Menata Demokrasi dan Rule of Law Menuju Masyarakat Berkeadilan

1 Menata Demokrasi dan Rule of Law Menuju Masyarakat Berkeadilan

Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu “negara demokrasi baru” (new emerging democracy). Para ahli politik dan ketatanegaraan berpendapat

bahwa setelah melewati transisi demokrasi pada tahun 1999 dan berhasil melaksananakan pemilu secara damai pada tahun 2004 dan 2009, maka Indonesia layak disebut negara demokrasi baru yang telah memasuki level demokrasi yang terkonsolidasi. Namun demikian, sebagian ahli politik dan ketatanegaraan juga berpandangan bahwa demokrasi yang dijalani Indonesia baru sebatas demokrasi prosedural, belum substansial. Demokrasi prosedural yang dimaksud adalah demokrasi yang terjadi baru sebatas melewati tahapan pemilu secara prosedural, belum masuk pada tingkat demokrasi substansial yang melahirkan pemimpin yang mampu mengelola permasalahan public affair dengan baik dan berhasil mendistribusikan kekayaan negara secara lebih merata. Di samping itu, demokrasi Indonesia juga belum melahirkan tradisi “rule of law” yang baik. Demokrasi Indonesia masih menyisakan agenda reformasi peradilan yang terseok-seok. Oleh karena itulah isu menata kembali demokrasi dan bagaimana memperkuat tradisi “rule of law” merupakan isu yang krusial untuk didiskusikan dan diteliti lebih lanjut.

Di samping masalah yang terkait dengan hasil demokrasi secara substantif sebagaimana disebutkan di atas, negara demokrasi baru juga dihinggapi beberapa masalah mendasar, yaitu, pertama, negara demokrasi baru punya masalah dengan bagaimana melembagakan nilai-nilai demokrasi melalui hukum, sementara sebagian besar hukum yang ada masih merupakan produk rezim lama yang otoriter. Kedua, dalam transformasi menuju demokrasi, negara demokrasi baru juga harus melembagakan nilai- nilai demokrasi ke dalam bentuk mekanisme aktual demokrasi di lembaga- lembaga negara, lembaga civil society dan lembaga-lembaga bisnis. Ketiga, negara demokrasi baru lazimnya mengalami sindrom tidak independen dan kurangnya integritas institusi peradilan karena institusi peradilan telah lama menjadi alat kekuasaan (Asshiddiqie, 2005: 10-11). Oleh karena itu, kajian- kajian terkait dengan evaluasi pencapaian transisi demokrasi di Indonesia menarik terus dipertajam agar perjalanan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar dapat dikawal dan dikembangkan terus menuju demokrasi Indonesia yang matang (mature democracy).

Proses konsolidasi demokrasi dapat juga harus dilihat dari sisi penegakan “rule of law” sebuah negara. Oleh karena itu institusi-institusi

hukum harus menjadi bagian penting dari proses demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa ”rule of law”. Demokrasi tanpa hukum hanya melahirkan anarki dan sebaliknya penegakan hukum tanpa demokrasi hanya melahirkan tirani. Di tingkat ini, evaluasi serius dan mendalam perlu dilakukan terhadap lembaga-lembaga negara, khususnya dalam kaitan dalam menyelesaikan persoalan klasik rendahnya kesadaran hukum. Di samping itu, sejauhmanakah lembaga-lembaga negara utama seperti MA dan MK mampu menjadi pemain utama dalam menjalankan reformasi peradilan dan lembaga negara penunjang (auxiliary organs) seperti KY, KPK, Komnas HAM, Ombudsman dan lain-lainnya itu dapat mempercepat agenda demokratisasi

dan penegakkan “rule of law” sebagai model negara moderen yang beradab. Secara teoritik, pengadilannya misalnya, memiliki peranan yang

penting dalam mewujudkan sebuah proses konsolidasi demokrasi. Pengadilan menfasilitasi pemerintahan melalui penegakkan hukum dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Pengadilan juga memiliki peran kunci untuk membuat pemegang kekuasaan menjadi akuntabel dengan aturan-aturan demokrasi dan menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh konstitusi, konvensi dan hukum (Gloppen, 2004: 1). Oleh karena itulah isu evaluasi peran lembaga peradilan patut terus dilakukan agar reformasi peradilan dalam diwujudkan.

Di samping itu, pengadilan juga memiliki peranan kunci dalam hubungan segitiga antara lembaga negara, antara civil society dan market dan hubungan antara negara dan warga negara. Pengadilan juga memiliki peran penting dalam mengontrol praktik demokrasi yang biasanya dihegemoni oleh prinsip “majority rules” dan penerapan prinsip perwakilan yang formalistis. Penggunaan konsep “majority rules” jika tidak dikendalikan akan mengancam hak-hak warga negara yang minoritas. Sejarah negara-negara Eropa menunjukkan praktik seperti itu. Oleh karena itulah muncul konsep “judicial review” yang dikawal oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).

Penegakan hukum di Indonesia mengalami pasang surut atau maju mundur. Pasca reformasi, dengan munculnya beberapa lembaga hukum baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan beberapa lembaga lainnya. Pada awalnya kehadiran lembaga-lembaga baru di bidang hukum ini memberikan angin segar bagi reformasi hukum di Indonesia, khususnya dalam penegakan hukum. Sebagai contoh, kehadiran KPK pada awalnya memunculkan harapan yang membuncah dalam memberantas praktik korupsi yang telah kronis di semua lini lembaga negara. Begitu juga kehadiran MK yang sempat menjadi idola dalam mengawal arah demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Namun demikian, memasuki dekade ke 2 kemunculannya, lembaga-lembaga baru ini mulai dihinggapi masalah. Sebutlah reputasi MK yang tercoreng Penegakan hukum di Indonesia mengalami pasang surut atau maju mundur. Pasca reformasi, dengan munculnya beberapa lembaga hukum baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan beberapa lembaga lainnya. Pada awalnya kehadiran lembaga-lembaga baru di bidang hukum ini memberikan angin segar bagi reformasi hukum di Indonesia, khususnya dalam penegakan hukum. Sebagai contoh, kehadiran KPK pada awalnya memunculkan harapan yang membuncah dalam memberantas praktik korupsi yang telah kronis di semua lini lembaga negara. Begitu juga kehadiran MK yang sempat menjadi idola dalam mengawal arah demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Namun demikian, memasuki dekade ke 2 kemunculannya, lembaga-lembaga baru ini mulai dihinggapi masalah. Sebutlah reputasi MK yang tercoreng

lain. Dengan kata lain, lembaga-lembaga baru ini ternyata tidak dari godaan immune dan setelah 1 dekade lebih kelihatan mulai kelelahan melawan mafia peradilan yang terus bergerilya melumpuhkan taring mereka.

Kemunculan lembaga-lembaga baru yang terkait dengan penegakan hukum pasca reformasi ternyata bukan tanpa masalah. KPK, misalnya, sebagai lembaga “trigger mechanism”, belum berhasil mensupervisi Kepolisian dan Kejaksaan agar menjadi lembaga yang bersih dari praktik mafia dan profesional. Faktanya, Kepolisian dan Kejaksaan belum bisa keluar dari kubangan praktik mafia peradilan. Ide munculnya KPK untuk

memperbaiki institusi kepolisian dan kejaksaan seperti “ibarat jauh panggang dari api”. Malah, KPK dan kepolisian terlibat perseteruan yang

tidak berujung. Sementara KY sebagai lembaga pengawas eksternal hakim-hakim di

bawah MA juga terlibat sengketa terkait kewenangan pengawasan tersebut. Sepertinya belum ada sinergi antara kedua lembaga negara tersebut. Alhasil, kedudukan KY kemudian juga tidak seperti yang diharapkan sebagaimana original intent dibentuknya KY itu sendiri. Putusan MK telah pernah memangkas kewenangan KY tersebut dengan menolak hakim MA dan hakim MK sebagai objek pengawasan KY. Putusan MK ini jelas-jelas melemahkan kedudukan KY yang didesain untuk meformasi dunia peradilan Indonesia.

Mahkamah Konstitusi sendiri bukan lembaga tanpa masalah. MK memang punya prestasi emas di 10 tahun awal eksistensinya. Banyak terobosan yang dilakukan melalui putusannya. Namun memasuki dekade ke

2, MK mulai dirundung masalah dengan tertangkapnya ketua MK, Akil Mokhtar, oleh KPK. Kasus ini mulai menggerus kepercayaan publik, yang selama ini sangat percaya dan berharap kepada MK. Perkara Pilkada yang banyak ternyata menjerumuskan MK ke jurang permasalahan yang harus dihindarinya. Singkat kata, hampir semua lembaga-lembaga yang merupakan produk reformasi mengalami masalah, baik secara koordinasi tugas dan fungsi dengan lembaga negara yang lain maupun moralitas pejabatnya yang mulai tergoda uang dan kekuasaan.

Terkait konsep dan praktik demokrasi dan penegakan hukum yang berjalan pasca reformasi politik 1998 di atas, perlu dilakukan riset yang lebih dalam terkait masalah, pertama, apakah model direct democracy yang berjalan banyak tingkat ini merupakan demokrasi ideal yang dicita-citakan

oleh UUD 1945 sebagai “the supreme law of nation?” Sebagian ahli sudah mulai membicarakan perlunya “rethinking our models of democracy.” Kedua, terkait pemilu dan pemiluka da sepertinya perlu dikaji kembali terkait “model penyelesaian sengketa pemilu dan pemilukada”. Model saat ini sepertinya

tidak integrated. Oleh karena itu, perlu dibuat kajian tentang alternatif model penyelesaian sengketa pilkada agar lebih integrated. Studi perbandingan bisa tidak integrated. Oleh karena itu, perlu dibuat kajian tentang alternatif model penyelesaian sengketa pilkada agar lebih integrated. Studi perbandingan bisa

Kata kunci : rule of law, new emerging democracy, demokrasi prosedural, public affair, nature democracy, majority rules, judicial review, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi.