Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang Sebagai Reservoar Air

Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang Sebagai Reservoar Air

Isna Syauqiah 1

1 Tenaga Pengajar, Prodi Teknik Kimia, FT, Unlam iissnnaa_tk_ftunlam@yahoo.com

ABSTRAK

Banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang ditinggalkan begitu saja oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang dinginkan sudah berkurang, mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar, berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang yang ditinggalkan atau penambang harus memikirkan juga dampak yang dihasilkan sebelum melakukan proses penambangan yaitu harus direncanakan bagaimana penutupan dan penyelesaian tambang supaya tidak berdampak buruk pada lingkungan setelah ditinggalkan. Sehingga perlu dilakukan suatu tinjauan untuk pengelolaan lubang bekas tambang tersebut sebagai reservoir air diantaranya dengan melakukan (1) studi kelayakan pendahuluan; (2) studi kelayakan; (3) perencanaan teknis; (4) pelaksanaan pembangunan.

Kata kunci: lubang bekas tambang, kerusakan lingkungan, studi kelayakan

1. PENDAHULUAN

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memberikan pengaruh pada pola tingkah laku manusia. Bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, terjadi pula pergeseran nilai-nilai, terutama nilai interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya. Tingkah laku yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut memberikan tekanan yang semakin kuat kepada daya dukung lingkungan. Semula manusia hanya mengambil dari alam sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang masih sederhana dari lingkungan yang ditempatinya. Namun, dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi teknologi digunakan sebagai sarana yang efektif untuk memenuhi bahkan memuaskan keinginan-keinginan manusia.

Prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan memang telah diterima sebagai suatu prinsip pembangunan nasional, dengan berbagai peraturan pelaksanaannya. Namun, dalam prakteknya mekanisme yang ditetapkan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Isu tentang ditinggalkannya suatu lahan setelah sumberdayanya habis dikuras yang mengakibatkan pencemaran sering kita jumpai di media massa akibat dan dampak dari suatu kegiatan.

Penambangan merupakan kegiatan yang paling tua didunia dan merupakan kegiatan yang penting setelah pertanian. Menurut sejarah, kegiatan penambangan sangat kuat dalam memberi kontribusi yang signifikan pada peradaban dunia. Namun, semua manfaat tersebut harus dibayar dengan adanya dampak negative yang diterima lingkungan, terhadap kesehatan, keamanan pekerja tambang dan akibat yang diberikan oleh aktivitas pertambangan lainnya seperti penurunan permukaan tanah, terganggunya system pengairan, sedimentasi sungai, polusi air dan udara dan masalah lingkungan lainnya. Sebagai akibat dari meningkatnya kesadaran masyarakat atas biaya dan tantangan pembangunan berkelanjutan, masyarakat diseluruh dunia semakin mengharapkan industry pertambangan untuk menerapkan standar yang lebih tinggi dari lingkungan, keselamatan dan manajemen masyarakat untuk semua proyek melalui penerapan teknologi modern dan alat-alat manajemen (Blinker, 1999)

Sistem penambangan yang dilakukan di Kalimantan Selatan adalah menggunakan system terbuka, yaitu dengan cara mengupas permukaan tanah, kemudian dilanjutkan dengan penggalian bahan-bahan. Ironisnya setelah selesai penambangan, lapisan atas tanah tidak dikembalikan lagi ketempat asalnya. Secara fisik keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, yaitu berupa lubang-lubang besar mirip danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian seperti bukit- bukit kecil tak beraturan.

Pada saat ini hampir seluruh fungsi sungai tidak sesuai lagi dengan peruntukkannya. Air sungai keruh berwarna kuning kecoklatan serta dimusim hujan dapat menyebabkan terjadinya banjir. Limbah yang keluar dari galian penambangan tersebut bahkan sangat meresahkan masyarakat yang mata pencahariannya sebagai petani dan pemilik keramba.

Lubang bekas penambangan selanjutnya ditinggalkan begitu saja tanpa direklamasi. Tiap hari ratusan ton limbah pendulangan juga dibuang ke sungai yang mengakibatkan beberapa sungai menjadi hilang. Ratusan dan bahkan ribuan hektar persawahan di Kecamatan Cempaka kini telah hancur dan siap menjadi penyumbang bencana ekologi (Banjarmasin Post, 2004). Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kota Banjarbaru menyebutkan bahwa kegiatan penambangan rakyat di wilayah administrasi Kota Banjarbaru telah berlangsung lama dan jumlahnya mencapai lebih dari 2000 buah alat tambang yang digunakan (Pemkot Banjarbaru, 2001).

Sadar akan keadaan itu semua, upaya-upaya yang mengarah pada penyelamatan lingkungan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup mutlak dilakukan. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan harus didasarkan pada norma hukum. Upaya ini harus didukung perangkat hukum yang memadai serta dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat serta aparat.

Terdapat banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang ditinggalkan begitu saja oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang diinginkan sudah berkurang, mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar, berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang Terdapat banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang ditinggalkan begitu saja oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang diinginkan sudah berkurang, mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar, berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang

2. TUJUAN

Melakukan tinjauan terhadap lubang bekas galian tambang untuk digunakan sebagai reservoir air.

3. TINJAUAN TEORITIS

3.1. Dampak Pasca Tambang Kegiatan penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta biologi

tanah maupun air, melalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian serta pembuangan tailing. Di lokasi tambang terbuka misalnya, kegiatan penambangan mengakibatkan hilangnya atau berpindahnya tanah, sedangkan di lokasi pembuangan tailing adalah tertimbunnya tanah asli dengan tailing, yang berakibat sifat tanah asli/semula berubah menjadi sifat tanah tailing (Rahmi, 1995).

Sistem penambangan rakyat pada umumnya adalah menggunakan system “dumping”, yaitu suatu cara penambangan dengan mengupas tanah permukaan yang

kemudian dilanjutkan dengan penggalian, namun setelah selesai penambangan, lapisan tanah atas ( top soil ) tidak dikembalikan ke tempat asalnya. Secara fisik, keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, berupa lubang-lubang besar mirip seperti danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian, seperti bukit- kemudian dilanjutkan dengan penggalian, namun setelah selesai penambangan, lapisan tanah atas ( top soil ) tidak dikembalikan ke tempat asalnya. Secara fisik, keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, berupa lubang-lubang besar mirip seperti danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian, seperti bukit-

Penambangan rakyat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor karena hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembongkaran lahan secara besar-besaran juga menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam (morfologi dan topografi), yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasan, penimbunan tanah penutup dari penggalian sumber daya alam menimbulkan perubahan pada drainase, debit air sungai dan kualitas permukaan pada saat hujan. Menurut Rahmi (1995), aspek tersebut adalah:

a. Aspek Hidrologi Pada musim hujan mata air keluar dibanyak tempat pada lembah-lembah di kaki bukit, tetapi pada musim kemarau sebagian besar dari mata air tersebut kering karena disepanjang bukit sebagian besar sudah gundul. Pada beberapa lembah yang agak dalam dan datar sering ditemukan rawa atau genangan air yang cukup besar terutama di musim hujan. Genangan-genangan tersebut mempunyai kenampakan air yang bermacam-macam, dengan warna coklat karena keruh, warna hijau kebiruan sampai warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di dalam kolam-kolam tersebut juga beragam.

b. Aspek Geologi Tumpukan batuan penutup ( overburden ) yang dibiarkan tertumpuk secara tidak teratur sekitar bukaan tambang menghasilkan bukit-bukit kecil dan lubang-lubang. Demikian juga bekas bukaan yang tidak ditutup kembali juga akan menghasilkan lubang yang akan terisi oleh air hujan. Kenyataan di lapangan yang banyak terdapat kolam berisi air hujan, mengindikasikan bahwa timbunan tanah bekas galian bersifat kedap air, resapan air hujan hujan untuk membentuk system air tanah sangat kecil.

c. Erosi Tanah Erosi tanah bersifat permanen dan merupakan salah satu dampak utama dari aktivitas penambangan. Erosi tanah menimbulkan dampak lanjutan yaitu menurunnya kesuburan tanah di lahan terbuka sekitar lubang tambang dan sedimentasi sungai. Sedimen hasil erosi tanah diangkut oleh aliran air larian (r unoff ) masuk ke dalam sungai di ujung tekuk lereng dalam daerah tangkapan ( catchment area ).

d. Longsoran Tanah Longsoran overburden dan waste rock dapat menimbulkan dampak lanjutan berupa sedimentasi sungai. Karena jumlah overburden dan waste rock cukup banyak. Hal ini berdampak negative terhadap lingkungan yang bersifat permanen.

e. Sedimentasi Sungai Sedimentasi dari longsoran dan erosi tanah dapat terbawa oleh air larian yang masuk ke dalam sungai. Meskipun longsoran dan erosi tanah merupakan dampak yang signifikan, tetapi sedimentasi belum tentu mempunyai dampak yang signifikan. Sedimentasi sungai selain ditentukan oleh jumlah sedimen yang masuk ke sungai, tetapi juga ditentukan oleh factor-faktor hidrologi sungai seperti kecepatan arus, pola arus sungai, kelandaian dasar sungai dan morfologi dasar sungai.

f. Gangguan Estetika Lahan Kegiatan pertambangan pada umumnya dilakukan dengan penambangan terbuka. Lokasi kegiatannya berderet-deret di daerah perbukitan yang memberikan pemandangan deretan lahan terbuka berwarna coklat, kontras dengan daerah bervegetasi yang berwarna hijau. Perubahan bentuk lahan dan kerusakan lahannya nampak jelas dari kejauhan yang terlihat jelas karena letaknya yang cukup tinggi. Hal ini akan menimbulkan gangguan terhadap estetika lahan yang harmonis.

g. Pencemaran Air Pencemaran air baik terhadap air permukaan maupun air tanah dapat terjadi karena adanya air lindian ( leachate ) dari timbunan limbah, serta dari air genangan di lubang tambang dan pencemaran pada badan sungai ini akan mempengaruhi kualitas air.

3.2. Kewajiban Rehabilitasi Lahan Kewajiban untuk memulihkan lingkungan yang tercemar akibat kegiatan

pertambangan dan mengembalikan dalam konteks rehabiltasi adalah usaha yang hukumnya wajib bagi kegiatan/usaha pertambangan pada saat kegiatan pertambangan tersebut berakhir. Menurut Setyo (2002) rehabilitasi tidak dimaksudkan mengembalikan deposit mineral yang ditambang, tetapi suatu kegiatan dalam usaha mengembalikan rona lingkungan fisik (terutama pada bentang lahan yang dirusak). Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis ataupun difungsikan menurut rencana peruntukkan dengan melihat konsep ruang dan kewilayahan secara ekologis. Selain itu kewajiban lainnya adalah untuk melakukan pemantauan dari lahan pasca tambang termasuk pada system pengelolaan B3, yang potensi dampaknya akan muncul dan terukur dalam jangka waktu yang panjang.

Dengan demikian pertanyaannya adalah, bagaimana hal ini diatur dan disepakati dalam rambu-rambu hukum yang pasti, dengan tanpa mengingkari prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Misalnya, berapa lamakah kewajiban untuk melakukan pengelolaan pasca tambang dan siapa yang harus membiayai dan melakukan pengawasannya. Setyo (2002) menjelaskan, mining closure siapa yang

membuat dan apakah sudah diperbincangkan dan disosialisasikan pada “public”? Nampak hal inilah yang harus diformulasikan dengan sekaligus menjawab persoalan otonomi, transparansi pengelolaan dan tanggung jawab hokum pada public dan masyarakat terutama masyarakat tambang.

Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyai dimensi ekonomi dan social yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada masyarakat dengan pemerintah dan juga dengan usaha pertambangan. Oleh karenanya, menurut Setyo (2002) pengelolaan pasca tambang bukan semata persoalan fisik, tetapi lebih dari itu, pada persoalan political will pemerintah untuk meregulasi secara benar dengan menganut kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya dengan mengedepankan kepentingan masyarakat local dan mengacu pada falsafah ekonomi dan social serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.

3.3. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi

/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.

Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Disamping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan.

3.4. Rekonstruksi Tanah Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi

lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali ( back filling ) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya system aliran air ( drainage ) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah ( sub- soil ) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk.

Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan lereng, diperuntukkan juga bagi penempatan tanaman revegetasi.

3.5. Revegetasi Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah

pucuk dan bahan organic serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Secara ekologi, spesies tanaman local dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaftif untuk daerah tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut.

Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002).

3.6. Penanganan Potensi Air Asam Tambang Pembentukan air asam tambang cenderung intensif terjadi pada daerah

penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas.

Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfide ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah.

Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani untuk mencegah dampak negative terhadap lingkungan. Air asam diolah pada instalasi pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman untuk dibuang ke badan air. Penanganan dapat dilakukan juga dengan bahan penetral, biasanya menggunakan batugamping, dengan mengalirkan air asam ke bahan penetral untuk menurunkan tingkat keasaman (Suprapto, 2006).

3.7. Pengaturan Drainase Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk

menghindari efek pelarutan sulfide logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.

Arah aliran yang tidak terhindarkan harus melewati zona mengandung sulfida logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeable. Hal ini untuk menghindari pelarutan sulfide logam yang potensial menghasilkan air asam tambang.

3.8. Bendungan/Waduk sebagai Reservoar Air Sebagai upaya menjaga kelestarian air maka berbagai usaha telah dilakukan

baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Upaya non fisik diantaranya pembuatan peta potensi catchmen area, mengatur penggunaan DAS, pembuatan master plan pengendalian banjir dan mekanisme perijinan alih fungsi lahan yang ketat. Upaya fisik diantaranya pembangunan reservoir air berupa bendungan dan waduk yang diharapkan dapat menampung laju air sungai sehingga dapat meresap ke dalam tanah serta berfungsi sebagai pengendali banjir di daerah hilir.

Pada dasarnya bendungan adalah konstruksi bangunan yang digunakan untuk menampung air. Hasil tampungan air berupa genangan tersebut yang dinamakan waduk. Jadi bendungan dan waduk merupakan satu kesatuan system yang berhubungan. Di Indonesia, keberadaan waduk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dalam bidang pertanian, energy, supply air baku, pariwisata dan pengendalian banjir. Di sisi lain keberadaan waduk dapat merugikan manusia terutama bagi mereka yang terkena dampak relokasi.

Waduk atau danau buatan yang besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari

15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang dari 15 m. Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya pada umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/outflow dan waktu tinggal air diketahui dengan pasti.

Pengelolaan sumber daya air di dalam waduk/bendungan tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang terdiri dari 3 komponen yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP No 51 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, PP No 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian pencemaran Air, PP

No 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, serta Keppres No 123 Tahun 2001 tentang koordinasi Pengelolaan sumber Daya Air pada tingkat propinsi, wilayah sungai, kabupaten dan kota. Berbagai produk hukum tersebut dapat dijadikan dasar hukum dalam upaya konservasi air untuk kehidupan. Namun pada kenyataannya konservasi sumberdaya air masih jauh dari harapan malah semakin rusak baik kualitas maupun kuantitasnya. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air waduk/bendungan antara lain :

 Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS waduk yaitu setiap instansi lebih mementingkan ego sektoralnya daripada upaya konservasinya.

 Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air waduk sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

 Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah tempat berlokasinya waduk untuk melakukan konservasi.

 Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan konservasi.

 Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan, untuk melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS atau penduduk di

sekitar waduk. Adapun manfaat dari keberadaan waduk/bendungan adalah sebagai berikut :

a) Penyediaan air baku penduduk Keberadaan bendungan/waduk dapat dijadikan cadangan ketersediaan air bagi penduduk ketika musim kemarau telah tiba.

b) Suplay air irigasi daerah persawahan. Lahan pertanian membutuhkan air secara terus menerus. Ketersediaan air yang melimpah menjadikan tanaman dapat supply air dan tidak hanya mengandalkan dari datangnya hujan.

c) Pengendalian banjir. Melalui bendungan maka laju air dapat dikendalikan sebagai upaya pengendalian banjir di hilir bendungan.

d) Pengembangan pariwisata. Keberadaan bendungan/waduk sangat berpotensi dalam pengembangan pariwisata yang berujung pada peningkatan Pendapatan Asli daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

e) Suplay air untuk kegiatan industri. Kegiatan industri membutuhkan air baku yang relatif banyak. Oleh karena itu dapat merangsang investor untuk mendirikan industri.

Adapun permasalahan-permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan bendungan/waduk adalah sebagai berikut :

a) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan komunitas setempat. Kondisi seperti ini berlaku pada area rencana waduk yang terdapat penduduk di dalamnya. Permasalahan yang sering terjadi adalah masyarakat setempat harus direlokasi dan terancam kehilangan tempat tinggal, tanah dan keberlangsungan hidup termasuk mata pencaharian.

b) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan habitat berbagai jenis hewan. Hutan, lahan basah, dan habitat lain dibanjiri air. Waduk juga dapat memisahkan habitat hewan dan menghalangi rute migrasi.

c) Keberadaan waduk/bendungan dapat menciptakan permasalahan kesehatan. Berbagai penyakit seperti malaria akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah nyamuk.

d) Bendungan/waduk dapat membunuh ikan. Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ikan di sungai.

e) Hasil panen berkurang

Waduk akan membanjiri lahan pertanian di sekitar sungai atau pinggiran sungai.

f) Waduk sebagai salah satu faktor penyebab cuaca buruk bagi daerah sekitarnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2009) terdapat korelasi antara keberadaan bendungan/waduk dengan tingkat curah hujan. Waduk dapat meningkatkan proses penguapan yang kemudian meningkatkan kadar kelembapan f) Waduk sebagai salah satu faktor penyebab cuaca buruk bagi daerah sekitarnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2009) terdapat korelasi antara keberadaan bendungan/waduk dengan tingkat curah hujan. Waduk dapat meningkatkan proses penguapan yang kemudian meningkatkan kadar kelembapan

4. PENUTUP

Manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungan, karena segala sesuatu kebutuhan hidupnya tersedia dan diambil dari lingkungan. Dan untuk pemenuhan kebutuhannya manusia akan melakukan eksploitasi terhadap lingkungannya, yang mana eksploitasi ini dapat berdampak positif maupun negatif. Untuk pemerintah dampak positifnya berupa bertambahnya pemasukan berupa pendapatan daerah, sedangkan bagi masyarakat, penambangan dapat memberikan lapangan pekerjaan kemudian dampak negatifnya terhadap lingkungan yaitu tanah-tanah ataupun bukit-bukit yang mengandung sumber daya alam akan terkeruk, terkupas dan tersedot yang berakibat membentuk sumur. Untuk itu maka diperlukan suatu pengelolaan terhadap lubang/sumur belaks tambang tersebut diantaranya dengan memanfaatkannya sebagai reservoir air yang mana untuk hal tersebut perlu dilakukan (1) Studi kelayakan pendahuluan; (2) Studi kelayakan; (3) Perencanaan teknis; (4) Pelaksanaan pembangunan.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anonymous.1994. Proper Prokasih, the Indonesian River Care Programme. ESCAP Virtual Conference, Integrating Environmentl Consideration into Economic Policy Making Processess . http://www.escap.org. Diakses 9 Oktober 2009.

As’ad. 2005. Tesis. Pengelolaan Lingkungan Pada Penambangan Rakyat . Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro.

Blinker, L.R. (Ed.), 1999. Mining and the natural environment: an overview . UNCTAD 6, pp. 6 –8

IJHD, 2000. Dams, water and Energy - A statistical profile. Khrisnamurthy, K.V.2004. Environmental of coal in India. Proceeding of

International Seminar on environmental engeenering with special emphasis on mining environment .NSEEME-2004, 19-20 March 19-20, March 2004; Eds. Indra N. Sinha, Mrinal K. Ghose & Gurdeep Singh.

Pond, G.J, M.E. Passmore, F.A. Borsuk, L, Reynolds and C.J. Roses. 2008. Downstream effects of mountaintop coal mining: comparing biological conditions using family- and genus-level macroinvertebrate bioassessment tools . J.N.A..Benthol. Soc.2008. 27(3)717-737

Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan

Chandrawidjaja, R. 2010. Pengembangan Sumberdaya Air . Universitas Lambung Mangkurat Press.

Suprapto, S.J., 2006. Pemanfaatan dan Permasalahan Endapan Mineral Sulfida

pada Kegiatan Pertambangan . Buletin Sumber Daya Geologi. Vol. 1 No.2 The World Commision on Dams, 2000. Dams and Development.