Harmonisasi Sosial Keagamaan dalam Masyarakat Plural

6 Harmonisasi Sosial Keagamaan dalam Masyarakat Plural

Dalam masyarakat pluralis, pemeliharaan harmoni sosial keagamaan membutuhkan kerja keras dari setiap pihak. Bukan hanya negara, namun juga kelompok masyarakat sipil mulai dari media, generasi muda, dan kelompok- kelompok keagamaan. Di balik cukup banyaknya ancaman untuk terciptanya

harmoni, sebenarnya terdapat cukup banyak pula pemicu dan pemacu terciptanya harmoni. Tinggal bagaimana setiap pihak dalam masyarakat dan

negara mampu menangkap potensi, situasi dan peluang yang ada agar menjadi energi positif bagi pengembangan harmoni.

Negara Indonesia telah memiliki kebijkan yang terkait dengan upaya pemeliharaan harmoni atau kerukunan umat beragama. Kebijakan tersebut tertuang dalam Trilogi Kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Hanya saja sampai pada era pasca reformasi ini Indonesia masih dilematis, di satu sisi ada pengakuan dan penumbuhkembangan prinsip-prinsip masyarakat madani (sipil), namun di sisi lain konflik-konflik horizontal bernuansa agama dan konflik vertikal antara kelompok agama dengan negara masih sering terjadi. Di antara penyebab ketidakharmonisan tersebut

karena berkembangnya pengedepanan identitas kelompok.

Saat sekarang telah terjadi dinamika pada dasar dan pola hubungan antar kelompok Islam, dari masalah furiyah-fiqiyah ke masalah aqidah, dari hubungan antar kelompok Islam yang nasionalis ke hubungan antara kelompok Islam nasionalis dengan kelompok transnasionalis (Pan- Islamisme). Kecenderungan lain adalah masih dan kian banyaknya kelompok-kelompok sempalan dengan segala versinya, baik yang dianggap sesat maupun belum oleh pemerintah dan kelompok Islam mapan, termasuk juga dengan aliran kepercayaan yang pengikutnya banyak dari kalangan muslim.

Kecenderungan ini terjadi seiring dengan berkembangnya isu hak- hak azasi manusia (HAM), demokratisasi, dan pengedepanan identitas dan kepentingan kelompok. Kelompok Islam dalam negeri juga tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan di dunia Islam yang mempengaruhi (tingkat) keharmonisan antar kelompok Islam. Misalnya, ketegangan hubungan antara Iran, yang merepresentasikan Islam Syiah, dengan Arab Saudi yang merepresentasikan Islam Sunni.

Seiring dengan kecenderungan-kecenderungan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana model relasi yang akan terjadi ke depan di kalangan internal umat Islam, khususnya antara kelompok Islam nasionalis dengan transnasionalis, dan antara Sunni-Syiah, serta antara kelompok Islam sempalan dan mapan pada umumnya. Apakah ke depan kecenderungan tersebut semakin tidak kondusif, sehingga konflik-konflik terus berkembang. Sebaliknya adakah isu dan faktor-faktor yang mampu mempererat relasi antar kelompok-kelompok Islam tersebut, sehingga harmoni akan dicapai. Khusus untuk relasi Islam dengan aliran kepercayaan dan agama lokal, bagaimanakah sikap yang harus diambil oleh kalangan muslim dan negara. Dapatkah negara, berdasarkan asumsi-asumsi

tertentu, melakukan intervensi untuk ‘mengembalikan’ pengikut aliran kepercayaan, termausk agama lokal ke pangkuan agama ‘induknya.’

Sementara itu dalam hubungan antar umat beragama, masalah yang masih dan akan terus berlangsung adalah masalah religiosentrisme di kalangan kelompok umat beragama. Hal ini dapat dilihat dari stereotip di antara umat beragama, khususnya antara kelompok mayoritas dan minoritas. Saling persepsi di belakang layar maupun di depan publik tentang adanya agamaisasi kelompok agama menunjukkan masih berkembangnya stereotip tersebut. Saat ini dan ke depan, ada kecenderungan baru dalam hubungan antarumat beragama yang harus diwaspadai yaitu religio-etnosentrisme. Gejala ini muncul seiring dengan adanya suku-suku tertentu yang menganut agama tertentu, sehingga sering melahirkan stereotip keagamaan yang bercampur dengan nilai kesukuan. Hubungan mayoritas-minoritas, khususnya antar umat beragama, lebih banyak melibatkan kelompok Islam mapan maupun sempalan dengan sekte-sekte Kristiani.

Beberapa kecenderungan tersebut mengandaikan adanya masalah yang perlu kajian. Benarkah dan seberapa besar tingkat stereotip dan religiosentrisme di antara umat beragama? dan seberapa besar pula religio- etnosentrisme dikalangan kelompok agama yang berbeda etnis? Aspek manakah yang lebih dominan antara agama dan suku dalam melandasi terjadinya stereotip antar kelompok agama-suku. Mungkinkah penguatan identitas kelompok agama tanpa harus ada konflik. Perlukah model yang bersifat makro dan nasional dan menjadi acuan dalam setiap pemeliharaan kerukunan antarumat beragama di setiap daerah. Atau justru sebaliknya Indonesia tidak membutuhka model baku yang bersifat makro nasional tersebut, karena setiap daerah memiliki keunikannya, baik dari aspek budaya maupun bentuk dan latar belakang konfliknya.

Negara sebenarnya sudah banyak menelorkan regulasi dan membangun institusi yang langsung maupun tidak langsung yang berperan dalam pemeliharaan kerukunan, misalnya Forum Kerukunan Umat Beragama, dan konsil keagamaan lainnya. Di sisi lain ketika terjadi konflik umat beragama, sering negara, khususnya pemerintah pusat dan atau lokal, Negara sebenarnya sudah banyak menelorkan regulasi dan membangun institusi yang langsung maupun tidak langsung yang berperan dalam pemeliharaan kerukunan, misalnya Forum Kerukunan Umat Beragama, dan konsil keagamaan lainnya. Di sisi lain ketika terjadi konflik umat beragama, sering negara, khususnya pemerintah pusat dan atau lokal,

Hal ini melahirkan kesalinguntungan antara kedua belah pihak. Kelompok minoritas dan Islam sempalan dapat perlindungan, sementara elite politik memiliki dukungan massif. Karena itu mungkinkah

minoritas

keagamaan.

mentoleran terhadap adanya kesalingmanfaatan antara elite politik dengan kelompok keagamaan (internal Islam maupun antara Islam-nonIslam).

Sisi lain yang patut dicermati dalam relasi umat beragama ke depan adalah: Pertama, lahirnya generasi baru yang memiliki kecenderungan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi milenial (generasi Y) yang lahir tahun 80 sampai akhir 90an, setelah generasi sebelumnya (generasi X) yang lahir tahun medio 60an – akhir 70 an. Bahkan satu dekade ke depan masyarakat Indonesia akan dibanjiri oleh generasi terbaru (generasi Z) yang lahir tahun 2000-an. Generasi milenial (X dan Z) akan ikut menentukan wajah harmoni umat beragama ke depan, sebab mengaca kepada kasus- kasus konflik yang ada generasi muda merupakan sosok yang banyak terlibat di dalamnya. Generasi milenial diidentikkan sebagai generasi yang akrab dan mementingkan teknologi informasi (HP, tablet, media sosial), dan mementingkan kenyamanan dan kesejahteraan individual (orientasi ke capaian materi) dibandingkan kepada persoalan ideologis (keagamaan). Pertanyaan-pertanyaan pokoknya adalah, bagaimana peran generasi milenial dalam kaitannya dengan relasi umat beragama (internal umat, antarumat, dan antara umat beragama dengan pemerintah). Bagaimana persepsi mereka terhadap masalah hubungan umat beragama, dan model pembinaan seperti apa yang dapat diberikan kepada mereka, sehingga tetap memiliki kepedulian terhadap masalah agama, namun sekaligus berperan positif dalam pemeliharaan harmoni di antara umat beragama. Kedua, berdampingan dengan hal tersebut, masyarakat Indonesia semakin lekat dengan media massa dan sosial, sehingga semua informasi yang terkait dengan hubungan umat beragama mudah diakses secara langsung. Masalahnya adalah apakah media sudah dan akan berperan sebagai pemelek dalam upaya pemeliharaan harmoni umat beagama (melek media) bagi masyarakat atau justru sebaliknya. Bagaimana terpaan media (massa dan sosial) berpengaruh terhadap aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik masyarakat dalam kaitannya relasi umat beragama dan pemeliharaan harmoni sosial. Ketiga, seiring dengan penguataan prinsip-prinsip masyarakat madani (sipil), diasumsikan bahwa peran masyarakat sipil dalam banyak persoalan masyarakat semakin besar. Persoalannya, apakah masyarakat sipil ke depan akan (tetap) memiliki elan vital dan menjadi Sisi lain yang patut dicermati dalam relasi umat beragama ke depan adalah: Pertama, lahirnya generasi baru yang memiliki kecenderungan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi milenial (generasi Y) yang lahir tahun 80 sampai akhir 90an, setelah generasi sebelumnya (generasi X) yang lahir tahun medio 60an – akhir 70 an. Bahkan satu dekade ke depan masyarakat Indonesia akan dibanjiri oleh generasi terbaru (generasi Z) yang lahir tahun 2000-an. Generasi milenial (X dan Z) akan ikut menentukan wajah harmoni umat beragama ke depan, sebab mengaca kepada kasus- kasus konflik yang ada generasi muda merupakan sosok yang banyak terlibat di dalamnya. Generasi milenial diidentikkan sebagai generasi yang akrab dan mementingkan teknologi informasi (HP, tablet, media sosial), dan mementingkan kenyamanan dan kesejahteraan individual (orientasi ke capaian materi) dibandingkan kepada persoalan ideologis (keagamaan). Pertanyaan-pertanyaan pokoknya adalah, bagaimana peran generasi milenial dalam kaitannya dengan relasi umat beragama (internal umat, antarumat, dan antara umat beragama dengan pemerintah). Bagaimana persepsi mereka terhadap masalah hubungan umat beragama, dan model pembinaan seperti apa yang dapat diberikan kepada mereka, sehingga tetap memiliki kepedulian terhadap masalah agama, namun sekaligus berperan positif dalam pemeliharaan harmoni di antara umat beragama. Kedua, berdampingan dengan hal tersebut, masyarakat Indonesia semakin lekat dengan media massa dan sosial, sehingga semua informasi yang terkait dengan hubungan umat beragama mudah diakses secara langsung. Masalahnya adalah apakah media sudah dan akan berperan sebagai pemelek dalam upaya pemeliharaan harmoni umat beagama (melek media) bagi masyarakat atau justru sebaliknya. Bagaimana terpaan media (massa dan sosial) berpengaruh terhadap aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik masyarakat dalam kaitannya relasi umat beragama dan pemeliharaan harmoni sosial. Ketiga, seiring dengan penguataan prinsip-prinsip masyarakat madani (sipil), diasumsikan bahwa peran masyarakat sipil dalam banyak persoalan masyarakat semakin besar. Persoalannya, apakah masyarakat sipil ke depan akan (tetap) memiliki elan vital dan menjadi

Kata kunci : religiosentrisme, religio-etnosenstrisme, stereotip, simbiosis mutualisme, generasi milenial, melek media, wadah mediasi, masyarakat sipil, Islam nasionalis dan transnasionalis.