Kaum Rentan Berhimpit Menara Kampus

5 Kaum Rentan Berhimpit Menara Kampus

Kemiskinan itu given dan faktual. Pembiaran kemiskinan adalah pengkhianatan kaum intelektual.

(Ma’ruf, 2016)

Pembangunan ekonomi global mengakselerasi dehumanisasi pada mayoritas negeri. Fakta kemiskinan dan ketimpangan global menjadi salah satu indikatornya. Data Badan Pangan Dunia (FAO, 2013) memberekan fakta bahwa 1 dari 8 orang penduduk dunia, setiap malamnya tidur dalam kondisi kelaparan. Data lain menunjukan bahwa 30% total kekayaan dunia dikuasai hanya oleh 0,001% penduduk dunia. Bahkan pada negara-negara kaya, sebanyak 20% penduduknya berpendapatan 8.000 kali pendapatan orang miskin, yang berarti terjadi pelipatan kesenjangan, padahal 40 tahun lalu baru berkisar 3.000 kali. Angka pembangunan yang sangat buruk.

Dalam kontek negara kita, tidaklah jauh berbeda perilaku pembangunan sebagaimana yang terjadi pada ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi yang selalu dijadikan rujukan keberhasilan pembangunan secara substansi hanyalah ilusi. Tumbuh karena konsumsi itu merefleksikan aliran kekayaan yang terbalik. Kelompok miskin dan dekat miskin menghabiskan tenaga dan kekayaanya untuk disumbangkan pada kaum pemodal.

Terjadinya konflik perburuhan, konflik agraria, serta berbagai disharmoni sosial yang yang terus berlangsung hingga sekarang ini, baik level lokal, nasional, maupun internasional tidak lepas dari mainstream ekonomi yang berstruktur ketidakadilan. Jika tidak segera ada pembalikan tatakelola ekonomi makro maupun mikro, takpelak kemanfaatan kolektif, baik yang berposisi sebagai pekerja, pemodal, maupun regulator secara jamak akan mengalami distorsi.

Intensitas demonstrasi, pemogokan, boikot, pendudukan aset, dan berbagai ekspresi kaum tertindas semakin mengemuka. Bahkan, terpaksa diekspresikan dengan anarkis agar mencuri perhatian publik. Tercatat, 3 dari

5 demonstrasi di negeri ini bersumber dari ketidakadilan distribusi ekonomi. Isu tuntutannya selalu seputar: penyesuaian upah buruh, penolak kebijakan diskriminatif, perlawanan atas penyerobotan aset wong cilik oleh kaum 5 demonstrasi di negeri ini bersumber dari ketidakadilan distribusi ekonomi. Isu tuntutannya selalu seputar: penyesuaian upah buruh, penolak kebijakan diskriminatif, perlawanan atas penyerobotan aset wong cilik oleh kaum

Bagi Indonesia, secara gamblang bangun ekonomi yang harusnya dikembangkan oleh siapapun pemegang mandat kekuasaan, tidak lain adalah membangun struktur ekonomi yang bersendikan humanism, yaitu Ekonomi Pancasila. Sayang, ruh sistem Ekonomi Pancasila ini tidak pernah bersemayam dalam kebijakan perekonomian nasional. Bahkan ruh ini dipenjara dan dibuang jauh dengan dalih modernisasi dan globalisasi ekonomi. Implikasinya cukup serius, rakyat tidak kuasa di tanahnya sendiri, pemerintah tersandra pada asing setiap mengambil kebijakan. Artinya, kedaulatan ekonomi secara sadar dan sistimatis dimatikan sendiri oleh para pemangku amanah di negeri ini.

Padahal, pada level global, gejala disharmoni ekonomi-sosial yang mengglobal telah menjadi perhatian khusus dari berbagai lembaga internasional, seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (UN), Organisasi Buruh Internasional (ILO), Aliansi Koperasi Internasional (ICA), dan Organisasi Perdagangan Berkeadilan (WFTO), dan organisasi lainnya yang berupaya mengkoreksi secara sistemik. Salah satu yang menarik adalah upaya global membangkitkan kembali tataekonomi komunal yang berbasis keadilan dalam kepemilikan aset, pola organisasi bisnis yang demokratis, dan kepatuhan asas corporate good governance.

Menyadari kerakusan ekonomi kapitalism selama ini, pada akar rumput mulai mengental praktik ekonomi komunal dalam bentuk kelompok usaha bersama, arisan, kredit mikro, yang secara legal formal berbadan hukum koperasi. Terlepas dari praktik koperasi yang muncul karena oportunism dari proyek, namun gerakan ekonomi rakyat ini mulai menunjukkan hasil.

Geliat ekonomi akar rumput belum mampu mengubah wajah kemiskinan di negeri ini yang jumlahnya lebih dari 28,6 juta jiwa (Maret 2015). Pada sisi lain, jumlah kaum intelektual semakin tidak terhitung. Secara nasional, lebih dari 700 unit perguruan tinggi bertebaran di negeri ini dengan 28.000 kaum cendekia sebagai pengajar dan lebih dari 650.000 mahasiswa yang masuk kelas terpelajar. Kaum cendekia telah melakukan berbagai riset, 1 dari 10 dosen tercatat sebagai peneliti. Meski tertinggal dari negeri lain, rasio tersebut menggambarkan ada upaya akademis untuk melakukan kajian atas berbagai fenomena yang terjadi, termasuk masalah kemiskinan.

Dari deretan fakta tersebut, menggelitik untuk dapat dibuka lebih lebar lagi. Benarkan ribuan kaum intelektual yang bersemayam pada ratusan gedung kampus megah bertingkat telah memberi kontribusi berarti pada pengurangan beban pada kaum rentan dan kaum marginal di negeri ini? Adakah relasi intelektualisme dengan reduksi beban kaum rentan?

Bagian dari counter intuitive thinking perlu difokuskan pada keganjilan pembangunan yang justru menghasilkan ketimpangan, kesenjangan, dan kemiskinan. Pendekatan penelitian yang komprehensif dengan berbagai model riset, khususnya action research yang partisipatif menjadi kebutuhan untuk diperluas dalam mengupas akar masalah kemiskinan dan menemukan model penumbuhan keberdayaan pada kaum rentan. Intensitas menggali akar masalah dan memberi aksi nyata jalan keluar menjadikan kampus tidak lagi berbatas dengan problema kaum rentan.

Kata kunci : kaum rentan, menara kampus, ekonomi global, konflik perburuhan, konflik agraria, disharmoni sosial, ekonomi Pancasila