Keppres No. 34 Tahun 2003 sebagai Pintu Masuk bagi Pelaksanaan

kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam guna menyelesaikan sengketa agraria dan sumber daya alam, agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, dan rakyat pada umumnya, sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi; mempercepat pembahasan RUU Pelaksanaan Pembaruan Agraria, RUU Pertambangan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, RUU Penataan Struktur Agraria serta RUU Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam. 103 Berdasarkan uraian di atas, bahwa TAP MPR No. IX Tahun 2001 juga didukung oleh TAP-TAP MPR pada Sidang-sidang MPR berikutnya, kalangan yang melihat bahwa TAP MPR No. IX Tahun 2001 merupakan pintu masuk sekaligus dasar politis dan hukum pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia melihat bahwa Pembaruan Agraria dapat dilaksanakan segera dengan berlandaskan pada TAP MPR No. IX Tahun 2001 tersebut.

3.4.1.2 Keppres No. 34 Tahun 2003 sebagai Pintu Masuk bagi Pelaksanaan

Landreform Keppres No. 34 Tahun 2003 dilihat sebagai pintu masuk bagi pelaksanaan landreform dengan tetap memperhatikan beberapa faktor yang berkaitan situasi sosial, politik dan ekonomi yang ada sekarang. Pasal tentang amanat dilaksanakannya penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA dalam Keppres No. 34 Tahun 2003 dilihat sebagai awalan bagi pelaksanaan landreform di Indonesia. Istilah “penyempurnaan” yang 103 Ibid, hal. 67 Universitas Sumatera Utara digunakan dalam pasal tersebut dianggap tepat, ketimbang istilah “revisi” atau “pembaruan”, dalam arti bahwa apa yang sudah baik ditingkatkan menjadi lebih baik. 104 Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yang memiliki pengaruh signifikan bagi terbangunnya asumsi ini. Beberapa faktor tersebut adalah; 105 1. rujuk kepada TAP MPR No. XVI Tahun 1998 jo TAP MPR No. IX 2. Faktor Hukum Di samping Pancasila sebagai landasan filosofis dan UUD 1945 sebagai landasan yuridis konstitusionalnya, maka landasan operasional penyempurnaan UUPA harus tetap me Tahun 2001. Faktor Kebijakan Desentralisasi Penyempurnaan UUPA harus mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertanahan yang disepakati untuk lebih dilimpahkan kepada Kabupaten dan Kota dalam rangka desentralisasi. Kebijakan baru ini harus diartikan sebagai perkembangan kebijakan yang dinyatakan dalam pasal 2 UUPA, bahwa “hak menguasai dari Negara itu pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat adat”. Dalam bagian Penjelasan dinyatakan bahwa “ketentuan tersebut adalah bersangkutan dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Dengan demikian 104 Prof. Ny. Arie Hutagalung, SH., MLI., 2004, Op.Cit., hal. 24 105 Ibid Universitas Sumatera Utara pelimpahan wewenang untuk melaksanakan Hak Penguasaan Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind”. Desentralisasi kewenangan tersebut harus tetap dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia dan karenanya terbatas pada pelaksana-an Hukum Tanah Nasional dan tidak menyangkut kebijakan . Fak n dengan dikeluarkannya anah yang negatif sekarang ini diarahkan . 4. etentuan-ketentuannya etap mempertahankan: asas-asas dasar, lembaga-lembaga hukum, dan sistem atau tata susunannya. nasional. 3 tor Globalisasi Dalam hal ini yang perlu mendapat upaya penyempurnaan antara lain adalah: a. Dunia usaha menuntut proses yang lebih mudah dalam tata cara memperoleh tanah, dan kini sudah dilakukan antara lai Keputusan Menteri Agraria No. 21 Tahun 1994. b. Diarahkan untuk peningkatan masuknya modal dan investasi asing. c. Peningkatan jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah, terutama dengan publikasi pendaftaran t menuju sistem publikasi positif Faktor sasaran penyempurnaan Hal ini menyangkut sasaran teknis bidang-bidang yang disempurnakan. Penyempurnaan dilakukan dengan melengkapi isi UUPA yang merupakan peraturan dasar Hukum Tanah Nasional, dengan memperbaiki rumusan k melalui suatu undang-undang, namun t a. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 b. Hukum adat sebagai sumber utamanya c. Semangat, tujuan, konsepsi, Universitas Sumatera Utara Adapun penyempurnaan yang dilakukan atas UUPA Tahun 1960 berkaitan dengan beberapa kelemahan yang terdapat di dalam UUPA tersebut. Dalam hal ini, Usep Setiawan 2004 mencatat beberapa hal yang sering dikritisi para aktivis pro pembaruan agraria dari UUPA yang dapat dijadikan sasaran penyempurnaan UUPA Tahun 1960. Kelemahan yang utama adalah terlalu dominannya konsep hak menguasai dari negara HMN atas tanah dan kekayaan alam. Pernyataan ini beranjak dari fakta bahwa konsep HMN ini telah banyak dimanipulasi penguasa untuk menyingkirkan dan menegasikan hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Melalui HMN, semua kekayaan alam telah di-negara-isasi. 106 Selain itu, pengakuan atas hak-hak masyarakat adat oleh UUPA juga sangat lemah. Sekalipun hak-hak ulayat berkali-kali disebut dalam klausulnya, hampir semua memakai syarat yang justru melemahkan hak-hak adat itu sendiri, misalnya ketentuan di dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa “...pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan- ketentuan Peraturan Pemerintah”. 107 Di samping hal-hal yang berkaitan dengan hak menguasai dari negara dan pengaturan tentang hak-hak ulayat, dalam cakupannya, UUPA juga dinilai telah menyempitkan pengaturan agraria hanya pada sektor pertanahan, karena sebagian besar klausul dalam undang-undang ini memang mengatur mengenai administrasi pertanahan, sementara maksud awal dari cakupan 106 Usep Setiawan, Op.Cit., hal 76. 107 Sebagaimana yang dicatat oleh Usep Setiawan, Ibid. hal 76 Universitas Sumatera Utara yang hendak diatur meliputi semua sektor keagrariaan dan mengacu pada konstitusi, yakni bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penyempurnaan UUPA adalah; pertama, penyempurnaan UUPA haruslah bermakna menguatkan semangat kerakyatan yang terkandung di dalamnya. Penyempurnaan mestilah memperbaiki UUPA, bukannya menghapus atau menggantikannya dengan undang-undang yang semangat dan isinya sama sekali baru. Menyempurnakan berarti pula keharusan memperkuat orientasi pemenuhan kepentingan hajat hidup orang banyak, bukan sebaliknya. Kedua, penyempurnaan UUPA mestilah dilakukan secara hati-hati agar tidak terseret kepentingan globalisasi kapitalisme yang hendak mengukuhkan kepentingan ekonomi-politiknya di lapangan agraria. Oleh sebab itu, kandungan esensial penyempurnaan UUPA mestilah memastikan kebijakan politik agraria tetap berada di jalur populistik sebagaimana watak asli dari UUPA 1960. Ketiga, penyempurnaan UUPA hendaklah meneguhkan posisinya sebagai payung bagi peraturan perundang-undangan agraria. UUPA yang diperbarui mestilah menjadi payung pelaksanaan Pembaruan Agraria yang berkeadilan. Pengaturan atas sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pertanian, pesisir dan laut, dan sebagainya mestilah mengacu secara konsekuen kepada UUPA. Keempat, proses penyempurnaan UUPA hendaknya dijalankan secara demokratis dan partisipatif. Departemen dan lembaga negara lainnya yang terkait dengan agraria mesti terlibat aktif. Pakar dan organisasi non pemerintah LSM yang integritasnya teruji juga harus dilibatkan, dan yang terpenting untuk diajak bicara adalah rakyat yang paling berkepentingan atas agraria serikat petani, nelayan, masyarakat adat, dan rakyat kecil Universitas Sumatera Utara pada umumnya. Kelima, penyempurnaan UUPA 1960 harus diikuti dengan penyiapan basis sosial bagi pelaksanaan pembaruan agraria. Gerakan penyadaran, pendidikan politik, dan pengorganisasian rakyat petani, serta sosialisasi gagasan kepada publik secara luas mutlak dilakukan untuk memastikan agenda pembaruan agraria menjadi agenda bersama bangsa. Dengan demikian, konflik horizontal sesama anak bangsa akibat dijalankannya pembaruan agraria dapat kita hindari sejak dini. 108 Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa dengan tanpa memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003 akan menjadi kebijakan yang berorientasi pada pelaksanaan landreform dengan model populis, pandangan ini optimis dalam melihat bahwa berdasarkan TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003 landreform dapat dilaksanakan di Indonesia. Masalahnya kemudian adalah bagaimana dengan dua dasar hukum dimaksud dapat terus didesakkan kepada pemerintah di Indonesia.

3.4.2 TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003 Sebagai

Ancaman Bagi Petani Di samping pihak-pihak yang optimis melihat bahwa TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003 adalah pintu masuk bagi pelaksanaan lendreform di Indonesia, sebagian kalangan yang lain memandang bahwa pada tataran implementasi, TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003 dapat saja tidak sesuai dengan optimisme di atas, yaitu kemungkinan terjadinya 108 Ibid. hal 76 - 77 Universitas Sumatera Utara pembaruan agraria dan program landreform yang melenceng dari cita-cita UUPA. Pandangan ini beranjak dari fakta adanya dominasi kekuatan ekonomi global dalam kehidupan agraria di Indonesia, khususnya pertanahan. Dominasi kekuatan ekonomi global yang dimaksud di sini tentunya dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok ekonomi dalam negeri yang menjalankan politik mereka.

3.4.2.1 TAP MPR No. IX Tahun 2001 Sebagai Ancaman Bagi Petani