Kehidupan Agraria di Indonesia Pasca Orde Baru

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Latar Historis Lahirnya Kepres No.34 Tahun 2003

3.1.1 Kehidupan Agraria di Indonesia Pasca Orde Baru

Kehidupan agraria pada era reformasi, secara historis sesungguhnya merupakan dampak dari kebijakan ekonomi-politik pada era Orde Baru, mengingat bahwa konflik-konflik agraria pada era Orde Baru merupakan konflik-konflik yang sudah berurat akar dan meninggalkan bekas yang jelas pada kehidupan agraria di Indonesia. Hasil Sensus Pertanian Tahun 2003 menunjukkan semakin miskinnya petani Indonesia. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem petani dengan penguasaan lahan yang kecil, kurang dari satu hektar pada tahun 2003 menjadi 56,5 daripada sepuluh tahun sebelumnya 1993 yang berjumlah 48,5 dari total rumah tangga petani. Pada sisi yang lain, sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan lambatnya penciptaan lapangan kerja di luar pertanian, rumah tangga pertanian di Indonesia naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta tahun 2003. Berdasarkan jumlah itu, 54,4 rumah tangga pertanian berada di Jawa dan 45,1 berada di luar Jawa, sedangkan pada sensus sebelumnya, komposisinya adalah 56,1 di Jawa dan 43,9 di luar Jawa. Hal yang menarik adalah bahwa selama periode tersebut, kenaikan persentase rumah tangga petani gurem di Jawa jauh lebih cepat daripada di luar Jawa. Menurut Sensus Pertanian 1993 ST-93, persentase rumah tangga petani gurem di Jawa adalah 69,8 dari total Universitas Sumatera Utara jumlah petani, sedangkan pada Sensus Pertanian 2003 ST-03 menjadi 74,9 atau naik sebesar 5,1. Sementara itu, jumlah petani gurem di luar Jawa dalam ST-93 adalah sebesar 30,6, sedangkan berdasarkan ST-03 meningkat menjadi 33,9 atau naik sebesar 3,3. Tanah yang dikuasai dapat berasal dari milik sendiri atau menyewa dari pihak lain. Dalam tempo sepuluh tahun tersebut, jumlah petani gurem meningkat 2,6 per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003. 62 Pada sisi yang lain, menurut data sementara hasil inventarisasi penguasaan tanah yang berskala besar, HGU Hak Guna Usaha dan HGB Hak Guna Bangunan menunjukkan bahwa tanah-tanah dalam hak-hak tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal, bahkan diindikasikan terlantar. Di seluruh Indonesia, tanah yang diindikasikan terlantar luasnya mencapai 1,5 juta hektar. 63 Disatu sisi hal ini menunjukkan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan tanah guna kelangsungan hidupnya sangat tinggi, namun di sisi lain terdapat tanah dalam luasan skala besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Gambaran mengenai ketimpangan dalam penguasaan tanah pertanian tersebut pada dasarnya hanya sebagian dari persoalan ketimpangan agraria, yang lebih luas cakupan persoalan dan akibatnya. Sebagaimana diketahui bahwa pembahasan mengenai sumber-sumber agraria, berarti akan menyinggung 62 Laporan sementara hasil Sensus Pertanian 2003 ST-03 yang disampaikan oleh Direktur Statistik Pertanian Badan Pusat Statistik BPS, pada tanggal 2 Januari 2004 di Jakarta, dalam Politik dan Kebijakan agraria di Indonesia,Laporan Nasional Indonesia Country report, disajikan oleh Delegasi Indonesia dalam Konferensi Internasional tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan atau ICARRD International Conference on Agrarian Reform and Rural Development di Porto Alegre, Brasil, 7-10 Maret 2006. hal 11 63 Ibid.11 Universitas Sumatera Utara bagian-bagian lain dari sumber kekayaan Indonesia, seperti hutan, laut, hasil bumi, berupa tambang dan lainnya. 3.1.2 Desakan Neo-Liberalisme pada Kebijakan Pertanahan di Indonesia 3.1.2.1 Liberalisasi Pertanian dalam Perjanjian tentang Pertanian AoA Perjanjian tentang Pertanian AoA, Agreement on Agriculture adalah salah satu hasil dari kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia WTO, World Trade Organization 64 dalam beberapa pertemuan Putaran Uruguay, yang mengatur perdagangan pangan secara internasional dan di dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu lajunya konsentrasi pertanian ke agribisnis dan melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengan cara bertani subsisten bertani sebagai upaya penyediaan bahan pokok penyambung hidup. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, Perjanjian tentang Pertanian AoA sangat berpengaruh pada negara Indonesia dan kehidup-an petani Indonesia. Menurut dasar pikiran ketetapan tersebut, daripada mencukupi sendiri kebutuhan pangan, lebih baik negara-negara itu membeli makanan dalam pasar internasional dengan uang yang diperoleh dari hasil ekspor,namun banyak negara- negara kurang berkembang menghadapi rendahnya harga produk atas sejumlah ekspor mereka yang terbatas. Selama empat tahun pertama WTO, harga bahan-bahan 64 Berdiri secara resmi pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, setelah ditandatangani oleh para menteri, sebagai hasil dari Putaran Perundingan Uruguay, dan kemudian berlaku secara efektif semenjak 1 Januari 1995. Oleh Indonesia, perjanjian tersebut diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat DPR pada tanggal 13 Oktober 1994 menjadi Undang-Undang No.7 Tahun 1994. INFID, 2000, “Panduan Masyarakat untuk Memahami WTO”, Jakarta, hal 16-17. Universitas Sumatera Utara pertanian turun, sedangkan harga makanan tetap tinggi. Sistem ini dapat merugikan petani maupun konsumen, dan sekaligus membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan transnasional mendominasi pasar. Dengan menandatangani Perjanjian Pertanian AoA, negara-negara berkembang menyadari bahwa mereka telah setuju untuk membuka pasar mereka, sementara hal itu memungkinkan negara-negara adikuasa pertanian menguatkan sistem produksi pertanian bersubsidi mereka yang menyebabkan anjloknya harga pada pasar negara-negara berkembang. Aturan-aturan WTO yang terbaru mengenai pertanian mendesak negara-negara miskin untuk meliberalisasi pasar-pasar mereka, sementara pada sisi yang lain memungkinkan negara-negara majuindustri untuk mensubsidi dan membanting harga produk-produk ekspor pertanian mereka. Ekspor yang dilakukan dengan membanting harga, terutama yang dilakukan oleh negara- negara Uni Eropa dan Amerika Serikat menghancurkan kehidupan pertanian di negara-negara miskin. Sebagai contoh, banjir konsentrat tomat murah Eropa di Afrika Barat telah menghancurkan produksi dan pengolahan tomat lokal, sementara produk- produk susu Uni Eropa yang bersubsidi tinggi telah menyebabkan hilangnya pendapatan para produsen susu di Brasil dan Jamaica. 65 Sedangkan di Indonesia, para petani kecil penghasil beras, mengeluhkan banjirnya beras impor, yang harganya selalu lebih murah daripada beras yang mereka produksi. 66 Demikian pula halnya dengan kehidupan para petani apel di Malang, Jawa Timur dan tempat lainnya, yang hancur gara-gara apel impor yang harganya lebih murah. 65 Oxfam, “Globalisation, Submission to the Government’s White Paper on Globalisation”, Mei 2000, hal. 17. 66 Kompas, “Beras Impor Gusur Beras Lokal”, Kamis, 19 April 2001, hal. 21. Universitas Sumatera Utara Pemerintah negara-negara kaya, terutama Amerika Serikat, seringkali menyatakan kesediaannya terhadap pengembangan lapangan bermain yang sama dalam pertanian. Namun dalam kenyataannya, secara bersama-sama negara-negara OECD negara-negara industri maju membelanjakan US 350 Milyar untuk mensubsidi membantu para petani mereka. 67 Di Amerika Serikat, ini berarti subsidi senilai US 20.000 per tahun untuk tiap orang petani. Globalisasi pasar pertanian berarti bahwa para petani di negara-negara kaya tersebut bersaing dengan para petani kecil di negara-negara miskin, yang banyak di antaranya hidup dengan kurang dari US 1 per hari. Pada masa krisis, banyak negara berkembang telah meliberalisasikan impor pangan mereka, atas tekanan dari IMF Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, bahkan memberlakukan tarif nol persen untuk impor bahan pangan utamanya sembako. Pada masa normal nantinya, sulit untuk memberlakukan tarif lagi. Asal dari Perjanjian tentang Pertanian AoA, yang menjadi landasan dari liberalisasi pertanian, tentu harus dilacak dari keberadaan WTO. Organisasi Perdagangan Dunia WTO adalah badan baru yang diciptakan dari GATT General Agreement on Tariffs and Trade , sebagai organisasi multilateral dunia. WTO merupakan puncak dari impian kaum Imperialis untuk mendapatkan mandat organisasi yang jelas yang akan mengatur sistem ekonomi dunia. Meskipun tampaknya dari luar merupakan organisasi yang demokratis, dimana setiap negara berkedudukan sama dan diwakili satu suara, WTO pada dasarnya bersifat tidak 67 Oxfam, Op.Cit, hal 18 Universitas Sumatera Utara demokratis dan mencerminkan pemaksaan agenda ekonomi negara-negara industri maju kepada negara-negara lainnya. 68 WTO semula bernama GATT, lahir pada tahun 1947 pada dekade yang bersamaan dengan kelahiran dua lembaga ekonomi internasional yang lain, yaitu Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional IMF. Kedua lembaga ini sejak saat itu telah memainkan peran utama dalam menangani pembangunan dan ekonomi negara- negara baru merdeka. Sementara GATT harus melalui tujuh putaran perundingan sebelum menjelma menjadi sebuah badan yang kuat dan berpengaruh besar, yakni WTO, pada tahun 1994. Putaran perundingan yang terakhir adalah di Uruguay karena itu disebut Putaran Uruguay, atau Uruguay Round, yang menghabiskan waktu selama delapan tahun 1986-1994. Secara garis besar, WTO mengandung beberapa hal berikut ini; 69 pertama, WTO adalah sebuah badan yang telah dipersiapkan dengan sangat baik dan cukup lama oleh negara-negara maju selama berlangsungnya Putaran Uruguay dalam kerangka GATT. Badan ini telah menjadi sebuah badan perundingan multilateral, artinya badan yang mempunyai kewenangan dan otoritas atas berbagai pengaturan tingkat dunia terhadap negara-negara anggotanya berdasarkan kesepakatan yang dicapai di dalam perundingan. WTO juga mempunyai aspek perikatan hukum internasional, yang harus dipatuhi para anggotanya, dan yang menyimpang akan dikenai sanksi. 68 INFID, Op.Cit, hal 5 69 Ibid, hal 23-25 Universitas Sumatera Utara Kedua, WTO mempunyai tiga prinsip dasar yang secara efektif akan menerobos halangan-halangan perlindungan proteksionisme negara dan pintu masuk bagi berbagai liberalisasi ekonomi domestik. Prinsip pertama, adalah akses ke pasar, yaitu kewajiban setiap negara untuk membuka pasarnya bagi produk barang dan jasa negara lain. Prinsip kedua, adalah yang disebut sebagai MFN Most Favored Nation , artinya negara yang paling difavoritkan atau diprioritaskan. Prinsip itu berarti bila suatu negara memberikan fasilitas berbagai kemudahan akses pasar kepada negara lain, maka otomatis anggota-anggota WTO yang lain juga berhak mendapatkan fasilitas dan kemudahan yang sama. Prinsip ketiga, adalah NT National Treatment, atau perlakuan nasional. Artinya bahwa bila negara tersebut sudah mengikat komitmen kepada WTO, maka perusahaan-perusahaan yang masuk ke suatu negara harus diperlakukan “tidak kurang baiknya” dari perusahaan- perusahaan di dalam negeri. Jadi dasar bagi perlakuan yang tidak boleh membeda- bedakan dengan perusahaan domestik dalam negeri ini yang oleh WTO sering disebut lapangan bermain-nya harus dalam tingkatan yang sama. Tiga prinsip inilah yang sebenarnya merupakan dasar legitimasi bagi kehadiran perusahaan-perusahaan besar trans-nasional. Ketiga, WTO adalah sebuah kontrak mati atau “perkawinan seumur hidup”. Negara-negara anggota WTO terikat seterusnya terhadap kewajiban-kewajiban dan telah diberikannya sampai seluruh sektor terbuka sama sekali. Maksudnya, sejak 1 Januari 1995, semua anggota wajib secara bertahap membuka pasarnya dan menetapkan jadwal komitmennya hingga akhirnya membuka seluruh akses pasar dalam negerinya pasar domestik, dapat sampai ke titik yang ekstrem, nol persen. Di Universitas Sumatera Utara lain pihak, WTO diam-diam juga mengatur tentang perjanjian investasi, artinya diperbolehkannya pemilikan saham asing hingga 100 persen. Keempat, WTO mengenal istilah liberalisasi progresif, artinya liberalisasi yang diperlakukan secara hebat dan terus-menerus maju. Jadi di setiap perundingan atau negosiasi baru, akan selalu dituntut bagi anggota-anggotanya untuk terus membuka diri sampai pasarnya sepenuhnya terbuka bagi perusahaan-perusahaan asing maksudnya membuka pasar dalam negerinya hingga terbuka secara bertahap sampai akhirnya ke tarif 0 atau saham asing 100. Kelima, WTO adalah rejim pasar bebas, yang sepenuhnya menolak rejim proteksionisme. Ini adalah argumen pokok neo-liberal. Artinya, setiap anggota WTO wajib melonggarkan pasarnya sampai ke titik dimana pasar domestik dapat dimasuki impor barang-barang dan jasa-jasa secara bebas penuh. Di lain pihak, ini mensyaratkan dikuranginya campur tangan negara hingga sepenuhnya lepas, karena dianggap hanya akan merintangi pasar dan membuat pasar tidak sempurna. Negara tidak dapat lagi melindungi atau memproteksi pasar dalam negerinya. Keenam , WTO memperkuat rejim “Hak atas Kekayaan Intelektual” sebagai basis dasar atau inti dari ekonomi kapitalisme. “Kepemilikan Pribadi” diperkuat sedemikian rupa agar kekayaan ekonomi dapat stabil dan berkelanjutan. Di lain pihak, ini merupakan dasar dari monopoli pengetahuan, dan dasar dari penjarahan kekayaan intelektual komunitas dan kekayaan keanekaragaman hayati perusahaan- perusahaan atau peneliti-peneliti di negara-negara maju ke negara-negara berkembang, di samping juga perusahaan-perusahaan atau peneliti-peneliti setempat terhadap hak atas kekayaan intelektual komunitas. Universitas Sumatera Utara Ketujuh, WTO dalam kenyataannya membawakan agenda kepentingan negara maju, dengan mengedepankan materi-materi perjanjian yang merupakan kepentingan utama negara maju. Misalnya yang tercermin dalam sektor jasa, hak atas kekayaan intelektual, sektor pertanian, dan lain-lain. Apa yang disebut sebagai pasar bebas, pada kenyataannya adalah pasar tak bebas yang didasarkan pada monopoli, dominasi, tekanan, manipulasi, dan kepentingan sepihak. WTO juga telah menghalangi dan menggugurkan upaya pembangunan yang sesungguhnya di negara-negara berkembang, karena mereka kini tidak punya alternatif lain selain mengikuti kebijakan pembangunan model WTO, yaitu ketergantungan pada impor, ketergantungan pada teknologi dari luar, ketergantungan pada makanan dari luar, dihambatnya masa depan industrialisasi nasional, dilegalkannya pembajakan atas kekayaan intelektual komunitas dan pembajakan hayati, merajalelanya dan dominannya TNC perusahaan transnasional, hancurnya usaha dan industri kecil dan menengah, dilanggengkannya proses pemiskinan, perluasan kapitalisme di tingkat lokal dan daerah, pada intinya adalah penjajahan gaya baru neo-kolonialisme.

3.1.2.2 Pasar Tanah dalam Deregulasi Pertanahan

Setelah melihat kepentingan yang dibawakan oleh WTO lewat Perjanjian tentang Pertanian AoA, maka perlu pula diketahui kepentingan Kapitalisme Global terhadap alat produksi yang paling penting bagi petani dan sektor pertanian, yakni tanah. Untuk hal ini, Kapitalisme Global dan para pendukungnya termasuk kalangan intelektual mengembangkan konsep yang dikenal sebagai pasar tanah land market, Universitas Sumatera Utara