Pasar Tanah dalam Deregulasi Pertanahan

Ketujuh, WTO dalam kenyataannya membawakan agenda kepentingan negara maju, dengan mengedepankan materi-materi perjanjian yang merupakan kepentingan utama negara maju. Misalnya yang tercermin dalam sektor jasa, hak atas kekayaan intelektual, sektor pertanian, dan lain-lain. Apa yang disebut sebagai pasar bebas, pada kenyataannya adalah pasar tak bebas yang didasarkan pada monopoli, dominasi, tekanan, manipulasi, dan kepentingan sepihak. WTO juga telah menghalangi dan menggugurkan upaya pembangunan yang sesungguhnya di negara-negara berkembang, karena mereka kini tidak punya alternatif lain selain mengikuti kebijakan pembangunan model WTO, yaitu ketergantungan pada impor, ketergantungan pada teknologi dari luar, ketergantungan pada makanan dari luar, dihambatnya masa depan industrialisasi nasional, dilegalkannya pembajakan atas kekayaan intelektual komunitas dan pembajakan hayati, merajalelanya dan dominannya TNC perusahaan transnasional, hancurnya usaha dan industri kecil dan menengah, dilanggengkannya proses pemiskinan, perluasan kapitalisme di tingkat lokal dan daerah, pada intinya adalah penjajahan gaya baru neo-kolonialisme.

3.1.2.2 Pasar Tanah dalam Deregulasi Pertanahan

Setelah melihat kepentingan yang dibawakan oleh WTO lewat Perjanjian tentang Pertanian AoA, maka perlu pula diketahui kepentingan Kapitalisme Global terhadap alat produksi yang paling penting bagi petani dan sektor pertanian, yakni tanah. Untuk hal ini, Kapitalisme Global dan para pendukungnya termasuk kalangan intelektual mengembangkan konsep yang dikenal sebagai pasar tanah land market, Universitas Sumatera Utara yang gencar dipromosikan oleh Bank Dunia pada tahun-tahun terakhir ini di seluruh dunia. Di Indonesia, proyek Bank Dunia ini dikenal sebagai Proyek Administrasi Pertanahan PAP atau Land Administration Project LAP. Bank Dunia memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam bantuan kebijakan pertanahan negara-negara berkembang. Dua desain utama yang pernah dianut Bank Dunia adalah landreform dan land market Pasar Tanah. Walaupun motif keduanya adalah sama-sama melanggengkan pengaruh negara-negara maju, namun terdapat perbedaan-perbedaan penting antara keduanya, yang terletak pada tataran agenda ekonomi-politik, sektor yang menjadi tumpuan, dan periode waktu penerapan kebijakan tersebut. Pada dekade saat ini, Bank Dunia tidak lagi menggunakan desain utama landreform, karena argumentasi ekonomi politiknya menurut Bank Dunia sudah tidak tepat lagi. Perang dingin antara Rejim Kapitalis Dunia versus Rejim Komunis tidak lagi relevan. Landreform mengorbankan “turunnya” pertumbuhan ekonomi untuk masa sekitar 5-10 tahun. Dibutuhkan suatu dukungan ekonomi-politik yang luar biasa termasuk militer pada sejumlah landreform yang berhasil, misalnya Jepang dan Korea Selatan dari rejim kapitalis dunia agar negara tersebut mampu bertahan dalam situasi “transisi”. Dengan kata lain, dari perhitungan biaya keuntungan, pelaksanaan landreform terlampau besar resikonya dibandingkan keuntungannya. Dalam upaya menerapkan pasar tanah tersebut, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan deregulasi semua perundang-undangan yang dapat membatasi ruang gerak investasi, termasuk di dalamnya deregulasi perta- Universitas Sumatera Utara nahan. 70 Berdasarkan sudut tinjauan ini, proses pengadaan tanah untuk investasi modal besar selama ini telah mengalami sejumlah hambatan yang mengganggu. Hambatan tersebut didasarkan atas tipe ideal prinsip pasar bebas. Arah “baru” strategi, kebijakan program, dan proyek pertanahan tersebut adalah membentuk pasar tanah yang efisien. Tema ini berusaha menggantikan tema “lama” Orde Baru, yakni pengadaan tanah yang efektif. Orientasi “efektifitas” dari kebijakan pengadaan tanah ini merupakan tema yang mempersatukan aliansi antara birokrat negara, pengusaha nasional, investorpenanam modal asing, dan kaum profesional. Dua “mata pisau” dari kerja aliansi ini adalah: 71 1. Menghilangkan orientasi populisme dari kebijakan dan program agraria pertanahan adalah bagian dari agraria Orde Lama, yang pelaksanaannya terdiri dari tiga tahap awal sebelum pembangunan semesta, yaitu; Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, 72 Pelaksanaan Landreform, 73 dan Pengaturan Bagi Hasil. 74 2. Membangun orientasi kapitalis melalui pembentukan kebijakan yang bersifat sektoral dan program agraria yang berbasiskan modal besar baik asing 70 Ifdhal Kasim dan Endang Suhendar, 1996,Tanah sebagai Komoditi Strategis, Tinjauan Kritis terhadap Kebijakan Pertanahan Orde Baru, Jakarta, ELSAM, hal 17 71 Sejak awal, terdapat kesepakatan atau konsensus di antara para pendukung Orde Baru tentang perlunya stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis. Koalisi pendukung Orde Baru menolak populisme Sosialisme a la Indonesia, yang akan mengubah struktur sosial-ekonomi secara radikal. Lihat Mochtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik, Jakarta, LP3ES, hal. 60- 61. 72 Implementasi dari PP Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang mengatur tentang Pendaftaran Tanah. 73 Implementasi dari UU No.56 Prp tahun 1960 dan PP No.224 tahun 1961 yang mengatur objek-objek landreform dan pemberian ganti-rugi. 74 Implementasi dari UUPBH Undang-Undang Pokok Bagi Hasil, UU No.2 tahun 1960 yang mengatur tentang bagi hasil. Universitas Sumatera Utara maupun domestik, seperti industri tambang, industri kehutanan, agroindustri, industri manufaktur, industri perumahan, maupun industri pariwisata. Proses pengadaan tanah untuk pembangunan modal besar melalui intervensi langsung dari pemerintah dinilai sudah tidak lagi efektif. Paling tidak, efektifitasnya terganggu oleh tiga pokok berikut: 75 1. Mencuatnya konflik tanah. Pola, bentuk, gencarnya dan lamanya protes masyarakat korban telah membuat proses pengadaan tanah berlarut-larut. Hal ini mengganggu bagi perencanaan investasi. Bahkan, pada tingkat tertentu, dikhawatirkan akan terjadi radikalisasi dari masyarakat korban pengambilan tanah, baik karena ganti ruginya yang rendah, perlawanan terhadap tindakan otoriter, maupun aliansinya dengan kalangan mahasiswa dan organisasi non pemerintah. 2. Campur tangan pemerintah dalam pengadaan tanah telah mengganggu keseimbangan penggunaan tanah. Tumpang tindih penggunaan tanah oleh berbagai proyek dan berbagai sektor telah banyak terjadi. Pengabaian aspek penataan ruang termasuk lingkungan telah mengakibatkan sejumlah masalah yang menghambat keberlanjutan penumpukan modal. 75 Pengadaan tanah untuk kepentingan investasi modal besar telah dimulai semenjak Pemerintah Orde Baru berkuasa. Adanya Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan melalui UU No.11 tahun 1967 dan Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan melalui UU No.5 tahun 1967 telah menunjukkan intervensi pemerintah dalam pengadaan tanah untuk pembangunan. Intervensi ini semakin diperjelas dengan Permendagri Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975 tentang Pembebasan Tanah dan Permendagri No.2 tahun 1976 tentang Penggunaan Tanah untuk Kepentingan Swasta, dalam Laporan Nasional Indonesia Country report, Op.Cit., hal. 21 Universitas Sumatera Utara 3. Sifat memburu rente dari birokrasi negara dan para calo tidak lagi dapat ditoleransi, karena sudah menjurus pada – apa yang disebut sebagai— “ekonomi biaya tinggi”. Dalam deregulasi bidang pertanahan, pemerintah melakukan penghapusan dan mengurangi mata rantai yang harus dilalui dalam pengadaan tanah untuk kepentingan investasi. Saran ini secara keseluruhan diwujudkan dalam strategi, kebijakan program, dan proyek dalam bidang pertanahan. Kondisi inefisiensi ini didasarkan atas perhitungan biaya yang dikeluarkan pihak investor untuk mendapatkan tanah adalah lebih tinggi. Sementara di sisi lain, harga tanah yang ditetapkan atas tanah rakyat sangatlah rendah. Salah satu proyek deregulasi pertanahan dalam kerangka pasar tanah land market yang disarankan oleh Bank Dunia kepada Pemerintah Indonesia adalah apa yang disebut sebagai Proyek Administrasi Pertanahan Land Administration Project. Ada satu titik masuk untuk melihat asal-usul PAP Proyek Administrasi Pertanahan sebagai bagian dari strategi global Bank Dunia, yakni uraian Bab II dalam dokumen Bank Dunia yang berjudul Staff Appraisal Report: Indonesia-Land Administration Project SAR dengan judul “Bank Experience, Strategy, and Rationale for Bank Involvement.” 76 Desakan Bank Dunia kepada Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan deregulasi pertanahan berada dalam kerangka neo-liberal. Asal usul deregulasi ini dapat ditelusuri dari Program Penyesuaian Struktural SAP-Structural Adjustment 76 SAR Staff Appraisal Report: Indonesia-Land Administration Project, 1994, Ibid,hal 21 Universitas Sumatera Utara Program dari Bank Dunia terhadap ekonomi politik negara-negara penghutang penerima hutang, termasuk Indonesia. Karena itu, deregulasi ini hanya dapat dimengerti dari siasat Bank Dunia terhadap negara-negara penghutang termasuk Indonesia, yang mengalami krisis keuangan. Latar belakangnya sangat jelas, yakni agar negara-negara penghutang mampu melunasi hutang-hutangnya atau Bank Dunia harus menyelamatkan dirinya dan mitra-mitra negara pemodalnya. 77 Dalam sektor pertanahan, wujud deregulasi ini berbentuk suatu proyek yang dinamakan Proyek Administrasi Pertanahan Land Administration Project. Proyek Administrasi Pertanahan PAP direncanakan berlangsung selama 25 tahun, dimulai dengan Proyek Administrasi Pertanahan I PAP I atau LAP I, yang telah berlangsung sejak tahun 1995-2000. Proyek ini adalah upaya besar yang dilakukan oleh kerjasama antara Pemerintah Indonesia dalam hal ini Badan Pertanahan NasionalBPN bekerjasama dengan Bappenas dan kemudian Kantor Menko Ekuin, Bank Dunia, dan Australian Aid AusAid. Untuk pelaksanaan PAP I periode 1995-2000 saja, Bank Dunia memberikan hutang loan kepada Pemerintah Indonesia sebesar US 80 juta. Ditetapkan bahwa tujuan Proyek Administrasi Pertanahan PAP adalah suatu proyek yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia yang bertujuan utama: “Meningkatkan pasar tanah land market yang wajar dan efisien dan mengentaskan konflik masyarakat atas tanah, melalui percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah sebagai fase permulaan dari program pendaftaran tanah jangka panjang Pemerintah 77 Noer Fauzi, 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria, Yogyakarta, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, hal. 211 dan 214-215. Universitas Sumatera Utara Indonesia Bagian A, dan perbaikan sistem kelembagaan administrasi pertanahan yang diperlukan untuk menunjang program pendaftaran tanah tersebut Bagian B. Tujuan utama kedua proyek tersebut Bagian C adalah untuk menunjang upaya Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kebijaksanaan pengelolaan pertanahan. Tujuan-tujuan yang berkaitan dengan percepatan pendaftaran tanah ini adalah untuk menunjang pengentasan kemiskinan melalui jaminan hak pemakaian tanah yang ditingkatkan dan kesempatan agunan kepada pemilik tanah, serta untuk menyediakan insentif bagi investasi dan tata guna tanah yang berkelanjutan.” 78 Selintas tujuan Proyek Administrasi Pertanahan PAP ini tampak akan menguntungkan rakyat Indonesia, namun dalam hal ini kita mesti membongkar secara sungguh-sungguh tujuan jangka panjang dari kepentingan Bank Dunia dalam mempromosikan pasar tanah ini. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Bank Dunia? Bank Dunia menginginkan peran pemerintah sebagai penyedia tanah dikurangi otoritasnya. Bank Dunia juga hendak menghapus seoptimal mungkin para calo pertanahan. Tentunya hal ini bagus selama ia memang ditujukan sebaik-baiknya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sayangnya tidak demikian, Bank Dunia lebih berpikir bagaimana membuat iklim investasi di Indonesia lebih nyaman bagi beroperasinya modal-modal besar, khususnya perusahaan-perusahaan multitrans- 78 World Bank, Staff Appraisal Report, Indonesian Land Administration Project, Report No.12820- IND, Op.Cit., hal 23 Universitas Sumatera Utara nasional, dengan cara terciptanya mekanime penyediaan tanah yang lebih efisien bagi kepentingan mereka. 79 Sumber persoalan pokok yang hendak disorot oleh Bank Dunia sesungguhnya adalah peran negara yang terlampau besar dalam masalah penyediaan tanah, yang bekerja dalam konteks ekstra-pasar, satu hal yang tidak bersesuaian dengan prinsip- prinsip pasar bebas sebuah semangat yang sedang menggelora dalam dekade terakhir- , dengan “globalisasi” sebagai kata kuncinya. Hal inilah yang hendak diubah oleh Bank Dunia sebagai salah satu motor utama penggerak dan pencipta iklim kapitalisme di Indonesia dan belahan dunia yang lain. Negara, dalam hal ini pemerintah Indonesia, memperoleh pengesahan atas sejumlah perilakunya untuk menjadi lembaga penyedia tanah karena sejumlah undang-undang menyatakan hal itu lewat konsepsi Hak Menguasai dari Negara HMN. Melalui konsepsi HMN inilah pemerintah Orde Baru selama masa berkuasanya menyediakan tanah bagi investasi dan proyek-proyek “pembangunan” yang hampir selalu berdampak pada terciptanya sengketa pertanahanagraria dengan rakyat setempat atau rakyat penggarap tanah yang akan dijadikan proyek “pembangunan” tersebut. Dengan demikian, agenda utama kapitalisme global yang dalam hal ini diwakili oleh Bank Dunia dalam lapangan agraria di Indonesia adalah menciptakan suatu iklim investasi yang bebas dari intervensi negara dalam hal ini aparatur- aparatur negarapemerintah dan lembaga legislatif, khususnya yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kegiatan investasi maupun dalam proses eksploitasi sumber- 79 Noer Fauzi dan Erpan Faryadi, “Strategi Global dan Adaptasi Nasional,” makalah pada Lokakarya Globalisasi dan Perubahan Sosial: Agenda Pemberdayaan Rakyat, yang diadakan oleh Lappera Indonesia di Yogyakarta, pada tanggal 29 September-1 Oktober 1997. Universitas Sumatera Utara sumber agraria. 80 Perubahan-perubahan kebijakan yang dimaksud adalah termasuk perubahan UUPA 1960 yang mereka anggap tidak sesuai untuk kegiatan investasi saat ini dan masa-masa mendatang. Demikian juga dengan sejumlah undang-undang di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam lainnya yang masih mengandung muatan-muatan intervensi negara. Pada sisi yang lain, sebagai lawan dari pengurangan intervensi negara, mereka berpandangan bahwa rakyat mesti diperkuat, khususnya hak-hak rakyat -termasuk hak-hak kaum investor- atas penguasaan dan akses kepada sumber-sumber agraria, sehingga dalam kegiatan investasi dan bisnis nantinya, pihak investor dapat berhubungan langsung dengan masyarakat -orang-perorang maupun per kelompok- secara langsung tanpa perlu lagi ada sejumlah pembatasan dari negara.

3.2 Subtansi Kepres No. 34 Tahun 2003

3.2.1 Keppres No. 34 Tahun 2003 sebagai Implementasi TAP MPR No. IX Tahun 2001

TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam lahir dengan latar historis kehidupan agraria di Indonesia sesuai dengan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, yaitu yang bericirikan dengan, a belum dilaksanakannya pembaruan agraria, termasuk program landreform, di Indonesia pasca Indonesia terbebas dari belenggu kolonialisme pada tahun 1945; b 80 “Menghidupkan Agenda Pembaruan Agraria Agrarian Reform di Akhir Abad XX”, Laporan Pertanggungjawaban Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-1998, disampaikan dalam Musyawarah Nasional II Konsorsium Pembaruan Agraria KPA di Yogyakarta, 5- 8 Desember 1998. Universitas Sumatera Utara banyaknya konflik agraria, termasuk sengketa lahan pertanian, sebagai peninggalan kekuasaan Orde Baru. Selain kedua hal tersebut, pada tataran kebijakan juga terlihat bahwa kebijakan-kebijakan di bidang agraria yang ada di Indonesia sering kali tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lain. Kebijakan-kebijakan yang saling tumpang tindih dan saling bertentang-an ini dimulai pada saat Orde Baru berkuasa dan terus berlanjut sampai pada masa reformasi. Kebijakan-kebijakan tersebut mencakup kebijakan-kebijakan di bidang pertanahan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perairan dan pengelolaan sumber daya air, kekayaan genetik, dan pengelolaan ruang angkasa. Uraian di atas mendapat pembenaran jika dilihat pada konsiderans TAP MPR No. IX Tahun 2001. Dapat dilihat bahwa yang dijadikan pertimbangan untuk dikeluarkannya TAP MPR No. IX Tahun 2001 di antaranya adalah; “ ... c. bahwa pengelolaan sumber daya agrariasumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik; d. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agrariasumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; bahwa pengelolaan sumber daya agrariasumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik; e. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang Universitas Sumatera Utara sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan; ... “ 81 Pada tataran penataan kehidupan agraria, TAP MPR No. IX Tahun 2001 memberikan arahan kebijakan berupa; “a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah landreform yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip- prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi. f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.” 82 81 Kutipan langsung dari TAP MPR No. IX Tahun 2001 82 Ibid, Pasal 5 butir 1. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, TAP MPR ini menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah danatau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini. 83 Sebagai proses kontrol MPR kepada Presiden, TAP MPR ini menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 84 Untuk mengimplementasikan TAP MPR No. IX Tahun 2001 ini, Pemerintah dan DPR pada masa Pemerintahan Megawati Sukarno Putri selama kurun waktu 3 tahun 2001– 2004 telah mengeluarkan beberapa kebijakan di bidang agraria, baik berbentuk undang-undang maupun Keputusan Presiden yang disusun berdasarkan sektor masing-masing, tanpa ada satu kebijakan berbentuk undang-undang yang memayunginya. Karena itu, kebijakan-kebijakan tersebut lazim disebut sebagai undang-undang sektoral. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Sumber Daya Air, serta Keputusan Presiden Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. 83 Ibid, sesuai dengan Pasal 6 84 Ibid, sesuai dengan Pasal 7 Universitas Sumatera Utara Keputusan Presiden Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan merupakan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Megawati Sukarno Putri untuk mengimplementasikan TAP MPR No. IX Tahun 2001, terutama Pasal 5 butir ayat 1, dalam hal ini adalah di bidang pertanahan sebagai satu bagian vital dari kehidupan pertanian. Untuk mempertegas pernyataan ini, dapat dilihat pada konsiderans dari Keppres No. 34 Tahun 2003 yang mencantumkan TAP MPR No. IX Tahun 2001 sebagai salah satu rujukan dari dikeluarkannya Keppres ini, bahkan dalam konsiderans tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa Keppres ini lahir atas perintah TAP MPR No. IX Tahun 2001.

3.2.2 Substansi Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003

Jika dilihat pada Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003, dengan jelas Keputusan Presiden ini berisikan perintah kepada Badan Pertanahan Nasional untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan. 85 Pada ayat berikutnya dari pasal 1 tersebut, dinyatakan bahwa; “pembangunan sistim informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi: 1 penyusunan basis data tanah-tanah aset negarapemerintahpemerintah daerah di seluruh Indonesia; 85 Sesuai dengan Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Universitas Sumatera Utara 2 penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan dengan e- government, e-commerce dan e-payment; 3. pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah; 4. pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistim informasi geografi, dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi, dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional, pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah.” 86 Ayat 2 dari Pasal 1 Keppres ini berisikan tentang perintah kepada Badan Pertanahan nasional untuk menyusun suatu sistem informasi mengenai kondisi pertanahan, baik dalam hal luasan maupun pemanfaatan, terutama tanah pertanian yang ada di Indonesia. Informasi ini diperlukan untuk melaksanakan program landreform di Indonesia. Sementara itu, pada pasal berikutnya, sesuai dengan pola pemerintahan yang tidak lagi tersentralisir sesuai dengan pola pemerintahan dengan sistem otonomi daerah, dinyatakan bahwa “1 Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah KabupatenKota. 2 Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah: a. pemberian ijin lokasi; 86 dikutip dari Pasal 1 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Universitas Sumatera Utara b. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. penyelesaian sengketa tanah garapan; d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; h. pemberian ijin membuka tanah; i. perencanaan penggunaan tanah wilayah KabupatenKota. 3 Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 yang bersifat lintas KabupatenKota dalam satu Propinsi, dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi yang bersangkutan.” 87 Pada Pasal 2 tersebut di atas, sebagian kewenangan di bidang pertanahan diserahkan kepada pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan pola pemerintahan yang ada di Indonesia dewasa ini, yaitu pemerintahan dengan pola desentralisasi dengan konsep otonomi daerah yang telah diberlakukan sejak tahun 2001. Berkaitan dengan pasal sebelumnya, kewenangan yang akan diserahkan pada pemerintah daerah ini harus tercantum pada Rancangan Undang-Undang yang disusun oleh Badan Pertanahan Nasional. Pada tiga pasal berikutnya dari keseluruhan lima pasal Keppres No. 34 Tahun 2003- lebih berisikan tentang penjelasan-penjelasan tambahan mengenai pelaksanaan dua pasal di atas, yaitu pasal 1 dan pasal 2. Pasal-pasal tersebut berisi perintah agar; 1, Badan Pertanahan Nasional menyusun norma-norma danatau standardisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan kualifikasi sumberdaya manusia 87 Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Universitas Sumatera Utara yang diperlukan untuk pelaksanaan kewenangan daerah dalam bidang pertanahan, dan harus selesai dalam waktu 3 bulan setelah Keppres ini disahkan; 88 2, agar Badan Pertanahan Nasional dapat menyelesaikan Rancangan Undang-Undang sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 paling lambat pada tanggal 1 Agustus 2004; 89 3, penegasan bahwa dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka ketentuan dalam Pasal 114 ayat 6 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003, dinyatakan tidak berlaku lagi. 90 Jika amanat yang terkandung di dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 dibaca secara keseluruhan, maka isi terpokok dari Keppres ini terdapat pada Pasal pertama, yaitu perintah kepada BPN untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan UUPA Tahun 1960 yang disesuaikan dengan pola pemerintahan di era otonomi daerah berupa penyerahan sebagian kewenangan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah.

3.3 Tujuan dan Dasar Hukum UUPA Tahun 1960

3.3.1 Tujuan UUPA Tahun 1960

Tonggak penting dalam pergulatan untuk mengubah sistem agraria kolonial menjadi sistem agraria yang berwatak nasionalis di Indonesia adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- 88 Sesuai dengan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 89 Sesuai dengan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 90 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pokok Agraria, atau dikenal dengan singkatan UUPA. Bersama-sama dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Bagi Hasil UUPBH 1960, yang bermaksud untuk menata aturan-aturan bagi hasil yang lebih adil, kedua undang-undang ini kemudian menjadi landasan penting untuk dijalankannya landreform di Indonesia, sejak tahun 1962 hingga 1965. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 UUPA 1960 ini dimaksudkan untuk mengubah sistem agraria kolonial, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Belanda, dengan suatu struktur agraria nasional, yang akan lebih memperhatikan dan melindungi kepentingan bangsa Indonesia. Pada konteks tersebut, UUPA merupakan landasan hukum yang kuat untuk menjalankan misi tersebut, dimana selain misi pemerataan, UUPA 1960 juga mengemban maksud untuk memberikan kepastian dan sekaligus membangun sistem hukum nasional yang lebih berwatak nasionalis berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia. 91 Di bawah rezim Soekarno atau Demokrasi Terpimpin, sesungguhnya telah dipersiapkan apa yang disebut sebagai proses pembaruan, dengan fokus pada: 1 meletakkan dasar hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran dan keadilan; 2 meletakkan dasar bagi kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria; dan 3 meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum atas tanah rakyat, serta prinsip -seperti dinyatakan dalam penjelasan UUPA 1960 sebagai dasar-dasar dari hukum agraria- seperti nasionalitas, fungsi sosial tanah, hak menguasai negara, landreform, dan perencanaan agraria. Bahkan bila dirunut proses dan kepentingan historisnya, maka jelas bahwa: a kepentingan dasar dari 91 Erpan Faryadi, Pembaruan Agraria sebagai Syarat Kemajuan Desa, makalah tanpa tahun,hal. 4 Universitas Sumatera Utara penyusunan UUPA 1960, dilandasi oleh kepentingan untuk menciptakan perangkat hukum yang dapat menjalankan misi keadilan dan memakmurkan rakyat; b dalam konteks struktur agraria warisan kolonial dan sisa-sisa feodal, maka penataan restrukturisasi yang dimaksudkan membutuhkan suatu kekuasaan yang solid dan kuat, khususnya untuk dapat mendesakkan agenda pembaruan di hadapan kekuatan konservatif; c adanya kebutuhan penyatuan geografis, agar dipayungi oleh satu hukum, sehingga memberikan kepastian dan sekaligus menegasikan dualisme hukum. 92 Dengan demikian, sangat jelas adanya watak: 1 nasionalis dalam struktur hukum, sebagai jawaban liberalisme yang berkembang di jaman kolonial, yang memperlakukan bangsa asing sama atau bahkan lebih istimewa ketimbang bangsa sendiri; 2 transformasi, bukan saja dalam struktur agraria, tetapi juga pembaruan dalam kehidupan masyarakat, termasuk memungkinkan intervensi kepada masyarakat adat dalam mendorong kepada kehidupan yang “dianggap” lebih baik dan bermakna. Hendak ditegaskan bahwa tidak ada motif rendah di balik penataan politik dan penyusunan UUPA 1960, selain tujuan mulia mem-bawa kepada masyarakat baru, yang lebih adil, sejahtera, egaliter, dan maju. 93

3.3.2 Dasar Hukum UUPA 1960

Jika menyimak pada konsiderans UUPA, Undang-Undang ini lahir dengan dasar hukum -atau sebagai implementasi pada tataran kebijakan dari- Dekrit Presiden 92 Ibid, hal 5 93 Ibid. Universitas Sumatera Utara tanggal 5 Juli 1959, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Penetapan Presiden Nomor I Tahun 1960 Tentang Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960, dan Pasal 5 jo. 20 Undang-Undang Dasar 1945, dan dengan memperhatikan Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No. IKptsSdII60 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah. Dengan demikian, Undang-Undang ini bukan lahir karena diperintahkan oleh suatu Ketetapan MPR, yang pada saat itu, karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dibentuk MPRS Musyawarah Perwakilan Rakyat Sementara untuk melaksanakan kewenangan MPR yang dibubarkan. Namun demikian, jika disimak pada beberapa pasal di dalam UUPA, kelahiran Undang-Undang lebih banyak untuk mengimplementasikan Pasal 33 dari Undang-Undang Dasar UUD 1945. Dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyusun UUPA 94 sampai disahkan, yakni memakan waktu 12 tahun terhitung sejak pembentukan “Panitia Agraria Yogya” pada tahun 1948 sampai terakhir “Rancangan Sadjarwo” pada tahun 1960, semakin jelas bahwa dasar hukum paling kuat untuk penyusunan UUPA adalah UUD 1945, terutama Pasal 33. UUD 1945 sendiri merupakan Undang- Undang Dasar yang memayungi sekaligus mengontrol undang-undang yang lebih rendah, termasuk UUPA agar tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat di dalamnya. Ditinjau dari perspektif Hukum Tata Negara, baik dari sudut tata cara pembuatannya maupun dari sudut materi yang diaturnya yang melaksanakan lebih lanjut ketentuan hukum yang lebih tinggi, maka tidak ada alasan untuk meragukan 94 Lihat Sub Bab 2.6.2. Kebijakan Agraria Masa Orde Lama Universitas Sumatera Utara keabsahan UUD 1945 sebagai undang-undang organik Pasal 5 jo. Pasal 20 jo. Pasal 22 UUD 1945. 95 Untuk melihat bahwa UUPA merupakan penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945, dapat disimak pada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut: “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang- seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.” LN 1959-75 96 Ketentuan lebih lanjut dari Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 tersebut di atas dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat 1 UUPA, yang menyatakan bahwa: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakat” 97 95 Prof. Ny. Arie S Hutagalung, SH., MLI., Konsistensi dan Korelasi antara UUD 1945 dan UUPA 1960, dalam Jurnal Analisis Sosial, Op.Cit., hal. 19 96 Ibid. hal. 19-20 97 Ibid. hal. 20 Universitas Sumatera Utara Dalam memori penjelasan angka II2 UUPA, ditegaskan bahwa perkataan “dikuasai’ dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia.

3.4 Beberapa Pandanagn Mengenai Kecendrungan Arah Tap MPR No. IX

Tahun 2001 dan Kepres No. 34 Tahun TAP MPR No. IX Tahun 2001 merupakan suatu produk kebijakan yang isinya memerintahkan untuk segera dilaksanakannya pembaruan agraria di Indonesia, yang dalam konteks pelaksanaan landrefrom kemudian diimplementasikan dengan keluarnya Keppres No. 34 Tahun 2003, dengan menerbitkan terlebih dahulu perangkat hukum Undang-Undang yang diperlukan. Berdasarkan paparan pada bab- bab sebelumnya, Indonesia memiliki perangkat hukum untuk menjalankan pembaruan agraria, termasuk di dalamnya landreform, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau dikenal dengan UUPA 1960. Dengan perbedaan situasi sosial dan politik saat ini dengan pada era tahun 1960-an, salah satunya adalah penerapan otonomi daerah, UUPA dianggap mesti disempurnakan untuk melaksanakan pembaruan agraria dan program landrefrom tersebut, sebagaimana diperintahkan oleh Keppres No. 34 Tahun 2003. Jika dibaca sekilas, tampaknya tidak ada hal yang mesti dipertentangkan di dalam amanat yang terkandung baik di dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 maupun di dalam Keppres No. 34 Tahun 2003 berkaitan dengan pelaksanaan landreform, namun pada kalangan yang peduli pada pelaksanaan lendreform, baik yang berkepentingan Universitas Sumatera Utara langsung, yaitu organisasi petani, maupun yang tidak berkepentingan langsung, yaitu organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat dan kalangan intelektual, terdapat perbedaan dalam memandang kecenderungan yang dapat terjadi pada produk hukum yang dikeluarkan pemerintah sebagai implementasi dari TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003. Perbedaan pandangan ini berkaitan dengan perbedaan cara dalam melihat situasi sosial-politik dewasa ini dikaitkan dengan pertentangan pihak-pihak yang berkepentingan dengan penguasaan sumber-sumber agraria dalam konteks globalisasi, dan perbedaan pola pemerintahan berkaitan dengan pelaksanaan oto-nomi daerah. Hal ini menjadi penting untuk dicermati, mengingat Undang-Undang Pokok Agraria dilahirkan dalam situasi pemerintahan sentralistik, sementara Keppres No. 34 Tahun 2003 mengamanatkan agar sebagian kewenangan pengelolaan tanah diserahkan pada pemerintah daerah. Artinya, berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 2003, pelaksanaan landreform di Indonesia mau tidak mau harus dilakukan dengan menyempurnakan UUPA. Sementara itu, kecenderungan kehidupan ekonomi dunia pada saat ini menunjukkan dominasi negara-negara maju yang sampai pada batasan tertentu secara kasat mata melakukan praktek neo-kolonialisme atau imperialisme, yang pada konteks pelaksanaan landreform, terjadi pertentangan dengan kepentingan rakyat yang menghendaki landreform dengan konsep redistributive, sementara kekuatan ekoniomi neo-kolonialisme tersebut menghendaki terjadinya land market yang berorientasi pada kepentingan pasar. 98 98 Lihat sub bab, 4.1.2 Desakan Neo-Liberalisme pada Kebijakan Pertanahan di Indonesia. Universitas Sumatera Utara Sebelum dikeluarkannya Keppres Nomor 34 Tahun 2003, terjadi perdebatan mengenai arah pembaruan agraria yang akan dijalankan berdasarkan TAP MPR No. IX Tahun 2001. Bahkan terlepas dari kecenderungan arah pembaruan agraria yang akan dijalankan dengan mengacu pada TAP MPR tersebut, ada pihak yang menilai bahwa dikeluarkannya TAP MPR No. IX Tahun 2001 masih belum menjawab permasalahan yang terdapat pada saat TAP MPR tersebut dikeluarkan. Permasalahan- permasalahan tersebut adalah; pertama, perdebatan mengenai cakupan wilayah implementasi dari pembaruan agraria yang hendak didorong. Apakah pembaruan agraria hanya akan menyangkut aspek pertanahan an sich atau juga meliputi seluruh aspek dari pengelolaan sumber daya alam. Kedua, undang-undang yang mana hendak dilahirkan untuk menjadi dasar hukum operasional pelaksanaan TAP MPR ini nantinya? Apakah mengembalikan posisi Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok agraria kepada posisi idealnya semula sebagai peraturan dasar bagi pengaturan masalah-masalah yang berhubungan dengan bumi, air, angkasa dan segala kekayaan alam yang terkandung di atas maupun dalam perut bumi, atau justru proses marjinalisasi dan sterilisasi pemandulan UUPA 1960? Permasalahan ini termasuk bidang politik hukum yang baru terjawab kemudian dalam Keppres No. 34 Tahun Universitas Sumatera Utara

3.4.1 TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003 Dilihat