah tangkapan hujan = 4,10 km 2 , Koefisien limpasan 0, 9, sehingga laju aliran air permukaan yang masuk (Q s ) =

3 112,95 m 3 /det. Sedangkan air tanah (Q

a ) = 1 m /det (berdasarkan luas penampang a ) = 1 m /det (berdasarkan luas penampang

Air yang dapat tertampung pada kolam, jika tinggi muka air maksimum dalam kolam 17,5 m karena ada saluran pembuangan, maka V = 838 435,05m 3 (Volume

air netto) dan tinggi muka air minimum dalam kolam pada musim kemarau 15,3 m, maka V = 737032,18m 3

a. Kualitas Air Tambang Air asam tambang pada daerah PT xyz, sebelum dilakukan perlakuan khusus (pengolahan) masih belum memenuhi baku mutu limbah batubara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003, berikut adalah kualitas air tambang pada PT XYZ

Tabel 6 Kualitas Air Tambang PT XYZ No. Parameter

Angka rata-rata

1 pH

2 2+ Fe (ppm) 900

3 3++ Fe (ppm) 80

5 HCO 3 (ppm) 10

6 2+ Ca (ppm) 500

7 3+ Al (ppm) 75

b. Perhitungan Water Demand Kebutuhan air total dihitung berdasarkan jumlah pemakai air yang telah

diproyeksikan untuk 5 tahun – 10 tahun mendatang dan kebutuhan rata-rata setiap pemakai setelah ditambahkan 20% sebagai faktor kehilangan air (kebocoran). Disekitar daerah pertambangan PT xyz Jumlah penduduknya, Kecamatan A yaitu

91401 jiwa dengan luas wilayah 575 km 2 . kebutuhan air per orang 210 liter/hari dengan factor maksimum 1,15, Sehingga kebutuhan air total perhari 22.073.341,5

liter/hari (22.073,34 m 3/ hari). Jika diasumsikan ada faktor kebocoran atau pemakaian tidak efektif 20% (kehilangan 20%), maka kebutuhan air total perhari 27.591.676,9

liter/hari (27.591,7 m 3 /hari)

Berdasarkan table 7 bahwa daerah Kec. A disekitar tambang PT AKekurangan air bersih sebanyak 72,86% atau sekitar 20.103,3 m 3 /hari khususnya pada musim

kemarau.

Tabel 7 Persentase Kekurangan Air Disekitar Tambang PT xyz

WHO’s

Quantity

% shortage No

liter/person/day

liter/person/day c= ((a-b)/a) x100%

(a)

(b)

1 Drinking/Cooking 15 5.5 63.3 2 Bathing/Personal

60 10.0 83.3 Washing 3 Utensiles Washing

15 5.0 66.6 4 Cloth Washing,

20 7.5 62.5 Washing 5 House Washing

10 5.0 50.0 6 Flushing/Refuse

60 15.0 40.0 disposal Washing 7 Garden

c. Treatment Effort Yang Diperlukan Dan Biayanya Sistem Pengolahan yang digunakan, sistem pengolahan air asam tambang bermacarn - macam salah satu contohnya adalah dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.

Gambar 2.Sistem Pengolahan

1) Equalisasi Fungsi dari bak equalisasi adalah untuk menyeragamkan kualitas air limbah

yang sifatnya fluktuatif, baik kandungan pollutannya maupun jumlah air asam yang sifatnya fluktuatif, baik kandungan pollutannya maupun jumlah air asam

2) Koagulasi Salah satu cara yang paling sederhana untuk memisahkan polutan terutama

partikel - partikel yang ukurannya besar, dan zat warna ciari air limbah adalah dengan koagulasi yaitu dengan menambahkan bahan -bahan kimia yang dikenal sebagai koagulant kedalamnya. Dengan ditambahkannya koagulantmaka partikel-partikel yang ukurannya kecil menjadi besar sehingga dapat dipisahkan.

3) Lumpur Aktif Metode pengolahan air asam tambang dengan Lumpur aktif adalah salah

satu metode Biologis, yaitu merupakancara pernisahan polutan-polutan terutama yang berupa bahan organik biodegradable.Metode ini sangat banyak digunakan oleh industri, dikarenakan relatif lebih mudah dan efisien.

Air limbah yang berasal dan proses koagulasi setelah dipisahkan lumpurnya dimasukkan ke bak lumpur aktif dan ditarnbahkan oksigen / udara dengan menggunakan blower atau aerator.Didalam proses lumpur aktif ini akan terjadi Lumpur yang merupakan massa dari microorganisme dan dapat dipisahkan dengan menggunakan bak pengendap atau clarifier.

4.4. Studi Kasus Proses Pengapuran Untuk menaikkan pH air asam tambang dilakukan proses pengapuran, yaitu mencampurkan antara kapur tohor dengan air asam tambang, sehingga menyebabkan pH air tambang menjadi naik sampai pada batas baku mutu air yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengujian laboratorium menggunakal alat jar test, didapakan hubungan antara kebutuhan kapur tohor dengan perubahan pH air asam tambang pada pengujian sample air asam tambang 500 ml dengan pH awal 2,78. Dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

rm 1.20 1.10 y = 0.0068x 3 - 0.1315x 2 + 0.8377x - 1.4429

(g 1.00 o R² = 0.9989 r 0.90

h o 0.80

T 0.70 0.60 u r 0.50

a p 0.40

Gambar 2 Perubahan pH Air Asam Tambang dengan penambahan Kapur Tohor pada sample 500 ml

Untuk aplikasi dilapangan kapur tohor dicairkan didalam tangki dengan campuran air asam tambang, diaduk menggunakan baling-baling, sehingga dengan penambahan kapur dengan pengadukan tersebut pH air akan menjadi naik.

Berdasarkan pengujian lapagan untuk menetralkan air sebanyak 1 m 3 dari pH 2.78 menjadi pH 7 diperlukan kapur tohor sebanyak 0,7 kg.

4.5. Biaya Operasional Peralatan dirancang dengan sistem kontinyu dengan kapasitas 1.800 liter/jam. Peralatan dioperasikan selama 4 jam/hari sehingga dalam 7 (tujuh) hari mampu mengolah 50.400 liter. Dari hasil uji coba peralatan untuk mengolah air baku setempat diperoleh data, bahwa untuk setiap 1000 liter air baku diperlukan 0,7 kg kapur dan 15 gram tawas sehingga untuk mengolah 50400 liter (50,4 ton) air bersih, diperlukan 35,8 kg kapur dan 0,75 kg tawas. Jika harga kapur dipasaran saat ini Rp 500,00 per Kg dan tawas Rp 2.000,00 per Kg maka biaya pengolahan untuk mengolah 50.400 liter (50,4 ton) airbaku hanya Rp. 19.400 ditambah biaya listrik

diperkirakan Rp. 3.000,00 .atau sekitar Rp. 444.4/m 3

5. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut diatas air danau pertambangan untuk sumber air baku dapat digunakan setelah melalui proses pengolahan untuk menetralkan pH, Fe dan Mn. Biaya pengolahan air danau pertambangan ditentukan oleh besarnya debit, kualitas air limbah serta sistem yang dipergunakan didalam pengolahan, sehingga antara industri yang satu tidak sama besarnya dengan industri yang lainnya. Dengan

biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m 3 maka sebenamya industri mampu untuk melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap

lingkungan.

6. DAFTAR PUSTAKA

Birdie G.S and Birdie J.S. 1990. Water supply and Sanitary Engineering, Dhanpat Rai and Sons., New Delhi.

Barton, B.A. 1997. Short term effect of higway construction on limnology of small streem in Southern Ontario. Elsavier Applied Science, London and New York.

Suyono S dan Kensaku Takeda,1999. Hidrologi untuk Pengairan, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Smith M.J. 1974. Acid production in mine drainage system in:Deju R.A. 1974. Extraction of mineral energy: Today Dilemmas. Ann Arbor Science Publisher Inc. Mich pg.99.

THE STUDY ON BLASTING EFFECT WITH PRE-ASSESSMENT BOREHOLE STATUS BY INSERTING REAL TIME BORE HOLE ENDOSCOPE VERIFICATION

1 Prof. D.W. Kang 1 , W.H.Hur

Dep. Of Energy & Mineral Eng. Dong-A Univ., Busan, Korea

ABSTRACT

By inserting a Borehole Endoscope beforehand charging explosives, could

be sought overall status of boreholes and found weak points such as fractures or directions of joints. So it is possible to reflect weak points in some blasting work. In this study, using borehole endoscope to find typical weak points on some blasting work. In this study, using borehole endoscope to find typical weak points of boreholes first and considered each borehole condition to reflect blasting design. Each faulty zone, located in the interval of charge where in a mine, was replaced air deck charge method by self supportAir-Tubes.Reduction of charge with overall improvement of blast effects and economic benefit occurred. Thus this study has shown new possibilities throughout small-scale blasting to large- scale in limestone mine.

Keywords : Blasting, Pre-Assessment Borehole, Borehole Endoscope

1. INTRODUCTION

Physical properties of rocks referred to in general civil field are very diverse. Even conditions already known is just sketchy information from surface investigation such as exposed joints, weathered areas. Thus, it is almost impossible to get information of internal state and just wish to warn against risk or notice abnormal things of worker while drilling of course faulty zone in blasthole distinguished as abnormal sound or mechanical overload. But there is no one can say it exactly. Such a faulty zone crushed, chamber by chemical solution, Geological isolation., est.-caused over charging specially in bulk type explosives even sometimes any kinds of explosives. This is chief element of fly rocks and also impacts negative affects to blasting work. So in this study use borehole endoscope, searching surface and inner side hole conditions-specially reaming- before charging, obtained information of existing faulty zone and displaced by air deck method or lower specific charge.It is also problem to set a self-support air tube at accurate position.

2. BACKGROUNDS

2.1. Hole viewer system (Borehole Endoscope) Designed to survey � 45mm tunnel blastholes quickly with pin-hole type

camera.Using centralization cover also possible to use more �45mm holes. Equipments are composed camera head, supporter, signal cable, displayer and digital recording system. When it force into blasthole, it takes depth or position of faulty area by outside gradation.

2.2. Air Tube Blasting Method The air-tubes blasting method is an improved rock blasting method which

comprises a series drilling work in an aligned boreholes of a rock body according to the designed drilling patterns; charging the boreholes with explosives and an air tube in a predetermined pattern so as to provide a quantitative air decking in every charged borehole; and detonating the charged boreholes with stemming on the top of the explosives or air tubes.

Figure 1. Description of hole viewer system at contour hole in tunnel (hole Dia.

45 mm, damaged zone verification)

Figure 2.Hole viewer test in open mine (looking for faulty area in stony mine)

Figure 3. Normal shapes of blasthole

Figure 4. Endoscope find out faulty area (damaged by drilling impact. Stony mine. Kim-Hae. Korea )

The air tube is a cylindrical flexible tube having a predetermined width and length to be fit in the borehole. An air tube injection port is provided at one end portion of the air tube. The air tube is made of the sheets and its diameter upon inflated, becomes smaller than that of the boreholes. The air tube and air injection port are made from synthetic materials such as polyethylene, polypropylene, and polyamide. Preferably, the air tube is inflated by using an air injector of air compressors provided from work sites. For the optimal arrangement, the explosives and air tubes are alternately charged along the boreholes. Furthermore, the air tube is charged first at the bottom of the borehole and subsequently a detonator is charged above the top of the air tube charged in the borehole, and the explosives and air tubes are charged in an adjacent two boreholes so that they are located in cross relation each other, therefore, one air tube can face lateral explosives in an adjacent borehole.

Figure 5. Self-Support type Air-tube (1.5m �80mm)

Figure 6. The trial pattern of Air-Tube blasting (self support type, buried in explosives, reduce specific charge)

The air tube which is installed above the top of explosives can reduce the stemming length charged above the air tube as much as extent the air tube. The explosive charged above the air tube is detonated by sympathetic detonation.

2.3. Theory Of Air Decking The technique of air decking involves the use of one or more air gaps in the

explosive column as a means of optimising fragmentation for a given charge length. The theory as proposed by Melnikov and Marchenko (1971) and Melnikov et al. (1979), postulates that shock waves, when reflected within the borehole, generate a secondary shock wave that extends the network of microfractures prior to gas pressurization. The final borehole pressure produced by an explosive is, however, reduced in this case but the degree of fracture is increased as a result of repeated loading of the rock by a series of aftershocks. The three main pressure fonts (shock front, pressure front due to formation of explosive products behind the detonation font and reflected waves from the bottom of the blasthole and/or from the base of the stemming) travel within the air deck for different distances and velocities thereby creating these aftershocks.

3. GEOMINING DETAILS OF THE MINE

3.1. Location The limestone mine is situated in central Korea southern of Dan-Yang in the state of Chungchung-nam-do and belongs to Sung-Shin Cement Ltd.

3.2. Topography Regionally, the area forms undulating terrain with two ridges trending ENE-

WSW. The centre of city crossed by Riv. Yeon-san and annual precipitation rate in this area is about 1180 mm.

3.3. Rock Succession

Figure. 7. Location map Sung-Shin cement open pit mine.

Table 1. Margin settings for A4 size paper

4. FIELD TEST

4.1. Drilling And Preparing Air Deck Bench heights of 8-10 m and 15 m were used in the mine. Generally, 20-30 holes in two to three rows were fired using ordinary detonators. An air deck layer was placed in the middle of the explosive colum and between column charge and stemming for fragmentation. The deck specific was 80 mm for 15 m benches and

70 mm for 8-10 m benches.

4.2. Hole Viewer System Each blast hole surveyed endoscope from bottom to surface. The characteristic of limestone, slowly evolved reamings were found. This table is a part of accurate position of reaming.

Table 2.Position of reamings and faulty zone (Ex.)

Figure. 8. Detail view of faulty zone (Shows character of limestone reaming)

4.3. Charging All the blasthole charges with HIMEX (bulk emulsion, Han-Hwa Co.,

specific gravity 1.25) basically, but some holes that found fault zone bottom of specific gravity 1.25) basically, but some holes that found fault zone bottom of

Figure. 9. Detail description of trial method (left) and air deck method (right) (bench height 15 m, saved explosives 9-15% in average)

Table 3. Charging pattern (test blast)

5. RESULT

5.1. Fragmentation The optimum fragment size, considering a loading bucket capacity of 1.7 m 3

works out to be 0.20 m ( Rzhevsky, 1985. Further, for a shovel of 1.7 m 3 bucket capacity, the loading efficiency is reduced by 7.23 and 37% for mean fragment

sizes of 20-34, 35-60 and. 60 cm, respectively. Fragmentation assessment was made on the basis of image processing size measurements by split desktop ver. 2.0. Each blast always side by side conventional and test, ignited same time. The result of apparent fragmentation is shown in Fig. 10.

Figure. 10. Apparent fragmentation

Figure. 11. Calculate of fragmentation (Split Desktop ver. 2.0)

It can be observed in fig. 11 that middle sizes of rocks are smaller than conventional blasting. The average of middle size was 234.46 mm at conventional and 164.89 mm at test. It means about 30 % fragmentation improved in air deck blasting.

5.2. Saving Explosives As displaced certain amount of charges to air deck, occurred saving

explosives in air deck blasting method.

Table 4. The rate of saving explosives

5.3. Other Effects

Specific charge In conventional blasting with bulk explosive, a specific charge of 0.25 – 0.33 kg m 3 was used, whereas the specific charge was slightly higher in conventional

blasts with an air deck. In spite of this, the explosive cost is reduced significantly due to the use of low cost and low-density explosive (ANFO) and better utilization of available shock energy as explained previously.

Throw Research conducted by the Swedish Detonic Research Founder (SVEDEFO)

shows that the forward movement of muck pile in conventional charging should

be 140 3 c 228 m , where c is the specific charge in kg m (Olofson, 1988). The observed throw in conventional blasts with air decks is compared with the throw be 140 3 c 228 m , where c is the specific charge in kg m (Olofson, 1988). The observed throw in conventional blasts with air decks is compared with the throw

Figure. 12. Rock movement (arrow means blasting direction)

Table 5. Cost reduction by air deck

6. CONCLUSION

Depends on Air Tube blasting that each air deck layers are located at weak point in the holes, the degree of fragmentation was improved. From observation, the improved fragmentation is caused by preventing overcharges through which installing air tubes in faulty zone, so density of charge was stabilized.

By using Air Tube, reduce explosives 9 – 15 % for general method. It is expected to be a great financial opportunity for the mine.

7. REFERENCE

Biewniawaski, Z.T. (1973) Eggineering classification of jointed rock masses. Transactions Of South African Institute Of Civil Engineers 15(12), 335-344. Fourney, W.L., Barker, D.B. and Holloway, D.C. (1981) Model studies of explosive well stimulation techniques. International Journal Of Rock Mechanics & Mining Sciences 18,113-127.

Kinney, G.F. and Graham, K.J. (1985) Explosives Shocks In Air , Springer, New York. McCabe, W.L. and Smith, J. (1976) Unit Operations of Chemical Engineering , McGraw-Hill Book.

Company, New York.Marchenko, L.N. (1982) Raising the Efficiency of a blast in rock crushing. Soviet Mining Science 18 (5), 46-51.

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BESI/ BAJA HULU

NASIONAL BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL

Nurul Taufiqu Rochman Pusat Penelitian Metalurgi LIPI, Puspiptek Serpong Tangsel, Banten

[email protected]

ABSTRAK

Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena mendominasi 95 % dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang punggung bagi pengembangan industri suatu bangsa. Kebutuhan besi/ baja nasional mencapai lebih dari 10 jt ton pertahun dan terus meningkat seiring dengan program percepatan pembangunan ekonomi dewasa ini. Namun demikian, hingga kini, hampir seluruh bahan baku industri besi/ baja tersebut diperoleh dari impor baik berupa pellet maupun skrap dengan harga yang relatif mahal dan tidak stabil. Sementara itu, sumber daya alam yang berupa bijih besi dan pasir besi lokal belum diolah untuk tujuan tersebut karena berbagai macam kendalan yang dihadapi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal. Pertama, dibahas mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi industri besi/ baja hulu nasional, seperti ketergantungan bahan baku impor, tata kelola organisasi pemerintahan dan kebijakan serta kendala teknologi dan R & D. Kemudian dilanjutkan dengan uraian teknologi terkini yang potensial dikembangkan di Indonesia. Pendekatan klaster industri besi/ baja hulu menjadi pilihan yang paling strategis sebagai upaya penguatan daya saing global industri besi/ baja nasional. Terakhir disampaikan kesimpulan dan rekomendasi pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal.

Kata kunci: Strategi, industri besi/ baja hulu, bahan baku lokal, tata kelola kebijakan, teknologi pengolahan.

1. PENDAHULUAN

Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena mendominasi 95 % dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang punggung bagi pengembangan industri suatu bangsa. Negara-negara maju berusaha melakukan penguasaan teknologi pengolahan dan produksi baja secara besar-besaran untuk berkompetisi menguasai seluruh segmen pasar industri baik di dalam dan di luar negaranya pada era global dewasa ini. Berdasarkan laporan dari International Iron and Steel Institute , 2010 produksi baja dunia meningkat dari di bawah 1 milyar ton pertahun pada 2003 mencapai di atas 1,4 milyar ton pertahun pada 2010. Peningkatan ini diproyeksi akan terjadi dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan konsumsi baja dunia. Peningkatan konsumsi baja di masing-masing negara mengindikasikan bahwa proses pembangunan dan pengembangan industri masih terus berlangsung khususnya di negara-negara dunia ketiga (seperti China, India, Korea, Brasil dan lain sebagainya). Kondisi ini mendorong terjadinya perubahan peta industri baja dunia. Industri - industri baja di dunia melakukan serangkaian strategi untuk 1) mempertahankan eksistensinya,

2) ekspansi, 3) mendapat jaminan pasokan bahan baku dengan menguasai sumber bahan bakunya, 4) merebut pasar dunia dan lain sebagainya. Peningkatan konsumsi baja China dan perubahan peta industri baja dunia berdampak serius bagi industri besi/ baja nasional, dimana hampir semua bahan baku diperoleh dari impor dengan harga yang mahal dan tidak stabil. Di sisi lain, Indonesia kaya akan bahan baku, dimana jumlah pasir besi mencapai lebih dari 1 milyar ton yang utamanya tersebar di pulau Jawa dan Flores serta bijih besi laterite dengan total lebih dari 2 milyar ton di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sementara itu, jumlah deposit batubara dengan total melebihi

64 milyar ton dan batu kapur bermilyar - milyar ton tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Namun demikian kekayaan bahan baku lokal tersebut masih belum bisa dikelola secara mandiri untuk pemenuhan kebutuhan baja nasional karena berbagai macam kendala yang dihadapi dan belum adanya strategi yang terintegrasi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi 64 milyar ton dan batu kapur bermilyar - milyar ton tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Namun demikian kekayaan bahan baku lokal tersebut masih belum bisa dikelola secara mandiri untuk pemenuhan kebutuhan baja nasional karena berbagai macam kendala yang dihadapi dan belum adanya strategi yang terintegrasi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi

Gambar 1. Produksi besi kasar dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. (Sumber: http://www.worldsteel.org).

2. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI INDUSTRI BESI/ BAJA NASIONAL

2.1. Ketergantungan Bahan Baku Impor Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang berupa

mineral bijih besi, pasir besi, batubara dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya industri besi/ baja nasional masih kekurangan pasokan bahan baku untuk memenuhi proses produksinya. Kondisi ini disebabkan masih terbatasnya industri besi/ baja hulu di Indonesia baik dalam jumlah maupun kapasitas produksinya (Kemenperin, 2009).

Sumber bijih besi di Indonesia tersebar dan karakternya spesifik, tetapi belum ada industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi tersebut secara berkelanjutan, bahkan sebagian besar bijih besi, pasir besi dan batubara tersebut diekspor begitu saja tampa diberikan nilai tambah. Belum adanya industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu 1) investasi yang diperlukan untuk mendirikan industri pengolahan bahan baku bijih besi lokal masih relatif sangat besar, 2) belum dikuasainya teknologi pengolahan Sumber bijih besi di Indonesia tersebar dan karakternya spesifik, tetapi belum ada industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi tersebut secara berkelanjutan, bahkan sebagian besar bijih besi, pasir besi dan batubara tersebut diekspor begitu saja tampa diberikan nilai tambah. Belum adanya industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu 1) investasi yang diperlukan untuk mendirikan industri pengolahan bahan baku bijih besi lokal masih relatif sangat besar, 2) belum dikuasainya teknologi pengolahan

2.2. Kendala Teknologi Dan Sumber Daya Manusia (SDM) Penguasaan teknologi sudah menjadi suatu kewajiban yang harus dikembangkan apabila Indonesia berkeinginan untuk mengembangkan industri besi/ baja nasional. Pada kenyataannya penguasaan teknologi untuk benefisasi bijih besi masih sangat lemah. Selain itu teknologi pengolahan bahan baku bijih besi/ pasir besi yang spesifik untuk membuat ingot masih belum teruji sehingga untuk melaksanakan proses produksi masih menggunakan lisensi alat dan ahli teknologi dari luar negeri.

Indonesia belum mempunyai pusat riset nasional yang menangani secara khusus pengolahan bahan baku lokal sampai menjadi produk hilir yang diprioritaskan oleh pemerintah, yang akan melakukan riset khusus tentang industri logam, melakukan penelitian dan pengembangan teknologi secara terus-menerus mengikuti perkembangan industri logam internasional, membuat kebijakan nasional, membuat keputusan, merealisasikan dan mengimplementasikan kebijakan dan program-program pengembangan industri logam seperti yang dimiliki oleh China.

Pengembangan industri logam juga terhambat oleh rendahnya produktivitas sumber daya manusia yang mampu memberikan teknologi tepat guna, khususnya ahli untuk menangani teknologi pada industri besi/ baja hulu bila dibandingkan dengan produktivitas SDM industri besi/ baja di negara lain. Kalaupun tersedia SDM yang mampu menerapkan teknologi tepat guna, jumlah ahli yang dimiliki masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan besarnya jumlah dan rendahnya tingkat edukasi tenaga kerja yang diserap.

2.3. Tata Kelola Kebijakan Industri Besi/ Baja Nasional Belum Terintegrasi

Kondisi ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa kebijakan industri besi/ baja belum menjadi isu nasional yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh stakeholder/ kementrian dalam pengembangan industri nasional. Selain itu Kondisi ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa kebijakan industri besi/ baja belum menjadi isu nasional yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh stakeholder/ kementrian dalam pengembangan industri nasional. Selain itu

Kebijakan ekspor dan impor bahan baku logam juga menjadi permasalahan tersendiri yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja indusrti besi/ baja hulu dan tersedianya pasokan bahan baku bagi industri besi/ baja hilir. Insentif dan peran lembaga keuangan juga belum sepenuhnya mendukung pendanaan bagi investasi di industri besi/ baja.

2.4. Keterkaitan Antarstakeholder Pada Industri Besi/ Baja Nasional Belum Harmonis Hubungan yang harmonis antara stakeholder industri besi/ baja dengan

sendirinya akan memepercepat proses pengembangan industri itu sendiri. Dengan adanya harmonisasi dan keterkaitan antara stakeholder, arus informasi dan pemenuhan bahan baku dan pemasaran akan lebih efektif dan lebih menguntungkan dalam jangka panjang.

Pada kenyataanya masing-masing stakeholder industri logam nasional belum terhubungkan dengan baik, dimana masing-masing berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak ada integritasi satu sama lain yang dapat mendorong pengembangan industri besi/ baja nasional. Selama ini belum ada sistem yang mengatur dan mengikat masing-masing stakeholder secara keseluruhan serta menjadi acuan semua pelaku industri. Beberapa klaster industri baja yang sudah terbentuk belum bisa berjalan secara optimal sehingga keberadaannya belum bisa memberikan kontribusi yang nyata bagi kemajuan dan pengembangan industri baja nasional.

3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIJIH BESI/ PASIR BESI

Potensi sumber daya bijih besi/ pasir besi Indonesia sangat mendukung untuk kemandirian industri besi/ baja nasional jika dilakukan pemilihan teknologi yang tepat sesuai dengan karakter bahan bakunya. Teknologi untuk mendapat besi/ baja dari bijih besi/ pasir besi yang digunakan di Indonesia adalah blast furnace (tanur tiup) dan Direct Reduction Iron berbasis gas alam. Blast furnace merupakan teknologi generasi pertama pembuatan besi. Bagian-bagian dari tanur tiup dapat dilihat pada Gambar 2. Sementara Gambar 3 menunjukkan mini blast furnace yang telah di-set-up di Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI sejak tahun 1985.

1. Hembusan udara panas dari tungku 2. Daerah pencairan

3. Zona reduksi FeO (Ferrous Oxide)

4. Zona reduksi Fe 2 O 3 (Ferric Oxide) 5. Daerah pemanasan awal

6. Tempat masuk Bijih besi, Kapur dan

Kokas

7. Gas sisa pembakaran

8. Lajur Bijih besi, Kapur dan Kokas

9. Slag 10. pig iron

11. Saluran gas buang

Gambar 2. Ilustrasi skematik tanur tiup secara umum untuk generasi pertama teknologi iron making .

Teknologi ini merupakan peleburan reduksi ( reduction smelting ) dan masuk kategori reduksi tidak langsung. Pembuatan besi dengan tanur tiup membutuhkan kokas yang relatif mahal dan temperatur tungku yang tinggi sekitar 1500-2000°C. Pemakaian batubara semi cooking dapat menjadi alternatif dengan proses lebih murah. Proses pembuatan besi dengan teknologi ini merupakan proses yang berkelanjutan sehingga membutuhkan jaminan ketersedian bahan baku. Bijih besi yang digunakan memerlukan kualitas yang baik yaitu kadar Fe yang tinggi dan tidak adanya kandungan pengotor. Besi ingot yang dihasilkan memiliki kandungan karbon 4-5% sehingga sangat getas dan harus diproses lebih lanjut untuk produksi baja.

Teknologi generasi kedua adalah pembuatan besi dengan menggunakan gas alam untuk mereduksi bijih besi sehingga didapat besi reduksi langsung ( Direct

Reduction Iron ). Teknologi ini tidak sebesar dapur tinggi, investasinya lebih rendah dan sudah banyak dibangun di negara-negara berkembang. Teknologi ini juga digunakan oleh PT. Krakatau Steel yang disebut Hyl dari Meksiko.

Teknologi lain yang dikembangkan pada generasi kedua ini adalah MIDREX® Process dan Fastmet® Process. Teknologi lain yang dikembangkan adalah HOTLINK® Process yang merupakan pengembangan dari MIDREX® Process. Penggunaan teknologi generasi kedua ini jika dibandingkan dengan tanur tiup meningkat secara drastis dari 800.000 ton pada tahun 1970 menjadi 55.000.000 ton pada tahun 2005 (Otzuka & Kunii, 1967; Kashiwaya & Ishii, 2004). Bijih besi yang digunakan pada proses ini adalah hematit dan magnetit, sehingga tetap membutuhkan Fe dengan kadar yang tinggi dan tanpa banyak pengotor.

Gambar 3. Mini tanur tiup yang ada di Balai Pengolahan Mineral Lampung dengan kapasitas 10 ribu ton/ tahun.

Gambar 4. Plant Reduksi Langsung berbasis gas alam (a) MIDREX® Process, (b) HOTLINK® Process.

Teknologi generasi ketiga yang dikembangkan oleh Kobe Steel adalah IT Mark Three (ITmk3®), seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Teknologi ini merupakan pengembangan dari Fastmet® process, yang merupakan reduksi langsung dengan menggunakan batu bara. ITmk3® adalah proses yang unik, karena pellet direduksi dan dilelehkan pada suhu yang relatif rendah yaitu 1350°C. Pada proses ini besi dengan mudah terpisah dari slag. Reaksi pada ITmk3® berada pada fasa padat/ cair yang berbeda dengan teknologi pembuatan besi konvensional. Keunggulan lain dari teknologi ini adalah FeO sisa kurang dari 2% dan tidak merusak bata api. Bijih besi halus dan bijih besi kadar rendah bisa digunakan pada teknologi ini. Kobe steel dalam penelitiannya dalam waktu yang singkat (3-9 menit) telah berhasil mereduksi langsung bijih besi dengan teknologi ITmk3® dengan variasi temperatur. Seiring dengan penambahan waktu pada pemanasan 1350°C, metalisasi berjalan lebih sempurna dan terjadi pengumpulan/ pemisahan slag dari metal yang terbentuk (Anameric et al ., 2006; Nagata et al ., 2001; kobayashi et al ., 2007)

Gambar 5. ITmk3® Process menggunakan Rotary Hearth Furnace.

Karakteristik pasir besi Indonesia yang tersebar dan kadar Fe yang tidak terlalu tinggi menjadikan pasir besi Indonesia tidak efisien untuk diolah dengan menggunakan teknologi yang telah ada di Indonesia (Generasi pertama dan Karakteristik pasir besi Indonesia yang tersebar dan kadar Fe yang tidak terlalu tinggi menjadikan pasir besi Indonesia tidak efisien untuk diolah dengan menggunakan teknologi yang telah ada di Indonesia (Generasi pertama dan

4. STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BESI/ BAJA NASIONAL

Untuk menyelesaikan dan sekaligus memberikan solusi pada masalah – masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu dibuat suatu strategi yang komprehensif dan terintegrasi untuk pengembangan industri baja hulu nasional yang mengacu pada kebutuhan besi/ baja nasional hingga 2020 (Kemenperin, 2007).

ta 20

Tahap III

- Peningkatan kapasitas masing-masing

klaster dari 1 menjadi 3 juta ton/ tahun.

ta

- Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.

(ju l 15 Tahap II

an

- Pembentukan 6 buah klaster industri baja hulu.

io

- Peningkatan kapasitas masing-masing klaster

n 10 Tahap I

dari 500 rb sampai minimal 1 juta ton/ tahun.

- Akselerasi penguasaan steel making dan turunannya. ja a - Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.

- Optimalisasi kapasitas terpasang.

5 - Penerapan & pembangunan mini blast furnace. - Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.

- Kajian pembentukan klaster industri baja hulu.

- Akselerasi R&D iron making dari low grade bijih besi.

Gambar 6. Proyeksi konsumsi baja nasional dan beberapa agenda prioritas pada strategi pengembangan industri baja hulu berbasis sumber daya lokal yang mengacu pada visi dan arah yang telah dirumuskan sebelumnya.

Basic Research

Applied Research Rapid advancement

Early Adapter

Roadmap arah pengembangan teknologi industri baja nasional berbasis bahan baku lokal

Mass Market

if. •Pen

Gambar 7. Arah Pengembangan Teknologi Industri Baja Nasional Yang Berbasis Bahan Baku Lokal Serta Peluang Memasuki Market Global

Gambar 6 menunjukkan proyeksi konsumsi baja nasional dan beberapa agenda prioritas yang harus dilaksanakan sebagai ilustrasi dari strategi pengembangan industri baja hulu berbasis sumber daya lokal yang mengacu pada kebutuhan baja nasional (Kemenperin, 2007). Diprediksi bahwa konsumsi baja nasional pada tahun 2010, 2015 dan 2020 berturut – turut adalah 10, 15 dan 20 jt ton / tahun yang harus dipenuhi pada akhir tahapan. Sementara itu, Gambar 7 menunjukkan roadmap arah pengembangan teknologi industri baja hulu mandiri dan terintegrasi yang berbasis sumber daya lokal.

4.1. Tahap I

Pada 2008 konsumsi baja nasional diskenariokan akan bertambah sekitar 2,2 jt ton (dari 7,8 jt ton di tahun 2006) sehingga mencapai 10 jt ton / tahun. pada tahun 2010. Sementara itu, kapasitas produksi industri baja nasional sebesar 3,8 jt ton / tahun, hanya digunakan sekitar 2,5 jt ton untuk konsumsi dalam negeri. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri baja nasional kita dapat mencapai 6,5 jt ton / tahun dengan hampir seluruh bahan baku (pellet dan skrap) yang didapat dengan cara impor. Untuk mencapai target produksi 10 jt ton / tahun, maksimalisasi utilisasi kapasitas terpasang saat ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tambahan Pada 2008 konsumsi baja nasional diskenariokan akan bertambah sekitar 2,2 jt ton (dari 7,8 jt ton di tahun 2006) sehingga mencapai 10 jt ton / tahun. pada tahun 2010. Sementara itu, kapasitas produksi industri baja nasional sebesar 3,8 jt ton / tahun, hanya digunakan sekitar 2,5 jt ton untuk konsumsi dalam negeri. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri baja nasional kita dapat mencapai 6,5 jt ton / tahun dengan hampir seluruh bahan baku (pellet dan skrap) yang didapat dengan cara impor. Untuk mencapai target produksi 10 jt ton / tahun, maksimalisasi utilisasi kapasitas terpasang saat ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tambahan

I ini sudah selesai. Dengan memperhatikan banyaknya potensi sumber daya bijih besi primer yang tersebar diberbagai lokasi dengan jumlah yang tidak terlalu besar, serta penguasaan teknologi mini blast furnace oleh Balai Pengolahan Mineral Lampung – LIPI, terlihat bahwa strategi desentralisasi pengembangan industri baja hulu sangat sesuai untuk tahap awal ini. Untuk langkah awal, perlu didesain mini blast furnace dengan kapasitas 50 ~ 500 jt ton / tahun dalam jumlah yang relatif banyak (sekitar 25 ~ 50 buah). Dengan desain ini, cadangan bijih besi yang tersebar dengan jumlah yang relatif tidak besar (sekitar 1 juta ton) dapat dimanfaatkan selama kurang lebih 10 tahun secara ekonomis, dengan perkiraan BEP lebih kurang 3 – 5 tahun sejak mulai beroperasi. Pembangunan mini blast furnace dengan kapasitas ini dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat (kurang dari satu tahun). Jika rata – rata kapasitas mini blast furnace yang dibangun selama 2 tahun ini adalah 200 rb ton / tahun dan jumlahnya 25 buah, maka sekitar

5 jt ton (200 rb ton x 25 = 5 jt ton) / tahun dapat diproduksi. Dengan demikian, total produksi pada tahun 2010 akan mencapai 10 jt ton / tahun (5 – 6 jt ton dari kapasitas terpasang + 5 jt ton dari total produksi mini blast furnace ). Perhitungan ini lebih realistis dibanding dengan pembangunan industri baja hulu sentral yang besar berkapasitas 5 jt ton / tahun hanya dalam waktu 2 tahun.

Untuk mengawal pengembangan industri baja hulu mandiri tersebut, maka pemerintah harus membuat berbagai kebijakan seperti yang berkaitan dengan peraturan ekspor-impor baja dan bahan bakunya, pertambangan dan lain sebagainya. Di samping itu, perlu dilakukan kajian pembentukan klaster industri baja hulu yang memiliki nilai strategis. Sekurang – kurangnya ada enam klaster industri baja hulu yang dapat direkomendasikan dengan pertimbangan potensi sumber daya bahan baku, infrastruktur, SDM dan teknoekonomi. Adapun wilayah klaster – klaster tersebut adalah sebagai berikut.

1) Kalimantan Selatan – Kalimantan Barat (pusat di Kalimantan Selatan),

2) Lampung – Sumatera Barat (pusat di Lampung),

3) Nusa Tenggara Timur (Flores),

4) Jawa Tengah,

5) Sulawesi Selatan,

6) Papua. Di samping kajian klaster industri baja hulu, pemerintah harus

memprioritaskan penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi pembuatam besi ( iron making ) dari bijih besi kualitas rendah ( low grade ) dengan melibatkan berbagai peneliti dari lembaga penelitian dan industri terkait secara masif. Dalam dua tahun diharapkan ke depan akan ada terobosan baru yang dapat memanfaatkan bijih besi low grade menjadi pig iron . Untuk itu, perlu adanya forum – forum diskusi dan seminar – seminar ilmiah yang dapat mengakselerasi penguasaan teknologi iron making dari bijih besi kualitas rendah ( low grade ).

4.2. Tahap II Pada tahap dua ini, konsumsi baja nasional diperkirakan mencapai 15 jt ton /

tahun. Oleh karena itu, maka kapasitas produksi harus ditingkatkan dari 10 jt ton menjadi 15 jt ton / tahun pada akhir tahun 2015. Untuk mencapai nilai tersebut, maka 6 klaster industri baja hulu yang telah dikaji pada tahap sebelumnya, harus sudah dibangun di akhir tahun 2013 dengan kapasitas awal masing – masing sekitar 0,5 jt ton / tahun. Kemudian kapasitas tersebut ditingkatkan menjadi 2 kali lipatnya, sehingga pada tahun 2015 masing – masing dapat memproduksi 1 jt ton / tahun. Total jumlah produksi 6 klaster diharapkan pada tahun 2015 adalah 6 jt ton / tahun. Dengan demikian, total produksi baja hulu nasional akan mencapai 16 jt ton / tahun, dengan 10 jt ton berasal dari kontinuitas produksi pada Tahap I.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu diterapkan teknologi blast funace yang berkapasitas minimal 1 jt ton / tahun dengan memanfaatkan bijih besi primer ( high grade ) yang jumlah cadangannya melimpah. Penguasaan teknologi ini dilakukan secara bertahap dari 0,5 jt ton / tahun menjadi 1 jt ton / tahun dengan rentang waktu sekitar 5 tahun, dari 2010 s/d 2015. Di lain sisi, teknologi iron making dengan menggunakan bijih besi low grade sudah mulai dikuasai dan dapat dibuat prototipenya pada akhir tahun 2015. Pada tahap ini juga harus sudah dimulai riset dan pengembangan teknologi steel making skala nasional dan produk Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu diterapkan teknologi blast funace yang berkapasitas minimal 1 jt ton / tahun dengan memanfaatkan bijih besi primer ( high grade ) yang jumlah cadangannya melimpah. Penguasaan teknologi ini dilakukan secara bertahap dari 0,5 jt ton / tahun menjadi 1 jt ton / tahun dengan rentang waktu sekitar 5 tahun, dari 2010 s/d 2015. Di lain sisi, teknologi iron making dengan menggunakan bijih besi low grade sudah mulai dikuasai dan dapat dibuat prototipenya pada akhir tahun 2015. Pada tahap ini juga harus sudah dimulai riset dan pengembangan teknologi steel making skala nasional dan produk

1 juta ton/ tahun dan iron making dengan kapasitas 0,5 juta ton/ tahun. Sekali lagi, pilihan strategi di atas lebih realistis dibanding pembangunan sentral industri baja hulu dengan kapasitas 10 jt ton / tahun, yang pasti akan memerlukan banyak sumber daya dan investasi serta menimbulkan permasalahan teknologi yang sangat komplek baik di level pengolahan bahan baku, iron making dan lain sebagainya. Pasokan bahan baku untuk memenuhi jumlah yang sedemikian besar akan menimbulkan masalah tersendiri.

PENGEMBANGAN INDUSTRI BAJA HULU INDUSTRI BAJA HULU KLASTER INDUSTRI

SKALA NASIONAL BESI/BAJA HULU

SPESIFIKASI:

PASOKAN >> 1 JT TON/TAHUN SPESIFIKASI: PRODUK

PASOKAN << 0,5 JT TON/TAHUN DEPOSIT SUMBER DAYA 10 – 20 TAHUN

SLAB

BESI COR

JUMLAH DEPOSIT FLEKSIBEL

INVESTASI RELATIF TIDAK BESAR INVESTASI BESAR

ENGINE

PERALATAN SEDERHANA KEBUTUHAN MESIN PRODUKSI YANG CANGGIH (STEEL MAKING)

BAJA BILLET

BUNGA PAGAR

HRC

ALAT

KEPEMILIKAN OLEH SWASTA/

PEMDA (BUMN)

KEPEMILIKAN OLEH PEMERINTAH CRC

Small & Medium Iron Making Industries

Gambar 8. Strategi pendekatan pengembangan industri besi/ baja hulu nasional.

4.3. Tahap III Dalam jangka waktu 5 tahun, kapasitas masing – masing klaster diharapkan

dapat ditingkatkan dari 1 jt ton / tahun menjadi 3 jt ton / tahun. Dengan demikian, total produksi baja dari 6 klaster industri baja nasional mencapai 18 jt ton (3 jt ton x 6 = 18 juta ton) / tahun dalam jangka waktu 5 tahun tersebut. Pada tahap ini, industri baja yang menggunakan mini blast furnace diasumsikan sudah mulai habis dan beralih menjadi pemain yang lebih besar. Sementara itu, produksi dapat ditingkatkan dari 1 jt ton / tahun menjadi 3 jt ton / tahun. Dengan demikian, total produksi baja dari 6 klaster industri baja nasional mencapai 18 jt ton (3 jt ton x 6 = 18 juta ton) / tahun dalam jangka waktu 5 tahun tersebut. Pada tahap ini, industri baja yang menggunakan mini blast furnace diasumsikan sudah mulai habis dan beralih menjadi pemain yang lebih besar. Sementara itu, produksi

Pada tahap ini, teknologi iron making dari bijih besi low grade sudah dapat diterapkan secara masif bersamaan dengan penerapan teknologi steel making dan produk turunannya pada industri baja nasional. Di sini diversifikasi produk baja turunan telah dapat dilakukan dan produk – produk baja nasional telah memasuki persaingan global dengan daya saing yang tinggi. Sealin itu, industri baja nasional yang mandiri dan berdaya saing telah eksis dan akan terus berkembang mengawal pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat.

5. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING GLOBAL INDUSTRI BESI/ BAJA NASIONAL

Gambar 9 menunjukkan skematik ilustrasi pengembangan daya saing industri baja nasional. Pembangunan industri, terutama industri baja, yang mandiri, komprehensif dan terpadu dalam sebuah sistem yang terintegrasi dengan baik mutlak dibutuhkan guna menuju struktur industri baja nasional yang tangguh dan berdaya saing global. Pengembangan ini membutuhkan keterlibatan banyak pihak sebagai pendukung suksesnya industri baja di masa mendatang, tidak hanya PT. Krakatau Steel yang dijadikan sebagai mitra pembangunan, tetapi perlu mengikutsertakan industri baja nasional lainnya. Dalam pengambilan kebijakan, juga perlu melibatkan pemerintah daerah, lembaga-lembaga penelitian, dan stake holder untuk mendapatkan gambaran yang jelas arah pengembangan industri baja ke depan mengacu pada peta kemampuan pasokan bahan baku dan potensi pasar pengguna baja. Di samping itu juga, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan dan regulasi-regulasi yang menjamin keberlangsungan pengembangan industri baja nasional harus segera dibuat.

Kelimpahan sumber daya alam Indonesia secara umum memiliki cadangan yang mencukupi untuk konsumsi nasional sampai beberapa dekade ke depan.

Namun sangat disayangkan, potensi yang melimpah tersebut tidak teridentifikasi dan terpetakan dengan baik. Potensi yang tidak teridentifikasi dan tidak terpetakan tersebut pada kenyataannya telah mengakibatkan kerugian nasional berupa pencurian sumber daya alam baik disadari ataupun tidak disadari. Untuk itu diperlukan adanya pemetaan potensi sumber daya alam di Indonesia yang terfokus kepada pemetaan sebaran dan potensi bijih besi di Indonesia. Pemetaan juga akan mencakup mineral-mineral lain yang dibutuhkan dalam pengolahan bijih besi menjadi baja, seperti batubara dan batu gamping.

Untuk ke depan, kebutuhan bijih besi tidak dapat digantungkan sepenuhnya pada industri pengolahan bijih besi yang sudah ada saat ini karena produksi yang dihasilkan hanya dapat memenuhi sepertiga dari kebutuhan industri di Indonesia. Untuk menutupi kekurangan pasokan bijih besi tersebut, diperlukan pengembangan industri pengolahan bahan baku yang lebih luas dengan memanfaatkan potensi SDA diseluruh pelosok indonesia dari Sabang sampai Merauke. Teknologi pengolahan yang dikembangkan tersebut harus mampu menjawab tuntutan peningkatan produksi sekaligus mempertimbangkan metode yang digunakan dengan karakteristik bijih besi yang dimiliki masing – masing daerah. Selain itu, perlu adanya pendekatan agar langkah-langkah serius dan nyata untuk memperbaiki dan mengoptimalkan kondisi infrastruktur pendukung, SDM dan potensi daerah yang bersangkutan dapat segera terealisasi.

Gambar 9. Strategi peningkatan daya saing industri besi/ baja nasional.

Penggunaan teknologi eksplorasi dan teknologi produksi yang efektif dan efisien merupakan faktor yang menentukan keberlangsungan industri baja nasional secara ekonomis. Untuk itu perlu adanya kajian terhadap teknologi eksplorasi yang umum digunakan di Indonesia agar optimalisasi eksplorasi dapat dilakukan. Demikian pula dengan teknologi produksi yang digunakan. Seringkali didapatkan teknologi produksi yang dapat menghasilkan produk dengan kualitas bagus, namun dengan tingkat optimalisasi yang rendah. Sebaliknya, sering pula ditemui penggunaan suatu teknologi produksi yang dapat mengoptimalkan jumlah produksi baja, namun memiliki kualitas hasil produksi yang kurang baik. Dengan mengacu kondisi di atas, maka teknologi produksi baja pun merupakan suatu objek yang harus dikaji. Kajian terhadap teknologi eksplorasi dan produksi tersebut nantinya akan dan harus membahas aspek teknis, ekonomi dan lingkungan. Di samping kajian dari sisi teknis, kajian dari sudut pandang ekonomi juga sangat dibutuhkan, karena bagaimanapun juga industri eksplorasi dan produksi baja merupakan bidang usaha yang memerlukan investasi besar. Dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, diharapkan dunia usaha mendapatkan gambaran yang detil untuk mengambil langkah investasi mereka. Sebagaimana kajian dari aspek ekonomi, kajian dari aspek lingkungan juga sangat dibutuhkan untuk membuat industri baja yang berkualitas baik. Kajian ini harus melihat sejauh mana teknologi yang digunakan memberikan pengaruh terhadap lingkungan di sekitar lokasi eksplorasi atau di sekitar lokasi industri. Hasil kajian ini nantinya dapat digunakan oleh pihak industri dan investor untuk mengevaluasi sejauh mana penerapan faktor keselamatan lingkungan telah dilakukan. Kajian juga seharusnya membahas kemungkinan adanya substitusi teknologi bila teknologi yang digunakan saat ini kurang memenuhi standar teknis, ekonomis maupun standar keselamatan lingkungan.

Di lain sisi, penyediaan sumber energi yang murah dan stabil adalah mutlah diperlukan. Bahan dasar gas alam komponen yang sangat rawan terhadap perubahan harga. Hal ini disebabkankarena semakin menipisnya cadangan di alam ini. Di samping harganya yang relatif mahal, energi listrik cenderung tidak stabil. Diperlukan sebuah terobosan baru dengan memanfaatkan pembangkit listri tenaga Di lain sisi, penyediaan sumber energi yang murah dan stabil adalah mutlah diperlukan. Bahan dasar gas alam komponen yang sangat rawan terhadap perubahan harga. Hal ini disebabkankarena semakin menipisnya cadangan di alam ini. Di samping harganya yang relatif mahal, energi listrik cenderung tidak stabil. Diperlukan sebuah terobosan baru dengan memanfaatkan pembangkit listri tenaga

Perkembangan industri baja nasional dengan struktur yang kokoh dan mandiri tidak terlepas dari kemampuan sumber daya manusia sebagai pendukung operasional secara teknis atau manajerial. Aspek ini sangat perlu mendapat perhatian secara intens. Pengembangan yang paling penting dari aspek SDM adalah pengembangan dan pemberdayaan melalui transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu saja, pengembangan SDM melibatkan banyak pihak, yaitu lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan perguruan tinggi serta lembaga riset yang dikembangkan sendiri oleh industri baja.

Kemajuan Indutri baja Nasional juga perlu mendapat dukungan dari struktur pasar yang menjanjikan dan iklim investasi yang kondusif. Pengambil kebijakan berperan penting dalam menciptkan keadaan yang mendukung ini. Langkah kongkret yang dapat dilakukan untuk menumbukan pasar baja nasional adalah dengan membuka kran peluang investasi yang luas untuk pembangunan industri berat nasional seperti industri galangan kapal, kereta api, otomotif, transportasi dan industri hilir lainnya. Selain itu juga perlu mempercepat laju pembangunan infrastruktur (gedung, indutri dan peralatannya) yang merupakan pasar bagi industri hulu perbajaan nasional. Di sini, pengembangan klaster daerah produksi baja nasional berbasis letak geografis, ketersediaan potensi bahan baku dan dukungan infrastruktur serta SDM perlu dilakukan. Dengan melakukan kajian dan pendekatan permasaahan yang komprehensif, diharapkan strategi pengembangan industri baja nasional berbasis klaster yang mandiri dan berdaya saing dapat dirumuskan.

6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Industri besi/ baja nasional memiliki berbagai kendalan yang utamanya adalah ketergantungan bahan baku impor dan tata kelola kebijakan dan organisasi pemerintahan. Potensi sumber daya alam berupa bijih besi dan batubara harus dapat dimanfaatkan dengan pemilihan strategi yang komprehensif dan terintegrasi. Proses pengembangan industri besi/ baja nasional harus melibatkan seluruh Industri besi/ baja nasional memiliki berbagai kendalan yang utamanya adalah ketergantungan bahan baku impor dan tata kelola kebijakan dan organisasi pemerintahan. Potensi sumber daya alam berupa bijih besi dan batubara harus dapat dimanfaatkan dengan pemilihan strategi yang komprehensif dan terintegrasi. Proses pengembangan industri besi/ baja nasional harus melibatkan seluruh

7. DAFTAR PUSTAKA

Anameric B. and Kawatra S.K. (2006), Mineral & Metallurgical Engineering 23, 52-56.

Kashiwaya Y. and Ishii K. (2004), ISIJ International 44, 1981-1990. Kemenperin (2007), Studi Nasional Pemanfaatan Bijih Besi dan Batubara Lokal

dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Bahan Baku Industri Baja. Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementrian Perindustrian.

Kemenperin (2009), Strategi dan Langkah Pengembangan Jangka Menegah Industri Logam 2010-2014. Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementrian Perindustrian.

Kobayashi I., Tanigaki Y. and Uragami A. (2007), A New Process to Produce Iron Directly from Fine Ore and Coal. Download Agustus 2007. www.midrex.com/uploads/documents/ ITmk3%20Paper%201.pdf

Nagata K., Kojima R., Murakami T., Susa M. and Fukuyama H. (2001), ISIJ International 41, 1316-1323.

Otsuka K. and Kunii D (1967), Jurnal of Chemichal Engineering of Japan, 46-50.

REVIEW OF GAS DIFFUSIVITY IN COAL: PART 1, PRELIMINARY CHARACTERISATION AND NOVEL HIGH PRESSURE MULTI-COMPONENT DIFFUSION CELL

1 1 M. Elma 1 , P. Massarotto , dan V. Rudolph

1 School of Chemical Engineering, The University of Queensland, St. Lucia, Brisbane, QLD 4072 Australia

[email protected]

ABSTRACT

A special high pressure multi-component diffusion cell (HPMCDC) apparatus has been designed and built to measure single and binary gas diffusion, including co-current and counter-diffusion, from low to high pressures. The apparatus incorporates capability to investigate scale effects in solid coal specimens, up to 25 mm in diameter and 25 mm in thickness. This paper presents preliminary results of coal sample characterization prior to the diffusivity measurements. Future experiments will be conducted to also assess the effect of the counter-diffusion of two different gases, namely CH4 and CO2, of various temperatures, pressures and for three distinct ranks of coal.

In developing optimal sample preparation procedures and to minimise any measurement errors, several literature-sourced techniques have been reviewed and the best selected. The pore volume shrinkage, moisture content and porosity have been measured, as they are important properties affecting the ability of gases to diffuse in coal. It was found that a large portion of pore volume shrinkage occurs between 20oC and ~50oC, and falls asymptotically with temperature. Heat treatment reduces density by up to 5%. The diffusivity experiments will also address the frequent and controversial literature conclusions that the apparent-diffusion of CO2 in coal is larger by an order of magnitude than the apparent-diffusion of CH4.

Key word: diffusion, measure, moisture content, porosity

1. INTRODUCTION

Greenhouse gas emissions are increasing significantly, leading to much debate about what to do about climate change. There are many alternatives being researched to reduce the increasing of emissions, one being geosequestration of the CO2 in underground deep porous rocks, like sandstones, carbonates, and coal seams. Coal seams have been shown to be capable of holding large amounts of carbon dioxide in comparison to the amounts of naturally-occurring methane gas (Burruss, 2003, Siriwardane et al., 2007).

In recent decades, coal seam gas or coal bed methane (CBM) has become an important source of energy in some countries in the world. Production of coal seam gas is complex and difficult to predict and analyse, especially at the early stages of recovery. Gas production from reservoirs of coal bed methane is governed by the complex interaction of single phase gas diffusion through the micropore system, called the matrix, and two phase gas and water flow through the macropore system,

i.e. in the natural fractures called cleats. The gas is desorbed from the micropores (matrix) and then then diffuses through the micropores and mesopores, finally entering the macropore (cleat) system (Aminian, 2003).

This paper is concerned with the coal’s mass and volume losses during the course of gas production as these affect the ability of the gasses to diffuse in different coals. These factors may be particularly strong in the case of rank variation of coals, since coals shrink and swell significantly in response to moisture loss and gain, respectively. Some literature states that coal has a colloidal gel-like structure that can shrink and swell in response to moisture variation, as water can be held by polar groups within the structure of coal (Suuberg et al., 1993b, Suuberg et al., 1991). Determination of the shrinkage factor, moisture content and the location of the moisture within the pore structure are essential to understanding the behaviour of gas diffusion in coal.

2. LITERATURE REVIEW

2.1. Coal Diffusion There is an on-going need to improve the understanding of methane gas

diffusion throughout the large variation in pore sizes present in coal bed methane reservoirs. Since 1950, CH4 diffusion in coal has been studied by doing desorption of CH4 during extraction of coal samples from the sub-surface (Nandi and Walker Jr, 1970, Nandi and Walker Jr, 1975), but it is still poorly understood.

In order to produce gas from CBM reservoirs, there are four steps needed to be controlled, (1) the dewatering process, (2) the desorption of gas from coal surface, (3) diffusion of gas to the fracture systems, and (4) flow of the gas through the fractures to the wellbores (Ahmed and Mckinney, 2004, Gerami et al., 2007). The measured values of gas desorption rate are generally controlled by two processes: (1) the sorption process (sorption characteristic of the coal) and (2) the diffusion process (diffusion of gas through the coal matrix). These two processes are usually lumped together and described by the parameter of sorption time in numerical models (Wei, 2008) and this is the primary characteristic used by some practitioners for evaluation and predictive modelling of coal reservoirs (Saghafi et al., 2007, Pone et al., 2009).

A sorption isotherm relates the gas storage capacity of a coal to pressure and depends on the rank, temperature, and the moisture content of the coal. A common assumption is that the relationship between gas storage capacity and pressure can be described by a Langmuir-type equation:

(1) Where

: Gs

: Gas storage capacity, SCF/ton P

: Pressure, psia VL

: Langmuir volume constant, SCF/ton PL

: Langmuir pressure constant, psia

The above equation assumes pure coal, and for application in the field, the equation is modified to account for ash and moisture contents of the coal:

(2) Where :

fa : Ash content, fraction fm

: Moisture content, fraction Fig. 1 shows the incremental amount of gas sorbed per unit increase in pressure

decreases with increasing sorption pressure; the sorbed gas eventually reaches a maximum value which is represented by Langmuir volume constant (VL). Langmuir pressure constant (PL) represents the pressure at which gas storage capacity equals one half of the maximum storage capacity (VL).

Fig. 1: A typical Langmuir Isotherm (Aminian, 2003) Gas desorption from the matrix surface in turn leads to molecular diffusion

occurring within the coal matrix. Diffusion through the coal matrix is controlled by the concentration gradient and can be described by Fick’s law:

̅̅̅ (3) Where

: q gm : gas production (diffusion) rate, MCF/day

: matrix shape factor, dimensionless

D -1 : matrix diffusivity constant, s

c : matrix volume, ft ρc 3 : matrix density, g/cm

G c : average matrix gas content, SCF/ton Diffusivity and shape factor are usually combined into one parameter, referred

to as sorption time, as follows:

Sorption time ( ) is the time required to desorb 63.2 precent of the initial gas volume. The sorption time characterizes the diffusion effects and generally is

determined from desorption test results (Aminian, 2003).

2.2. Coal Porosity In simplified models, coal seams are characterized by a dual porosity system,

consisting of micropore and macropores. The micro-pores are contained in the coal matrix, which is highly heterogeneous. The majority of CBM is present in the sorbed state in these micropores, particularly at low reservoir pressures. The macropore system is established by the natural fracture network known as the cleat system (Karacan and Mitchell, 2003).

There are two main transport mechanisms which control gas flow in coal: viscous laminar flow through the cleats, which follows Darcy’s law; and diffusion through the coal matrix bounded by the cleats, which follows Fick’s law (King et al., 1986). Cleats consist of the more continuous face cleats and less continuous butt cleats. Usually, the cleat system is the primary water and gas pathway during production. On the other hand, other fracture systems often occur at a micrometre scale to form micro cleats in the coal matrix, although its size, shape and continuity are also affected by coal lithotypes (Gamson et al., 1993, Clarkson and Bustin, 1997). Based on the literature, pore structure in coal matrix is highly heterogeneous. It is commonly divided into three size categories: micropores (<2 nm in diameter), There are two main transport mechanisms which control gas flow in coal: viscous laminar flow through the cleats, which follows Darcy’s law; and diffusion through the coal matrix bounded by the cleats, which follows Fick’s law (King et al., 1986). Cleats consist of the more continuous face cleats and less continuous butt cleats. Usually, the cleat system is the primary water and gas pathway during production. On the other hand, other fracture systems often occur at a micrometre scale to form micro cleats in the coal matrix, although its size, shape and continuity are also affected by coal lithotypes (Gamson et al., 1993, Clarkson and Bustin, 1997). Based on the literature, pore structure in coal matrix is highly heterogeneous. It is commonly divided into three size categories: micropores (<2 nm in diameter),

The different coal porosities make a large contribution to the swelling and shrinkage of coal during adsorption and desorption processes (Harpalani and Chen, 1997, Rodrigues and Lemos de Sousa, 2002).

2 N o isotherm at 77 K v o re

CO 2 isotherm at 273 K

lp a Mercury Porosimetry ic

yp V macro T

V micro

V meso

2 50 Pore size (nm)

Note

I : CO 2 at 273 K covers pores less than 0.9 nm at 1atm and requires measurement at higher pressure to cover entire the micropore range. 2 II : As N at 77 K has a diffusional limitation into micropores, covering some mesopores and macropores, the pore volume obtained from N 2 at 77 K is not representing the real pore structure. III : Macropore volume can be measured by mercury porosimetry.

Fig. 2: Typical pore volume vspore size measurements from adsorption isotherms (CO2 at 273 K and N2 at 77 K) on coals and mercury porosimetry results (Bae, J.S)

In subbituminous coal samples, micropores could contribute 50 to 60% of the total matrix porosity of 13 to 25% (Mares et al., 2009, Bergen et al.). Significantly, Levine in 1993 mentioned that the dimensions of the micropores and fine mesopores found in the coal matrix material imply that the porosity is intermolecular, as opposed to interparticulate, and is determined by molecular interactions (Bergen et al.). These molecular interactions imply the accessibility of the pore system will depend on the fluid used for its determination (such as; He versus N2 versus CO2) and therefore that the porosity of coal is not a fixed value, but is a function of the fluid used to measure porosity. Fig. 2 shows the typical pore volume as a function of

a pore size produced in experimental data, using different fluids (Bae et al 2010).

2.3. Coal Shrinkage & Swelling One of the potential problems during carbon dioxide sequestration is shrinkage

and swelling that occurs in coal (Siriwardane et al., 2007, Reeves and Oudinot, 2005, Smith et al., 2005, Kelemen et al., 2006, Mazumder et al., 2006a, Mazumder et al., 2006b, Pan and Connell, 2005).

Shrinkage and swelling of coal the matrix is a function of pressure, type of gas adsorbed and the coal rank (Balan and Gumrah, 2009). The components of dependency of swelling are shown in the experimental study done by Cui et al. (2007)(Cui et al., 2007). The swelling effect of CO2 is greater than those of CH4 and N2 at the same pressure. Then, when the pressure of each gas component increases, the swelling effect also increases. Therefore, injection of CO2 at high pressures is expected to lead to increased swelling and decreased injection capacity.

Coal shrinkage can have a significant impact on increased cleat permeability in CBM production. Though there are now quite a number of laboratory studies confirming this behaviour, the literature reports only limited field examples of this (San Juan basin, USA, and Scotia field, Australia). The molecular and micro- structure lattice effects are still poorly understood. It is important for enhanced coalbed methane (ECBM) production that via geologic sequestration of carbon dioxide (CO2), that multi-component diffusion be lab-evaluated, prior to undertaking large scale sequestration projects. Anderson (1965) and Walker (1956) noted that the micropore system in coal is not readily accessible to the N2 molecule at 77 K because of an activated diffusion process and/or shrinkage of pores. Bybee (2007)( summarized that the influence of swelling and shrinkage in coal needs to be investigated and may cause significant changes in permeability that result in significant reservoir pressure effects. The swelling and shrinkage will depend on gas type as well as the state of adsorption and desorption.

2.4. Moisture Content In his paper Gauger (1932) ( concluded that the water content in coals

originates from the following sources: (1) decomposition of organic molecules

(called combined water), (2) surface-adsorbed water, (3) capillary-condensed water, (4) dissolved water, and (5) water of hydration of inorganic constituent of the coal. Brown (1953) ( also mentioned that the moisture content in coal is divided into constituent categories: (1) free or adherent moisture (essentially surface adsorbed) possessing the physical properties of ordinary water; (2) physically bound or inherent moisture with vapour pressure lowered by the small diameter of the pores of the coal structure in which it is absorbed; and (3) chemically bound water of hydration or combined water.

Since the moisture content in the matrix occupies pore volume and part of the moisture adsorbs on the pore surface, it definitely has an impact on the mechanisms in gas diffusion behaviour (Pan et al., 2010).

3. AIM AND METHODOLOGY

The aim of this study was to get some preliminary results for moisture content, porosity and mass and pore volume losses of reference coal samples before starting the diffusivity measurements. These parameters are important in their own right as part of coal characterisation and will also be needed for the interpretation of our diffusion work in further studies.

A further motivation for this study was to investigate the various experimental methodologies used in the literature to measure coal diffusion. This study reviews and comments on their advantages and disadvantages, providing guidance for the design of improved measurement techniques. We note the surprising conclusion regarding the greater relative diffusivity of CO2 compared to CH4 in coal seams reported in the literature (Marecka, 2007, Saghafi et al., 2007, Han et al., 2010, Pan et al., 2010, Charrière et al., 2010). For these reasons, it is important to understand the nature of diffusion in microporous solids, to differentiate between diffusion and other transport phenomena and develop more accurate model.

4. EXPERIMENTAL

4.1. New Design of Diffusivity Apparatus In order to address the above issues, we have developed an advanced design of

a high pressure diffusion cell, capable of measuring diffusion in solid coal samples at varying temperatures and pressures and with a counter-diffusion capability. This High Pressure Multi-Component Diffusion Cell (HPMCDC) is shown in Fig. 3. The pressure can be set between 1 and 10 MPa. It is designed to be used in single gas diffusion or in counter or co-current diffusion of a binary gas mixture. The cylindrical coal samples can be up to 25 mm thick and are generally 25 mm in diameter. The CH4 and CO2 are introduced into the cell, and the temperature as well as pressure can be varied. A computerised data recording system will capture experimental data, including time. Each experiment is influenced by the variation of each parameter. The composition of gas (es) diffusing through the coal sample can

be measured by collecting the gas and passing it into a Gas Chromatograph.

Fig. 3: Schematic of High Pressure Multi-Component Diffusivity Cell (HPMCDC)

4.2. Gaps in Knowledge In order to have practical limits on the many permutations of experiments that

could be conducted using the HPMCDC, several gaps in knowledge have been identified as focus areas for investigation. They are: (1) Develop methods to examine diffusivity in coal in both counter and co-current configurations; (2) Review literature arguments and conclusions on the relative diffusivities between CH4 and CO2 in coal; (3) Examine the effect of the size of the coal matrix by using different thickness the coal samples ; (4) Measure relative diffusivity based on varying moisture contents in the coal matrix; (5) Examine the effect of swelling and shrinkage in coal on diffusivity; and (6) Perform other supportive measurements, such as: petrography of coal, proximate and ultimate analysis, coal rank, chemical and physical analysis; and pore size distribution studies with various test fluids and apparatus.

5. RESULT AND DISCUSSION

5.1. Preliminary Characterisation of Coal The preliminary experiments were conducted on high volatile bituminous coals

of similar rank but of different type/texture. Three kinds of Australian coal from the Bowen Basin have been analysed, with different petrography, proximate and ultimate analyses. Maceral and vitrinite reflectance analyses were undertaken using accredited petrographers, according to Australian Standards. These samples were prepared from off-cuts of large coal blocks sourced from the Northern Bowen Basin in Queensland from underground and surface coal mines. The coal samples were cut into small 10mm-to-a-side cubes for the total porosity, moisture content and volume/mass loss experiments.

5.2. Total Porosity To determine the porosity of coal, a Micromeritics AccuPyc 1330 Pycnometer and an Autopor Mercury Porosimeter have been used.

True density is the weight of a unit volume of the pore free solid coal (White et al., 2005). Helium is the smallest molecule available and has the greatest access to all the pore volume in a coal sample; thus He can measure the true density of coal (Kelemen et al., 2006).

Mercury porosimetry gives the apparent and bulk density. Mercury does not access all the pores at a given pressure range. When done at very high pressure, then it is possible that there could be fractures in the pores and damaging the pores in the sample The literature (White et al., 2005, Iyer et al., 2008, Massarotto et al., 2010) has proposed that the total open pore volume (Vp) and total porosity ( ) of a solid coal system can be based on density measurements by Helium pycnometry and Mercury porosimetry, utilising the results as shown in equations 5 and 6:

5.3. Moisture Content Determination of coal moisture content was based on the ASTM

D3302/D3302M-09. The major problem faced in determining moisture content is the multiplicity of conditions under which water exists in coals and the problem involved in obtaining sharp separation and distinction among these conditions.

5.4. Volume And Mass Loss To determine the pore volume and mass loss in coal, a drying oven has been

used. The dimension change has been measured for coal samples by using a Microscope SZH10. After the original coal sample has been sized and weighed, it is dried in the oven at intermittent temperatures (20, 40, 60, 80, 100, 120, 150 & 2000C). Samples were re-measured and re-weighed after each 2 h interval between time steps.

Petrographic, proximate and ultimate analyses of the three reference samples have been done by an accredited lab and are shown in Table 1, Table 2 and Table 3:

Table 1: Petrographic Analysis

A Inertinite

Mean maximum

reflectance Vitrinite

B Inertinite

Mean maximum 0.90 reflectance Vitrinite

C Inertinite

Mean maximum 0.65 reflectance

Table 2 Proximate Analysis

Proximate Analysis Sample (a.d.)* (%)

Moisture Content

Ash Content

Volatile Matter

33.30 27.10 32.3 Fixed Carbon

Table 3 Ultimate Analysis

Ultimate Analysis Sample (d.a.f.)*

9.50 19.94 11.00 *a.d

Oxygen

: air dried *d.a.f : dry ash free

5.5. Coal Density After a coal sample is dried at each temperature, Helium pycnometry has been

used for measuring the true density of each sample. Figure 4 shows coal density of samples as a function of temperature. In all three samples, the density decreases when the samples are dried, i.e. they are losing more mass than bulk volume.

Fig. 4: Coal Density of sample A, B and C

The measurement of total porosities of each sample also has been done by using He-pycnometry and Hg porosimetry. The total porosities of coal the samples varied between 12.40 – 12.14%.

5.6. Drying Coal The mass and pore volume of coal samples changed when the coal samples

were dried. The mass will slowly decrease when the samples started to be dried from room temperature to higher temperatures. On the other hand, the pore volume of samples will decrease sharply when they are dried for the first time from room temperature to 400C, and then it continued to decrease slowly until heated up to 1000C; at temperatures above 1000C, the volume is almost constant but decreases were dried. The mass will slowly decrease when the samples started to be dried from room temperature to higher temperatures. On the other hand, the pore volume of samples will decrease sharply when they are dried for the first time from room temperature to 400C, and then it continued to decrease slowly until heated up to 1000C; at temperatures above 1000C, the volume is almost constant but decreases

There are some concerns about affecting the elemental ratios in the case of drying coal at higher temperatures, where it could destroy the chemical composition and micro-structure. Additionally, though water can act as a transport agent for gas. This effect seems to be unimportant at very high temperatures, in which the thermally induced relaxation of coal micro-structure is undoubtedly more important.

Temperature Vs Volume

2.20 Volume (cm3) A

2.00 Volume (cm3) B 1.90 Volume (cm3) C

e (c m 1.70 1.60

Temp ( 0 C)

Fig. 6: Volume and mass change during drying coals

Suuberg et al. (1993) concluded that shrinkage upon drying is correlated to volumetric shrinkage (%). Shrinkage of this magnitude suggests that measurements of the surface area of dried coals will provide an erroneous estimate of true accessibility of coal structure. Suuberg stated that the process of drying or heat treatment of coal at temperatures above 1000C can significantly affect both the cross-link density of coal and the rate of subsequent solvent uptake by coal.

Suuberg found that the volumetric shrinkage of the samples was excellently correlated with their moisture loss.

6. CONCLUSIONS

The experimental results of this preliminary study may be summarized as follows:

1. The mass losses from the three high volatile bituminous rank coals appear to correlate linearly with treatment temperature, up to 200oC.

2. The pore volume losses appear to correlate asymptotically with treatment temperatures, with the largest drop shown between 20oC and some 50oC.

3. Drying coal in air gave major impacts on pore volume shrinkage.

4. When the coal is heated, the porosity and thus accessible surface area will be changed.

5. Further studies are much recommended to start the experiments of gas diffusivities in coal, to address the controversial conclusions from many historical experiments, whereby the apparent-diffusion of CO2 in coal is larger by an order of magnitude than the apparent diffusion of CH4.

6. The new HPMCDC is adequately designed to investigate leading-edge effects of solid coal sample size, diffusion, binary co-diffusion and binary counter- diffusion, as well as temperature and pressure effects, in the range required by the CBM & ECBM industry.

7. NOMENCLATURE

Q gm : gas production (diffusion) rate, MCF/day : matrix shape factor, dimensionless

D -1 : matrix diffusivity constant, sec

c : matrix volume, ft

c : matrix densirt, g/cm ̅̅̅ : average matrix gas content, SCF/ton

8. ACKNOWLEDGMENT

We acknowledge the help of Dr D. Biddle in the design and fabrication of the novel HPMCDC, Mr. D. Page for laboratory assistance, and Dr R.S. Iyer and Dr J. S. Bae for data support. For project funding, we would like to acknowledge the Australian Research Council Industry Linkage scheme and the supporting companies, Origin Energy Ltd, Stanwell Corporation, Santos Ltd and RWTH Aachen University.

9. REFERENCES

AHMED, T. & MCKINNEY, P. 2004. Advanced Reservoir Engineering , Gulf Publishing Company.

AMINIAN, K. 2003. Coalbed Methane-Fundamental Concepts. BALAN, H. O. & GUMRAH, F. 2009. Assessment of srhinkage-swelling influences

in coal seams using rank-dependent physical coal properties. Coal Geology, 77, 203-213.

BERGEN, F. V., WEHRENS, P. & SPIERS, C. Diffusive properties of coal matrix fragments determined from swelling kinetics. PhD.

BROWN, G. M. 1953. The determination of moisture in coals. National gas buletin, Australia,

17, 14-21. BURRUSS, R. C. 2003. CO2 adsorption in coal seams as a function of rank and

composition: a new task in USGS Research on gelologic sequestration of CO2. Coal-Seq II [Online].

BYBEE, K. 2007. Influence of coal shrinkage and swelling on coalbed methane production and CO2 sequestration. Society of petroleum Engineers San Antonio, Texas.

CLARKSON, C. R. & BUSTIN, R. M. 1997. Variation in permeability with lithotype and maceral composition of Cretaceous coals of the Canadian Cordillera. International Journal of Coal Geology, 33, 135-151.

CUI, X., BUSTIN, R. M. & CHIKATAMARLA, L. 2007. Adsorption-induced coal swelling and stress: Implications for methane production and acid gas sequestration into coal seams. Journal of Geophysical Research B: Solid Earth, 112.

GAMSON, P. D., BEAMISH, B. B. & JOHNSON, D. P. 1993. Coal microstructure and micropermeability and their effects on natural gas recovery. Fuel, 72, 87-

99. GAUGER, A. W. 1932. Condition of water in coals of various ranks. Transactions of

the TAIMA, 101, 148-164. GERAMI, S., DARVISH, M. P., MORAD, K. & MATTAR, L. 2007. Type curves

for dry CBM reservoirs with equilibrium desorption. GRAY, I. 1987. Reservoir Engineering in Coal Seams: part 1-The Physical Process

of the Gas Storage and Movement in Coal Seams. SPE Reservoir Engineering (Society of Petroleum Engineers), 2 Number 1, 28-34.

HARPALANI, S. & CHEN, G. 1997. Influence of gas production induced volumetric strain on permeability of coal. Geotechnical and Geological Engineering, 15, 303-325.

IYER, R. S., MASSAROTTO, P. & BAE, J. S. Year. Porosity and compressibility determination of core coal samples using Helium and Mercury Densities. In: Asia Pasific Coalbed Methane Symposium, 2008 Brisbane, Australia.

KARACAN, C. Ö. & MITCHELL, G. D. 2003. Behavior and effect of different coal microlithotypes during gas transport for carbon dioxide sequestration into coal seams. International Journal of Coal Geology, 53, 201-217.

KELEMEN, S. R., JKWIATEK, L. M. & LEE, A. G. K. Year. Swelling and sorption response of selected argonne premium bituminous coals to CO2, CH4 and N2. In: International Coalbed Methane Symposium, 2006 Tuscaloosa, AL.

KING, R, G., ERTEKIN, TURGAY, SCHWERER & C, F. 1986. Numerical Simulation of the Transient Behavior of Coal-Seam Degasification Wells SPE Formation Evaluation, 1, 165-183.

MARES, T. E., RADLINSKI, A. P., MOORE, T. A., COOKSON, D., THIYAGARAJAN, P., ILAVSKY, J. & KLEPP, J. 2009. Assessing the potential for CO2 adsorption in a subbituminous coal, Huntly Coalfield, New Zealand, using small angle scattering techniques. International Journal of Coal Geology, 77, 54-68.

MASSAROTTO, P. 2002. 4-D Coal Permeability Under True Triaxial Stress and Constant Volume Condition. PhD Thesis, Queensland.

MASSAROTTO, P., GOLDING, S. D., BAE, J. S., IYER, R. & RUDOLPH, V. 2010. Changes in reservoir properties from injection of supercritical CO2 into coal seams -- A laboratory study. International Journal of Coal Geology, 82, 269-279.

MAZUMDER, S., BRUINING, J. & WOLF, K. H. Year. Swelling and Anomalous Diffusion Mechanisms of CO2 in Coal. In: International Coalbed Methane Symposium, 2006a Tuscaloosa, AL.

MAZUMDER, S., SIEMONS, N. & WOLF, K. H. Year. Differential Swelling and Permeability Changes of Coal in Response to CO2 Injection for Enhanced Coalbed Methane. In: International Coalbed Methane Symposium, 2006b Tuscaloosa, AL.

NANDI, S. P. & WALKER JR, P. L. 1970. Activated diffusion of methane in coal. Fuel, 49, 309-323.

NANDI, S. P. & WALKER JR, P. L. 1975. Activated diffusion of methane from coals at elevated pressures. Fuel, 54, 81-86.

PAN, Z. & CONNELL, L. D. Year. Measurement and Modelling of Gas Adsorption- Induced Coal Swelling. In: International Coalbed Methane Symposium, 2005 Tuscaloosa, AL.

PAN, Z., CONNELL, L. D., CAMILLERI, M. & CONNELLY, L. 2010. Effects of matrix moisture on gas diffusion and flow in coal. Fuel, 89, 3207-3217.

PONE, J. D. N., HALLECK, P. M. & MATHEWS, J. P. 2009. Sorption Capacity and Sorption Kinetic Measurements of CO2 and CH4 in Confined and Unconfined Bituminous Coal. Energy & Fuels, 23, 4688-4695.

REEVES, S. & OUDINOT, A. Year. The allison CO2-ECBM Pilot, a reservoir and economic analysis coal. In: Coalbed Methane Symposium, 2005 Tuscaloosa, AL.

RODRIGUES, C. F. & LEMOS DE SOUSA, M. J. 2002. The measurement of coal porosity with different gases. International Journal of Coal Geology, 48, 245- 251.

SAGHAFI, A., FAIZ, M. & ROBERTS, D. 2007. CO2 storage and gas diffusivity properties of coals from Sydney Basin, Australia. International Journal of Coal Geology, 70, 240-254.

SIRIWARDANE, H. J., GONDLE, R. & SMITH, D. H. Year. Influence of Shrinkage and Swelling Properties of Coal on Geologic Sequestration of Carbon Dioxide. In: International Coalbed Methane Symposium, May 21-25, 2007 2007 Tuscaloosa, AL.

SMITH, D. H., SAMS, W. N., BROMHAL, G., JIKICH, S. A. & ERTEKIN, T. 2005. Simulating carbon dioxide sequestration/ECBM production in coal seams of permeability anisotropies and the diffusion-time constant. SPE Reservoir Evaluation Engineering, 8, 156-163.

SUUBERG, E. M., OTAKE, Y., YUN, Y. & DEEVI, S. C. 1993. Role of moisture in coal structure and the effect of drying uopm the accessibility of coal structure. Energy & Fuels, 7, 384-392.

WEI, X. 2008. Numerical Simulation of Gas Diffusion and Flow in Coalbeds for Enhanced Methane Recovery. Doctor of Philosophy, The University of Queensland.

WHITE, C. M., SMITH, D. H., JONES, K. L., GOODMAN, A. L., JIKICH, S. A., LACOUNT, R. B., DUBOSE, S. B., OZDEMIR, E., MORSI, B. I. & SCHROEDER, K. T. 2005. Sequestration of carbon dioxide in coal with enhanced coalbed methane recovery - A review. Energy and Fuels, 19, 659- 724.

10. BRIEF BIOGRAPHY OF PRESENTER

Muthia Elma is a PhD student in the School of Chemical Engineering at the University of Queensland, Brisbane, Australia. Previously she spent almost two years to receive her Masters Degree in Energy and Environment at Ecole des Mines de Nantes, France and then worked at the University of LambungMangkurat, Indonesia

Hydrothermal Alteration Associated with the Baturappe Epithermal Silver-Base Metal Deposit, South Sulawesi, Indonesia: Mineralogy, Zoning, and Exploration Implications

2 2 2 Irzal Nur 1 , Arifudin Idrus , Subagyo Pramumijoyo , Agung Harijoko , Sufriadin

1 Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia

2 Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, GadjahMada University, Yogyakarta, Indonesia

* Corresponding author: [email protected]

ABSTRAK

The Baturappe prospect located at southern part of Sulawesi island, Indonesia, is a hydrothermal mineralization district which is characterized by occurrence of epithermal silver-base metal deposit. The mineralization is hosted in basaltic- andesitic volcanic rocks of the late Middle-Miocene BaturappeVolcanics. This study is aimed to characterize the hydrothermal alteration associated with the deposit on the basis of mineralogical data. Identification of hydrothermal minerals was conducted by microscopic observation and X-ray diffraction analysis. Hydrothermal alteration is zoned around the deposits from proximal silicic and argillic to vein- related propylitic to distal district propylitic alteration. The district propylitic alteration which is distributed at the periphery of the hydrothermal system is characterized by an assemblage of dominantly chlorite and less calcite, epidote and quartz. Vein-related propylitic alteration is distributed within approximately 0.5 m to

10 m from the deposits and consists of epidote, chlorite, calcite, quartz and albite. Argillic (illite, smectite, quartz, chlorite, mixed layer- illite/smectite and chlorite/smectite, halloysite, kaolinite, and pyrite) and silisic (quartz, calcite, illite, muscovite, pyrite) alteration are distributed in narrow zones from margin of deposits to maximum 7 m outward. The argillic and silisic alteration is interpreted as the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in the study area, where its distribution is highly controlled by structure.

Keywords :BaturappeVolcanics, epithermal, hydrothermal alteration zoning, paragenesis.

1. INTRODUCTION

The study area is situated in Baturappe area, Gowa Regency, South Sulawesi Province, Indonesia. It lies in the southwesternmost part of Sulawesi island, about 50 km southeast of Makassar (Ujung Pandang), the capital city of South Sulawesi Province. This area is characterized by occurence of epithermal silver-base metal deposits which are hosted in basaltic-andesitic volcanic rocks of the late Middle- Miocene BaturappeVolcanics (Nur et al., 2009a,b; 2010).

Hydrothermal alteration mineral assemblages and its zonation is one of important aspects in the study of genesis and exploration of epithermal deposits. Hydrothermal activity which is indicated by hydrothermally altered rocks in an epithermal system, including its periphery, may reach a wide area. Investigation on zonation of the hydrothermal alteration through detailed hydrothermal alteration mapping may define the center and periphery of hydrothermal system. Many hydrothermal minerals are stable over limited temperature and/or pH ranges. Thus, for an epithermal environment, mapping the distribution of alteration minerals is crucial (e.g., Hedenquist et al., 2000; Harijoko, 2004). Accordingly, the objectives of this study are to define the hydrothermal alteration mineral assemblages and its zonation around the epithermal deposits in the study area. In addition, paragenesis of the hydrothermal alteration zones is also defined.

2. SAMPLES AND METHODS

Mapping of hydrothermal alteration in the study area was conducted coincided with surface geological mapping which covered an area of 1000 ha. Samples were collected in two stages. At the first, as much as 181 rock samples were taken from outcrops representatively covered the whole area. The second stage samples were collected from trenches which made at all significant veins and disseminated deposit in the study area. These samples were sistematicly collected from margin of the veins or proximal to the deposit, to distal sites in the host rocks.

Identification of hydrothermal minerals was conducted by thin section observation under a microscope and X-ray diffraction analysis. The XRD analysis was performed by applying X-ray diffractometer of Rigaku RINT2100 at the Laboratory of Economic Geology, Department of Earth Resources Engineering, Kyushu University, Japan. The identification included whole rock powdered and oriented clay samples. The technical specification of the analysis is as follows: X-ray target: CuKα, voltage: 40 kV, current: 20 mA, scan speed: 2o/minute, scan step: 0.02o, scan range: 2o - 65o, and scan mode: continuous. Phase identification and semi-quantitative proportion of minerals were carried out using MATCH! 1.10 software, with minimum figure of merit (FoM) set on 0.6.

3. GEOLOGICAL BACKGROUND

Regionally, the Baturappe area is located at the southwestern part of the regional geologic map of the Ujung Pandang, Benteng and Sinjai quadrangles, Sulawesi (Sukamto and Supriatna, 1982). A detailed surface geological mapping has then conducted in an area of 1000 ha to study the geological background of the mineralization.

The older rock unit broadly distributed in the study area is lava of dominantly basalt and less andesite, mostly porphyritic, with general orientations of N(70- 80)oE/(18-35)oSE. Locally, blocks of volcanic breccia are also cropped-out. Based on its lithological characteristics, this unit is a member of lava, Tpbl (Sukamto and Supriatna, 1982) which is according to K-Ar dating indicates age of 12.38 to 12.81 Ma or late Middle-Miocene (Yuwono et al., 1985; Priadi et al., 1994). The basaltic- andesitic lava which is distributed from Bincanai and Ritapayung area at the west, through Bangkowa to the east, and Taloto at the south portions of the study area, is identified as the host rock of the epithermal mineralization. At the north, the lava was intruded by a gabbroic-dioritic stock; and followed by a group of basaltic-andesitic dykes. At least 50 units of dykes with thickness range of 8 cm to 2.5 m are cropped- out in the study area, distributed radially centered to the stock, forming a radial swarm of dyke. K-Ar dating on two samples of basalt indicate ages of 7.5 Ma and

6.99 Ma, and 7.36 Ma on gabbro (Sukamto and Supriatna, 1982). The basaltic- andesitic stock and dykes are interpreted as mineralization-bearing rocks in the study area; this is indicated by the occurence of disseminated ore (i.e., pyrite, chalcopyrite, sphalerite, galena, covellite, magnetite, hematite) recognized in the field and microscopic observations. Due to the orientation of the dykes that are consistent to the trends of the fractures, it is interpreted that the emplacement and distribution of the dykes brought mineralization is highly controlled by geological structures (Nur et al., 2009a; Fig.1).

4. MINERALIZATIONS

More than 20 units of quartz veins along with disseminated sulphide and sulphide stringer are distributed around the periphery of the stock in the study area, hosted in the lava and dyke units. Among these, eight significant mineralizations are distributed in four zones: Bincanai-, Baturappe-, Bangkowa- and Ritapayung zone. The mineralizations include: Bincanai vein, Baturappe vein-1, Baturappe vein-2, Bungolo vein, Paranglambere vein (clustered in Baturappe zone); Bangkowa vein and Bangkowa stringer (in Bangkowa zone); and Ritapayung dissemination. The Bincanai vein and Baturappe veins are distributed and clustered along the main fault in the study area, the NW-SE trend Bincanai-Baturappe normal fault; while the Bangkowa- vein and stringer are hosted in NW-SE dykes. Distribution of the mineralizations and orientation of the veins are shown in Fig.1.

The veins display the typical primary texture of epithermal veins: crustiform banding texture; from symmetric-, multiphase- to simple crustiform of quartz ± carbonate – sulphide (dominated by galena). In general, sulphide assemblages identified in the deposits indicate a range of intermediate- to high sulphidation epithermal deposits. The sulphides include: galena, sphalerite, chalcopyrite, pyrite, tennantite, tetrahedrite, bornite, enargite, freieslebenite and polybasite. Supergene minerals such as covellite, chalcocite, iodargyrite, anglesite, cerrusite, as well as manganese coronadite and chalcophanite were also identified. Bulk-ore chemical composition determined by XRF analysis indicates a highest grade of: Pb 17.51%,

Zn 0.35%, Cu 0.66%, Ag 141 g/t, Bi 308 g/t, MnO 10.66% for the veins, and Pb 0.11%, Zn 0.15%, Cu 5.83%, Ag 140 g/t for the dissemination (Nur et al., 2009b; 2010).

Figure 1. Geological map and distribution of the significant mineralizations in the study area. (1) Bincanai vein. (2) Ritapayung dissemination. (3) Baturappe vein-1. (4) Baturappe vein-2. (5) Bungolo vein. (6) Paranglambere vein. (7) Bangkowa vein. (8) Bangkowa stringer.

5. MINERALIZATIONS

Zonation of hydrothermal alteration in the study area is divided on the basis of mineral assemblages and its spacial distribution relative to the deposits (veins and dissemination), from distal to proximal are: district propylitic, vein-related propylitic, and argillic and silisic zones (Fig. 2).

Figure 2. Hydrothermal alteration map of the study area.

5.1. District Propylitic Zone The district propylitic zone is distributed from relatively near to the deposits

and extended widely to the whole study area (Fig. 2). This zone is mainly characterized by dominant occurrence of chlorite, and less calcite, epidote, quartz, sericite, clay and opaque. In the field, this zone is characterized by light greenish grey, light green to green in color which is indicated the dominant occurence of chlorite (Fig. 3.A). Under microscope, this zone is characterized by selective alteration. Chlorite mainly altered primary pyroxene and plagioclase phenocrysts of the volcanic rocks. Beside almost totally replaced the phenocrysts, chlorite also

Qtz, Cl, Ser

mm

C Clay D

Vein

Epidote

Vugg Galen

Silisic wall

Figure 3. A. Outcrop of altered porphyritic basalt at Ritapayung area (district propylitic zone) which is characterized by green color as an indication of chlorite; B. Microphotograph of sample from the outcrop in Fig. A, showing the alteration mineral assemblage of chlorite and less epidote which altered the pyroxene and plagioclase phenocrysts; while quartz, clay, and sericite altered the groundmass; C. Indication of vein-related propylitic alteration at Bangkowa area; strongly altered porphyritic basalt with the coarse-grained pyroxene phenocrysts have been replaced by epidote; D. Argillic alteration (clay) margined the Baturappe vein-2; E. Indications of silisic alteration in the Bincanai vein sample; vuggy quartz and silisic wall rock on the margin of the vein; F. Microphotograph of a sample from the Bincanai-vein wall rock (silisic zone) showing pervasive alteration, dominated by quartz (Qtz) and calcite (Cal).

commonly occured around the fringe and surface of broken and corroded phenocrysts, particularly on pyroxene (Fig. 3.B). Veins contain chlorite and less epidotewere also commonly observed, cross-cutted primary minerals. Quartz, clay and sericite altered the groundmass (Fig. 3.B).The survived primary phenocrysts or the selective alteration character of this zone indicates that intensity of alteration is low. Studies of hydrothermal minerals stability in epithermal environment suggested

that chlorite is formed at temperature range about 200-300 o

C, at deeper level, and in neutral pH condition (Hedenquist et al., 1996; 2000). These imply that this zone was affected by such temperature range, from a neutral-pH fluid, at deeper level and periphery of the hydrothermal system.

5.2. Vein-Related Propylitic Zone This alteration zone is distributed within about 0.5 m to 10 m from the veins,

envelopes silisic zone at Bincanai and argillic zone at Baturappe and Bangkowa area (Fig. 2). Around the Bincanai vein, a 1 m spaced systematic sampling for hydrothermal alteration study has been conducted within 1-10 m from the vein. In the samples, altered volcanic rocks in this zone are generally characterized by greenish grey to dark green in color which indicates a dominant occurence of epidote and chlorite. Identification of alteration mineral assemblages were conducted both by microscopic observation and XRD analysis. The results indicate that epidote, chlorite and calcite are dominant minerals. Other alteration minerals identified in this zone include quartz and muscovite (sericite). At Baturappe zone, two altered rock samples at 9 m and 8 m from the Baturappe vein-1 have been collected to be analyzed. At the outcrops both lithologies showed light green in color. Under microscope, the samples were observed strongly altered. Dominant alteration minerals are epidote, chlorite and carbonate which altered primary pyroxene; while quartz, clay and opaque altered the fringe of plagioclase and the groundmass. Another sample which collected closer (7 m) from the vein contains minerals which indicate a mixing between propylitic and argillic assemblages; quartz, smectite, albite, mixed layer illite/smectite, halloysite and pyrite were identified from XRD analysis. Albite is one of the key minerals of propylitic alteration in epithermal environment, beside calcite, chlorite envelopes silisic zone at Bincanai and argillic zone at Baturappe and Bangkowa area (Fig. 2). Around the Bincanai vein, a 1 m spaced systematic sampling for hydrothermal alteration study has been conducted within 1-10 m from the vein. In the samples, altered volcanic rocks in this zone are generally characterized by greenish grey to dark green in color which indicates a dominant occurence of epidote and chlorite. Identification of alteration mineral assemblages were conducted both by microscopic observation and XRD analysis. The results indicate that epidote, chlorite and calcite are dominant minerals. Other alteration minerals identified in this zone include quartz and muscovite (sericite). At Baturappe zone, two altered rock samples at 9 m and 8 m from the Baturappe vein-1 have been collected to be analyzed. At the outcrops both lithologies showed light green in color. Under microscope, the samples were observed strongly altered. Dominant alteration minerals are epidote, chlorite and carbonate which altered primary pyroxene; while quartz, clay and opaque altered the fringe of plagioclase and the groundmass. Another sample which collected closer (7 m) from the vein contains minerals which indicate a mixing between propylitic and argillic assemblages; quartz, smectite, albite, mixed layer illite/smectite, halloysite and pyrite were identified from XRD analysis. Albite is one of the key minerals of propylitic alteration in epithermal environment, beside calcite, chlorite

At Bangkowa area, the vein-related propylitic zone is more proximal to the vein. A sample of altered porphyritic basalt dyke, which collected about 50 cm from the vein, under microscope contains (in abundance order) epidote, quartz, sericite, clay, chlorite, carbonate and opaque. While another sample from the same lithology which collected about 8 m from the vein contains an assemblage of epidote, chlorite and opaque. Intensity of propylitic alteration in this area is higher compares to the other two zones; the host rock of the Bangkowa vein, porphyritic basalt, is strongly altered where its coarse-grained pyroxene phenocrysts have been totally replaced by epidote (Fig. 3.C).

In general, the vein-related propylitic zone is characterized by dominant occurrence of epidote. In epithermal environment, epidote is stable under temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al., 1996; 2000). Accordingly, it can be interpreted that the vein-related propylitic alteration in the study area was formed at such temperature range. The occurrence of epidote and chlorite also indicates that this zone was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid. Compare to the district propylitic zone, the vein-related propylitic zone is generally more intensely altered and spacially more proximal to the deposit. This zone is distributed locally and limited, enveloping all the veins, at the outer area of argillic- and silisic zone (Fig. 2), with distance range from 0.5 m to 10 m. This indicates that this alteration zone is geneticly related to the vein formation. Dilation or opening along the faults and fractures created structurally-controlled permeability for the hydrothermal fluid to affects the wall rocks and subsequently formed the alteration zone, overprinted the district propylitic alteration.

5.3. Vein-Related Propylitic Zone Argillic zone is distributed proximal to the veins at Baturappe- and Bangkowa

area (Fig. 2), from the margin of the veins to maximum 7 m outward. In the field, area (Fig. 2), from the margin of the veins to maximum 7 m outward. In the field,

Identification of alteration minerals in this zone was conducted by XRD analysis. All clay samples for the analysis were collected from trenches. At Baturappe area, from the four vein zones, dominant minerals include quartz, smectite, illite, and halloysite. In addition kaolinite, chlorite, albite, mixed layer- illite/smectite and chlorite/smectite, dolomite, and pyrite are also occurred in less quantity. Mineral formed by weathering such as hematite were also identified. At Bangkowa area, from the sulfide stringer zone, quartz, illite, kaolinite, smectite, albite and pyrite were identified; while at the Bangkowa vein, quartz, illite, chlorite, dolomite, albite, pyrite, smectite, halloysite and mixed layer illite/smectite were recognized.

At Baturappe area, the dominant temperature-sensitive minerals are illite, smectite and halloysite. Halloysite occurs under acid pH and in temperature lower than 100oC, smectite under neutral pH in temperature range of 180-230oC, and illite under neutral pH in temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al., 1996; 2000). Halloysite occurs mainly as a supergene weathering product (Corbett and Leach, 1998), thus it is possible that halloysite in this area was formed by weathering. Therefore, interpretation of formation temperature of the argillic zone in Baturappe area is conducted on the basis of the temperature stabilities of smectite and illite; 230-320oC. Furthermore, the smectite and illite also indicate that this zone was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid.

At Bangkowa area, illite is the most dominant temperature-sensitive mineral occurred, thus the interpretation of formation temperature of the argillic zone in this area is based on the temperature stability of illite, that is 200-320oC. This implies that the argillic zone in this area was formed in higher temperature and deeper level, compares to the Baturappe area. The responsible hydrothermal fluid is also neutral in pH, judging from the dominant occurrence illite.

Based on its distribution which is proximal to the related-veins, it is also interpreted that the argillic zone is the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in Baturappe- and Bangkowa area. The narrow and elongate Based on its distribution which is proximal to the related-veins, it is also interpreted that the argillic zone is the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in Baturappe- and Bangkowa area. The narrow and elongate

5.4. Silisic Zone This zone is distributed proximal to the vein at Bincanai as well as to the

disseminated sulphide at Ritapayung area (Fig. 2). At the 150 m Bincanai vein, silisic zone is distributed from the vein wall rock (close to the vein) to about 0.4 m outward, whereas at the southwestern part of the vein, the silisic zone is more widely distributed, up to 2 m from the vein.

Around the Bincanai vein, the silisic zone is characterized by light greenish grey to white color of the high-altered andesite wall rock (Fig. 3.E). Comb structure- filled vuggy quartz is also occurred in this zone, mainly in the quartz band of the vein, around the border with the strong-altered silisic wall rock (Fig. 3.E). Other characteristic of this zone is the occurrence of barren quartz vein stockwork which developed in the wall rock, mainly at the foot wall side of the main vein. General

orientation of the stockwork is N45 o W/70 SW, cross-cutted the main vein which is

N18 o W/64 SW in orientation. The barren quartz vein stockwork is developed in narrow open space of the lower order of the Bincanai fault, while the mineralized

main-vein is developed in the wider open space of the first order fault. Under microscope, thin section samples from the silisic zone at Bincanai area mostly showed pervasive alteration, where all primary minerals have been replaced by secondary alteration minerals of quartz and calcite (Fig. 3.F). Identification by microscopic observation and XRD analysis indicates that this zone is mainly characterized by dominant alteration minerals of quartz, carbonate (mainly calcite and less siderite), sericite (illite and muscovite), and pyrite. Other less abundance alteration minerals include chlorite, albite and biotite.

At the Ritapayung dissemination, distribution of the silisic zone is locally enveloped the disseminated sulphide zone (Fig. 2). In the field, effect the silisic alteration is indicated by the light green to light grey color of the altered rocks. Under microscope, the altered volcanic rocks are also showed a pervasive alteration.

Identification by microscopic observation and XRD analysis indicate an assemblage of quartz, illite, and pyrite. Propylitic key minerals such as chlorite and albite are also occurred in significant quantity in this zone, which may indicates an overprinting of the both alteration zones in this area. Other alteration minerals include carbonate and halloysite.

At Bincanai area, the dominant temperature-sensitive minerals are illite and muscovite. As mentioned, in epithermal environment, illite is formed under neutral

pH at temperature range about 200-320 o

C (Reyes, 1990;Hedenquist et al., 1996; 2000);while muscovite is stable at temperature more than 250 o C (Corbett and Leach,

1998). Accordingly, by combining the temperature ranges, it can be interpreted that the silisic zone around the Bincanai vein was formed at temperature range of 250-

320 o

C. At Ritapayung area, illite is the only dominant temperature-sensitive mineral, thus it can be interpreted that the silisic zone around the Ritapayung dissemination

was formed at temperature range of 200-320 o

C. These imply that the silisic zone at Bincanai area was formed at deeper level relative to Ritapayung area. The dominant occurrence of illite in the both areas indicates a neutral pH of the responsible hydrothermal fluid.

Based on its distribution which proximal to the related-deposits, it is also interpreted that the silisic zone is the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in Bincanai- and Ritapayung area. The narrow and elongate distribution of the silisic zone around the Bincanai vein indicates that the distribution is controlled by structure. On the other hand, at Ritapayungdissemination area, the lithological host of the alteration-mineralization indicates that the silisic zone in this area is controlled by the permeability of the host rock (volcanic breccia).

5.5. Paragenesis Based on the description, paragenesis of the hydrothermal alteration around the

Baturappe epithermal deposits is arranged as follows (Table 1): •

Prior to initiation of the Baturappe hydrothermal system, the host rocks in the district were altered to an extensive propylitic assemblage of dominantly chlorite and less calcite, epidote, quartz. This selective alteration mainly affects Prior to initiation of the Baturappe hydrothermal system, the host rocks in the district were altered to an extensive propylitic assemblage of dominantly chlorite and less calcite, epidote, quartz. This selective alteration mainly affects

Table 1. Mineral assemblage in each zone and paragenetic stages of hydrothermal alteration of the Baturappe deposits

Hydro-thermal District

Silisic zone mineral

Vein-related propylitic zone

Argillic zone

propylitic zone

Bc Rp Chlorite

Epidote Calcite Quartz Albite Biotite Smectite Illite i/s c/s Halloysite Kaolinite Muscovite Dolomite Siderite Pyrite Hematite Temperature

230-320 250-320 200-320 range ( o C)

Distance to Disctrict

< 0.5 m <1m < 200 m deposits

1-10 m

- Abbreviations: i/s: mixed layer illite/smectite, c/s: mixed layer chlorite/smectite,Bc: Bincanai area,Br: Baturappe area, Bk: Bangkowa area, Rp: Ritapayung area. - Line weight indicates relative abundance

As hydrothermal fluids progressed up, dilation along the fault and fractures at Baturappe- and Bangkowa area created structurally controlled permeability leading to a narrow zone (approximately 0.5 m to 10 m) vein-related propylitic alteration (epidote, chlorite, calcite, quartz, albite) which overprints the district As hydrothermal fluids progressed up, dilation along the fault and fractures at Baturappe- and Bangkowa area created structurally controlled permeability leading to a narrow zone (approximately 0.5 m to 10 m) vein-related propylitic alteration (epidote, chlorite, calcite, quartz, albite) which overprints the district

• As the hydrothermal system intensified, argillic (illite, smectite, quartz, chlorite, mixed layer- illite/smectite and chlorite/smectite, and pyrite) alteration formed within maximum 7 m from the structural-controlled veins at Baturappe- and Bangkowa area; silisic (vuggy quartz, barren quartz stockwork, calcite, siderite, illite, muscovite, pyrite) alteration formed within maximum 0.4 m of the fault-controlled vein at Bincanai; and silisic (quartz, illite, pyrite) alteration formed in host rock of disseminated-sulphide at Ritapayung area, as a lithological-controlled alteration. These argillic- and silisic alteration overprinted the vein-related- and district propylitic alteration. The argillic alteration formed under 230-320oC at Baturappe- and Bangkowa area, while the silisic zone formed under 250-320oC at Bincanai area, and 200-320oC at Ritapayung area.

6. CONCLUSIONS AND EXPLORATION IMPLICATIONS

 Hydrothermal alteration around the epithermal deposits in Baturappe prospect is zoned from proximal silisic and argillic to vein-related propylitic to distal district propylitic alteration.

 The district propylitic alteration is interpreted as the periphery of the hydrothermal system, while the argillic and silisic alteration are interpreted as the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in the study area, where its narrow distribution is highly controlled by structure. Therefore, for the development of the prospect, further detailed exploration is recommended to be focused on argillic and silisic alteration zones around the Bincanai vein, and on argillic alteration zone around the veins in Baturappe and Bangkowa area.

7. ACKNOWLEDGEMENTS

The authors wish to express a gratitude to the Directorate of Higher Education, Department of National Education, Indonesia, for the financial support through “Doctorate Dissertation Research Grant” 2010 with contract number of 481/SP2H/PP/DP2M/X/2010 granted to the first author as a principal researcher.

8. REFERENCES

Corbett, G.J., and T.M. Leach (1998), Southwest Pacific rim gold-copper systems: structure, alteration, and mineralization, Society of Economic Geologists (SEG) Special Publication, 6, 237 p.

Harijoko, A. (2004), Ore genesis of the Cibaliung epithermal gold deposit in western Java, Indonesia, PhD. Thesis, Kyushu University, Japan, 136 p.

Hedenquist, J.W., E. Izawa, A. Arribas, and N.C. White (1996), Epitermal gold deposits: styles, characteristics, and exploration, Resource Geology Special Publication, 1, Komiyama Printing Co. Ltd., Tokyo, Japan.

Hedenquist, J.W., R.A. Arribas, and E. Gonzalez-Urien (2000), Exploration for epithermal gold deposits, Society of Economic Geologists (SEG) Reviews, 13, 245-277.

Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko, Sufriadin, A.H.S. Jaya, and U.R. Irfan(2009a),Geologi endapan urat logam dasar Pbdaerah Baturappe

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Proceedings of the 38 th IAGI Annual Convention and Exhibition, Semarang, Indonesia,Editors: Winarno, T., A.A.

Nagel, R. Syawal, Aveliansyah, 629-637. Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko,Y. Juyanagi, and A. Imai (2009b),

Characteristics of epithermal quartz veinsat Baturappe area, Gowa, South Sulawesi: an implication to base metal exploration, Proceedings of the International Conference on Earth Science and Technology, Yogyakarta, Indonesia, Editors: Setijadji, L.D., W. Wilopo, and A. Hendratno, 179-185.

Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko, Y. Juyanagi, R. Takahashi, K. Watanabe, and A. Imai (2010),Geochemistry, mineralogy and fluid inclusion study of the Baturappe epithermal silver-base metal deposit, South Sulawesi, Indonesia, Proceedings of the CINEST International Symposium on Earth Science and Technology 2010, Kyushu University, Fukuoka, Japan, Editor: Itoi, R., 283-288.

Priadi, B., H. Bellon, R.C. Maury, M. Polvé, R. Soeria-Atmadja, and J.C. Philippet

40 (1994), Magmatic evolution in Sulawesi in the light of new 40 K- Ar age data, Proceedings of the 23 rd IAGI Annual Convention, Indonesia, 355-370.

Reyes, A.G. (1990), Petrology of Philippine geothermal systems and the application of alteration mineralogy to their assessment, J. Volcanology and Geothermal Research, 43, 279-309.

Sukamto, R., and S. Supriatna (1982), Geologic map of the Ujung Pandang, Benteng and Sinjai quadrangles, Sulawesi, Geological Research and Development Centre, Bandung, Indonesia.

Thompson, A.J.B., and J.F.H. Thompson (1996), Atlas of alteration, a field and petrographic guide to hydrothermal alteration minerals, Geological Association of Canada, Mineral Deposits Division, Canada, 118 p.

Yuwono, Y.S., H. Bellon, R. Soeria-Atmadja, and R.C. Maury (1985), Neogene and

Pleistocene volcanism in South Sulawesi,Editors: Koesoemadinata, R.P. and

D. Noeradi, ITB, Bandung, Indonesia, 120-131.

APLIKASI PROBABILISTIK UNTUK ANALISIS KESTABILAN LERENG TUNGGAL MENGGUNAKAN METODE BISHOP (STUDI KASUS DI PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM TBK. TANJUNG ENIM, SUMATERA SELATAN)

1 2 Masagus Ahmad Azizi 2 , Suseno Kramadibrata , Ridho K.Wattimen ,

3 Indra Djati Sidi 4 , Susanto Basuki

1 Jurusan Teknik Pertambangan FTKE Universitas Trisakti & Mahasiswa Program Doktor Program Studi Rekayasa Pertambangan ITB

2 Program Studi Teknik Pertambangan ITB

3 Program Studi Teknik Sipil ITB

4 Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK

Probabilitas kelongsoran adalah pendekatan statistik yang digunakan dalam mengkarakterisasi nilai parameter masukan untuk analisis stabilitas lereng dan menentukan jenis distribusi dan range nilai faktor keamanan lereng. Pada proses ini nilai parameter masukan dan faktor keamanan akan dikarakterisasi distribusi nilai masing-masing. Di samping itu juga pendekatan ini dapat melihat faktor yang paling mempengaruhi kestabilan lereng melalui analisis sensitivitas perubahan nilai setiap parameter masukan terhadap nilai faktor keamanan.

Analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan probabilistic dapat memberikan tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari suatu disain lereng.Pendekatan ini sangat memungkinkan memasukkan seluruh factor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng sehingga hasil analisis dapat diaplikasikan secara operasional.

Hal menarik dari metode probabilistic adalah representasi yang eksplisit dari ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng. Nilai factor keamanan disain lereng dapat dioptimasi dengan nilai probabilitas kelongsoran sehingga dapat memberikan tingkat keyakinan terhadap disain tersebut.

Tulisan ini akan menggambarkan suatu analisis kestabilan lereng tunggal menggunakan pendekatan probabilistic pada lokasi Curug Pangkul (TAL Selatan) PTBA Tanjung Enim.

Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik distribusi nilai nilai faktor keamanan lereng tunggal lapisan OB-A1 (claystone) berupa fungsi beta. Bila memperhatikan nilai factor keamanan lereng dan probabilitas kelongsoran, maka hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter ke bawah masih memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 700 (Nilai PK < 25%). Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter masih mungkin menggunakan sudut kemiringan leren 600 dan 500.

Mengingat metode analisis kestabilan lereng yang digunakan hanya metode Bishop, maka perlu dikoreksi juga dengan metode lainnya.

Kata Kunci : statistic, analisis probabilitas, Lereng penambangan, geoteknik, batubara.

1. PENDAHULUAN

Probabilitas kelongsoran adalah pendekatan statistik yang digunakan dalam mengkarakterisasi nilai parameter masukan untuk analisis stabilitas lereng dan menentukan jenis distribusi dan range nilai faktor keamanan lereng. Pada proses ini nilai parameter masukan dan faktor keamanan akan dikarakterisasi distribusi nilai masing-masing. Di samping itu juga pendekatan ini dapat melihat faktor yang paling mempengaruhi kestabilan lereng melalui analisis sensitivitas perubahan nilai setiap parameter masukan terhadap nilai faktor keamanan.

Penentuan sudut kemiringan lereng acceptable adalah suatu parameter paling penting dalam perencanaan tambang terbuka. Namun ketidakpastian yang terkait dengan geometri lereng, karakteristik massa batuan, kondisi pembebanan dan reliabilitas model mengakibatkan proses pemilihan sudut kemiringan lereng yang sesuai menjadi lebih sulit.

Biasanya kajian kestabilan lereng tambang terbuka dibuat berdasarkan nilai factor keamanan (FK) saja, yakni rasio gaya penahan nominal dan gaya penggerak nominal. Secara teoritis metode kesetimbangan batas menyatakan batas kritis lereng aman bila FK = 1, di mana lereng akan longsor bila FK<1 dan lereng akan aman bila FK>1. Namun kelemahan pendekatan FK tersebut untuk disain lereng adalah hanya bersifat kasuistis dan tidak dapat diberlakukan untuk kondisi lereng yang lain, Tapia et.al. (2007).

Suatu alternative selain pendekatan FK untuk disain lereng adalah metode probabilistic yang didasarkan pada perhitungan probabilitas kelongsoran (PK) lereng. Pada metode ini, parameter masukan digambarkan sebagai suatu distribusi probabilitas bukan hanya terbatas pada estimasi nilai rata-rata. Dengan mengkombinasikan distribusi ini dalam model deterministic yang digunakan dalam menghitung nilai FK, maka PK lereng dapat diestimasi.

Hal menarik dari metode probabilistic adalah representasi yang eksplisit dari ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng.Nilai factor keamanan disain lereng dapat dioptimasi dengan nilai probabilitas kelongsoran sehingga dapat memberikan tingkat keyakinan terhadap disain tersebut.

Tulisan ini akan menggambarkan suatu analisis kestabilan lereng tunggal menggunakan pendekatan probabilistic pada lokasi Curug Pangkul (TAL Selatan) PTBA Tanjung Enim.

2. DASAR TEORI

2.1. Metode Kesetimbangan Batas Kemantapan suatu lereng tergantung pada gaya-gaya penggerak dan gaya

penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya-gaya penggerak berupa gaya berat, gaya tiris atau muatan, sedangkan gaya-gaya penahan berupa gaya gesekan atau geseran, kohesi dan kuat geser. Apabila gaya penggerak lebih besar dibandingkan dengan gaya penahan maka akan menyebabkan terjadinya kelongsoran. Tetapi bila gaya penahan ini lebih besar dari gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami kelongsoran atau lereng dalam keadaan stabil.

Kestabilan lereng biasa dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan (FK) yang didefisikan sebagai berikut :

Di mana untuk keadaan-keadaan : FK> 1.0

: lereng dianggap stabil FK = 1.0

: lereng dalam keadaan seimbang dan siap untuk bergerak apabila ada sedikit gangguan FK< 1.0

: lereng dianggap tidak stabil Metode kesetimbangan batas merupakan metode yang sangat popular, relatif sederhana, mudah digunakan serta telah terbukti kehandalannya dalam praktek rekayasa geoteknik selama bertahun-tahun.

2.2. Analisis Probabilitas

2.2.1. Fungsi Distribusi Probabilitas Fungsi distribusi probabilitas merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperkirakan nilai probabilitas kemunculan suatu parameter. Fungsi distribusi 2.2.1. Fungsi Distribusi Probabilitas Fungsi distribusi probabilitas merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperkirakan nilai probabilitas kemunculan suatu parameter. Fungsi distribusi

Fungsi Densitas Probabilitas Fungsi Distribusi Kumulatif Gambar 1. Fungsi Distribusi Probabilitas

Secara grafik, fungsi distribusi probabilitas dideskripsikan menjadi fungsi densitas probabilitas (PDF Probability Density Function) dan fungsi distribusi kumulatif (CDF Cumulative Distribution Function).Fungsi densitas probabilitas mendeskripsikan daerah kemungkinan relatif dimana suatu bilangan acak dapat diasumsikan sebagai suatu nilai unik dibandingkan nilai lainnya.Untuk kurva distribusi factor keamanan, maka luas kurva yang diarsir merupakan probabilitas kelongsoran lereng.

2.2.2. Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo adala sebuah nama kode untuk algoritma yang ditemukan oleh John von Newmann (1946) atas perintah Stanislaw Ulam. Nama Monte Carlo diambil dari nama kasino Monte Carlo di Monaco. Simulasi Monte Carlo pertama kali digunakan untuk pengembangan bom hidrogen.

Tahapan yang dilakukan dalam metode ini sebagai berikut :

1. Definisikan domain (daerah asal) dari masukan data yang memungkinkan

2. Munculkan masukan secara acak daridomain yang sudah ditentukan menggunakandistribusi probabilitas tertentu

3. Lakukan perhitungan secara deterministic menggunakan data masukan

4. Gabungkan hasil dari setiap perhitungan individual kepada hasil akhir. Algoritma ini digunakan sebagai landasan simulasi bilangan acak untuk

menentukan fungsi distribusi probabilitas yang sesuai. Beberapa keuntungan metode Monte Carlo yakni sederhana, lebih fleksibilitas dalam menggabungkan suatu varietas distribusi probabilitas yang cukup besar tanpa banyak penarfsiran, dan kemampuan untuk memodelkan korelasi di antara variable dengan mudah (Hammah and Yacoub, 2009). Umumnya analisis stabilitas lereng dengan metode kesetimbangan batas menggunakan simulasi Monte Carlo untuk menghitung probabilitas kelongsoran.

2.2.3. Pencocokan ( Fitting ) Fungsi Probabilitas Ada beberapa metode dalam melakukan proses fitting terhadap fungsi distribusi, antara lain : Chi-Squared (C-S), Kolmogorov-Smirnov (K-S), dan Anderson-Darling (A-D). Masing-masing metode ini akan menghasilkan nilai parameter statistic. Nilai parameter yang paling kecil mencerminkan fungsi distribusi terbaik.

Bila dalam proses fitting ini menggunakan lebih dari satu metode, maka tidak ada aturan baku yang menyatakan metode hasil uji yang memberikan fit terbaik. Masing-masing metode memiliki kekuatan dan kelemahan, dan harus diputuskan informasi yang paling penting untuk memutuskan fungsi distribusi yang akan digunakan.

a) Metode Chi-squared Metode ini merupakan metode fitting fungsi distribusi terbaik, yang dapat digunakan baik untuk sampel data continyu maupun diskret.Untuk menghitung nilai parameter chi-squared, maka langkah pertama memecah nilai sumbu x menjadi beberapa bin. Formulasi untuk menghitung nilai parameter chi-squared yakni :

Di mana : K = Jumlah bin Ni = Jumlah sampel observasi dalam bin ke- i Ei = Jumlah sampel ekspektasi dalam bin ke-i

b) Kolmogorov-Smirnov Metode ini digunakan untuk data sampel kontinyu. Metode ini tidak membutuhkan proses pemecahan sumbu x menjadi beberapa bin, sehingga membuat nilai parameter statistic ini tidak banyak berubah-ubah. Kelemahan metode ini adalah tidak dapat mendeteksi ketidaksesuaian tail dengan baik. Formulasi untuk menghitung nilai parameter K-S yakni :

Di mana : n

= Total jumlah titik-titik data ̂ = Fungsi distribusi kumulatif proses fitting

= Jumlah Xi kurang dari x

c) Anderson-Darling Metode ini juga digunakan untuk data sampel kontinyu, dan tidak membutuhkan bin.Tidak seperti metode K-S yang memfokuskan pada nilai tengah distribusi, maka metode ini lebih menyoroti pada perbedaan antara tail fungsi hasil fitting dan data masukan. Formulasi untuk menghitung nilai parameter A-S yakni :

Di mana : n

= Total jumlah titik-titik data

̂ = Fungsi densitas hipotetik ̂ = Fungsi distribusi kumulatif hipotetik

= Jumlah Xi kurang dari x

3. TAHAP PENELITIAN

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Studi Awal ( Desk Study ) Kegiatan ini diawali dengan kegiatan pengumpulan pustaka baik jurnal

nasional maupun internasional.

b. Pengambilan dan Pengolahan Data Kegiatan ini diawali dengan observasi kondisi lereng tambang secara

keseluruhan, kemudian akan ditentukan lokasi penelitian yang sesuai. Data yang diambil dalam penelitian ini mencakup : sifat fisik dan mekanik batuan, seismic loading, dan geometri lereng.

c. Analisis Langkah awal analisis adalah melakukan karakterisasi terhadap parameter

masukan (densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam) yang akan menghasilkan jenis fungsi dan range nilai parameter masukan.

Langkah kedua melakukan analisis kestabilan lereng menggunakan metode kesetimbangan batas (Metode Bishop) dengan dengan kuat geser Mohr-Coulomb. Data hasil karakterisasi terhadap densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam dimasukkan sebagai parameter masukan probabilistic. Nilai factor keamanan yang dihasilkan kemudian juga dilakukan proses karakterisasi (analisis probabilitas) dan analisis sensitivitas. Hasil karakterisasi terhadap distribusi nilai factor keamanan akan dapat menghasilkan nilai probabilitas kelongsoran lereng, di mana luas di bawah fungsi (FK <1) merupakan nilai probabilitas kelongsoran.

Untuk menilai tingkat kemamputerimaan nilai FK dan probabilitas kelongsoran dari disain lereng tunggal dapat dilihat dari kriteria kemamputerimaan SRK (2010) untuk nilai FK dan Probabilitas Kelongsoran Lereng Tunggal, di mana probabilitas kelongsoran untuk lereng tunggal yang masih dapat diterima sebesar 25-50 % (maksimum).

d. Kesimpulan Hasil penelitian ini akan dapat menilai suatu disain lereng tunggal yang mampu

diterima tidak hanya berdasarkan nilai factor keamanan, namun juga dilihat dari nilai probabilitas kelongsoran lerengnya.

4. PENGOLAHAN DATA

Proses ini merupakan pengolahan data terhadap parameter masukan yakni densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam residual. Dalam proses ini dibantu dengan menggunakan perangkat lunak @RISK yang menggunakan variasi simulasi (1,2 dan 5) dan iterasi (100, 1000 dan 10.000). Metode fitting yang digunakan mencakup Chi-Squared, Anderson-Darling, Kolmogorov-Smirnov.

4.1. Parameter Batuan Lapis OB-A1 ( Claystone )

4.1.1. Kohesi “Residual” Hasil proses karakterisasi terhadap parameter kohesi “residual” lapisan OB- A1(Claystone) lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai adalah beta. Hal ini dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting yang digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan semua fungsi distribusi beta (Tabel 1).

Tabel 1.Hasil Karakterisasi Distribusi Kohesi “Residual”

Jumlah Jumlah

K-S Fungsi i

Iterasi Chi-Sq

A-D

0.1505 Beta 0.0308 Beta 1000

1.42 Beta

Beta 0.0165 Beta 10000 82.574 Beta

5.7506 Beta 0.0155 Beta

0.1199 Beta 0.0296 Beta 1000

0.54 Beta

0.5708 Beta 0.0163 Beta 10000 82.115 Beta

Beta 0.0155 Beta

0.5724 Beta 0.0167 Beta 10000 81.804 Beta

6.3 Beta

5.7493 Beta 0.0155 Beta

4.4.2. Sudut Gesek Dalam “Residual” Hasil proses karakterisasi terhadap parameter sudut gesek dalam “residual”

lapisan OB-A1 lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai adalah beta. Hal ini dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting yang digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan 24 fungsi distribusi beta dan 4 fungsi weibull (Tabel 2).

Tabel 2.Hasil Karakterisasi Distribusi Sudut Gesek Dalam “Residual”

Jumlah Jumlah

Nilai

Simulasi Iterasi Chi-Sq Fungsi A-D Fungsi K-S Fungsi

0.0246 Beta 1000 6.184 Weibull 0.580

0.084 Weibull 0.0259 Weibull 1000 6.822 Weibull 0.579

4.4.3. Densitas Basah

Tabel 3.Hasil Karakterisasi Distribusi Densitas Basah

Jumlah Jumlah

Nilai

Simulasi Iterasi Chi-Sq

K-S Fungsi

0.98 Weibull 0.141 Weibull 0.0283 Weibull 1000

Hasil proses karakterisasi terhadap parameter densitas basah lapisan OB-A1 lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai adalah beta. Hal ini Hasil proses karakterisasi terhadap parameter densitas basah lapisan OB-A1 lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai adalah beta. Hal ini

4.2. Tinggi Muka Air Tanah Variasi tinggi muka air tanah diasumsikan mencapai maksimum.

4.3. Getaran Gempa Bumi

Variasi seismic loading diasumsikan normal dengan nilai rata-rata 0.02.

4.4. Geometri Lereng Variasi geometri yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :

a. Tinggi Lereng : 9, 12, 15, 20 meter

b. Sudut kemiringan lereng : 40 – 70 Derajat.

5. ANALISIS

5.1. Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Lapisan OB-A1( Claystone ) Hasil karakterisasi terhadap paramater batuan yang mencakup : nilai minimum, maksimum, standar deviasi dan jenis fungsi distribusi dimasukkan dalam analisis kestabilan lereng tunggal. Dalam penelitian ini menggunakan metode keseimbangan batas dengan bantuan software SLIDE. Untuk parameter masukan lain seperti geometri lereng, tinggi muka air tanah dan seismic loading digunakan nilai asumsi yang digunakan dalam disain lereng PTBA.

Gambar 2. Keluaran Analisis Kestabilan Lereng Tunggal dengan Pendekatan Probabilistik

Hasil analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan probabilistic ini mengjhasilkan nilai factor keamanan deterministic dan rata-rata, probabilitas kelongsoran, dan indeks reliabilitas lereng (Gambar 2).

5.2. Fitting Jenis Fungsi Distribusi Faktor Keamanan Proses fitting jenis distribusi dilakukan dengan menganalisis nilai FK hasil pendekatan probabilistik. Ada beberapa tahap proses fitting ini meliputi :

a. Input nilai rata-rata, standar deviasi, minimum, dan maksimum dari nilai factor keamanan.

b. Menggunakan metode Monte Carlo nilai-nilai tersebut degenerate berdasarkan fungsi yang akan dianalisis, dalam hal ini ada 7 fungsi distribusi normal, lognormal, beta, seragam, triangular, eksponensial dan gamma. Proses ini dilakukan dengan 1000 iterasi dengan 5 simulasi.

c. Penentuan parameter statistic dari masing-masing fungsi menggunakan metode chi-squared, yang mana fungsi yang memiliki nilai parameter statistic paling kecil merupakan fungsi yang paling mendekati distribusi fungsi factor. Untuk mempermudah proses fitting ini dilakukan dengan menggunakan

software @RISK. Hasil proses fitting menunjukkan bahwa jenis fungsi distribusi factor keamanan adalah beta. Fungsi ini selanjutnya digunakan untuk menentukan probabilitas kelongsoran lereng tunggal dari masing-masing scenario.

5.3. Probabilitas Kelongsoran (PK) Probabilitas kelongsoran lereng ditentukan dengan cara menghitung luas

(FK<1) di bawah fungsi yang sudah ditentukan sebelumnya dari hasil proses fitting. Hasil perhitungan probabilitas kelongsoran lereng tunggal material OB-A1 menunjukkan untuk tinggi lereng 12 meter, maka masih mungkin untuk mencuramkan lereng hingga 700. Hal ini bisa dilihat dari nilai FK 2.18 dan probabilitas kelongsoran sebesar 18.4 % yang masih di bawah kriteria ambang batas.Sementara untuk tinggi lereng 15 meter, maka sudut lereng maksimum hanya 600. Rekapitulasi hasil penentuan jenis fungsi distribusi dan probabilitas kelongsoran dapat dilihat pada table di bawah ini..

Tabel 4. Probabilitas Kelongsoran Material OB-A1 (Metode Bishop)

Jenis Jenis

Geometri Lereng

Faktor Keamanan

Faktor PK Material

Tinggi Kemiringan Fitting Fungsi FK

6. PENGOLAHAN DATA

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :

a. Karakterisasi terhadap parameter batuan lapisan OB-A1 (Claystone) dengan variasi 3 jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting menunjukkan fungsi terbaik yang dihasilkan adalah beta.

b. Karakterisasi terhadap nilai faktor keamanan hasil analisis kestabilan lereng menunjukkan fungsi terbaik adalah beta.

c. Bila memperhatikan nilai factor keamanan lereng dan probabilitas kelongsoran, maka hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter

ke bawah masih memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 70 0 (Nilai PK < 25%). Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter

0 masih mungkin menggunakan sudut kemiringan leren 60 0 dan 50 .

d. Hasil analisis ini perlu dikomparasi dengan metode lainnya sehingga dapat meningkatkan suatu hasil disain yang dapat diaplikasikan secara operasional.

7. DAFTAR PUSTAKA

@RISK software, Palisade Cisar P., Cisar S.M., 2010, Skewness and Kurtosis in Function of Selection of

Network Traffic Distribution, Acta Polytechnica Hungarica, Vol.7 No.2.

Duzgun H.S.B., Bhasin R.K., 2009, Probability Stability Evaluation of Oppstadhornet Rock Slope – Norway, Rock Mech Rock Eng, Springer.

Hammah, R.E., Yacob, T.E., Curran J., 2003, The Influence of correlation and distribution truncation on slope stability analysis results.

Hoek E., Factor of Safety and Probability of Failure, Chapter 8 - Rock Engineering. Mandzic E.H., 1992, Mine Water risk in open pit slope stability. Masagus A.A. et.al, 2010, Penerapan Pendekatan Probabilitas Pada Analisis

Kemantapan Lereng, TPT XIX PERHAPI 2010, Balikpapan. Masagus A.Azizi, Suseno Kramadibrata, Ridho K.Wattimena, Irwandy Arif,

“Aplikasi Pendekatan Probabilistik Dalam Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Menggunakan Metode Kesetimbangan Batas”, dipresentasikan pada Seminar Nasional Statitstik 2011 yang diselenggarakan oleh Program STudi STatistika, Fakultas MIPA UNDIP, 21 Mei 2011.

Park H.J., 2005, A New Approach for Persistence in Probabilitic Rock Slope Stability Analysis, Geoscience Journal, Vol.9, p287-293.

Pathak S., Poudel R.K., Kansakar B.R., 2006, Application of Probabilistic Approach in Rock Slope Stability Analysis — An Experience from Nepal, pp. 797–802, Universal Academy Press, Inc. - Tokyo, Japan.

Pine. R.J. 1992. Risk analysis design applications in mining geomechanics. Trans. Inst. Min.Metall. (Sect.A) 101, 149-158.

Pine, R.J. and W.J. Roberds. 2005. A risk-based approach for the design of rock slopes subject to multiple failure modes – illustrated by a case study in Hong Kong. International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences 42 (2005), Elsevier Ltd., pp. 261 – 275.

SLIDE Software, Rockscience Staveren V., 2007, Extending to Geotechnical Risk Managemen, International

Symposium on Geotechnical Safety & Risk, pp.1-12. Steffen, O.K.H. et.al, 2008, A risk evaluation approach for pit slope design. Terbrugge P.J.et.al., 2006, A risk consequence approach to open pit slope design. Whitman R.V., 1981, Evaluating Calculated Risk in Geotechnical Engineering, The

Seventeenth Terzaghi Lecture.

Estimasi Distribusi Ukuran Fragmen Batuan

Hasil Peledakan Menggunakan Perhitungan Split-Desktop

1 Nurkhamim 2 , Hafiez Asnawi , Jurusan Teknik Pertambangan – Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran”

Yogyakarta, Indonesia [email protected]

ABSTRAK

Pada kegiatan penambangan, peledakan merupakan salah satu tahapan kegiatan yang bertujuan untuk membongkar atau melepaskan batuan dari batuan induknya menjadi bentuk fragmen-fragmen batuan dengan ukuran tertentu, guna mempermudah proses selanjutnya. Ada beberapa parameter untuk mengetahui apakah suatu kegiatan peledakan berhasil baik atau gagal. Salah satu indikator untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan peledakan adalah ukuran fragmen hasil peledakan. Ukuran fragmentasi batuan yang dihasilkan dari kegiatan peledakan harus sesuai dengan kebutuhan, yaitu kemudahan saat pemuatan, pengangkutan dan pada proses pengolahan. Kesulitan yang biasa dijumpai pada saat perhitungan ukuran fragmen dan distribusinya bila menggunakan cara manual atau konvensional adalah prosesnya yang membutuhkan waktu lebih lama dan perlu peralatan bantu yang cukup merepotkan. Split-desktop merupakan alat bantu perhitungan yang merupakan suatu program komputer yang proses kerjanya didasarkan atas pembacaan hasil citra (image) gambar atau foto dari suatu obyek berupa partikel atau gragmen. Program perhitungan ini sangat mudah digunakan dan cukup akurat untuk mengestimasi dan menentukan distribusi ukuran fragmen batuan hasil peledakan.

Kata kunci : peledakan, fragmentasi, citra foto, split-desktop

1. PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat telah menjadi kebutuhan pokok dalam era informasi. Hal ini dapat dilihat dari derasnya arus informasi dari segala penjuru dunia yang dapat diakses oleh siapapun tanpa batas ruang dan waktu. Keberhasilan pembangunan teknologi informasi telah mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, seperti aspek pertambangan khususnya yang terlihat dari berbagai macam perangkat lunak ( software) komputasi pendukung telah banyak dikembangkan untuk memudahkan analisa dalam metode perhitungan.

Tahap penambangan, yang meliputi kegiatan pembongkaran, pemuatan dan pengangkutan, agar material dapat dengan mudah diangkut maka dilakukan pembongkaran terlebih dahulu. Peledakan merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk membongkar batuan agar terlepas dari batuan induk yang bertujuan untuk memudahkan kegiatan penambangan selanjutnya yaitu pemuatan dan pengangkutan.

Tuntutan program serta tersedianya berbagai macam bentuk informasi yang menuntut untuk melakukan perubahan yang dapat menunjang efektifitas serta produktifitas tambang, maka dirasa sangatlah perlu adanya program bantu komputasi guna mendapatkan hasil program perhitungan atau estimasi distribusi ukuran fragmen batuan hasil peledakan tambang secara mudah dan tepat. Dengan adanya program bantu komputasi untuk menghitung rancangan ini dapat menghemat waktu, tenaga dan tentu saja tingkat ketelitian hasil lebih akurat daripada perhitungan secara manual (analitik).

2. TINJAUAN UMUM

Peledakan batuan berdasarkan pengetahuan merupakan suatu teknik tentang aksi bahan peledak, mekanisme terbongkarnya batuan, dan sifat-sifat mekanik dari masa batuan. Di dalam lingkungan industri pertambangan, teori peledakan merupakan area yang sangat menarik tetapi sekaligus juga kontroversial. Teori peledakan ini melibatkan bidang keilmuan seperti kimia fisika, termodinamika, Peledakan batuan berdasarkan pengetahuan merupakan suatu teknik tentang aksi bahan peledak, mekanisme terbongkarnya batuan, dan sifat-sifat mekanik dari masa batuan. Di dalam lingkungan industri pertambangan, teori peledakan merupakan area yang sangat menarik tetapi sekaligus juga kontroversial. Teori peledakan ini melibatkan bidang keilmuan seperti kimia fisika, termodinamika,

Kegiatan peledakan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor rancangan yang tidak dapat dikendalikan dan faktor rancangan yang dapat dikendalikan (Gambar 1).

1. Faktor Rancangan yang tidak dapat dikendalikan Faktor ini di luar kemampuan manusia untuk men -setting atau mengendalikannya ( uncontrolled factor ). Hal ini disebabkan karena prosesnya terjadi secara alamiah, seperti faktor : karakteristik dan perilaku massa batuan, struktur geologi, pengaruh air, dan kondisi cuaca.

2. Faktor rancangan yang dapat dikendalikan Faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia dalam merancang suatu peledakan untuk memperoleh hasil peledakan yang diharapkan, antara lain seperti geometri pemboran, geometro peledakan, pola pemboran dan pola peledakan.

Suatu kegiatan peledakan disebut berhasil bila dapat terpenuhi beberapa parameter sebagai berikut : - Target produksi yang ingin dicapai dapat terpenuhi. - Hasil peledakan tidak membentuk back break/over break. - Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merata dan tidak terdapat banyak boulder . - Lantai jenjang yang terbantuk relatif datar. - Efek peledakan terkontrol seperti ground vibration, air blast, dan fumes . - Tidak terjadi gagal ledak ( miss fire ) .

Salah satu indikator untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan peledakan adalah ukuran fragmen hasil peledakan. Diharapkan ukuran fragmen batuan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan penambangan selanjutnya. Untuk mengetahui ukuran fragmen batuan dapat dilakukan perhitungan dengan melalui beberapa cara, yaitu :

1. Melakukan pengamatan pada material hasil peledakan, apakah dapat termuat atau tidak oleh mangkuk alat mekanis.

2. Mencurahkan sejumlah material pada suatu grizzly dengan beberapa tahap setting grizzly.

3. Pengambilan gambar atau foto dengan pengolah program Split-desktop. Pengukuran distribusi fragmen batuan hasil peledakan yang dilakukan secara manual (analitik) mempunyai kekurangan tingkat hasil ketelitian yang diperoleh kurang akurat serta kurang efisien. Cara pertama hanya dapat menentukan ukuran fragmen batuan saja, sedangkan estimasi distribusi ukurannya (persentasi) sangat kasar (berdasarkan perkiraan saja). Cara ke-dua membutuhkan sejumlah peralatan dan pengaturan yang cukup membutuhkan waktu dan biaya. Kelemahan pada perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan secara teknis (cara pertama dank e-dua di atas) telah dapat diatasi dengan adanya program bantu komputasi Split- desktop sehingga diharapkan dapat menghemat waktu, tenaga, biaya dan harapan pada tingkat ketelitian hasil yang lebih akurat.

3. PENGOLAHAN DATA

Untuk pengukuran fragmentasi hasil peledakan, mula-mula dilakukan pengambilan foto/ gambar dari suatu obyek yang berupa sekumpulan fragmen batuan atau partikel-partikel (dapat berupa hasil peledakan, penambangan dengan bucket , atau dari hasil peremukan oleh crusher ), kemudian untuk estimasi atau penghitungan distribusi fragmentasinya dilakukan dengan program bantu komputer.

Split-desktop adalah program komputer untuk suatu gambar atau citra yang didesain untuk menghitung distribusi ukuran fragmen batuan dengan menganalisa gambar yang dapat dibaca dalam bentuk grayscale. Gambar dapat dimasukkan langsung dari foto digital, gambar hasil scanning dan capture dari rekaman video. Sebelum menjalankan program Split-desktop , gambar yang akan dihitung dimasukkan kedalam komputer yang dapat dilakukan dengan download atau digitasi gambar.

Analisa program Split-desktop , secara garis besar meliputi tahapan penentuan atau pemilihan gambar, pencarian partikel, memperbaiki hasil pencarian, melakukan perhitungan ukuran dan menampilkan grafik dan hasil.

(A) Peubah yang dapat dikendalikan

 Arah peledakan

 Diameter lubang ledak

 Sistim penyalaan

 Kedalaman lubang ledak

 Urutan penyalaan

 Kedalaman subdrilling

 Bidang bebas

 Kemiringan lubang ledak

 Tipe bahan peledak

 Tinggi stemming

 Energi bahan peledak

 Tinggi jenjang

 Metode pemuatan

 Pola peledakan

 Air tanah (kadang-kadang

 Perbandingan burden dan spasi

tidak dapat dikontrol)

 Dimensi dan konfigurasi Peledakan

(B) Peubah yang tidak dapat dikendalikan

  Geologi  Sifat dan kekuatan batuan  Struktur diskontinuitas  Kondisi cuaca  Air tanah (kadang-kadang dapat dikontrol)

Proses Peledakan

 Hasil Peledakan 

 Fragmentasi  Perpindahan material hasil peledakan

 Profil tumpukan hasil peledakan 

 Getaran tanah (ground vibration)  Ledakan udara (air blast)

 Batu terbang (fly rock) 

Missfires  

Gambar 1. Peubah terkendali dan tidak terkendali dalam rancangan peledakan 2)

1. Penentuan dan Pemilihan Obyek atau Gambar Tahap ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama menentukan batas dari

gambar ( resize/crop ) yang akan dihitung dan menentukan skala yang digunakan oleh gambar. Untuk analisis maka gambar yang dibuka oleh program akan diubah dalam

format “tiff” secara otomatis (Gambar 2.a). Menentukan gambar termasuk juga membatasi gambar yang akan dianalisa dengan toolbar “crop” untuk batas atas dan batas bawah. Untuk menentukan distribusi ukuran yang sebenarnya maka dibutuhkan skala sebagai pembanding.

Skala perlu diatur sesuai dengan obyek bantu skala yang ada di dalam gambar atau foto. Obyek bantu ini adalah dua benda apa saja (asal bukan obyek yang akan dihitung fragmentasinya), dapat terlihat jelas saat diambil gambarnya dan mempunyai dimensi ideal dan mudah diukur. Obyek bantu skala harus diletakkan pada saat pengambilan gambar dilakukan. Obyek bantu skala yang sering digunakan berupa bola.

Pengambilan gambar sebaiknya tegak lurus terhadap obyek yang akan diambil gambarnya, hal ini untuk menghindari efek perubahan ukuran akibat perspektif gambar. Namun apabila hal ini tidak bisa dihindari atau sangat sulit dilakukan, maka obyek bantu skala dipasang dua buat dan diletakkan depan-belakang, dengan jenis dan ukuran benda yang sama.

2. Mencari Ukuran Partikel Merupakan tahapan dimana program akan mengenali partikel-partikel untuk

dihitung dengan format grayscale yang secara otomatis hasil konversi program. Hasil yang akan ditampilkan adalah kontur-kontur yang terbentuk sebagai batasan antar partikel. Kelemahan dari software Split-desktop adalah dalam proses pengenalan partikel yang sangat tergantung dari sudut pencahayaan gambar. Untuk mengatasi hal ini maka sebelum proses pencarian ukuran partikel, dilakukan digitasi secara manual untuk menentukan batas-batas antar partikel. Kemudian hasil digitasi tersebut diproses dan menghasilkan keluaran yang ditampilkan dalam bentuk binary image atau gambar dengan kontur-kontur yang terbentuk sebagai batasan antar partikel (Gambar 2.b)

3. Memperbaiki Hasil Pencarian Langkah ini ditujukan untuk memperbaiki hasil ukuran yang diberikan oleh

pencarian ukuran partikel. Perbaikan ini meliputi penghapusan daerah yang tidak akan dihitung seperti alat pembanding (obyek bantu skala). Dapat juga dilakukan untuk memperbaiki kontur yang tidak sesuai dengan ukuran patikel.

4. Melakukan Perhitungan Ukuran Langkah ini akan melakukan perhitungan ukuran dengan metode perimeter

dimana terlebih dahulu setiap kontur akan memiliki koordinat masing-masing. Untuk perhitungan ukuran partikel dilakukan dengan interpolasi dan ekstrapolasi dengan dua skala.

5. Menampilkan Grafik dan Hasil Hasil perhitungan ukuran akan ditampilkan dalam bentuk grafik yang dapat

dipilih seperti: Schuman, Rosin-Ramler dan Best Fit. Grafik tersebut merupakan grafik distribusi kumulatif dari ukuran fragmen batuan (Gambar 2.c).

4. PEMBAHASAN

Pada dasarnya hasil yang ingin dicapai dari perangkat lunak ini adalah bagaimana mengoptimalkan perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan. Hasil pengkajian ini diharapkan berupa definisi-definisi yang akan digunakan sebagai dasar menyusun bukti formal dan rincian teori yang memungkinkan pada pemecahan masalah.

Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan penambangan khususnya peledakan. Salah satu kriteria agar kegiatan peledakan berhasil dengan baik yaitu ukuran fragmen batuan hasil peledakan sesuai dengan yang diharapkan sehingga kegiatan penambangan selanjutnya dapat berjalan dengan lancar.

Perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan perhitungan analitik (cara manual), program komputer (software), atau gabungan dari keduanya. Sejak berkembangnya teknologi informatika terutama di bidang pertambangan, penghitungan secara manual sudah Perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan perhitungan analitik (cara manual), program komputer (software), atau gabungan dari keduanya. Sejak berkembangnya teknologi informatika terutama di bidang pertambangan, penghitungan secara manual sudah

1. Pengambilan gambar - Kecerahan gambar berpengaruh pada pengolahan / deliniasi program / pemisahan partikel. karena gambar yang akan di input berbentuk grayscale maka apabila dalam pengambilan gambar terlalu terang garis pemisah yang terbentuk tidak tampak/ kurang jelas, demikian pula sebaliknya.

- Sudut pengambilan gambar sebaiknya dilakukan vertikal agar hasil kenampakan gambar bagus / tidak ada perkecilan gambar, Namun kalau hal ini sulit dilakukan, maka dapat dibantu dengan dua obyek bantu berupa benda/barang yang dapat diukur dimensinya.

2. Parameter bantu Parameter bertujuan untuk mengetahui distribsi ukuran material. - Jumlah parameter/alat pembanding/obyek bantu skala.

Minimal 2 buah untuk mengetahui posisi pengambilan gambar, dengan cara satu buah diletakkan pada bagian depan (posisi dekat) dan satu pada bagian belakang (posisi jauh).

- Letak parameter Sebaiknya ditempatkan pada posisi terbuka/terlihat penuh, tidak terhalang oleh material yang akan diukur.

- Bentuk parameter Sebaiknya obyek yang berdiameter karena hasil analisis akan diasumsikan semua ukuran pertikel memiliki bentuk/berdiameter. Diutamakan obyek bantu ini berbentu bola.

3. Pengolahan data dan analisis Dalam pengolahan data pada setiap pengerjaan memiliki ketelitian berbeda- beda. Pengolahan tahap 3 (pemisahan ukuran partikel). Hasil analisis perhitunga ukuran dan distribusi fragmen batuan ditampilkan dalam bentuk grafik atau tabel seperti pada Gambar 4.

Gambar 2. Langkah Pengukuran Fragmentasi dengan Split Desktop, (a) Original image, (b) Binary image, (c) Grafik distribusi kumulatif keluaran

Keterangan: P20 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 20%, artinya terdapat 20% material yang lolos ayakan berukuran 47,17 mm. P50 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 50%, artinya terdapat 50% material yang lolos ayakan berukuran 107,44 mm. P80 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 80%, artinya terdapat 80% material yang lolos ayakan berukuran 192,89 mm. Top Size merupakan ukuran material terbesar yang ada dalam sampel tersebut, dalam grafik di atas adalah 307,74 mm.

Gambar 3. Pengambilan conto

Gambar 4. Hasil analisis pengambilan contoh

5. KESIMPULAN

1. Data yang diperlukan untuk mengetahui distribusi ukuran fragmen hasil peledakan menggunakan perhitungan split-desktop adalah cukup dengan gambar/foto material hasil peledakan.

2. Kelebihan perhitungan ukuran fragmen hasil peledak menggunakan Split- desktop adalah dapat dilakukan dengan mudah dan cepat dalam menganalisa data, Distribusi ukuran fragmentasi dapat diperinci sesuai kebutuhan .

6. DAFTAR PUSTAKA

Hafiez A, (2011), Kajian Teknis Geometri Peledakan Untuk Menghasilkan Ukuran Fragmen Batuan Yang Sesuai di PT DNX Indonesia Site Adaro Kalimantan Selatan , Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN

“Veteran” Yogyakarta.

Hustrulid W., (1999), Blasting Principles For Open Pit Mining . Colorado School of Mines, Golden, Colorado, USA.

S. Koesnaryo., (2001), P emboran Untuk Penyediaan Lubang Ledak , Jurusan Teknik

Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

____________, (2011), Split-Desktop tutorial, Split Engineering, Tucson, Arizona. www.spliteng.com

OPTIMALISASI SUMBERDAYA DAN TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

Nurhakim

Staf Pengajar Pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik - Universitas Lambung Mangkurat Email : [email protected]

ABSTRAK

Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah Indonesia, meliputi

16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku. Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan masih di bawah rata-rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005, hanya 4 propinsi di KTI yang berada di atas rata-rata nasional (tahun 2005 rata-rata IPM Indonesia sebesar 69,6), sementara 12 provinsi lainnya memiliki IPM di bawah rata-rata nasional. Teknologi adalah “cara atau metoda serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Setidaknya terdapat beberapa kelompok teknologi yang berperan dalam optimalisasi sumber daya alam di KTI, antara lain: Teknologi Inventarisasi dan Eksplorasi Sumberdaya Alam, Teknologi Sistem Informasi Sumber Daya Alam (SISDA), Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan pengolahan, Teknologi telekomunikasi dan transportasi. Akhirnya, kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Kata kunci: Sumberdaya, optimalisasi, Teknologi, Inventarisasi, Pembangunan

1. PENDAHULUAN

Hubungan antara diklat-litbang dan usaha industri di berbagai Negara berteknologi maju dan ekonomi kuat telah merupakan suatu fenomena yang berkembang terus dengan keterkaitan yang semakin erat. Fenomena itu telah

menimbulkan hubungan yang berpengaruh timbal balik antara “terjadinya perubahan teknologi yang semakin cepat” dan “terjadinya persaingan usaha yang semakin ketat”. Bahkan dapat dikatakan bahwa kemampuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK telah menjadi faktor penentu di dalam pertumbuhan usaha dan penambahan devisa suatu Negara.

Pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, “memberikan” berbagai tantangan bagi Pemerintah Kota / Kabupaten.

Tantangan tersebut diantaranya adalah bagaimana daerah dapat mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya secara optimal dengan memanfaatkan sumberdaya manusia dan teknologi yang ada. Pemanfaatan sumberdaya alam secara baik, terarah dan akrab lingkungan – selanjutnya diharapkan dapat dikembalikan dalam bentuk “belanja modal’ untuk pembangunan dan pengembangan daerah tersebut.

Pada hakekatnya, makhluk hidup di muka bumi ini tidak terlepas dari adanya ketergantungan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain,sertaterhadap lingkungan dimana makhluk tersebut berada. Namun, diatas ketergantungan dan keterkaitan itu, Allah Yang Maha Kuasa juga menciptakan keteraturan, dimana pada posisi ini akan tercapai suatu keseimbangan; sehingga setiap unsur atau makhluk hidup akan berada dalam kondisi yang seimbang dengan lingkungan yang dihuninya. Proses keteraturan itu analog dengan proses terciptanya kemandirian bagi manusia, dan biasanya kemandirian ini diperoleh setelah dewasa. Pada usia dewasa inilah manusia bisa mandiri dalam banyak hal termasuk dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sudah barang tentu proses menuju kemandirian cepat atau lambat, sangat ditentukan oleh cepat atau lambat berkurangnya tingkat ketergantungan dan keterkaitan.

Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Dari sisi usia sejak negeri ini merdeka, seharusnya sudah mampu menjadi negara yang tidak terlalu tergantung pada belas kasihan negara lain, tidak terlalu terpengaruh kondisi gejolak finansial di negara lain dalam roda perekonomian dan seharusnya juga memiliki kebanggaan atas produk yang dihasilkan sendiri sebagai pembuktian atas kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. GAMBARAN KONDISI KAWASAN TIMUR INDONESIA

2.1. Sumberdaya Alam Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan

luas wilayah daratan 1.293.215 km 2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah Indonesia, meliputi 16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta

Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku (Gambar 1). Provinsi Papua mempunyai luas wilayah daratan paling besar (421.981 km 2 ) atau 32% dari luas KTI, sementara

Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 km 2 ) atau 0.9% dari luas wilayah KTI.

KAWASAN TIMUR INDONESIA KAWASAN BARAT INDONESIA

Gambar 1. Pembagian KBI dan KTI dalam NKRI

Sumberdaya alam KTI, baik di daratan maupun di lautan mempunyai potensi yang sangat besar, namun pengelolaannya belum optimal. Di kawasan ini, terkandung sekitar 70 % dari total potensi perikanan laut nasional. Sektor kehutanan dan keanekaragaman hayati pun memiliki potensi yang sangat luar biasa. Demikian halnya dengan sumberdaya mineral, dalam Koesnaryo (2002), diperkirakan 81,2% dari total cadangan bahan tambang Indonesia terdapat di KTI. Potensi sumberdaya mineral ini tersebar tidak merata di berbagai Propinsi yang terdapat di bagian Indonesia Timur (Tabel 1).

Tabel 1 Potensi Bahan Galian di Kawasan Timur Indonesia

Propinsi Potensi Bahan Galian Tambang

Kalimantan Barat Batubara, Bauksit, Emas, Felspar, Kaolin, Granit, dll Kalimantan Tengah

Batubara, Gambut, Emas, Intan, Batugamping, Kaolin, Pasirkuarsa, Lempung, Batubelah, dll

Kalimantan Selatan Batubara, Nikel, Besi, Intan, Emas, Kromit, Batugamping, Lempung, Kaolin, Pasirkuarsa, Marmer, Posfat, Andesit, Peridotit, dll

Kalimantan Timur Batubara, Gambut, Besi, Emas, Platina, Pasirkuarsa, Batugamping, Lempung, Kaolin, dll

Sulawesi Selatan Batubara, Mangan, Kromit, Pasirbesi, Emas, Perak, (dan Sulawesi Barat)

Tembaga, Timbal, Seng, Batugamping, Marmer, Batusabak, Dolomit, Lempung, Pasirkuarsa, dll

Sulawesi Tenggara Nikel. Kromit, Magnesit, Marmer, Batugamping, Pasirkuarsa, dll

Sulawesi Tengah

Emas, Kromit, dll

Sulawesi Utara Emas, Perak, Mangan, Besi, Andesit, Belerang, Sirtu, (dan Gorontalo)

Andesit, Lempung, Kaolin, Kalsedon, dll Maluku

Batubara, Emas, Ilmenit, Tembaga, Perak, Titan, dll (dan Maluku Utara) Papua

Emas, Tembaga, Perak, Uranium, Nikel, Batubara, (dan Papua Barat)

Pasirbesi, Pasirkuarsa, Mika, Marmer, dll Nusa Tengg. Timur

Besi, Emas, Pasirbesi, Barit, Timbal, Belerang, Zeolit, Andesit, Basalt, Kaolin, Bentonit, Marmer, Batuapung, Sirtu, dll

Nusa Tengg. Barat Tembaga, Emas, Perak, Batugamping, Lempung, Marmer, Andesit, Kalsedon, Sirtu, Pasirbesi, dll

Sumber : Koesnaryo, 2002 (diolah)

Dari keterangan yang disajikan di atas, terlihat bahwa Kawasan Timur Indonesia demikian kaya akan sumberdaya alam. Potensi sumber daya alam ini, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

 Secara astronomis, Indonesia terletak di daerah tropik dengan curah hujan tinggi menyebabkan aneka ragam jenis tumbuhan dapat tumbuh subur. Oleh karena itu Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Selain itu, kondisi

ini menyebabkan terjadinya pelapukan yang intens dan proses sedimentasi yang berkelanjutan.

 Secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan jalur pergerakan lempeng tektonik dan pegunungan muda menyebabkan terbentuknya

berbagai macam sumber daya mineral dan geothermal yang potensial untuk dimanfaatkan.

 Wilayah lautan di Indonesia mengandung berbagai macam sumber daya nabati, hewani, dan mineral antara lain ikan laut, rumput laut, mutiara serta

minyak dan gas bumi.

2.2. Sumberdaya Manusia Sumber daya manusia (SDM)merupakanpotensi yang terkandung dalam diri

manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dari pengertian ini, tersirat demikian strategisnya peranan SDM dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Jumlah penduduk KTI relatif sedikit dengan distribusi yang tidak merata. Berdasarkan data Supas 2005 BPS, penduduk KTI berjumlah 40.984.777 jiwa atau 18,73% dari total penduduk Indonesia dengan perkiraan penduduk rata-rata sebesar

27 jiwa/km 2 .Jumlah penduduk terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 7.509.704 jiwa, sementara Provinsi Papua Barat dengan jumlah penduduk 643.012

jiwa merupakan yang terkecil. Kepadatan terbesar berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan 208 jiwa/km2, sementara yang terjarang adalah Provinsi Papua dengan kurang dari 7 jiwa/km2.

Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan masih di bawah rata- rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005, hanya 4 propinsi di KTI yang berada di atas rata-rata nasional (tahun 2005 rata-rata IPM Indonesia sebesar 69,6), sementara 12 provinsi lainnya memiliki IPM di bawah rata- rata nasional.

2.3. Sarana dan Prasarana KTI yang luas ini seharusnya didukung oleh prasarana dan sarana fisik yang

memadai (terutama listrik, perhubungan dan telekomunikasi), namun pada kenyataanya keberadaan prasarana dan sarana tersebut belum cukup tersedia. Rendahnya tingkat aksesibilitas antar kawasan di KTI mengakibatkan masih banyaknya dijumpai kawasan-kawasan yang terisolasi dari pusat-pusat kegiatan ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir, dan daerah pedalaman. Hal ini diperparah dengan belum ada akses langsung ke pasar internasional. Padahal, sebelum dibangun infrastruktur yang memadai, maka sulit bagi pemerintah untuk menawarkan KTI kepada dunia usaha. Mengingat, kawasan tersebut belum cukup atraktif sebelum dibangun infrastrukturnya. Di lain pihak, sarana pendidikan dan kesehatan juga jauh dari dapat dikatakan memadai.

3. PERAN TEKNOLOGI DALAM OPTIMALISASI SUMBERDAYA DALAM RANGKA PEMBANGUNAN DAERAH

Teknologi dalam kamus Merriam-Webster didefinisikan sebagai " the practical application of knowledge especially in a particular area " dan " a capability given by the practical application of knowledge ”. Dalam UU 18 Tahun 2002, Teknologi adalah “cara atau metoda serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peni ngkatan mutu kehidupan manusia”.

Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat beberapa kelompok teknologi yang berperan dalam optimalisasi sumber daya alam di KTI, antara lain :

 Teknologi Inventarisasi dan Eksplorasi Sumberdaya Alam ; Inventarisasi potensi sumber daya alam meliputi SDA hayati (perkebunan, kehutanan, pertanian, pesisir), SDA non hayati (mineral, air) dan Inventarisasi rawan

bencana alam dan kerusakan lingkungan (banjir, longsor, gunungapi, kekeringan). Teknologi yang dapat dimanfaatkan antara lain penginderaan jauh (remote sensing), metode-metode geofisika dan geokimia serta aplikasi geostatistika dalam pendekatan keruangan (spatial).

 Teknologi Sistem Informasi Sumber Daya Alam (SISDA) ; SISDA merupakan suatu sistem informasi spasial yang berfungsi menyediakan

informasi kepada pengguna sebagai bahan pengambilan kepusan dalam perencanaan dan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan kata lain SISDA diharapkan dapat berfungsi sebagai Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System). Perbedaanya dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM) seperti yang ada di bank atau perusahaan- perusahaan terletak pada sumber data yang digunakan. SISDA mengandalkan data spasial (geografi), yang menyediakan informasi mengenai keadaan dan kejadian dalam ruang suatu wilayah geografis tertentu. Data untuk SISDA memerlukan ketelitian tinggi dalam dimensi spasial. Keadaan dan kejadian yang menjadi subyek sistem ini dikenal penyebaran dan lokasinya dalam sistem tata ruang muka bumi yang lebih dikenal dengan istilah sistem referensi geografi. Selain itu, SISDA juga memerlukan referensi waktu karena data sumberdaya alam seperti hutan, mineral, migas, dll bersifat dinamis. Data sumberdaya alam selalu berubah sesuai dengan perubahan waktu. Sebagai contoh, hutan atau bahan tambang mineral yang ada di suatu tempat sering berkurang penyebarannya pada periode tertentu karena penebangan atau eksploitasi. Dengan database yang baik, diharapkan dapat dilakukan penetapan kawasan prioritas dalam rangka percepatan pembangunan. Di lain sisi, SISDA diharapkan juga mampu “melindungi” asset-asset yang dimiliki republik tercinta ini terutama pada

kawasan perbatasansebagai kawasan depan yang dilakukan dengan pendekatan prosperity dan security, khususnya untuk kawasan perbatasan

Kaltim, Kalbar, Sulut, Papua, Papua Barat, NTT, serta Maluku Utara dan Maluku.

 Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan pengolahan ; maksud dari teknologi ini adalah bagaimana “mengambil” dan meningkatkan nilai tambah dari suatu komoditas. Pengembangan pola agroindustri terpadu dengan mengembangkan potensi pertanian skala besar (agriculture estate) yang dilengkapi dengan sistem manajemen modern berbasis teknologi (technology-based farming system). Di samping itu dengan adanya pengembangan kelautan yang terpadu, dimana peningkatan teknologi kelautan dan perikanan dilakukan secara bertahap, serta pemanfaatan SDA yang belum tergali secara berkelanjutan. Pengembangan ini tidak terfokus pada wilayah pesisir saja tetapi juga dilakukan di kawasan pedalaman hingga kawasan terluar (ZEE). Dengan demikian, komoditas pertanian, kehutanan, perkebunan, budi daya laut, dan hasil tambang yang selama ini dijual dalam bentuk bahan mentah, dilakukan pendekatan teknologi agar diperdagangkan dalam bentuk bahan baku atau barang jadi.

 Teknologi telekomunikasi dan transportasi ; selain berbagai teknologi yang telah diuraikan diatas, infrastruktur telekomunikasi dan transportasi juga perlu dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi sumberdaya. Adanya sarana

jalan, bandara maupun pelabuhan terutama di beberapa provinsi yang berpotensi besar dalam kegiatan ekspor, akan sangat membantu percepatan pembangunan.

Pertanyaan besar selanjutnya adalah “bagaimana berbagai teknologi di atas dapat diaplikasikan?” Sinergi… adalah satu kata yang mungkin dapat mewakili

jawaban pertanyaan di atas. Selama ini, Pemerintah, Industri dan Institusi Pendidikan dan Litbang, seolah berjalan sendiri-sendiri. Riset-riset perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah jarang dipakai untuk industri dan hanya menumpuk di perpustakaan. Inovasi teknologi Industri pun sangat minim, akibatnya sulit bersaing dengan produk luar. Kebijakan dan anggaran pemerintah untuk riset dan pengembangan teknologi sangat dibutuhkan.

Selama ini, anggaran pemerintah kita untuk riset teknologi sangat minim, bahkan lebih rendah daripada anggaran riset sebuah perusahaan asing. Jika investasi di bidang teknologi lebih mendapat perhatian, output dan outcome yang dihasilkannya akan sangat menjanjikan dalam jangka panjang. Dengan teknologi, pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan lebih optimal. Akhirnya, kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.

4. PENUTUP

Sumber daya alam adalah anugrah dan amanah Allah Yang Maha Kuasa, serta titipan generasi penerus. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara serius dan berkesinambungan. Pengelolaan yang salah, serta kelalaian manusia telah menjadi penyebab utama penurunan kualitas sumber daya alam.

Keberadaan data yang akurat serta pemanfaatan teknologi yang tepat akan menjadi kunci peningkatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Dengan demikian, masing-masing Pemerintah Daerah dapat membuat rencana industrialisasi sesuai dengan keunggulan komoditas yang dimilikinya.

Namun dibalik itu semua, SDM terdidik dan terampil sangat berpengaruh terhadap kesuksesan pembangunan KTI bahkan menjadi modal utama menuju terciptanya Negara yang mandiri dan sejajar dengan bangsa- bangsa lain di dunia..… The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent on its soldiers (Douglas MacArthur, General, US Army, 1945).

5. DAFTAR PUSTAKA

---------- , 2006,KTI’s Export Potential: Awakening the Sleeping Giant, BEI NEWS 32nd Edition Year V, July-August 2006

----------, 2004, Jakstra Program dan Rencana Tindak Bidang Penataan Ruangdalam Mendorong Percepatan Pembangunan di KTI, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU RI

Koesnaryo, S., 2002, Permasalahan dan Prospek Industri Pertambangan Kawasan Timur Indonesia, Prosiding TPT-XI PERHAPI, Yogyakarta

Nurhakim, 2002, Peranan Teknologi Sistem Informasi Bagi Industri Pertambangan

Di Era Otonomi Daerah, FT Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Nurhakim, 2009, Optimalisasi Sumberdaya dan IPTEK dalam Pembangunan KTI,

disampaikan pada Temu Wilayah dan Seminar IPTEK wilayah Kalimantan Sulawesi, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia(MITI)

Nurwadjedi dan Poniman, A., 2001, Pengembangan Sistem Informasi Sumberdaya

Alam Kawasan Timur Indonesia, GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 2/3 Rajasa, M.H., 2007, Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa,

http://www.setneg.go.id/ Rajasa, M.H., 2009, Karakter Bangsa Sebagai Modal Sosial Untuk Menghadapi

Tantangan Pembangunan Global, http://www.setneg.go.id/ Solihin, D., 2008, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Kawasan Timur

Indonesia, Bappenas http://www.datastatistik-indonesia.com

PRESPEKTIF TEKNIK DAN EKOLOGI PEMBANGUNAN MEGA PROYEK PABRIK BAJA KRAKATAU STEEL DI BATULICIN TANAH BUMBU KALIMANTAN SELATAN

1 Adip Mustofa 1 , Riswan

1 Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan

Fakultas Teknik UNLAM

Email: [email protected]

ABSTRAK

Bagaimana perpektif teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri. Ekologi industri menawarkan solusi untuk menciptakan pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri- industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya. Pemilihan teknologi diawali dengan melakukan kajian teknis untuk membandingkan seluruh alternatif pengolahan bijih besi yang tersedia. Selanjutnya mempertimbangkan kesesuaian antara kebutuhan bahan baku dengan karakteristik bahan baku lokal, dipilihlah teknologi Direct Reduction-Rotary Kiln (DR-RK). Bahan baku utama proses Rotary Kiln terdiri dari bijih besi (iron ore), batubara (coal), dan batu kapur (limestone).

Kata kunci: Ekologi Pembangunan, Industri Baja, Rotary Kiln ,

1. PENDAHULUAN

Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari bahan yang diperoleh melalui proses penambangan, kehidupan manusia modern sudah sangat bergantung kepada sarana transportasi udara, laut dan darat yang kesemuanya mengandalkan bahan tambang dari besi untuk kerangkanya, tembaga untuk komponen-komponen listrik, nikel untuk bagian-bagian yang tidak boleh berkarat, aluminium untuk roda, dan berbagai campuran baja untuk berbagai komponen.

Potensi mineral besi di lndonesia cukup besar terutama mineral besi lateritik yang tersebar di Kalimantan Selatan seperti Pulau Sebuku Kab. Kotabaru,, Pegunungan Kukusan Kab. Tanah Bumbu dan kabupaten, Kab. Tanah laut dan Kab. Balangan cadangannya mencapai ratusan juta ton.

Potensi cadangan sumberdaya ini belum termanfaatkan sama sekali untuk menunjang kebutuhan bahan baku didalam negeri, seperti PT. Krakatau Steel seluruh bahan bakunya masih diimpor yang berupa pelet sekitar 2,2 juta tor pertahun (Yusuf dan Aryono, 2005) , sementara ekspor bijih besi dari Kalimantan Selatan ke China lebih dari 1 (satu) juta ton per tahun (Pramusanto, dkk, 2008)

Peranan strategis industri baja nasional sebagai agent of development hanya dapat dicapai apabila industri baja nasional mampu menghasilkan produk dengan harga dan kualitas yang kompetitif sehingga memungkinkan bagi industri hilir untuk berkembang. Oleh karena itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap terhadap bahan baku impor, kelangkaan gas alam, serta keterbatasan pasokan listrik, maka PT. Krakatau Steel (Persero) yang mengemban misi "Steel as National Power", telah memulai langkah strategis melalui pengembangan industri baja berbasis bahan baku lokal yang saat ini dalam tahap persiapan konstruksi. Pabrik yang akan dibangun di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan tersebut dirancang untuk menggunakan 100% bijih besi lokal serta batubara non-coking coal yang banyak terdapat di Indonesia. Sedangkan kebutuhan energi listrik diperoleh melalui pemanfaatan gas buang (off-gas) yang dihasilkan dari proses reduksi (Irvan K dan Hartono, 2008).

Pada saat ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana perpektif teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri.

2. GAMBARAN UMUM KONDISI BIJIH BESI KALIMANTAN SELATAN

2.1. Sebaran Bijih Besi Bijih Besi yang banyak digunakan untuk bahan baku dalam industri baja

adalah bijih besi “Primer” yang merupakan senyawa besi-oksida dengan mineral utamanya adalah magnetit (Fe 3 O 4 ) dan hematite (Fe 2 O 3 ) di Indonesia banyak ditemukan namun sebarannya dalam satu lokasi jumlahnya tidak besar. Bijih besi yang ditemukan di Kalimantan Selatan dengan jumlah depositnya relatif besar (dalam satu lokasi) adalah bijih besi "Laterit". Genesa bijih ini berasal dari pelapukan batuan ultra basa yang menghasilkan mineral utama Goethite

(HFeO 2 ) dan Lepidocrite FeO(OH) sehingga sering disebut sebagai hydros-or e (mengandung air kristal), berdasarkan data Dinas ESDM Propinsi Kalimantan Selatan sebaran bijih besi (Tabel 1).

Umumnya daerah yang berpotensi mengandung bijih besi berada di lokasi yang sulit dicapai karena keterbatasan infrastruktur. Sebagian diantaranya berada di kawasan konservasi atau merupakan tanah milik adat. Selain itu hasil survey Tim PTKS di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah yang berpotensi mengandung bijih besi telah mempunyai KP yang dikuasai oleh pihak lain namun belum ada kegiatan eksplorasi yang berarti (Tim PIBB, 2007)

Tabel 1. Sebaran Bijih besi di Kalimantan Selatan

SUMBERDAYA

NO. LOKASI KET.

TERUKUR

TERUNJUK TEREKA

HIPOTETIK 1 2 3 4 5 6 7

1 Kab. Tanah Bumbu

- Pengunungan. Kukusan

2 Kab. Kotabaru

- Pulau Sebuku

3 Kab. Tanah Laut

- G. Melati

- - Sumber Mulya

- - Riam Pinang

- - Tanjung

- - Pamalongan, Pontain

- - Jabukan, S. Bakar

- - Sarang Halang

- - Desa Panggung

- - Karotain

G. Ulin

G. Batukora

G. Tembaga

4 Kab. Balangan

G. Tanalang

G. Batuberani

G. Batubesi

5 Kab. Banjar

6 Kab. Hulu S. selatan

7 Kab. Tabalong

Sumber Dinas ESDM Kalsel 2008

2.2. Karakteristik Bijih Besi Perbandingan karakteristik bijih besi dalam bentuk lump-ore yang umum

dipakai dalam proses Direct Reduction maupun proses Blast Furnace yang diperdagangkan oleh pemasok utama bijih besi dunia (Tabel 2) . Dapat terlihat bahwa bijih besi Kalimantan Selatan mempunyai karakteristik yang berbeda apabila dibandingkan dengan bijih besi yang umum dipakai dalam industri baja. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada kandungan Fe yang relatif rendah, senyawa alumina relatif tinggi, serta kadar air terikat dan LOI yang relatif tinggi.

Tabel 2. Perbandingan karakteristik Bijih besi

Komposisi

Biji Besi (%)

Direct Reduction

Blast Furnace

MBR

Ferteco Hammersley BHP MBR Kalimantan

Fe 68.62 68.00 65.07 65.50 68.70 50.00 SiO 2 0.78 0.99 2.80 3.50 0.50 3.00 Al 2 O 3 0.47 0.72 1.53 1.30 0.73 6.00

LOI & Moisture

3.47 1.80 2.20 1.30 8-15

Komposisi kimia dalam bijih besi akan menentukan efisiensi biaya proses pengolahan bijih besi dan proses berikutnya di steelma king. Dampak utama dari komposisi kimia tersebut antara lain adalah:

1. Fe — Kandungan Fe yang tinggi akan meningkatkan yield produksi dan rnenurunkan biaya transportasi bahan baku. Untuk proses Direct Reduction maupun Blast Furnace, diinginkan kadar Fe setinggi mungkin, yaitu > 65%.

2. Alumina — Kandungan alumina yang diinginkan dalam pengolahan

bijih besi adalah serendah mungkin, lebih kecil dari 2%. Kandungan alumina dalam jumlan tinggi akan meningkatkan viscositas slag dalam baja cair.

3. Kandungan air dan LOI — kandungan air dan loss on ignition (LOI)

Tlidak diinginkan karena akan meningkatkan kebutuhan panas dan meningkatkan volume gas yang tersirkulasi didalam sistem.

3. UPAYA PEMANFAATAN BIJI BESI LOKAL

PT. Krakatau Steel (KS), yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai ujung tombak industri baja telah memulai produksinya sejak tahun 1970 sampai sekarang masih mengimpor pelet (bahan baku bijih besi), scrap (potongan), PT. Krakatau Steel (KS), yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai ujung tombak industri baja telah memulai produksinya sejak tahun 1970 sampai sekarang masih mengimpor pelet (bahan baku bijih besi), scrap (potongan),

Gambar 1. Impor Bahan Dasar dan Baja Kasar dan Nilai Impor

Kedepan produksi baja diperkiran meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan, kebutuhan dam negeri maupun ekspor. Namun demikian hingga kini bahan baku ini untuk industri baja ini masih diimport dalam bentuk pellet, scrap (potongan) dan slab (lempengan) dari beberapa Negara seperti Brazil, Swedia dan China, sehingga ketergantungan industri baja nasional akan bijih besi dari luar negeri sangat tinggi.

Berdasakan data Departemen Perindustrian ( http://www.depperin.go.id ), ekspor bijh besih dari Indonesia ke China pada tahun 2007 lebih 4,27 juta ton (Gambar 2), dimana lebih dari 1 (satu) juta ton berasal dari Kalimantan Selatan.

Ekspor Bijih Besi

Gambar 2. Ekspor Bijih Besi Indonesia ke China Tahun 2003-2008

Kendala teknis yang dihadapi PT. Krakatau adalah letak geografis cadangan bijih besi yang menyebar serta ketidaksesuaian karakteristik bijih besi lokal dengan fasilitas pengolahan yang telah dimiliki PT.Krakatau Steel dan tantangan lain adalah kondisi kepemilikan kuasa penambangan (KP) serta daya dukung infrastruktur yang kurang memadai.

Menghadapi kendala diatas strategi yang ditempuh untuk mempercepat realisasi pemanfaatan bahan baku lokal adalah:

1. Mengupayakan kontinuitas suplai bahan baku melalui kerjasama dengan pihak ketiga yang telah memiliki KP dan telah melakukan eksplorasi detail sesuai dengan kaidah good mining practices.

2. Menyusun master plan pengembangan industri besi baja (ekologi industri), dengan fokus ke long-product, sesuai dengan kebutuhan daerah Kawasan Timur Indonesia.

3. Memilih teknologi proses yang sesuai dengan karakteristik bahan baku lokal.

4. Membangun secara bertahap dimulai dari pabrik, pengolahan bijih besi. Ekspansi berikutnya adalah kearah hilir dengan membangun pabrik baja long product untuk menghasilkan billet dan batang kawat.

5. Menyiapkan ekspansi ke hulu dengan mengupayakan perolehan KP bijih besi dan batubara.

Gambar 3. Proses Pembuatan Baja

Gambar 4. Master Plan Pabrik Besi Baja PTKS di Kalimantan Selatan

4. PENERAPAN EKOLOGI INDUSTRI BAJA PT. KRAKATAU STEEL

Memasuki era industri, yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk dan energi juga meningkat. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal pembangunan, industri besi baja yang akan dibangun PT. Krakatau Steel sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan.

Perencanaan pembangunan mega proyek ini perlu mengadopsi system ekologi industri yang sudah berhasil diterapkan di Negara-negara maju seperti industri di Kalundborg, Denmark. Ekologi industri tidak hanya membahas tentang masalah polusi dan lingkungan tetapi juga mempertimbangkan kesinambungan industri serta aspek ekonomi tetap diutamakan. Ekologi industri merupakan suatu sistem industri yang terpadu diantara industri-industri yang ada di dalamnya dan saling bersimbiosis secara mutualisme. Dalam sistem ini mengacu pada sistem ekologi di alam.

Ekologi industri menawarkan solusi untuk menciptakan pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya.

Gambar 5. Tipe Kawasan Industri

4.1. Ekologi Industri dan Berbagai Sistem Pendukungnya Pengembangan ekologi industri merupakan suatu usaha untuk membuat konsep baru dalam mempelajari dampak sistem industri pada lingkungan. Ekologi industri adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengelola aliran energi atau material sehingga diperoleh efisiensi yang tinggi dan menghasilkan sedikit polusi (Deni Swantomo,2007)

Tujuan utamanya adalah untuk mengorganisasi sistem industri sehingga diperoleh suatu jenis operasi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Strategi untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri ada empat elemen utama yaitu : mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada, membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses dematerialisasi dan pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbarukan.

A. Simbiosis Industri Simbiosis industri merupakan suatu bentuk kerja sama diantara industri-

industri yang berbeda. Bentuk kerja sama ini dapat meningkatkan keuntungan masing-masing industri dan pada akhirnya berdampak positif pada lingkungan. Dalam proses simbiosis ini limbah suatu industri diolah menjadi bahan baku industri lain. Proses simbiosis ini akan sangat efektif jika komponen- omponen industri tersebut tertata dalam suatu kawasan industri terpadu ( eco-industrial parks ). Beberapa karakteristik simbiosis industri yang efektif adalah sebagai berikut :

1. Industri anggota simbiosis ditempatkan dalam satu kawasan dan memiliki bidang produksi yang berbeda-beda.

2. Jarak antar industri dibuat dekat sehingga meningkatkan efisiensi tranportasi bahan.

3. Masing-masing industri membuat suatu kesepakatan bersama dengan berprinsip ekonomi yaitu saling menguntungkan.

4. Masing-masing industri harus dapat berkomunikasi dengan baik.

5. Tiap industri bertangung-jawab pada keselamatan lingkungan dalam kawasan tersebut.

Contoh simbiosis kawasan industri yang telah sukses dan terkenal adalah simbiosis industri di Kalundborg, Denmark (Deni Swantomo,2007). Simbiosis industri Kalundborg yang ditunjukan pada Gambar 6 terdiri dari enam industri yaitu Pusat Pembangkit Listrik Asnaer, Industri pemurnian minyak Statoil, Perusahaan bioteknologi Novo Nordisk, Industri kayu lapis Gyproc, Perusahaan remediasi tanah Bioteknisk Jordrens, dan pemukiman warga kota Kalundborg. Hasil yang telah diperoleh dari simbiosis industri Kalundborg yaitu :

1. Pengurangan konsumsi energi dan sumber daya air.

2. Peningkatan kualitas lingkungan karena emisi CO2 dan SO2 dapat dikurangi.

3. Limbah produksi seperti abu layang, sulfur, lumpur, dan gipsum dapat diolah menjadi

4. bahan baku produksi yang mempunyai nilai lebih.

5. Kota Kalundborg sebagai kota industri yang paling bersih.

6. Efisiensi penggunaan energi bahan bakar dapat mencapai 90 %.

Gambar 6. Kawasan Ekologi Industri di Kalundborg, Denmark

5. PEMILIHAN ALTERNATIF TEKNOLOGI

Pemilihan teknologi diawali dengan melakukan kajian teknis untuk membandingkan seluruh alternatif pengolahan bijih besi yang tersedia. Selanjutnya mempertimbangkan kesesuaian antara kebutuhan bahan baku dengan karakteristik bahan baku lokal, dipilihlah teknologi Direct Reduction-Rotary Kiln (DR-RK). Bahan baku utama proses Rotary Kiln terdiri dari bijih besi (iron ore), batubara (coal), dan batu kapur (limestone).

Bijih besi dapat berupa iron ore pellet, lump ore, maupun pasir besi. Batubara yang dapat digunakan sebagai reduktor pada proses Rotary Kiln bervariasi mulai dari jenis antrasit sampai lignite. Tiap jenis batu bara memerlukan adaptasi operasi Rotary Kiln terutama dalam hal rasio antara bijih besi dan jumlah reduktor yang dibutuhkan. Sedangkan batu kapur digunakan sebagai bahan aditif pada proses reduksi bijih besi di Rotary Kiln yang berfungsi sebagai penyerap senyawa belerang.

Teknologi ini dipilih karena relatif sederhana, fleksibel terhadap berbagai bentuk bijih besi, menggunakan batubara jenis non-coking coal, dan juga menghasilk.an off-gas yang dapat dimanfaatkan untuk membuat steam penggerak turbin listrik melalui waste Teknologi ini dipilih karena relatif sederhana, fleksibel terhadap berbagai bentuk bijih besi, menggunakan batubara jenis non-coking coal, dan juga menghasilk.an off-gas yang dapat dimanfaatkan untuk membuat steam penggerak turbin listrik melalui waste

- Bijih Besi

Waste heat

Recovery Electorstatic

Boiler Pricipator Rotary

Kiln

Chamber

Cooler Steam

Generator Magnetic

Separator LISTRIK

BESI SPONS

Waste Recovery System

Gambar 7. Skema Pabrik Rotary Kiln dengan system pembangkit Listrik

Kemudian Tailing dari usaha Pertambangan bijih besi, batubara dan industri baja ini menjadi pusat perhatian ketika pembuangannya dilakukan tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Lebih jauh lagi apabila tailing tersebut mengandung unsur-unsur berpotensi racun seperti arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd), sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dengan akibat yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan dan daur ulang tailing ; rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan pembuangannya; serta pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.

6. PROSPEK PENGEMBANGAN

Pabrik yang akan dibangun pada tahap pertama rotary kiln diperlengkapi dengan pembangkit listrik memanfaatkan gas buang (off-ga s) proses reduksi. Kapasitas yang akan dibangun pada tahap awal adalah 2 x 500 ton/hari atau setara dengan 300.000 ton/tahun (Irvan dan Hartono, 2008). Lahan yang akan digunakan pada tahap pertama tahun 2009 seluas 30 Ha. (hectare), tahap II tahun 2010 dilanjutkan perluasan 5 (lima) Ha. untuk membangun pabrik pig iron(smelter) dengan produksi 250.000 ton per tahun, Pada tahun 2011 perluasan 55 Ha. untuk peningkatan kapasitas produksi seperti pada tahap I dan II. Peningkatan 10 Ha terus berlanjut sampai tahun 2017, kemudian tahun 2021 perluasan 80 Ha dan tahun 2025 seluas 10 Ha. Sampai terwujud Cilego mini di Kalimantan Selatan (Banjarmasin Post, 10 Januari 2009).

Pada sebuah lokasi yang hanya mempunyai cadangan 3 juta ton sudah dapat dibangun pabrik Rota r y Kiln dengan kapasitas 350 ton/hari atau setara dengan 100.000 ton/tahun dengan pasokan bahan baku yang terjamin selama 15 tahun. Keterbatasan pasokan listrik dapat diatasi dengan pemanfaatan gas buang. Sebagai gambaran, setiap Rotary Kiln berkapasitas 100.000 ton/tahun mempunyai kemampuan untuk menghasilkan listrik sebesar 7 MW. Dengan kebutuhan internal untuk mengoperasikan Rotary Kiln hanya sebesar 1,5 MW, maka terdapat akses listrik sebesar 5,5 MW dapat digunakan untuk kepentingan industri hilir dan masyarakat di sekitar lokasi pabrik (Irvan dan Hartono, 2008).

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan Pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit

proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada

Pada awal pembangunan, industri besi baja yang akan dibangun PT. Krakatau Steel sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan.

Perencanaan pembangunan mega proyek ini perlu mengadopsi system ekologi industri yang sudah berhasil diterapkan di Negara-negara maju seperti industri di Kalundborg, Denmark. Ekologi industri tidak hanya membahas tentang masalah polusi dan lingkungan tetapi juga mempertimbangkan kesinambungan industri serta aspek ekonomi tetap diutamakan. Ekologi industri merupakan suatu sistem industri yang terpadu diantara industri-industri yang ada di dalamnya dan saling bersimbiosis secara mutualisme. Dalam sistem ini mengacu pada sistem ekologi di alam.

Tujuan utama dari sistem ekologi adalah untuk mengorganisasi sistem industri sehingga diperoleh suatu jenis operasi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Strategi untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri ada empat elemen utama yaitu : mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada, membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses dematerialisasi dan pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbarukan.

7.2. Saran Diperlukan perencanaan yang matang agar sistem ekologi dan simbiosis industri dapat berjalan serta penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan dan daur ulang tailing ; rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan pembuangannya; serta pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.

8. DAFTAR PUSTAKA

Banjarmasin Post, 10 Januari 2009, Halaman 2. Deni Swantomo, Maria Christina, P., Kartini Megasari, 2007. Kajian penerapan

ekologi industri di Indonesia, Yokyakarta: Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir.

Irvan Kamal H., Hartono. 2008. Pengembangan Pabrik Besi Baja Berbahan Baku lokal Oleh PT. Krakatau Steel (Persero). Bandung: Indonesian Process Metalurgy.

http://www.depperin.go.id Pramusant,dkk. 2008. Peningkatan Nilai Tambah Mineral besi di Indonesia.

Bandung: Indonesian Process Metalurgy. Prasad, 2009, Carbon Trading Potential in Indian Sponge Iron,

http://wwvv.spongeironindia.in/GodawarrY020Power.pdf (acessed 10-01- 2009)

Tim PIBB Kalimantan. 2007. Laporan Hasil Trial bahan baku Lokal. Yusuf, Haryono, A, 2005, Pemanfaatan Endapan Mineral (logam) Skala kecil,

Serpong: Prosiding Seminar Material Metalurgi.

BIAYA PERTAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA

1 Riswan 1 , Adip Mustofa

1 Staf Pengajar Teknik Pertambangan UNLAM Email: [email protected]

ABSTRAK

Batubara merupakan satu dari energi alternatif dari sektor pertambangan merupakan kegiataan usaha padat modal sehingga memerlukan penanaman modal, pertambangan batubara secara umum beberapa tahapan yang dilakukan seperti perijinan, penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi, pengolahan, pemurnian serta pengangkutan/penjualan dan reklamasi. Pada studi Kasus PT X akan diketahui contoh-contoh biaya pertambangan batubara yang mempunyai IUP dengan luas area 91 ha, direncanakan akan ditambang dengan tambang terbuka ( open pit mining ). Berdasarkan studi kelayakan SR cadangan yang tertambang 8,5 : 1. Jumlah batubara yang akan ditambang 657.383 ton dengan nilai kalori rata-rata 6998 kcak/kg, belerang < 1% dan kadar abu 15%. Dari desain tambang yang telah dibuat dapat diketahui bahwa pit potensial terdiri dari 1 pit yaitu pit A dengan panjang tambang searah jurus adalah 1000 meter dan lebar bukaan sekitar 100 meter. Besarnya biaya penambangan bergantung Stripping Ratio. Jumlah penerimaan dipengaruhi oleh Kualitas dan harga batubara dipasaran

Kata kunci: Batubara, Biaya Pertambangan, Harga Batubara

1. PENDAHULUAN

Batubara merupakan satu dari energi alternatif yang termasuk memiliki pertumbuhan yang pesat, baik dari segi produksi maupun konsumsi. Hal ini yang membuat industri batubara kian populer, terutama setelah kenaikan harga bahan bakar utama, yaitu minyak bumi. Selain penggunaanya yang lebih efisien, batubara juga tersedia dalam jumlah yang melimpah di dunia sehingga memberikan kemungkinan untuk dikonsumsi dalam jangka waktu panjang. Selama kurun waktu tahun 1997-2008, produksi dan konsumsi batubara dunia telah naik lebih dari 35%

( Asia Securities Industry Research - Sektor Batubara 2009 ), dengan kenaikan tertinggi terjadi di wilayah Asia Pasifik. Kegiatan usaha di Sektor Pertambangan merupakan kegiatan usaha padat modal dan padat teknologi yang sarat dengan berbagai resiko, mulai dari pencarian cadangan, eksplorasi, sampai pada kegiatan ekploitasi. Resiko yang dihadapi dalam dunia usaha pertambangan antara lain resiko geologi, resiko teknologi, resiko politik dan resiko kebijaksanaan serta memiliki dampak negatif yang dapat menurunkan kualitas lingkungan.

Tujuan investasi bagi para penanam modal adalah untuk mendapatkan return on investment yang wajar, sehingga segala kebijaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan baik langsung maupun tidak langsung akan sangat mempengaruhi perkembangan investasi pertambangan batubara di Indonesia.

Di samping itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang berhak atas kebijakan pertambangan seperti royalti dan pajak/iuran tambang harus mampu memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah.

Dalam usaha pertambangan batubara secara umum beberapa tahapan yang dilakukan seperti perijinan, penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan/penjualan.

Untuk melihat prospek cadangan batubara, dilakukan tinjauan teknis, kajian berdasarkan aspek keuangan dan keekonomian serta aspek lingkungan. Analisis ini dilakukan berdasarkan umur tambang dan rencana produksi.

Analisis keuangan dan keekonomian dapat dilakukan berdasaran konsep aliran kas disconto (discounted cash flow analysis) sebagai dasar analisis,komponen-komponen biaya capital, biaya produksi, tingkat produksi batubara dan perkiraan harga jual batubara, dimana operasi penambangan dapat dilakukan sendiri dengan peralatan sewa atau operasi penambangan diserahkan kepada kontraktor.

2. PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN

Wewenang yang diberikan pemerintah kepada badan hukum maupun perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan umum dikenal dengan istilah “Kuasa Pertambangan”. Adapun bentuk perizinan untuk melakukan investasi

disektor pertambangan umum antara lain melalui Kontrak Karya (KK), yaitu perjanjian antara investor, berbadan hukum Indonesia dengan Pemerintah untuk mengusahakan pertambangan bahan galian mineral dalam rangka Penanaman Modal Asing.

Sedangkan bentuk perizinan untuk pengusahaan batubara adalah melalui Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Bentuk perizinan lainnya yang diusahakan oleh investor swasta nasional kita kenal dengan sebutan Kuasa Pertambangan (KP) dan perizinan untuk mengusahakan bahan galian golongan C adalah Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pasal 36 : (1) IUP terdiri atas dua tahap:

a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;

b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. (2) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 42 (4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 47 IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 60 WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pasal 61 (1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hectare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Pasal 62 Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

Tabel 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2003 Tentang

Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral

No. JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN

1. Penerimaan dari Pelayanan Jasa Bidang Geologi dan Sumber Daya Mineral a)

Jasa Pelayanan Penelusuran Informasi serta Perhitungan dan Penetapan Koordinat batas Wilayah Pertambangan

1) Penelusuran informasi wilayah

Rp. 100.000,00 1) Perhitungan dan penetapan koordinat batas Per blok

Per 15 menit

Rp. 10.000.000,00 wilayah dan penerbitan peta

b) Jasa Pelayanan Pemberian Peta Informasi Wilayah Pertambangan dan/atau Peta Dokumen Perijinan

1) Peta informasi ukuran A0

Rp. 1.500.000,00 2) Peta informasi ukuran A1

Per penerbitan

Rp. 1.000.000,00 3) Peta informasi ukuran A3

Per penerbitan

Rp. 500.000,00 4) Peta untuk lampiran dokumen perijinan Per penerbitan

Per penerbitan

Rp. 1.000.000,00 (3 eksemplar) 5) Peta digital wilayah pertambangan

Rp. 2.000.000,00 c)

Per penerbitan

Jasa Kompilasi dan Evaluasi Data Wilayah Eks Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Ijin Penyelidikan Pendahuluan (SIPP) serta Jasa Kompensasi prioritasnya

No. JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN

Batubara (Kelas A)

Rp. 75.000.000 2) luas wilayah > 2.000 - 10.000 ha

1) luas wilayah ≤ 2.000 ha

Per permohonan

Rp. 50.000.000 3) luas wilayah > 10.000 - 50.000 ha

Per permohonan

Rp. 150.000.000 4) luas wilayah > 50.000 - 100.000 ha

Per permohonan

Rp. 200.000.000 5) luas wilayah > 100.000 ha

Per permohonan

Per permohonan

Rp. 250.000.000

Batubara (Kelas B)

Rp. 25.000.000 2) luas wilayah > 2.000 - 10.000 ha

1) luas wilayah ≤ 2.000 ha

Per permohonan

Rp. 50.000.000 3) luas wilayah > 10.000 - 50.000 ha

Per permohonan

Rp. 75.000.000 4) luas wilayah > 50.000 - 100.000 ha

Per permohonan

Rp. 100.000.000 5) luas wilayah > 100.000 ha

Per permohonan

Per permohonan

Rp. 150.000.000

2. Penerimaan dari Iuran Tetap/Landrent untuk Usaha Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

a)

Penyelidikan Umum

1. Tahun ke I

US$ 0.05 2. Tahun ke II

Per ha/tahun

US$ 0.10 b)

Per ha/tahun

Eksplorasi

1) Tahun ke I

US$ 0.20 2) Tahun ke II

Per ha/tahun

US$ 0.25 3) Tahun ke III

Per ha/tahun

US$ 0.30 4) Tahun ke IV

Per ha/tahun

US$ 0.50 5) Tahun ke V

Per ha/tahun

Per ha/tahun

US$ 0.70

c) Studi Kelayakan (Feasibility Study)

1) Tahun ke I

US$ 1.00 2) Tahun ke II

Per ha/tahun

Per ha/tahun

US$ 1.00

d) Konstruksi

1) Tahun ke I

US$ 1.00 2) Tahun ke II

Per ha/tahun

US$ 1.00 3) Tahun ke III

Per ha/tahun

US$ 1.00 e) Eksploitasi 1) Tahap ke I untuk endapan laterit dan endapan permukaan (surface deporsits) yang meluas

Per ha/tahun

US$ 2.00 lainnya

Per ha/tahun

2) Tahap ke II untuk endapan primer dan endapan

US$ 4.00 aluvial-aluvial

Per ha/tahun

3. Penerimaan dari Iuran Eksplorasi/Iuran Eksploitasi/Royalty untuk Usaha Pertambangan dalam rangka Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dengan jenis mineral/bahan galian

a) Batubara (Open Pit) dengan tingkat kalori

(Kkal/kg, airdried basis) 1) ≤5100

Per ton

3,00% dari harga jual

No. JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN

5,00% dari harga jual 3) > 6100

Per ton

7,00% dari harga jual b)

Per ton

Batubara (Underground) Tingkat Kalori (Kualitas): 5) ≤5100

2,00% dari harga jual 6) > 5100 - 6100

Per ton

4,00% dari harga jual 7) > 6100

Per ton

6,00% dari harga jual c)

3,00% dari harga jual

Dari table diatas dapat diperkiran jumlah biaya yang dikeluarkan pada tahap perizinan, namun karena rumitnya birokrasi dan lamanya pengurusan kadang-kadang ada biaya-biaya yang tak terduga seperti biaya pelicin (pungutan liar) yang dapat mencapai ± 20% dari biaya normal .

Adapun besarnya bagi hasil penerimaan pertambangan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

Iuran Tetap/Landrent : Pusat 20%, Provinsi 16% dan Kabupaten/Kota 64%.

Iuran Produksi/Royalty : Pusat 20%, Provinsi 16%, Kabupaten/Kota penghasil 32% dan Pemerataan Kabupaten/Kota 32%.

3. PENYELIDIKAN UMUM

Penyelidikan umum ini dilakukan untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian (potensi mineral). Kegiatan yang dilakukan meliputi penyelidikan geologi, geofisika, dan geokimia di daratan, perairan dan dari udara.

4. EKSPLORASI

Penyelidikan melalui tahapan eksplorasi ini dimaksudkan untuk membuktikan atau memastikan adanya endapan mineral dan sifat-sifatnya. Kegiatan yang dilakukan selama eksplorasi ini lebih rinci lagi yaitu lanjutan pengukuran/pemetaan, geo kimia, geofisika dan penggalian parit uji, pemboran serta analisis contoh/sample batuan.

Tabel 2. Jasa Teknologi Penyelidikan Umum dan Eksplorasi

1. Jasa Teknologi Konsultasi Eksplorasi Mineral, Batubara, Panas Bumi dan Konservasi

a. Penyelidikan / Eksplorasi 2 1) Penyelidikan umum skala 1 : 100.000 s/d 1 : 250.000 Per km Rp 150.000,00

2 2) Eksplorasi Pendahuluan, skala 1 : 50.000 s/d 1: 100.000 Per km Rp 400.000,00 2 3) Eksplorasi Rinci, skala < 1 : 50.000 Per km Rp1.000.000,00

b. Pemboran ( Biaya Pengintian) 1) Mineral Logam

Rp 400.000,00 2) Batubara Mineral Non Logam

Per meter

Per meter

Rp1.000.000,00

2. Jasa Perbantuan Tenaga Ahli

a.Senior Geologist/Geophysist Per orang hari Rp 300.000,00 b. JuniorGeologist/Geophysist

Per orang hari Rp 200.000,00 c. Surveyor

Per orang hari Rp 175.000,00 d. Operator Mekanik

Per orang hari Rp 150.000,00 e. Senior Drilling

Per orang hari Rp 175.000,00 f. Junior Drilling

Per orang hari Rp 150.000,00

*Sumber PP No.45 Tahun 2003

5. KAJI KELAYAKAN

Pengkajian atau evaluasi ini untuk mengkaji secara teknis dan ekonomis atas suatu endapan bahan galian, apakah layak/ tidak untuk ditambang. Kegiatan yang dilakukan antara lain perencanaan teknik penambangan, pengolahan/ pemurnian dan pengangkutan, perencanaan insfrastruktur, fasilitas sosial, studi pemasaran dan analisis keuangan. Biaya yang dipersiapkan untuk studi kelayakan ± 500 jt ( relative )

Tabel 3. Rencana Biaya Studi Kelayakan

No.

Alokasi Biaya

Nilai %

1 Operasional Tenaga Ahli

2 Operasional Survey, Laboratorium dan Analisa Data

3 Operasional Penyusunan Laporan

4 Operasional Pelaksanaan Sidang dan Rapat

5 Operasional Perbaikan dan Penyelesaian Laporan Akhir

6 Biaya Opersional Takterduga

Jumlah

Tabel 4. Analisa Sample

Analisa Batubara

a) Preparasi Sampel Preparation

Rp 27.500,00 b) Proksimat/Proximate Analysis (1) Air Lembab/ Air Dried Moisture (ASTM D. 3173/BS

Per sampel

Rp 50.000,00 (2) Abu/Ash (ASTM D. 3174/BS 1016 Part 3 73)

Per sampel

Rp 10.000,00 (3)Zat Terbang/Volatile Matter (ASTM D.3175/BS 1016 Part3/73)

Per sampel

Rp 15.000,00 (4)Carbon Padat / Fixed Carbon (Dengan Perhitungan/By Difference)

Per sampel

Rp 25.000,00 c) Analisa Ultimat/Ultimate Analysis (1) Carbon Total/Total Carbon (ASTM D.3178)

Per sampel

Rp 280.000,00 (2) Hydrogen Total/Total Hydrogen (ASTM D.3178)

Per sampel

Rp 70.000,00 (3) Nitrogen/Nitrogen (BS 1016 Part 677)

Per sampel

Rp 70.000,00 (4) Belerang Toatal/Sulfur Total (ASTM D.3177/BS 1015 Part 677)

Per sampel

Rp 70.000,00 (5) Oksigen/Oxygen (Dengan Perhitungan/By Difference) Per sampel

Per sampel

Rp 70.000,00 d) Nilai Kalor / Calorivic Value (ASTM D.3286 atau D.2015)

Rp 50.000,00 e) Bentuk Belerang/Form of Sulfur (1) Belerang Sulfat/Sulphate Sulphur

Per sampel

Rp 120.000,00 (2) Belerang Pirit/Pyritic Sulphur (ASTM D 2492/BS 1016

Per sampel

Rp 50.000,00 (3) Belerang Organik / Organic Sulphur (Dengan Perhitungan/By Difference)

Part 11 77)

Per sampel

Rp 70.000,00 f) Khlor/Chiorine (BS 1016 Part 8 77)

Per sampel

Rp 75.000,00 g) Carbon Dioksida/Carbon Dioxide (BS 1016 Part 6 77)

Per sampel

Rp 70.000,00 h) Sifat Ketergerusan / Hardgrove Grindability Index (ASTM D.409)

Per sampel

Rp 70.000,00 i)Nilai Muai Bebas / Free Sweelling Index (ASTM D.720)

Per sampel

Rp 20.000,00 j)Berat Jenis sesungguhnya / true Specific Gravity)

Per sampel

Rp 15.000,00 k)Relative Density

Per sampel

Rp 15.000,00 l) Bulk Density

Per sampel

Rp 20.000,00 m) pH

Per sampel

Rp 10.000,00 c) Petrografi Batubara (1) Analisa Maseral

Per sampel

Rp 200.000,00 (2) Pengukuran Reflektan

Per sampel

Rp 100.000,00 (3)Analisa Titik Leleh Abu Batubara

Per sampel

Per sampel

Rp 200.000,00

*Sumber PP No.45 Tahun 2003

6. KAJI AMDAL (ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN)

Kajian lingkungan ini bahagian kaji kelayakan (feasibility study) khusus untuk mengkaji dan mengamati keadaan fisik-kimia, biologi dan sosial dan ekonomi budaya suatu wilayah yang diperkirakan terkena dampak kegiatan usaha pertambangan yang direncanakan. Termasuk dalam kajian AMDAL ini adalah

Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Biaya yang dipersiapkan ± 300 jt ( relative )

Tabel 5. Rencana Biaya Mengenai Analisis Dampak Lingkungan

No.

Alokasi Biaya

Nilai %

1 Operasional Tenaga Ahli

2 Operasional survey, Laboratorium dan Analisa Data

3 Operasional Penyusunan Laporan AMDAL

4 Operasional Pelaksanaan Sidang dan Rapat Komisi AMDAL

5 Operasional Perbaikan dan Penyelesaian Laporan Akhir

6 Biaya Opersional Takterduga

Tahapan usaha ini dimaksudkan untuk persiapan ekploitasi/ produksi meliputi pekerjaan pembebasan lahan, penyiapan peralatan, pembangunan infrastruktur, pengupasan tanah penutup, pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian dan tempat penimbunan.

8. EKSPLOITASI

Eksploitasi merupakan tahapan usaha pertambangan usaha yang dimaksudkan untuk menghasilkan/ produksi batubara dan memanfaatkannya.

9. PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN

Tahapan pengolahan dan pemurnian ini dimaksudkan untuk mempertinggi mutu batubara dan memanfaatkannya.

10. PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN

Tahapan ini merupakan usaha pemindahan dan penjualan bahan galian ini dari hasil tempat pengolahan/ pemurnian atau dari daerah eksplorasi untuk dijual kepasaran (konsumen).

Economic Review ● No. 214 ● Desember 2008

Gambar 1. Perkembangan dan Proyeksi Harga Batubara Dunia

11. REKLAMASI

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat usaha, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukkannya.

dandilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan darikegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang,pengaturan drainase, dan tataguna lahan pascatambang.

Secara umum

yang

harus

diperhatikan

Tabel 6. Rencana Biaya Reklamsi

No.

Alokasi Biaya

Nilai %

1 Rekontruksi Tanah

3 Penanganan Potensi Air Asam Tambang

4 Pengaturan Drainase

Jumlah

12. STUDI KASUS PADA PT. X

PT. X mempunyai IUP dengan luas area 91 ha, direncanakan akan ditambang dengan tambang terbuka ( open pit mining ). Berdasarkan studi kelayakan SR cadangan yang tertambang 8,5 : 1. Jumlah batubara yang akan ditambang 657.383 ton dengan nilai kalori rata-rata 6998kcak/kg, belerang < 1% dan kadar abu 15%. Dari desai tambang yang telah dibuat dapat diketahui bahwa pit potensial terdiri dari

1 pit yaitu pit A dengan panjang tambang searah jurus adalah 1000 meter dan lebar bukaan sekitar 100 meter. Dalam kegiatan penambangannya dibagi menjadi 2 blok dengan panjang masing-masing blok 500 meter.

Tabel. 7. Rencana Produksi Pertahun Produksi

SR Tahun

Lokasi

Batubara

Tanah Penutup (bcm) (bcm/ton)

Waktu kerja operasi penambangan yang mencakup kegiatan penggalian, pemuatan dan pengangkutan direncanakan 2 shift/hari, dan 8 jam/shift. Jam kerja effektif per tahun sebagai berikut:.

Tabel. 8. Rencana Jam Kerja Pertahun

JAM KERJA

SATUAN

SATUAN

Jumlah hari/tahun 365 hari -Hari Minggu

52 -Hari Libur Nasional

Jumlah kalender kerja/tahun 299 hari

Shift/hari

2 Jam kerja/shift

Total jam kelender/tahun 4.784 Jam

Kehilangan jam kerja yang derencanakan -Istirahat makan

Jam/hari 224,25 Jam -Pertukaran shift

74,75 Jam -Persiapan

Jam/hari

52 Jam -Shalat Jum'at

Jam/hari

1 Jam/tahun 425,75 Jam

Total Kehilangan Jam Kerja

4358 Jam

Direncanakan Jumlah jam kerja yang tidak

Jam

direncanakan

Kehilangan jam kerja yang derencanakan Jam -Faktor hujan

653,7 Jam -Lain - lain

Jam Kerja efektif

3.486 Ketersediaan mekanis

Jam kerja alat efektif/tahun

3.138 Jam

Penambangan akan dilakukan sendiri dengan kondisi sebagai berikut:

1) Pengadaan peralatan tambang utama, dengan sistem sewa 1 jam termasuk biaya bahan bakar

2) Perawatan dan penggantian peralatan tambang utama dilakukan oleh pihak pemilik alat

3) Investasi dilakukan pada beberapa peralatan dan fasilitas penunjang

4) Peke jaan di crushing plant diserabkan pada pihak kontraktor.

5) TransportasiIHauling baiubara tambang menuju crushing plan dan pelabuhan di kontrakan

6) Penanganan batubara di pelabuhan sampai ke dalam tongkang di kontrakan Apabila akan dilakukan penambangan sendiri maka total investasi untuk

keseluruhan aktivitas penambangan selama 2 tahun adalah sebesar US$ 770.651. Perincian biaya proyek hingga tahun ke -2 dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Perkiraan Pembiayaan Proyek Tahun 0-1(US$)