Perubahan Tata Ruang Kota Medan Dari Klasik Ke Modern

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………. i

UCAPAN TERIMA KASIH………. ii

RIWAYAT HIDUP………... iii

KATA PENGANTAR………... iv

DAFTAR ISI……….. v

DAFTAR TABEL……….. vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Masalah dan Latar Belakang……….. 1

1.2 Tinjauan Pustaka……….7

1.3 Perumusan Masalah………12

1.4 Ruang Lingkup………...12

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.6 Metode Penelitian………... 13

1.7 Lokasi Penelitian……… 18

BAB II GAMBARAN UMUM KAWASAN KOTA LAMA 2.1 Sejarah Kota Medan……… 20

2.2 Kawasan Kota Lama……… 27

2.3 Kawasan Gemeente/Kolonial……….. 30

2.4 Komposisi Penduduk Kota Medan……….. 34

2.4.1 Pada Masa Kolonial………. 34

2.4.2 Pada Masa Republik/Sekarang………. 35

BAB III KEBIJAKAN TATA RUANG KOTA 3.1 Kebijakan Tata Ruang Pada Masa Kolonial……… 40

3.2 Kebijakan Pada Masa Sekarang………... 50

3.3 Rencana Perancangan Kota………. 63

3.4 Kebijakan Upaya Pelestarian Kota……….. 69

BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pada tata ruang Kota Medan……….. 71

4.2 Pengaruh tata ruang Kota Medan bagi masyarakat………. 79

BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN……… 85 5.2 SARAN………


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup / sumberdaya manusia terdiri dari 3 ( tiga ) jenis, yaitu ; 1. Alam, 2. Biotik, dan 3. Binaan. Penelitian ini membahas tentang Binaan, dimana yang tergolong dengan lingkungan hidup / sumberdaya manusia binaan adalah salah satunya yaitu kota. Kota merupakan lingkungan binaan manusia yang sangat komplek. Kota itu suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dalam strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistik. Setiap kota memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakan kota tersebut dengan kota-kota lainnya.

Setiap kota pada memiliki kawasan lama/bersejarah yang ditandai sebagai lokasi awal pertumbuhannya. Sejarah kota dimulai dari kawasan ini dimana bangunan-bangunannya mudah dicirikan identitasnya, penuh dengan makna sejarah dan arsitekural, sehingga secara total memancarkan citra yang kuat. Tanpa adanya kawasan ini, masyarakat akan merasa terasing tentang asal-usul lingkungannya, karena tidak mempunyai orientasi pada masa lampau.

Pada masa lampau kawasan lama atau sering juga disebut dengan inti kota lazimnya berfungsi sebagai pusat perdagangan, market centres, atau marketplace untuk melayani kebutuhan masyarakat sekitar. Penampilan kota sering bersifat simbolis dan historis, berskala manusia, memiliki kekhasan dengan kultural – kultural yang beragam, menyuguhkan morfologi ruang dan massa yang berkesinambungan dalam kurun waktu cukup panjang. Sebuah kota senantiasa akan berkembang dari waktu ke waktu, di mana semua kegiatan / aktivitas manusia terekam di dalam sebuah


(3)

ABSTRAK

Berdasarkan berbagai sumber sejarah yang ada, riwayat Kota Medan dimulai pada akhir abad ke-XVI, dengan didirikannya kampung Medan di dekat pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura oleh Guru Patimpus, seorang pemuka masyarakat yang berasal dari Tanah Karo. Sejak itu kampung Medan berkembang sangat lambat. Kampung Medan mulai berkembang pesat pada abad XIX dengan dibukanya perkebunan-perkebunan tembakau di daerah sekitar. Banyak perusahaan perkebunan mendirikan kantornya di Medan. Pada periode itu Pemerintah Hindia Belanda memindahkan ibu kota Keresidenan Sumatera Timur dari Bengkalis ke Medan dan kemudian Sultan Deli juga memindahkan ibu kotanya dari labuhan ke Medan. Pada awal abad XX Pemerintah Hindia Belanda mengangkat status Keresidenan Sumatera Timur menjadi Provinsi dengan ibu kota Medan.

Pada abad ke XX Medan berkembang menjadi kota Kolonial bergaya Eropa dan dijuluki Parijs van Soematra. Secara fisik kota Medan tampak terbagi (2) dua wilayah, yaitu : (1) Wilayah Gemeente di bawah Pemerintah Hindia Belanda ; (2) Wilayah Grand Kesultanan di bawah kendali Kesultanan Deli. Wilayah Gemeente relatif tertata rapi dan dilengkapi berbagai fasilitas infrastruktur dan menjadi wilayah bisnis, dan pemukiman. Pada masa itu terdapat pengelompokkan pemukiman berdasarkan etnis. Wilayah Gemeente dihuni oleh golongan Eropa dan Timur Asing, sementara wilayah Kesultanan Deli dihuni oleh pribumi (Melayu, Batak, Mandailing, Minang dan Jawa).

Pada masa Kemerdekaan batas-batas zonasi pemukiman berdasarkan etnis mulai kabur dan pembangunan fisik kota yang pesat, cenderung tidak terkendali bahkan menyimpang dari Master Plan (Rencana Induk) Tata Ruang Kota. Pada periode ini banyak bangunan yang berasal dari periode Kolonial dirobohkan, diganti dengan bangunan baru yang hanya memprioritaskan aspek fungsional, sehingga terkesan monoton, seragam, miskin estetika dan variasi.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa banyak bangunan warisan dari masa Kolonial, bernilai sejarah dan menyimpan rekam jejak sejarah perkembangan Kota Medan dihancurkan dan digantikan dengan bangunan baru. Keadaan ini disebabkan terutama karena faktor-faktor pragmatis (ekonomi dan kepentingan pemilik modal). Desakan faktor tersebut demikian kuat, bahkan Pemerintah Kota Medan dalam melaksanakan pembangunan, cenderung melanggar peraturan perundangan-undangan ( UU RI NO 26 Tahun 2007) Tentang Penataan Ruang, UU RI No 11 Tahun 2011 Tentang Benda Cagar Budaya dan Perda Tingkat II Medan No.6 Tahun 1988 Tentang “ Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan Serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II Medan”, dan akhirnya banyak pihak yang mengesalkan tindakan Pemerintah Kota Medan.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pembangunan fisik kota yang cenderung tidak terkendali akan menimbulkan efek eksternalitas yang tidak menguntungkan bahkan merugikan kepentingan warga kota seperti kemacetan lalu lintas yang pada akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat serta dapat menurunkan kualitas lingkungan.


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup / sumberdaya manusia terdiri dari 3 ( tiga ) jenis, yaitu ; 1. Alam, 2. Biotik, dan 3. Binaan. Penelitian ini membahas tentang Binaan, dimana yang tergolong dengan lingkungan hidup / sumberdaya manusia binaan adalah salah satunya yaitu kota. Kota merupakan lingkungan binaan manusia yang sangat komplek. Kota itu suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dalam strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistik. Setiap kota memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakan kota tersebut dengan kota-kota lainnya.

Setiap kota pada memiliki kawasan lama/bersejarah yang ditandai sebagai lokasi awal pertumbuhannya. Sejarah kota dimulai dari kawasan ini dimana bangunan-bangunannya mudah dicirikan identitasnya, penuh dengan makna sejarah dan arsitekural, sehingga secara total memancarkan citra yang kuat. Tanpa adanya kawasan ini, masyarakat akan merasa terasing tentang asal-usul lingkungannya, karena tidak mempunyai orientasi pada masa lampau.

Pada masa lampau kawasan lama atau sering juga disebut dengan inti kota lazimnya berfungsi sebagai pusat perdagangan, market centres, atau marketplace untuk melayani kebutuhan masyarakat sekitar. Penampilan kota sering bersifat simbolis dan historis, berskala manusia, memiliki kekhasan dengan kultural – kultural yang beragam, menyuguhkan morfologi ruang dan massa yang berkesinambungan dalam kurun waktu cukup panjang. Sebuah kota senantiasa akan berkembang dari waktu ke waktu, di mana semua kegiatan / aktivitas manusia terekam di dalam sebuah


(5)

kota. Kemudian, kota itu memiliki kultur dan karakteristik yang berbeda – beda dengan kota yang lainnya. Karena kota memiliki karakteristik yang berbeda, maka setiap kota itu memiliki identitas – identitas tersendiri dibandingkan dengan kota yang lain, identitas-identitas tersebut memiliki makna yang berbeda.

Kawasan kota lama merupakan suatu kawasan yang menjadi landasan pembentuk kota pada suatu masa, saat awal terbentuknya kota tersebut. kawasan kota lama biasanya merupakan kawasan bersejarah atau “heritage district”. Kawasan kota lama/bersejarah tersebut merupakan suatu area didalam kota dimana terdapat banyak bangunan-bangunan yang signifikan sebagai bangunan lama yang memiliki nilai sejarah, dan biasanya lokasi ini merupakan bagian kecil area dalam suatu kota.

Oleh sebab itu, dalam perkembangannya supaya kota ini tidak kehilangan jati dirinya, maka kota tersebut harus menjaga fitur – fitur budaya, menjaga berbagai macam bentuk / landscape bangunan – bangunan yang memiliki makna sejarah sebagaimana hal tersebut melambangkan sebagai identitas kota itu. Yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah, hilangnya nilai – nilai sejarah di dalam kota tersebut telah hilang.

Kepentingan ekonomi dan globalisasi mengakibatkan terjadinya penyeragaman wajah kota-kota yang ditunjukkan dari adanya penyamaan bentuk arsitektur. Gejala penyeragaman wajah kota ini dimulai dengan terjadinya gejala pengrusakan bangunan dan kawasan peninggalan bersejarah di perkotaan. Bangunan-bangunan kuno bersejarah pada suatu kota banyak yang dibongkar untuk memberikan tempat bagi bangunan baru yang modern, yang berupa pencakar langit berbentuk kotak kaca yang tunggal rupa yang akhirnya menghilangkan ciri dan karakteristik


(6)

pula tataguna lahan yang tunggal yang mengakibatkan aktivitas di kawasan tersebut hanya aktif pada waktu-waktu tertentu saja. Perkembangan kota menuntun kearah pembangunan yang berorientasi modern. Dengan dukungan teknologi transportasi dan komunikasi semakin maju, pembangunan baru di luar kawasan lama telah banyak dilakukan, dan ada juga yang memilih untuk merombak dan membongkar unsur-unsur fisik di kawasan lama, menggantikannya dengan yang baru. Semua itu dilakukan demi memenuhi tuntutan efisiensi dan ekonomis.

Kota Medan juga memiliki fitur budaya dan landscape – landscape bangunan tersendiri. Dengan perkembangan kota tersebut, banyak bangunan – bangunan tua / bersejarah yang memiliki makna kebudayaan di dalam kota ini telah hilang dan digantikan dengan bangunan – bangunan yang komersial. Pembangunan yang dilakukan pada inti kota Medan zaman dulu ini dilakukan karena pada daerah kota ini ialah salah satu daerah di kota Medan yang dianggap sudah matang. Pembangunan – pembangunan yang dilakukan akhirnya mengakibatkan adanya perubahan tata ruang terhadap kota Medan. Ini didasari karena adanya unsur kerjasama antara pemerintah, pengusaha dan investor elit. Hal ini dikarenakan bahwa daerah dikawasan kota lama kota Medan ini sudah memiliki konsumen – konsumen yang lengkap / penuh, sehingga tidak perlu lagi mencari konsumen – konsumen, dan tidak perlu lagi membangun infrastruktur tetapi hanya perlu membeli lahan saja. Persoalannya dikawasan kota lama kota Medan ini yang dianggap juga sebagai inti kota, yang dulunya banyak bangunan – bangunan bersejarah dan akhirnya harus dikorbankan demi kepentingan ekonomi.

Saat ini, dilihat sudut pandang kota, bahwa kota Medan adalah kota tanpa perencanaan tata ruang yang reprensentatif. Bangunan – bangunan bersejarah rela dikorbankan demi pembangunan dalam ekonomi dan politik. Maka terjadilah tata


(7)

ruang kota Medan yang semberawut, seperti yang ada sekarang ini dikawasan kota lama yang dianggap sudah matang, dimana didaerah tersebut banyak bangunan – bangunan bersejarah yang merupakan salah satu bangunan yang telah dirancang oleh Bangsa Belanda, dengan maksud bahwa kota Medan tersebut memiliki makna kultural yang berbeda dengan kota yang lainnya, kini telah hilang dan hanya tinggal puing – puing kenangan saja, dan kini bangunan tersebut berubah menjadi suatu kawasan komersial yang dikorbankan demi kepentingan ekonomi dan dunia bisnis.

Perubahan Tata Ruang Kota Medan disebabkan oleh manusianya juga. Seiring berjalannya waktu, dinamika kehidupan manusia yang tinggal di kota Medan ikut berperan serta dalam menciptakan arus perubahan tata ruang kota Meda. Karena proses perubahan tersebut dilalui oleh dua ( 2 ) fase, yaitu:

1. Zaman Kesultanan Deli / penjajahan Belanda.

Melihat Medan tempo dulu, kita harus melihat cerita awal Kesultanan Deli dan tentu saja Kota Medan itu sendiri. Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam “Daghregis ter” VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India. Dimana pada fase ini, tata ruang kota Medan tertata dengan rapi dan teratur. Belum lagi Kota Medan ini disimbolkan dengan kota Medan yang bernuansa Melayu. Dan pada saat penjajahan Belanda memasuki daerah kota Medan, kota ini dirancang langsung oleh arsitektur Belanda, yang menyerupai dengan pusat kota yang ada di Belanda. Ruang-ruang kota tertata dengan rapi


(8)

daerah untuk pendidikan. Sehingga dengan hal tersebut masyarakat kota Medan dalam menjalani kehidupannya berlangsung dengan rapi dan teratur. Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan. Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.

2. Zaman sekarang

Tata ruang kota Medan sekarang sudah berubah yang menjadi tata ruang kota yang semberawut. Kota Medan tidak lagi menunjukkan kota yang memiliki idenditasnya sendiri, hal ini semakin lama semakin terasa dengan adanya perubahan terhadap tata ruang kota Medan, seiring mengikuti dengan perkembangannya juga.

Diambil contoh pada kawasan kota lama, yang sesuai dengan daerah penelitian saya, semakin lama daerah kota lama ini semakin mengalami kesemberawutan pada tata ruangnya, contohnya : Lapangan merdeka yang dahulu dikatakan sebagai daerah pusat kota di kota Medan, yang merupakan suatu daerah yang banyak meninggalkan nilai-nilai budaya pada masa penjajahan Belanda, kini menjadi suatu daerah kota Medan yang bernuansa

food court ala Singapore. Tetapi apa yang terjadi, semuanya berubah karena


(9)

perubahan tersebut dimayoritaskan pada masyarakat yang beretnis Tionghoa. Banyak masyarakat yang tidak semuanya dapat menikmati adanya perubahan yang terjadi di kota Medan. Akhirnya demi menutupi rasa ketidakmampuan mayarakat terutama pada masyarakat golongan bawah terhadap perubahan kota Medan. Sehingga mereka juga membuka lahan mereka sendiri dengan adanya pemukiman-pemukiman kumuh di daerah pinggiran. Ini terjadi pada daerah pemukiman kumuh dikampung Madras samping sungai Deli Kampung Keling, dimana semua masyarakat golongan menengah kebawah membuka lahan mereka sendiri dari berbagai suku-suku masyarakat yang ada di dalamnya. Masalah yang paling menonjol ialah perubahan tata ruang kota Medan yang terjadi sekarang ini disebabkan dan dilakukan oleh manusia dengan adanya sifat dan budaya ingin menguasai dan akhirnya dampak ini juga mempengaruhi terhadap manusianya juga. Sehingga banyak masyarakat yang dapat menerima apa yang terjadi terhadap perubahan tata ruang kota Medan sekarang. Dan inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji masalah ini, yang semakin lama semakin terasa adanya perubahan terhadap tata ruang kota Medan, seiring mengikuti dengan perkembangan zaman juga.

Keterbatasan akan sumber daya dan banyaknya kepentingan yang harus ditampung serta diwujudkan dalam pemanfaatan kawasan kota lama/bersejarah sebagai ruang publik merupakan dasar dari timbulnya permasalahan – permasalahan tersebut.


(10)

1.2 TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan – perubahan tata ruang yang terjadi di kota Medan di sebabkan oleh adanya proses evolusi dan fungsional di dalam sebuah kota tersebut, dan jika dilihat dari segi lingkungannya perubahan tersebut terjadi karena adanya pembangunan – pembangunan yang bersifat komersial yang didasari oleh faktor ekonomi, dan didasari oleh adanya sifat-sifat manusia.

Pengertian Kota Menurut Amos Rappoport

Definisi Klasik

Suatu permukiman yang relatife besar, padat dan permanen, yang terdiri dari kelompok individu - individu yang heterogen dari segi sosial.

Definisi Modern

Suatu Permukiman dirumuskan bukan dari ciri morfologi kota tetapi dari suatu fungsi yang menciptakan ruang - ruang efektif melalui pengorganisasian ruang dan hirarki tertentu.

Selain itu dalam Pengenalan dan Pemahaman Kota dan Perkotaan, Djoko Sujarto mengatakan bahwa kota dapat diberikan arti dan berbagai sudut tinjauan.

 Secara demografis, merupakan suatu tempat dimana terdapat pemusatan atau konsentrasi penduduk yang sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya.

 Secara sosial budaya, merupakan suatu lingkungan dengan pola sosial budaya yang sangat beragam dengan berbagai pergeseran dan perubahan.

 Secara sosial ekonomi, merupakan suatu lingkungan dengan kegiatan perekonomian dan kegiatan usaha yang beragam dan didominasi oleh kegiatan usaha bukan pertanian yaitu jasa, perdangan, perangkutan dan perindustrian.


(11)

 Secara fisik, merupakan suatu lingkungan dimana terdapat suatu tatanan lingkungan fisik yang didominasi oleh struktur binaan.

 Secara politis administratif, merupakan suatu wilayah dengan batas kewenangan pemerintahan yang dibatasi oleh suatu batas wilayah administratif kota.

Menurut Arthur B. Gallion dan Simon Eisner ( 1992 ), kota merupakan suatu organisme yang kompleks; merupakan kumpulan berbagai jenis bangunan untuk menampung segala kegiatan dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual penduduknya. Unsur – unsur itu terjalin menjadi satu oleh suatu jaringan jalan atau jalur transportasi, saluran air, ruang – ruang kota, komunikasi dan dipersatukan oleh ikatan sosial dan tradisi ekonomi.

Seharusnya kota itu, khususnya pada pusat – kotanya, menunjukkan jati dirinya sebagai panggung aktivitas sosial, ekonomi dan seni budaya dari segenap warganya. Kota adalah suatu karya seni sosial. Hal ini dapat dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh Marvin Harris sebagai teori Materialisme Kebudayaan. Materialisme budaya merupakan sebuah pendekatan yang berangkat dari konsep materialismenya Marx. Materialisme ini selalu dikaitkan dengan nama Marvin Harris, yang mengusulkan nama pendekatan itu sendiri. Materialisme kebudayaan didasarkan pada konsep bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat menentukan kesadaran manusia, dan bukan sebaliknya. Harris sangat dipengaruhi gagasan Marxis tentang basis (base) dan suprastruktur (superstructure). Ia menyebut basis sebagai “infrastruktur”. Ia memodifikasi skema Marxis dengan memasukkkan unsur


(12)

(intermediate category), yakni struktur (structure), di antara basis dan suprastruktur, suatu kategori yang tidak terdapat dalam skema Marxis. Materialisme didasarkan pada konsep bahwa dunia ini terdiri dari objek-objek materi yang berinteraksi dan berpotongan satu sama lain dalam berbagai keadaan, baik tetap maupun bergerak. Harris memandang ketiga kategori tersebut, yaitu basis, struktur, dan suprastruktur, sebagai fenomena etik. Artinya ketiga kategori tersebut dapat ditemukan oleh ahli ilmu sosial yang menelitinya sebagai ilmuwan. Suprastruktur mengandung fenomena etik maunpun emik. Fenomena emik adalah komponen mental dalam pikiran orang-orang yang merupakan anggota suatu kebudayaan atau masyarakat, yang memandang diri mereka sendiri dan dunia dari perspektif spesifik mereka sendiri, atas dasar nilai-nilai, pengetahuan, dan sikap yang dipelihara dalam kebudayaan.

Materialisme kebudayaan mengemukakan hipotesis bahwa perilaku manusia dikontrol oleh persyaratan kebutuhan protein, energi, atau faktor-faktor alamiah lainnya. Metodologi materialisme kebudayaan terletak pada metode ilmiah dan aturan-aturannya dalam menghimpun data, memverifikasi hipotesis, dan mengembangkan analisis logika dan pembuktian yang tepat. Prinsip umum yang harus dipegang mengenai Materialisme Kebudayaan adalah “budaya dikembangkan

oleh suatu masyarakat berdasarkan pada materi (benda) yang dimilikinya”. Selain

itu, Materialisme Kebudayaan berbanding lurus dengan benda-benda yang dimiliki suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dan kebudayaan berkembang seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia. Kaum materialis memandang manusia sebagai materi, realitas konkret, bersama dengan produk-produk pikiran manusia dan perilaku manusia, yang terdiri dari objek-objek fisik seperti peralatan dan benda-benda, dan produk pikiran seperti teknologi, ilmu pengetahuan, pengetahuan, nilai-nilai, hukum, agama, dan kebudayaan.


(13)

Penulis melihat bahwa Materialisme Kebudayaan ini hadir dalam fakta yang sedang terjadi sekarang ini, yaitu mengenai perubahan tata ruang Kota Medan. Karena seperti yang telah dikemukakan Teori Materialisme Kebudayaan bahwa kondisi materi itu menentukan kesadaran manusia. Adanya perubahan tata ruang itu dilakukan dengan kesadaran manusia tersebut. Manusia menyadari dengan adanya perkembangan zaman infrastrukutur yang terdapat pada kota akan mengalami perubahan, walaupun mereka menyadari infrastruktur tersebut memiliki makna tersendiri sebagai simbol identitas kota, tetapi demi kesenjangan ekonomi infrastruktur tersebut di bumi hanguskan. Marvin harris menegaskan bahwa apabila kondisi-kondisi dalam infrastruktur tidak matang, maka tidak akan ada aktivisme ekonomi dan politik yang membawa perubahan. Inilah yang terjadi pada perubahan tata ruang Kota Medan.

Banyak bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai sejarah bagi Kota Medan telah hilang. Dan bangunan-bangunan tersebut dominan berada kawasan kota lama yang dianggap sebagai inti dari Kota Medan, dimana pada pada kawasan kota lama tersebut dianggap suatu daerah kota yang sudang matang, sehingga para pengusaha memiliki ide mengganti bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai sejarah dengan infrastruktur yang mewah dan modern. Perubahan infrastruktur yang dominan terjadi pada kawasan kota lama yang dianggap sebagai daerah kota yang sudang matang, hal ini akan membuat perubahan yang cepat dan efisien, karena pada daerah kota yang dianggap sudah matang ini, awalnya sudah memiliki SDA dan SDM yang lengkap. Dan sebaliknya, jika perubahan tersebut dilakukan pada daerah yang masih naturalis, para manusia yang ikut serta berperan dalam perubahan tata ruang Kota Medan akan


(14)

Sehingga muncul kembali dasar dari sifat manusia tersebut yang ingin menguasai dan tidak mau dirugikan.

Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karakter fisik dan sifat dari masyarakat di sebuah kota. Sebagian besar masyarakat melestarikan tempat – tempat bersejarah tertentu secara permanen dan melindunginya dari perambahan perkembangan lahan yang tidak sesuai. Sepanjang sejarah, berbagai bangunan penting seperti kuil, gereja, masjid, dan tempat – tempat pemujaan lainnya telah dilestarikan. Makam dan kuburan oleh para perencana kota terdahulu dianggap sebagai penggunaan tanah di perkotaan yang paling tidak dapat diganggu gugat, karena kepercayaan tentang hubungan dengan nenek moyang dan keagamaan yang telah melekat di masyarakat sejak berabad – abad lamanya. Oleh karena itu, dengan tumbuhnya minat untuk memelihara kebudayaan, banyak kota yang mempersyaratkan perlunya situs – situs sejarah yang penting atau perlunya untuk menunda pembongkaran selama jangka waktu tertentu, sebelum pendirian bangunan baru dimulai. Hampir semua kota mempunyai tempat – tempat yang diperlakukan khusus untuk kepentingan sejarah dan kebudayaan. Materialisme budaya adalah sebuah paradigma, yang prinsip-prinsipnya tampaknya relevan bagi tata laku penyelenggaraan riset dan pengembangan teori dalam seluruh bidang dan sub-bidang antropologi. Bagi kaum materialis budaya, apakah mereka seorang antropolog budaya, arkeolog, antropolog biologi, atau ahli bahasa, pengalaman intelektual utama antropologi bukanlah etnografi, tetapi pertukaran data dan teori di antara bidang dan sub-bidang yang berbeda-beda, yang terkait dengan studi global, komparatif, diakronis, dan sinkronis tentang umat manusia, dan studi-studi lainnya. Menurut Marvin Harris, materialisme budaya didasarkan pada prinsip-prinsip epistemologis tertentu, yang dipegang secara umum oleh semua disiplin yang mengklaim memiliki


(15)

pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah itu didapat melalui operasi-operasi yang bisa diulang (replicable) dan terbuka (public), yaitu lewat observasi dan transformasi logis.

1.3 Perumusan Masalah

Penelitian yang dilakukan mengambil judul “ Perubahan Tata Ruang Kota Medan dari Klasik ke Modern”, yang bertujuan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Kota Medan, tetapi peninggalan-peninggalan sejarah rela dihancurkan demi kepentingan ekonomi/bisnis.

Perumusahan masalah memerlukan adanya pembatasan masalah, agar penulisan ini tidak menjadi rancu ataupun menjadi meluas kepada hal-hal yang tidak terkait dengan masalah yang sedang diteliti. Adanya pembatasan masalah, diharapkan agar dalam penulisan ini akan menjadi lebih fokus yaitu Mengenai Perubahan Tata Ruang yang terjadi di Kota Medan. Pembahasan yang telah dilakukan dengan cara memasukkan informasi maupun data yang di dapat di lapangan melakukan penelitian maupun studi kepustakaan yang memiliki keterkaitan dengan masalah ini.

1.4 Ruang Lingkup

Yang menjadi salah satu masalah di dalam penelitian ini ialah, perubahan tata ruang Kota Medan banyak menghilangkan dan menghancurkan bangunan – bangunan tua yang memiliki nilai sejarah yang dapat memberikan jati diri terhadap kota Medan telah hilang. Dan sumber – sumber masalah lain, yang akan dibuat kedalam beberapa pertanyaan yaitu;


(16)

2. Sejauh mana peranan masyarakat khususnya warga yang berdomisili di kawasan kota lama Medan dalam mempengaruhi perubahan tata ruang kota.

3. Bagaimana upaya masyarakat untuk mempertahankan keberadaan bangunan-bangunan bersejarah dikota lama.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian * Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana proses interaksi antara perubahan – perubahan yang ada terhadap tata ruang kota Medan yang dahulunya bertemakan kota yang klasik dan bersejarah dan kini menjadi kota Medan yang modern dan ingin mengetahui bagaimana upaya masyarakat untuk mempertahankan keberadaan bangunan bersejarah di dalam arus perubahan yang terjadi. Diharapkan setelah penelitian ini dilakukan, dapat ditemukan suatu pengetahuan baru yang dapat membuka logika berpikir kita mengenai perubahan – perubahan yang terjadi terhadap tata ruang kota Medan yang jelas dan nyata pada sekarang ini.

* Manfaat Penelitian

Dalam lingkupan akademis, semoga penelitian ini berguna bagi mahasiswa, dosen dan pihak – pihak akademis yang memiliki perhatian atau fokus kajian masalah – masalah seputar pembangunan yang mengakibatkan perubahan terhadapa tatanan kota Medan. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan salah satu media yang tepat untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan.


(17)

1.6 METODE PENELITIAN 1.5.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif, yang bersifat deskriptif dan mengharuskan sipeneliti harus masuk ke dalam dunia informan, serta melakukan interaksi yang secara dalam, agar adanya terjalin kerjasama yang baik, serta berusaha untuk mengerti cara pandang / pikir informan tersebut. sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat – sifat suatu individu, keadaan atau gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain.

Dalam penelitian ini saya akan format peristiwa penelitian tentang hal yang sama tetapi berbeda dengan daerah yang satu dengan yang lain, yang berkaitan dengan adanya fenomena – fenomena yang nyata dan jelas pada sekarang ini.

1.5.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat menjaring data ketika penelitian, maka diperlukan beberapa cara yang relevan dalam mencapai tujuan penelitian, yaitu studi lapangan, studi kepustakaan dan bahan visual.

Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur. Literatur ini dilakukan guna untuk melengkapi data yang berhubungan dengan penelitian ini. literatur-literatur tersebut meliputi buku-buku teori, artikel, laporan penelitian, opini dari surat kabar, majalah dan dari media online.


(18)

Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data-data dari lokasi penelitian dan selanjutnya data yang didapat disebut dengan data primer. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data primer ini adalah :

*

Observasi ( pengamatan) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan ( Bungin, 2007:115). Observasi ini dilakukan guna untuk melakukan pendekatan awal dengan objek pengamatan, pastinya ini penting untuk memudahkan saya pada awalnya sebelum kegiatan wawancara dilakukan dan tentu saja untuk menggambarkan kondisi awal. Oleh karena itulah, untuk mendukung kelengkapan data yang dapat diperoleh dengan cara pengamatan maka observasi menjadi pilihan yang tepat dalam penelitian ini.

Observasi

*

Wawancara atau interview adalah cara yang dipergunakan seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu (misalnya penelitian) untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden atau informan dengan cara bercakap-cakap, berhadapan muka dengan orang yang diwawancarai. Pertanyaan-pertanyaan awal dengan informasi penting yang dibutuhkan untuk memahami kondisi objektif sangat efektif dengan melakukan metode wawancara. Metode ini dapat mendekatkan diri secara emosional dengan informan, selain


(19)

itu data-data otentikdari sudut pandang emik (emic view) juga dapat dimulai wawancara.

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara (interview guide) yang berhubungan dengan masalah penelitian serta daya ingat dan catatan kecil. Wawancara ini dilakukan guna mendapatkan data mengenai situasi dan kondisi apa yang mendasari mengenai Perubahan Tata Ruang Kota Medan dari Klasik ke Modern. Dalam melakukan wawancara, penulis memilih informan untuk diwawancarai. Informan tersebut dibagi dalam tiga (3) jenis, yaitu:

1.Informan Pangkal

Orang yang memiliki pengetahuan luas mengenai berbagai masalah yang ada dalam suatu komunitas atau masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi informan pangkal ialah Pejabat Birokrasi.

2.Informan Pokok

Orang yang memiliki keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan yang menjadi perhatian penulis. Dalam penelitian ini, informan pokok diperoleh dari informan pangkal, dan yang menjadi informan pokok adalah Para pengusaha yang terlibat dalam terjadinya Perubahan pada Kota Medan, dan Para Akademis yang memiliki pengetahuan yang luas terhadap Kota Medan khususnya mengenai arsitektur bangunan kota Medan.


(20)

3.Informan Biasa

Orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah dengan pengetahuan yang dimilikinya, namun bukan ahlinya. Dalam hal ini yang menjadi informan biasa antara lain masyarakat umum, baik itu yang dalam golongan rendah ataupun golongan menengah keatas yang menyadari adanya Perubahan Tata Ruang Kota Medan.

Bahan visual

Sebagai bahan informasi sekunder, saya akan mengggunakan dokumentasi visual untuk lebih menguatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Bahan atau peralatan yang digunakan untuk mendukung dokumen visual ini disajikan dalam bentuk foto. Gambar visual (foto) yang dihasilkan sebagai bukti yang dapat dilihat oleh semua orang dan sebagai data pelengkapnya yang paling akhir.

1.5.3. Analisa data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang menganalisa tentang perubahan tata ruang kota Medan. Salah satu tahapan dalam penelitian ini berupa proses hasil wawancara, pengamatan, dokumen yang terkumpul, analisis bersifat terbuka, open ended dan induktif. Maksudnya analisis bersifat longgar, tidak kaku, dan tidak statis, analisis boleh berubah kemudian mengalami perbaikan, dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk ( endrawarta, 2006;179)

Proses analisis data dilakukan terus menerus baik di lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikan data. Kemudian dicari tema


(21)

yang menjadi fokus penelitian. fokus penelitian ini diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kawasan kota lama dan sekitarnya. Daerah kawasan kota lama ini merupakan inti kota Medan pada dulunya, yang merupakan salah satu kawasan kota Medan yang sudah matang sebagai ekosistem level domestifikasi. Seperti pada uraian sebelumnya, penelitian ini mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada kota Medan, terutama pada konsep tata ruangnya. Perubahan-perubahan tersebut akan lebih saya fokuskan pada kawasan kota-kota lama. Kota lama seperti dalam peta di bawah ditandai dengan adanya garis yang menyerupai seperti gambar segitiga. Dimana kawasan kota lama tersebut, merupakan kawasan yang paling banyak terdapat bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai sejarah bagi kota Medan.


(22)

(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM KAWASAN KOTA LAMA

2.1. Sejarah Kota Medan

Pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di

Mengenai asal nama Medan, ada yang mengatakan kalau itu berasal dari kata

maidan dalam bahasa India yang artinya tanah datar. Dalam bahasa Melayu sendiri

kata medan berarti tempat berkumpul, sehingga kata itu digunakan untuk peranan daerah (yang kelak menjadi sebuah kota) yang sejak dahulu telah menjadi tempat berkumpul orang-orang dari berbagai penjuru. Mereka melakukan berbagai aktivitas di sana. Adapun bakal pusat kota Medan didirikan pada pertapakan yang terdiri atas perkampungan penduduk asli Melayu Deli, kemudian tanah yang termasuk konsesi perkebunan Mabar, Deli Tua dari Deli Maatschappij, serta konsesi perkebunan Polonia.

Sebelum bangsa Belanda menguasai daerah Sumatera Utara, penduduk Sumatera Utara telah mengenal bangsa lain seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris. Masa pemerintahan Belanda dimulai pada tahun 1885 yang ditandai dengan dikeluarkannya peraturan dasar ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda.


(24)

Keresidenan Riau sampai tahun 1870. Medan dalam bahasa Melayu berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman dulu merupakan tempat berkumpul orang-orang dari Hamparan Perak, Sukapiring dan daerah lainnya untuk berdagang dan bertaruh. Daerah ini dikenal dengan nama kampung Melayu. Kampung ini dikelilingi oleh kampung-kampung lain, seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau. Keberadaan kampung-kampung ini sekarang sudah tidak ada lagi, karena terdesak oleh perluasan kota Medan. Tanah Lapang Esplanade (lapangan Merdeka) saat itu masih merupakan kebun tembakau yang penuh dengan rawa-rawa. Wilayah yang tidak dikuasai langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda meliputi kawasan Kesultanan atau daerah Swapraja, sedangkan daerah yang dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda disebut dengan Daerah Gouvernement.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1886 Medan dijadikan Kotapraja oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bergagai perkantoran didirikan. Pada tanggal 3 Maret 1887 Medan dijadikan ibukota Kerisidenan Sumatera Timur. Akibat perkembangan yang semakin pesat oleh statusnya sebagai ibukota Keresidenan, maka pada tanggal 4 April 1909 Medan diberi status pemerintahan otonom. Dibawah pemerintahan Kotapraja Medan mengadakan pembangunan jalan-jalan baru, jembatan, pipa air minum, listrik dan klinik-klinik. Belakangan, pada tahun 1915 Keresidenan Sumatera Timur ditingkatkan statusnya menjadi Gubernemen, dan Gouverneur yang pertama adalah HJ Crijzen. Kelak Sultan Deli Makum Arrasjid mengalihkan kepemilikan sebagian tanahnya yang luas menjadi tanah kota tahun 1918 untuk menampung perluasan kota. Sampai tahun 1937 Medan telah menjadi pusat kegiatan administrasi pemerintahan dan ekonomi.

Hal yang cukup menarik bahwa secara fisik perkembangan kota tidak hanya berurusan dengan kebutuhan orang hidup, seperti tempat tinggal, perkantoran, stasiun


(25)

kereta api dan sebagainya melainkan juga berhubungan dengan orang-orang yang meninggal, yaitu adalah kebutuhan akan pemakaman. Berbagai pihak ikut mengupayakan kebutuhan itu sehingga di Medan sejak dahulu diketahui memiliki beberapa kompleks pemakaman, baik untuk umum maupun bagi kelompok masyarakat tertentu. Perkembangan kota yang pesat menjadikan Medan sebuah kota modern yang ditandai dengan berdirinya bangunan-bangunan beragam gaya arsitektural. Banyak orang mengatakan bahwa kota Medan menjadi betul-betul unik di Hindia Belanda, karena telah menjadi kota bergaya Eropa dalam nuansa Inggris.

Pemenuhan kebutuhan kehidupa n sebuah perkotaan juga berhubungan dengan pusat perbelanjaan. Di Medan, pada bulan Maret 1933 diresmikan pusat pasar yang menempati areal di sekitar Jalan Sutomo yang saat itu bernama Wilhelminestraat dan jalan Sambu (Hospitaalweg). Pusat Pasar itu meliputi 4 (empat) buah bangunan besar dan panjang (loods) yang megah. Arsitek Belanda sangat kagum dengan kebudayaan Perancis, sehingga merancang pusat pasar itu dan mengadopsi bentuk pasar bangunan

Les Halles ( Pasar Sentral) di Paris. Demikian pula halnya dengan bentuk dan pola

taman-taman di Medan, mendapat pengaruh dari model taman-taman di kota Paris, sehingga kota Medan mendapat julukan Parijs van Sumatera. Pesatnya perkembangan Kota Medan tampak pula dari pembagian wilayah administrasinya. Pada tahun 1959 wilayah Kota Medan terbagi atas 4 (empat) wilayah kecamatan, dan pada saat ini terbagi atas 21 wilayah Kecamatan. Hal ini disesuaikan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan luasan wilayah.

Sesuai dengan namanya, Medan bukan hanya merupakan pusat pertemuan berbagai bangsa dan kebudayaan melainkan juga tempat pembauran budaya.


(26)

Gocah Pahlawan yang dikenal juga sebagai Deri Khan, yakni pendiri kesultanan Deli, berayahkan seorang India dengan ibu dari Aceh. Anaknya kelak menjadi Sultan Deli. Dalam kehidupan keseharian di Medan, bahwa penduduk beretnis Melayu adalah mereka yang berdarah campuran Melayu Malaysia, Karo, Aceh, Toba, Mandailing, dan Minangkabau.

Di kota kelompok pendatang cenderung membentuk komunitas tersendiri, antara lain dengan menempati daerah tertentu. Hal ini memunculkan kesan bahwa sebuah daerah di suatu kota identik dengan sebuah kelompok masyarakat perantau. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perantau itu amat berperan dalam menambah jumlah penduduk serta komposisi kelompok masyarakat di sebuah kota. Keberagaman karena hal itu tampak pula di Medan, dan antara lain terlihat pada peninggalan budaya dalam bentuk karya arsitekturnya, dan pembagian cara pemukiman berdasarkan etnik.

Sekarang banyak peninggalan seni bangunan bergaya Kolonial/Indis yang hancur atau digusur, walaupun masih ada yang tertinggal, sebagian dari yang masih tersisa, ada yang tidak terawat dan kumuh dan sebagian lagi masih berdiri kokoh dan terawat. Di tengah kota Medan, kumpulan bangunan bergaya Kolonial/Indis dijumpai di sepanjang Jalan Jenderal Achmad Yani dan seputar Lapangan Merdeka. Beberapa masih memperlihatkan keaslian fungsinya seperti kantor pusat perusahaan perkebunan, kantor pos, bank dan hotel. Di seputar Lapangan Merdeka, dijumpai bangunan Bank Indonesia, yang dahulu merupakan bangunan De Javaansche Bank. Juga gebung Balai Kota, dan Hotel De Boer ( sekarang Hotel Dharma Deli). Adapun Kantor Pos yang selesai dibangun pada tahun 1911 terletak di sudut barat laut Lapangan Merdeka, yang berhadapan dengan Hotel Dharma Deli masih menampakkan keutuhannya.


(27)

Pada zaman kolonial, kawasan kota Medan terbagi atas pembangunan zona-zona pemukiman masyarakat berdasarkan etnisitas. Ada pembagian wilayah tempat tinggal masyarakat di Medan berdasarkan ras di undang-undang mereka (Eropa, Timur Jauh (Cina dan non-Cina), dan Pribumi).

 Kawasan Pecinan

Dari aspek sejarah keberadaan kawasan Pecinan memperlihatkan struktur komposisi masyarakat mayoritas etnik china di masa lalu. Lokasi bangunan ini dan sekitarnya merupakan wilayah pemukiman orang- orang Cina yang umumnya sebagai pedagang, tuan tanah, penarik pajak, dan lainnya yang mendapat perlindungan dari Penguasa pada masa pemerintahan Belanda. Daerah kawasan Pecinan yaitu meliputi daerah perkantoran, dan perdagangan yang berada pada Jl. Cirebon, Jl. Surakarta, Jl. Bogor.

 Kawasan Kampung Tamil

Pada masa kolonial, orang-orang Tamil bermukim disekitar daerah-daerah perkebunan yang ada di kota Medan. Awalnya orang Tamil bermukim disekitar kota-kota besar yang ada di kota Medan. Pemukiman orang Tamil yang sering dikenal dengan nama kampung Madras, dan yang lebih familiar lagi dikenal dengan nama kampung Keling. Daerah pemukiman mereka biasanya lebih dominan terletak di pinggiran sungai. Tepatnya mayoritas orang Tamil tersebut berada di pinggiran sungai Babura, dimana sungai ini merupakan sungai yang menjadi jalur utama transportasi di masa lampau. Tetapi sekarang


(28)

Awal datangnya orang Tamil ke Medan ialah ingin bekerja sebagai kuli perkebunan. Hal ini dilatarbelakangi dengan keadaan orang Tamil yang datang ke Medan, yang berasal dari golongan orang –orang rendah di India baik dari segi pendidikan dan ekonomi. Orang-orang Tamil inilah yang dipekerjakan sebagai kuli/budak perkebunan milik orang Eropa.

 Kawasan Eropa

Kawasan Eropa dahulunya disebut dengan nama Kesawan yang merupakan cikal bakal berdirinya kota Medan yang wilayahnya terhubung dari Kesawan hingga Labuhan Deli. Awal abad ke-19 pembangunan Medan menjadi sedemikian pesat ditandai banyaknya infrasturuktur yang dibangun. Banyak juga bangunan baru berdiri dengan tampilan arsitektur bergaya Eropa. Ada jalur rel kereta api dan stasiun Kereta Api dibangun di kota Medan; lokasinya berdekatan dengan Esplanade. Dulunya Kawasan Eropa adalah sebuah kampung tempat persinggahan para pedagang yang datang untuk berdagang hingga menyabung ayam. Semua kegiatan dilakukan di sana. Tempat ini merupakan sentral penduduk yang berasal dari Serdang yang akan menuju ke Sunggal atau dari Percut ke Hamparan Perak, bahkan yang dari Labuhan ke Deli Tua. Kawasan Eropa inilah yang kini kemudian menjadi kesawan.

Kesawan itu masuk ke dalam wilayah perkebunan. Kemudian berkembanglah tempat itu. Maka banyaklah pertokoan-pertokoan yang dibuat oleh orang-orang Cina disitu. Seiring waktu, berbagai etnik pun menyebar memanfaatkan wilayah ini sebagai kawasan bisnis. Di tahun 1918, wilayah itu pun diserahkan oleh Kesultanan Deli kepada pemerintah


(29)

Hindia-Belanda hingga akhirnya terbentuklah gemeente. Oleh Pemerintah Kota Praja Medan, kawasan itu pun disusun teratur sedemikian rupa hingga membentuk sebuah kawasan bernama Kesawan yang di penuhi dengan bangunan-bangunan bergaya Eropa.

Sejak itu berdatanganlah perusahaan-perusahaan asing untuk membuka berbagai perkantoran, bank, perusahaan perkebunan, kantor pusat, perusahaan pelayaran, kapal-kapal asing, dan lain-lainnya hingga Kesawan penuh dan menjadi pusat kota. Dulu kios-kios yang dibangun di situ masih berbentuk kayu. Masih sederhanalah bentuknya, belum seperti sekarang ini. Kemudian berubah jadi bangunan beton. Pada abad 19 kawasan itu masih seperti kampung. Kondisinya pun masih seperti pasar, tetapi setelah diambil alih oleh Belanda, kawasan itu pun berubah menjadi sekarang ini.


(30)

 Kawasan Pribumi 1. Mandailing

Merupakan kawasan yang berada pada sepanjang aliran di pemukiman Sungai Deli, Kelurahan Sei Mati, serta kampung baru dan sekitarnya. 2. Melayu/ Minang

Daerah kawasan Melayu/Minang berada pada daerah kota Matsum. Asal kata Matsum dari kota Matsum berasal dari nama Sultan Deli yaitu Maimun Al Rashyid Perkasa Alam yg membangun istana Maimun dan Masjid Raya. Kota Matsum merupakan kota-nya masyarakat Melayu Deli di kota Swapraja Medan yang ditandai dengan kediaman Sultan di istana Jalan Puri dan para bangsawannya yang ditandai dengan banyak istana-istana para tengku yang berupa rumah panggung. Daerah-nya dari Jalan Halat, Jalan Japaris dan Sisingamangaraja dan Ismailiyah. Jalan Puri juga dulunya lebar seperti Amaliun, dan sekarang d jalan puri masih terdapat 1 rumah panggung model rumah Melayu Deli.

2.2 Kawasan Kota Lama.

Eko Budihardjo dan Sidharta ( 1989 ) dalam Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta menyatakan bahwa suatu kota mempunyai

kawasan lama sebagai lokasi awal pertumbuhannya. Sejarah kota dimulai dari kawasan ini dimana bangunan-bangunannya mudah dicirikan identitasnya, penuh dengan makna sejarah dan arsitektural, sehingga secara total memancarkan citra yang kuat. Tanpa adanya kawasan ini, masyarakat akan merasa terasing tentang asal-usul lingkungannya, karena tidak mempunyai orientasi pada masa lampau.


(31)

Kawasan kota lama merupakan suatu kawasan yang menjadi landasan pembentuk kota pada suatu masa, saat awal terbentuknya kota tersebut. Kawasan kota lama biasanya merupakan kawasan bersejarah atau ‘heritage district’. Kawasan kota lama/bersejarah tersebut merupakan suatu area di dalam kota di mana terdapat banyak bangunan-bangunan yang signifikan sebagai bangunan lama/bersejarah. Biasanya lokasi ini merupakan bagian kecil area dalam suatu kota.

Eko Budihardjo (1992) dalam Arsitektur dan Kota di Indonesia menyatakan bahwa kepentingan ekonomi, globalisasi dan derasnya arus informasi mengakibatkan terjadinya penyeragaman wajah-wajah kota yang ditunjukkan dari adanya penyamaan bentuk arsitektur. Gejala penyeragaman wajah kota ini di mulai dengan terjadinya gejala pengrusakan bangunan dan kawasan peninggalan sejarah di perkotaan. Bangunan-bangunan kuno bersejarah pada suatu kota banyak yang di bongkar untuk memberikan tempat bagi bangunan baru yang modern, berupa pencakar langit berbentuk kotak kaca yang tunggal rupa yang akhirnya menghilangkan ciri dan karekteristik khas kota tersebut. Akibat semakin padatnya arus lalu lintas pada masa sekarang ini mengakibatkan matinya aktivitas di suatu kawasan kota lama/bersejarah. Perkembangan kota selanjutnya menuntun kepada pembangunan yang berorientasi modern. Ada juga yang memilih untuk merombak dan membongkar unsur-unsur fisik di kawasan kota lama, menggantikannya dengan yang baru. Semua ini dilakukan demi memenuhi tuntutan efisiensi dan ekonomis.

Bangunan-bangunan tua yang kaya akan bentuk ragam hias dan ornamen tersingkir oleh kehadiran bangunan-bangunan beraliran “modernism” yang memenuhi standar-standar fungsional, efisien dalam pemakaian sumber dan


(32)

ini berdampak pada terjadinya penurunan terhadap guna atau fungsi dan citra kawasan pusat kota lama.

Gejala pengrusakan bangunan lama/bersejarah terjadi pula di kota Medan sebagai salah satu kota lama di Indonesia yang memiliki cukup banyak bangunan dan kawasan lama/bersejarah. Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di kota Medan diatur dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan No. 6 Tahun 1988 tentang “ Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan Serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II Medan” dan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Dati II Medan No. 188.342/382/SK/1989 tentang pelaksanaan Perda tersebut serta salinan Surat Keputusan Walikota Medan No.188.342/3017/SK/2000 tentang penyempurnaan SK No.188.342/382/SK/1989. Walaupun telah diatur mengenai tata cara pemugaran dan ketentuan dan ketentuan pidana bila terjadi pelanggaran, masih saja terjadi pengrusakan maupun pembongkaran terhadap bangunan-bangunan lama, bahkan ada pula yang dibiarkan begitu saja seperti bekas Kantor dan Bupati Deli Serdang yang dibangun pada abad ke-19 dan dirobahkan pada tahun 1993 serta kasus terkahir, pembongkaran Gedung Mega Eltra di Kota Medan pada tahun 2002 yang keseluruhan bagian dalam bangunan sudah di robohkan. Tidak tercantumnya bangunan-bangunan lama/bersejarah seperti ini ke dalam “Daftar Bangunan” yang dilindungi pada peraturan daerah tersebut mengakibatkan tindakan pembongkaran tidak dapat di hindarkan.

Kawasan kesawan merupakan yang termasuk kawasan kota lama Medan merupakan lokasi awal perkembangan kota Medan modern yang mulai berdiri pada akhir abad XVI dan berkembangan pada awal tahun 1900-an. Fungsi yang mendominasi dari kawasan ini adalah campuran antara fungsi hunian (ruko dan fungsi


(33)

komersial) perbelanjaan/retail dan perkantoran. Pada saat ini kawasan Kesawan sedang mengalami perubahan akibat adanya penggunaan fungsi bisnis yang sebagian terpusat di Jl.A.Yani sekitarnya menjadi daerah bisnis yang berkembang.

2.3. Kawasan Gemeente/ Kolonial.

Wilayah Gemente merupakan wilayah yang terlihat modern dan benar – benar bergaya kolonial Eropa. Sebagian besar fasilitas-fasilitas umum penunjang Medan berada disini. Orang-orang Eropa seluruhnya bermukim di wilayah ini dalam kantong-kantong gaya yang eksklusif. Begitu juga dengan orang-orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya yang ditempatkan disini dalam kantong-kantong pemukiman yang khusus. Hanya sedikit orang dari kalangan Bumiputra yang tinggal di wilayah Gemeente. Itupun hanya orang yang memiliki kepentingan tertentu, ataupun penduduk yang pada awalnya memiliki tanah dan rumah di wilayah sosial yang tergolong tinggi. Bahasa yang digunakan di tempat ini beragam-ragam sesuai dengan penduduknya. Orang-orang Eropa berkomunikasi dengan bahasa mereka sendiri, dan terutama dengan bahasa Belanda. Sementara orang-orang Tionghoa memakai bahasa ibu mereka, begitu juga dengan orang-orang India. Namun yang menjadi pengantar komunikasi berbeda-beda tersebut adalah bahasa Melayu Indonesia yang dicampur dengan bahasa Belanda.

Tujuan dari awal pembangunan kota pada masa kolonial adalah sebagai kota perantara untuk pengiriman hasil bumi dari daerah jajahan (dikuasai) ke luar negeri. Dengan demikian fungsi kota adalah sebagai suatu pusat perekonomian dan administrasi pemerintahan kolonial ketika itu. Kota ini merupakan tipologi kota yang


(34)

Asia, Afrika dan Amerika Latin. Kawasan Gemeente/kolonial dibangun oleh negara-negara besar, diberi pola formal yang ditentukan oleh penguasa. Lingkungannya juga pada masa lalu terbentuk oleh keterpaksaan, prasangka masalah ekonomi atau alasan yang dibuat-buat.

Hal ini berkaitan dengan munculnya pengolongan penduduk di kota kolonial yang menyebabkan pula pemusatan golongan penduduk tertentu pada bagian-bagian kota tertentu secara tata ruang dimana pola penggolongan etnis ini pada masa kolonial dengan “wijk”. Dari penggolongan secara fisik terdiri dari :

1. Kawasan pemukiman orang Eropa

2. Kawasan kaum ningrat dan intelektual pribumi

3. Kawasan golongan penduduk penduduk kaum pedagang 4. Kawasan kaum ulama agama Islam

5. Kawasan golongan penduduk pribumi

Bahwa kawasan Gemeente/Kolonial terbentuk oleh zona-zona yang diinginkan oleh hak penjajah sehingga tidak saling mengganggu dilihat dari segi politik kolonial. Konsep rancang kota berdasarkan orientasi kepentingan politik dan melupakan persyaratan pendekatan kepada seluruh masyarakat kota. Sifat pembangunan tergantung kepada kepentingan struktur politik, sosial budaya dan kekuatan ekonomi pihak pemegang kekuasaan.

Dulunya jalan-jalan di wilayah Gemeente ini lebih rapi dan diisi dengan mobil, sepeda, kereta lembu dan kereta kuda, serta riskhaw yang ditarik oleh orang Tionghoa dengan tapak kaki yang hampir selalu telanjang. Gemeente cukup ramai dan sibuk sebagai sebuah sentral ekonomi, sosial dan birokrasi di Sumatra Timur. Namun pada titik-titik tertentu di kantong-kantong pemukiman orang-orang Eropa,


(35)

keadaannya cukup sunyi dan agak tertutup. Keadaan ini berbeda lagi dengan kantong-kantong pemukiman orang-orang Tionghoa dan India yang suasananya yang relatif ramai.

Simbol bagi Gemeente adalah Lapangan Merdeka Medan dan gedung De Javasche Bank, serta tentu saja Kantor Pos Besar dengan air mancur Jacobus Nienhuys di depannya. Semua bangunan ini berada di kawasan Esplanade. Di kawasan yang menjadi pusat kota Medan tersebut akan dapat ditemukan salah satu alasan yang membuat kota Medan menjadi Ibukota Gouvernemen Sumatra Timur.

Yang menjadi pusat kawasan kota bagi Medan adalah Lapangan Merdeka. Sebuah lapangan rumput berbentuk persegi yang dikelilingi olah jalan raya. Disekitar lapangan ini berdiri Balai Kota, De Javasche Bank, Hotel De Boer, Kantor Pos Besar, Stasiun Besar Kereta Api dan beberapa kantor perusahaan perkebunan. Konon kabarnya titik nol kilometer Medan juga terdapat disini, yang diwujudkan dalam bentuk air mancur dan patung seorang Belanda. Patung itu mulai berada di depan Kantor Pos Besar sejak 1915 Masehi.

Kota Medan yang dulunya dikenal sebagai kota kolonial yang berorientasi pada jalur transportasi darat, jalan raya dan rel kereta api adalah infrastruktur vital disini. Jalan raya dan rel kereta api menjadikan Medan sebagai pusat tujuan hilir mudiknya gerbong-gerbong kereta dan alat transportasi darat lainnya. Namun, jangan berpikir jalanan di Ibu Koloni ini ramai dengan mobil. Mobil merupakan barang mewah yang hanya dimiliki oleh para pengusaha, birokrat kolonial dan sultan. Keberadaan mobil yang dulunya di jalanan Medan masih kalah dengan sepeda, angkong, kereta lembu, dan kereta kuda. Sarana transportasi kereta api dibangun


(36)

Tahun 1891 Medan mulai berkonsentrasi kepada dua wilayah utama. Daerah kesultanan Kotamaksum yang menjadi wilayah ibukota Kesultanan Deli dan Gemeente Medan yang menjadi wilayah ibukota Keresidenan Sumatra Timur. Pada dasarnya pembagian tersebut bertujuan untuk memudahkan pembedaan pengaturan orang-orang yang menjadi warga kesultanan dengan orang-orang yang menjadi warga Gemeente. Meski bahwa Medan yang dimaksud oleh birokrat kolonial Belanda adalah wilayah yang masuk dalam birokrat administrasi Gemeente Medan, namun umumnya orang-orang yang berada di luar kedua wilayah tersebut menganggap bahwa daerah kesultanan dan Gemeente adalah satu kesatuan. Medan mendapat pengakuan resmi sebagai sebuah Gemeente baru pada 1 April 1909 Masehi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.B. van Heutz di Buitenzorg.

Kala itu, Medan telah memiliki kelengkapan infrastruktur yang memadai sebagai sebuah kotapraja. Jalan-jalan di kota ini telah diaspal dan diberi penerangan listrik. Hotel dan rumah sakit telah dapat menampung tamu dan pasien dalam jumlah yang cukup memadai. Fasilitas air bersih juga tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan warga, dengan tangki air bersih berukuran besar, yang sosok bangunannya cukup mencolok mata bagi penduduk Medan masa itu. Di kota ini juga telah tersedia jaringan telepon, kolam renang, klab pacuan kuda, klab sepakbola, dan perkumpulan olahraga ataupun rekreasi lainnya. Sebagai sebuah ibukota keresidenan, ia sudah lebih cukup dari segi infrastruktur dibanding kota-kota lain di Sumatra pada masanya.


(37)

2.4. Komposisi Penduduk Kota Medan 2.4.1 Pada Masa Kolonial

Medan didirikan oleh Guru Patimpus Pelawi pada tahun 1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan pemimpin bernama Tuanku Pulau Brayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang. Tahun 1909, Medan menjadi kota penting di luar pulau jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang Bumiputra, dan seorang Tionghoa.

Diakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat (2) dua gelombang migrasi ke Medan, yaitu :

1. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk


(38)

2. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama. Sejak tahun 1950, Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belasa kali lipat.

Kota Medan dalam peningkatan jumlah penduduknya cukup signifikan. Pada awal perkembangannya, awalnya penduduk Medan hanya sekitar 200 jiwa saja. Kemudian pada tahun 1905 penduduk Medan menjadi 14.000 jiwa dan pada tahun 1930 menjadi 76.584 jiwa. Pada masa pendudukan Jepang, penduduk Medan adalah 108.000 jiwa. Adapun hasil sensus tahun 1971 memperlihatkan adanya 635.562 jiwa yang tinggal di kota Medan dan pada tahun 1980 jumlah penduduknya meningkat, tidak kurang dari 1.378.955 jiwa (BPS 1980).

2.4.2 Pada Masa Republik

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km2) atau 3,6 dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya, kota Medan memiliki luas wilayah yang relatih kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3 derajat 30’ – 3 derajat 43’ Lintang utara dan 98 derajat 35’ – 98 derajat 44 Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 3,7 meter di atas permukaan laut.


(39)

Berdasarkan data kependudukan tahun 2005, penduduk kota Medan diperkirakan telah mencapai 2.036.018 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.010.174 jiwa > 995.968). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar.

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, penduduk Medan berjumlah 2.109.339 jiwa. Penduduk kota Medan terdiri atas 1.040.680 laki-laki dan 1.068.659 perempuan. Disiang hari jumlah meningkat hingga 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Sebagian besar penduduk kota Medan berasal dari kelompok umur 0-19 tahun dan 20-39 tahun (masing-masing 41% dan 37,8 dari teritorial penduduk).

Dilihat dari struktur umur penduduk, kota Medan dihuni kurang lebih 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah, penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.

Laju pertumbuhan penduduk Medan periode tahun 2000-2004 cenderung mengalami peningkatan-tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 adalah 0,09% dan menjadi 0,63% pada tahun 2004. Sedangkan tingkat kapadatan penduduk mengalami peningkatan dari 7.183 jiwa per km² pada tahun 2004. Jumlah penduduk paling banyak ada di Kecamatan Medan Deli, disusul Medan Helvetia dan Medan Tembung. Jumlah penduduk yang paling sedikit, terdapat di Kecamatan Medan Baru,


(40)

angka harapan hidup bagi laki-laki adalah 69 tahun sedangkan bagi wanita adalah 71 tahun.

Mayoritas penduduk Kota Medan sekarang ialah dari orang Tionghoa cukup banyak. Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah sekitar Jl. Zainul Arifin dikenal sebaga pemukiman orang keturunan India. Secara historis, pada tahun Medan dihuni 43.826 jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan 35.009 berketurunan Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal dari ras Timur lainnya.

Perbandingan Etnis di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000 Etnis Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000

24,89% 29,41% 33,03%

2,93% 14,11% --

35,63% 12,8% 10,65%

6,12% 11,91% 9,36%

7,29% 10,93% 8,6%

7,06% 8,57% 6,59%

0,19% 3,99% 4,10%

-- 2,19% 2,78%


(41)

Lain-lain 14,31% 4,13% 3,95% Sumber:

Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai salah satu suku bangsa, namun total Simalungun (0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak, (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%

tahun, sedangkan jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 adalah 148.100 jiwa. Sebagai kota terbesar di Pulau Sumatra dan di Selat Malaka, penduduk Medan banyak yang berprofesi di bidang perdagangan. Biasanya pengusaha Medan banyak yang menjadi pedagang komoditas perkebunan. Setelah kemerdekaan, sektor perdagangan secara konsisten didominasi oleh etnis Tionghoa dan Minangkabau. Bidang pemerintahan dan politik, dikuasai oleh orang-orang Mandailing. Sedangkan profesi yang memerlukan keahlian dan pendidikan tinggi, seperti pengacara, dokter, notaris, dan wartawan, mayoritas digeluti oleh orang Minangkabau.

Komposisi Etnis Berdasarkan Okupasi Profesional Etnis Pengacara Dokter Notaris Wartawan

2,6% 3,9% -- 3,7%

13,2% 15,9% 18,5% 8,5%

5,3% 15,9% 11,1% 10,4%

5,3% 10% 7,4% 0,6%

23,6% 14,1% 14,8% 18,3%


(42)

-- 14,7% 7,4% 1,2%

Perluasan kota Medan telah mendorong perubahan pola pemukiman kelompok-kelompok etnis. Etnis Melayu yang merupakan penduduk asli kota, banyak yang tinggal di pinggiran kota. Etnis Tionghoa dan Minangkabau yang sebagian besar hidup di bidang perdagangan, 75% dari mereka tinggal di sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Pemukiman orang Tionghoa dan Minangkabau sejalan dengan arah pemekaran dan perluasan fasilitas pusat perbelanjaan. Orang Mandailing juga memilih tinggal di pinggiran kota yang lebih nyaman, oleh karena itu terdapat kecenderungan di kalangan masyarakat Mandailing untuk menjual rumah dan tanah mereka di tengah kota, seperti di Kampung Mesjid, Kota Maksum, dan Sungai Mati.


(43)

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Perubahan tata ruang di Kota Medan kini memang benar sudah terjadi, banyak hal nyata yang membuktikan bahwa Kota Medan sudah mengalami perubahan dari masa klasik ke modern. Perubahan yang terjadi pada tata ruang kota melibatkan banyak karekteristik manusia di dalamnya, yaitu baik berupa pemerintah, pengusaha atau pemilik modal. Semua perubahan yang terjadi tersebut dilakukan atas dasar kepentingan ekonomi. Para pemilik modal (pengusaha) lebih merasa tertarik dan menguntungkan jika merancang pembangunan di daerah kawasan yang sudah matang dan memiliki fasilitas infrastruktur yang memadai, sehingga hanya membutuhkan sedikit investasi untuk merubahnya di banding dengan daerah pinggiran kota. Bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah bagi kota Medan pada akhirnya harus dikorbankan demi kepentingan para investor. Dengan demikian faktor ekonomi dan bisnis memiliki andil yang besar dalam perubahan tata ruang kota Medan.

Desakan kepentingan ekonomi yang demikian kuat telah menyebabkan Pemerintah Kota Medan sebagai pembuat kebijakan dan pengelola pembangunan kota sampai melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya serta Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan NO.6 Tahun 1988 Tentang “ Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan Serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Madya


(44)

Dengan terjadi perubahan tata ruang tersebut banyak bangunan-bangunan bersejarah yang perlahan-lahan dihancurkan serta dialih fungsikan keberadaannya. Mencermati pertumbuhan Kota Medan yaitu corak penjajahan bangsa Eropa dana pertumbuhan ekonomi. Medan dibangun dengan sentuhan kekuasaan Belanda. Dengan berlatar belakang budaya lokal Melayu dan pendatang dari Cina dan India, ternyata setelah lebih dua ratus tahun kondisinya jadi sangat berbeda. Medan secara tetap dan bertahap menghancurkan bangunan lama dan menggantikannya dengan bangunan baru. Percepatan pembangunan yang mengalahkan aturan tata ruang dan nilai sejarah, telah menyebabkan Kota Medan mulai kehilangan jati diri dan sejarah masa lalunya.

Ditinjau dari kontribusi budaya, Medan merupakan kota yang paling tinggi keberagaman budaya etnis dan latar belakang agamanya. Mesjid, gereja, biara dan kelenteng merupakan bangunan yang sudah didirikan dan difungsikan sejak awal pertumbuhan kota. Medan dihuni oleh sepuluh etnis yang pada awalnya masing-masing memiliki kontribusi budaya yang cukup signifikan terhadap budaya Medan. Keberagaman etnis menjadikan warna kehidupan kota lebih dinamis, terbuka dan akomodatif. Kelompok masyarakat dari masing-masing etnis memiliki kebanggaan dan memberi nama kawasan pemukiman mereka dengan asal daerah etnis mereka. Namun kebanggaan nama kawasan ini tidak diiringi dengan pengembangan budaya etnik penghuninya.

Keberagaman budaya etnik juga tidak berhasil membaur dan membangun budaya lokal Medan. Kepercayaan, kesenian dan adat istiadat masing-masing etnis tetap bertahan dalam warna aslinya. Secara nasional, kondisi ini menguntungkan karena perbauran akibat interaksi sosial kemasyaratan seperti perkawinan mendukung kekuatan rasa nasionalisme, tapi di sisi lain, sebagian besar menghilangkan warna


(45)

budaya masing-masing asal etnis pasangan. Makin luas wilayah hubungan interaksi sosial, makin memudar warna budaya lokalnya.

Budaya lokal ternyata tidak mampu bertahan dalam perputaran sejarah pertumbuhan ekonomi kota. Sebagai salah satu kota besar di Asia, catatan pertumbuhan pembangunan dan perkembangan budaya Medan dapat dijadikan masukan untuk membangun wajah kota Asia. Wajah kota yang dulunya artistik ala Eropa kini sebagian besar berubah jadi petak rumah toko yang berorientasi pada efektifitas ruang untuk transaksi dagang. Jiwa kota yang dulunya diperkaya budaya lokal kini hanya berorientasi pada pertumbuhan nilai ekonomi. Ruang dan aktivitas warga hanya dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan banyaknya bangunan baru di pusat kota bahkan menyebabkan kanibalisasi bangunan tua yang sarat nilai sejarah.

5.2 SARAN

Seiring dengan adanya perkembangan zaman dan globalisasi, memang wajar dilakukan pembangunan terhadap kota Medan. Hal ini akan menunjukan kota Medan akan menjadikan kota yang maju dan berkembang. Tetapi alangkah baiknya, apabila pembangunan tersebut dilakukan dengan tidak merusak cagar budaya atau yang memiliki nilai sejarah bagi kota Medan, seperti menghancurkan banguna n-bangunan bersejerah yang memiliki aset penting dan bahkan menunjukkan jati diri terhadap kota Medan.

Apabila pembangunan memang dilakukan di Kota Medan, seharusnya berada pada kawasan-kawasan yang memiliki lahan yang tepat untuk proses pembangunan, dan sebaiknya pembangunan itu dilakukan secara merata, tidak menonjol dan


(46)

kawasan bisnis saja, dan bahkan lebih dominan digunakan bagi kalangan masyarakat kalangan atas.

Oleh sebab itu, bagi para Pemerintah Kota dan Pemilik modal (pengusaha) untuk menutupi adanya kesenjangan sosial akibat dari perubahan tatanan kota Medan yang dulunya klasik dan kini berubah menjadi kota yang modern tetapi tidak memberikan jati dirinya, sebaiknya juga memberikan lahan untuk berkumpul dan berekreasi bagi masyarakat kalangan bawah, sehingga kenyamanan untuk tinggal di kota Medan dapat dinikmati oleh berbagai strata sosial masyarakat Kota Medan.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Avan, Alexander, Februari 2010 : Parijs van Soematra, Medan : Rainmaker Publishing House.

Branch, Melville C, 1995 : Perencanaan Kota Kompresif. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Budihardjo, Msc, 1997 : Tata Ruang Perkotaan, Bandung : Alumni.

Bungin, Dr.H.M, 2007 : Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana.

Daldjoeni, Drs. N, 1897 : Geografi Kota dan Desa. Bandung : Alumni.

Kessing M. Roger, Maret 1981 : Antropologi Budaya. Ahli bahasa Drs. Samuel Gunawan, MA, 1999. Penerbit Erlangga.

Koentjaraningrat, Agustus 1980 : Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta.UI-Press. Koentjaraningrat, 1985 : Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia. Koentjaraningrat, Mei 1996 : Pengantar Antropologi I, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Koentjaraningrat, Oktober 1997 : Pengantar Antropologi II, Jakarta, PT. Rineka

Cipta.

Koestoro, Lucas Partanda dkk, 2006 : Medan, Kota di Pesisir Timur Sumatera Utara

dan Peninggalan Tuanya, Medan : Balai Arkeologi.

Miraza, Bachtiar Hasan, 2007 : Learned Tata Ruang Kota Medan, Buletin Majalah Kompas.

Sutrisna, Deni, November 2000 : Tinjauan Awal Bangunan-Bangunan Kolonial di

Medan, Medan : Balai Arkeologi.

Yunus, Hadi Sabari, 2010 : MEGAPOLITAN, Konsep Problematika dan Prospek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


(48)

 sumber

sumber :


(49)

Perubahan yang terjadi pada tata ruang Kota Medan dapat diungkapkan dalam foto-foto di bawah ini:

Gambar 1

(Sumber : Rini Tri A.Siagian)

( kawasan jembatan tua titi gantung peninggalan Belanda, yang sekarang digunakan objek wisata bagi masyarakat golongan bawah untuk memandangi kereta api yang terdapat di bawah titi tersebut). lahan ini juga dijadikan sebagai tempat jualan pedagan kaki lima, sehingga merusak estetika kota Medan sebagai kawasan kota inti yang bersejarah).


(50)

Gambar 2 (Rini Tri A.Siagian)

(Para penjual buku kaki lima di sepanjang areal jalan, yang sering sekali mengalami pengusiran oleh Satpol PP, dengan alasan pembersihan tata ruang Kota Medan. Tetapi mereka tetap berjual di tempat itu disebabkan karena tidak adanya pekerjaan lain yang akan dilakukan).


(51)

Gambar 3

(Sumber : Rini Tri A Siagian)

( Kawasan Lapangan Merdeka kota Medan, yang kini bagian sisinya sedikit lebih dirancang menjadi kota Medan yang bernuansa Singapore sehingga lebih terkesan modern atau lebih sering dikatakan dengan Foodcourt. Biasanya mereka yang datang kemari ialah mereka masyarakat dari kalangan masyarakat atas ( orang-orang yang memiliki uang).


(52)

Gambar 4

(Sumber : Rini Tri A Siagian)

(Balai kota Medan merupakan salah sate aset sejarah yang dulunya digunakan sebagai tempat berkumpulkan masyarakat kota Medan dari segala penjuru baik dari kalangan masyarakat atas maupun kalangan masyarakat bawah untuk menyatakan aspirasinya. Tetapi sekarang ini bangunan tersebut telah dimiliki oleh bangunan megah Aston City Hall, dimana Balai Kota sekarang digunakan sebagai Café yang dikhususkan bagi kaum masyarakat atas).


(53)

Gambar 5

(Sumber : Rini Tri A Siagian)

(Kawasan dari stasiun Kereta Api, yang kini setiap harinya menimbulkan kemacetan yang padat, karena adanya para masyarakat-masyarakat golongan bawah seperti : tukang becak, supir angkot memarkirkan kendaraannya dipinggir jalan, sehingga membuat tatanan kota Medan yang semberawut dan merusak estetika kota).


(54)

Gambar 6

( Sumber : Rini Tri A Siagian)

( Kawasan pecinan, Jl Irian Barat yang dulunya sebagai kawasan perdagangan bagi orang cina, yang kini sudah tidak menjadi kawasan yang perdagangan yang ramai lagi, karena mayoritas sudah pindah ke kawasan inti kota, dan masyarakat pun sudag bertumpuk berkumpul dikawasan inti kota tersebut. Disekitar kawasan ini dulunya terdapat bangunan peninggalan Belanda yang telah dinyatakan sebagai perumahan PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) yang kini bangunan tersebut telah dihancurkan bahkan sama sekali tidak nampak bentuk dan wujudnya, bahkan ada dijadikan sarana perekonomian yang besar di kota Medan).


(55)

Gambar 7

(Sumber : Rini Tri A Siagian)

(Kawasan Lapangan Merdeka sekarang yang kini tidak menunjukkan jati dirinya bagi kota Medan, sebab di samping sisi lapangan tersebut telah dibangun tempat berkumpul orang-orang kalangan atas yang sering disebut sebagai Foodcourt “Merdeka Walk”. Pada kawasan ini sering terjadi kemacetan yang panjang, hal ini disebabkan karena banyak masyararat berbondong-bondong datang ke Merdeka Walk ini).


(56)

Gambar 8

(Sumber : Rini Tri A Siagian)

( Kawasan kota lama “Kesawan ” yang kelihatan ramai dan padat, yang tidak lagi menunjukkan jati diri nya terhadapi Kota Medan. Banyak bangunan-bangunan yang terdapat di kawasan ini tidak dipergunakan lagi, sehingga kelihatan bangunan yang kumuh dan berlumut).


(57)

Gambar 9

(Sumber : Rini Tri A Siagian)

(Kawasan kota lama yaitu pada daerah kawasan Jl.Pajak Ikan lama. Kawasan ini kelihatan kumuh. Tata ruangnya yang berfungsi sebagai areal perdagangan orang Tamil dan Cina yang setiap harinya menimbulkan kemacetan yang panjang, akibatnya dari kesemerawutannya para kendaraan untuk parkir). Hal ini disebabkan karena kepadatan penduduk di kota Medan, dan pembangunan yang terjadi tidak merata).


(58)

Interview Guide

1. Sudah berapa lama saudara tinggal di kota Medan.

2. Apakah saudara merasakan adanya perubahan terhadap tata ruang kota di kota Medan ini.

3. Apakah saudara setuju dilakukannya pembanguan di kota Medan ini dengan merubah pola tata ruangnya.

4. Menurut saudara apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan tata ruang kota Medan.

5. Menurut saudara siapa yang berpengaruh terhadap terjadinya perubahan tata ruang kota Medan.

6. Mengapa bangunan-bangunan bersejarah di kota Medan ini khususnya di kawasan kota lama banyak yang berubah dan hilang.

7. Menurut saudara penting tidak sejarah itu.

8. Menurut saudara bagaimana bentuk tata ruang kota Medan yang sekarang. 9. Bagaimana peran saudara terhadap tata ruang kota Medan sekarang yang telah

berubah.

10.Bagaimana usaha/upaya saudara untuk mempertahankan keberadaaan bangunan peninggalan sejarah tersebut.


(59)

PETA KOTA MEDAN

(Peta Kota Medan Tempo Dulu)


(60)

(Peta Kota Medan setelah zaman sekarang)


(61)

Daftar Istilah

Acte van Verband

Akta pertautan yang ditandatangi oleh Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam dan Residen Riau Eliza Netscher pada tahun 1862 Msehi.

Bangunan Komersial

Bangunan perniagaan seperti pertokoan, pasar dan pusat-pusat ekonomi lainnya.

Buitenzorg

Nama Belanda untuk kota bogor. Bumiputra

Sebutan untuk penduduk asli Kepulauan Nusantara. Deli

Nama Kesultanan Melayu yang bercorak Islam yang berkuasa di wilayah Medan dan sekitarnya pada periode sekitar abad 17 sampai pertengahan abad 20 Masehi.

Deli Spoorweg Maatschappij

Perusahan kereta api yang beroperasi di Sumatra Timur sebelum Indonesia merdeka.

Ekosistem Level Domestifikasi

Ekosistem dikatakan telah terdomestifikasi apabila sejumlah penampilannya mengalami perubahan dan ia menjadi tergantung pada campur tangan manusia. Proses domestifikasinya pada ekosistem/lingkungan berjalan lambat dan manusia secara tidak sengaja mengubah beberapa ciri fisik sehingga


(62)

Esplanade

Nama lama untuk lapangan Merdeka Medan. Feodal

Suatu keadaan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan dan pemilik tanah.

Gemeente

Nama administratif untuk wilayah kotapraja pada masa Hindia Belanda. Gouvernemen

Bahasa Belanda untuk kata pemerintah setingkat Provinsi. Java

Ejaan lama untuk Jawa. Javasche Bank

Bank Jawa. Gedung-gedung peninggalan Bank Jawa saat sekarang ini merupakan gedung-gedung milik Bank Indonesia.

Kapitalis

Kelompok orang-orang bermodal besar. Kesultanan

Suatu bentuk pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar sultan.

Koloni

Wilayah yang dikuasai oleh negeri asing. Kuli kontrak

Sebutan untuk para pekerja kebun yang diikat oleh perjanjian kontrak kuli. Sebutan ini kemudian lebih ditujukan kepada para pekerja kebun yang berasal dari Jawa.


(63)

Landscape-landscape bangunan

Geografic Information – Terminology “ Fitur merupakan suatu abstraksi fenomena dunia nyata, yaitu sebuah fitur dapat berupa tipe fitur atau contoh fitur. Contohnya : Sungai Deli adalah suatu contoh fitur dari tipe fitur sungai. Fitur budaya dapat berupa bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai sejarah, seperti landscape-landscape bangunan tua yang ada di kota Medan. misalnya : Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Balai Kota, Lapangan Merdeka, Hotel, dll.

Medan stadhuis

Balai Kota Medan. Nederland Indies

Hindia Belanda Onderneming

Bahasa Belanda untuk perusahaan. Yang dimaksud onderneming adalah perusahaan perkebunan tembakau beserta areal kebun-kebunnya.

Parijs

Ejaan Belanda untuk kota Paris. Residen

Jabatan kepala daerah pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Untuk ukuran sekarang, jabatan ini dapat disetarakan dengan Kantor Pembantu Gubernur Wilayah tertentu.

Soematra


(64)

Sumatra Timur

Wilayah yang sampai tahun 1887 Masehi merupakan kawasan memanjang di pesisir timur Sumatra dari perbatasan Aceh sampai daerah Kesultanan Siak. Sultangrond

Nama administratif untuk wilayah kekuasaan Sultan Deli setelah memindahkan ibukotanya dari Labuhan ke Medan.

Timur Asing

Satu dari tiga kelompok penduduk Hindia Belanda berdasarkan undang-undang Hindia Belanda tahun 1854. Yang termasuk salam kelompok ini adalah orang-orang Tionghoa, Arab, India yang merupakan penduduk non pribumi dan non Eropa di Hindia Belanda.


(65)

INFORMAN

1. Nama : Juan Pasaribu

Pekerjaan : Penjual buku di bawah titi gantung. “Toko buku Jefry”

Umur : 35 tahun

2. Nama : Pak simamora

Pekerjaan :Penjual buku kaki lima dibawah titi gantung, yang selalu digusur oleh Satpol PP. Tetapi tetap berjualan eceran di kawasan tersebut.

Umur : 68 tahun

3. Nama : Bu Nur

Pekerjaan : Penjual mie eceran Umur : 46 tahun

4. Nama : Revi

Pekerjaan : Wiraswasta ( membuka lahan usaha di kawasan Merdeka Walk).


(66)

Umur : 47 tahun

6. Nama : Pak Tarigan

Pekerjaan : Wiraswasta

Umur : 65 tahun

7. Nama : Tengku Muahmar

Pekerjaan : Pengurus Istana Maimon ( Keturunan Sultan Deli yang ke-13

Umur : 27 tahun

8. Nama : Ejara Singh

Pekerjaan : Pengurus vihara

Umur : 68 tahun

9. Nama : Leni

Pekerjaan : Mahasiswi

Umur : 22 tahun

10.Nama : Ibu Ima

Pekerjaan : Ibu rumah tangga


(1)

Daftar Istilah

Acte van Verband

Akta pertautan yang ditandatangi oleh Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam dan Residen Riau Eliza Netscher pada tahun 1862 Msehi.

Bangunan Komersial

Bangunan perniagaan seperti pertokoan, pasar dan pusat-pusat ekonomi lainnya.

Buitenzorg

Nama Belanda untuk kota bogor.

Bumiputra

Sebutan untuk penduduk asli Kepulauan Nusantara.

Deli

Nama Kesultanan Melayu yang bercorak Islam yang berkuasa di wilayah Medan dan sekitarnya pada periode sekitar abad 17 sampai pertengahan abad 20 Masehi.

Deli Spoorweg Maatschappij

Perusahan kereta api yang beroperasi di Sumatra Timur sebelum Indonesia merdeka.

Ekosistem Level Domestifikasi

Ekosistem dikatakan telah terdomestifikasi apabila sejumlah penampilannya mengalami perubahan dan ia menjadi tergantung pada campur tangan manusia. Proses domestifikasinya pada ekosistem/lingkungan berjalan lambat dan manusia secara tidak sengaja mengubah beberapa ciri fisik sehingga membuat tanaman semakin sesuai dengan penanganan yang dilakukan manusia.


(2)

Esplanade

Nama lama untuk lapangan Merdeka Medan.

Feodal

Suatu keadaan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan dan pemilik tanah.

Gemeente

Nama administratif untuk wilayah kotapraja pada masa Hindia Belanda.

Gouvernemen

Bahasa Belanda untuk kata pemerintah setingkat Provinsi.

Java

Ejaan lama untuk Jawa.

Javasche Bank

Bank Jawa. Gedung-gedung peninggalan Bank Jawa saat sekarang ini merupakan gedung-gedung milik Bank Indonesia.

Kapitalis

Kelompok orang-orang bermodal besar.

Kesultanan

Suatu bentuk pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar sultan.

Koloni

Wilayah yang dikuasai oleh negeri asing.

Kuli kontrak

Sebutan untuk para pekerja kebun yang diikat oleh perjanjian kontrak kuli. Sebutan ini kemudian lebih ditujukan kepada para pekerja kebun yang berasal dari Jawa.


(3)

Landscape-landscape bangunan

Geografic Information – Terminology “ Fitur merupakan suatu abstraksi fenomena dunia nyata, yaitu sebuah fitur dapat berupa tipe fitur atau contoh fitur. Contohnya : Sungai Deli adalah suatu contoh fitur dari tipe fitur sungai. Fitur budaya dapat berupa bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai sejarah, seperti landscape-landscape bangunan tua yang ada di kota Medan. misalnya : Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Balai Kota, Lapangan Merdeka, Hotel, dll.

Medan stadhuis

Balai Kota Medan.

Nederland Indies

Hindia Belanda

Onderneming

Bahasa Belanda untuk perusahaan. Yang dimaksud onderneming adalah perusahaan perkebunan tembakau beserta areal kebun-kebunnya.

Parijs

Ejaan Belanda untuk kota Paris.

Residen

Jabatan kepala daerah pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Untuk ukuran sekarang, jabatan ini dapat disetarakan dengan Kantor Pembantu Gubernur Wilayah tertentu.

Soematra


(4)

Sumatra Timur

Wilayah yang sampai tahun 1887 Masehi merupakan kawasan memanjang di pesisir timur Sumatra dari perbatasan Aceh sampai daerah Kesultanan Siak.

Sultangrond

Nama administratif untuk wilayah kekuasaan Sultan Deli setelah memindahkan ibukotanya dari Labuhan ke Medan.

Timur Asing

Satu dari tiga kelompok penduduk Hindia Belanda berdasarkan undang-undang Hindia Belanda tahun 1854. Yang termasuk salam kelompok ini adalah orang-orang Tionghoa, Arab, India yang merupakan penduduk non pribumi dan non Eropa di Hindia Belanda.


(5)

INFORMAN

1. Nama : Juan Pasaribu

Pekerjaan : Penjual buku di bawah titi gantung. “Toko buku Jefry”

Umur : 35 tahun

2. Nama : Pak simamora

Pekerjaan :Penjual buku kaki lima dibawah titi gantung, yang selalu digusur oleh Satpol PP. Tetapi tetap berjualan eceran di kawasan tersebut.

Umur : 68 tahun

3. Nama : Bu Nur

Pekerjaan : Penjual mie eceran Umur : 46 tahun

4. Nama : Revi

Pekerjaan : Wiraswasta ( membuka lahan usaha di kawasan Merdeka Walk).

Umur : 33 Tahun

5. Nama : Drs. Ketut Wiradnyana


(6)

Umur : 47 tahun

6. Nama : Pak Tarigan

Pekerjaan : Wiraswasta

Umur : 65 tahun

7. Nama : Tengku Muahmar

Pekerjaan : Pengurus Istana Maimon ( Keturunan Sultan Deli yang ke-13

Umur : 27 tahun

8. Nama : Ejara Singh

Pekerjaan : Pengurus vihara

Umur : 68 tahun

9. Nama : Leni

Pekerjaan : Mahasiswi

Umur : 22 tahun

10.Nama : Ibu Ima

Pekerjaan : Ibu rumah tangga