Latar Belakang Masalah Perubahan Tata Ruang Kota Medan Dari Klasik Ke Modern

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup sumberdaya manusia terdiri dari 3 tiga jenis, yaitu ; 1. Alam, 2. Biotik, dan 3. Binaan. Penelitian ini membahas tentang Binaan, dimana yang tergolong dengan lingkungan hidup sumberdaya manusia binaan adalah salah satunya yaitu kota. Kota merupakan lingkungan binaan manusia yang sangat komplek. Kota itu suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dalam strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistik. Setiap kota memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakan kota tersebut dengan kota-kota lainnya. Setiap kota pada memiliki kawasan lamabersejarah yang ditandai sebagai lokasi awal pertumbuhannya. Sejarah kota dimulai dari kawasan ini dimana bangunan-bangunannya mudah dicirikan identitasnya, penuh dengan makna sejarah dan arsitekural, sehingga secara total memancarkan citra yang kuat. Tanpa adanya kawasan ini, masyarakat akan merasa terasing tentang asal-usul lingkungannya, karena tidak mempunyai orientasi pada masa lampau. Pada masa lampau kawasan lama atau sering juga disebut dengan inti kota lazimnya berfungsi sebagai pusat perdagangan, market centres, atau marketplace untuk melayani kebutuhan masyarakat sekitar. Penampilan kota sering bersifat simbolis dan historis, berskala manusia, memiliki kekhasan dengan kultural – kultural yang beragam, menyuguhkan morfologi ruang dan massa yang berkesinambungan dalam kurun waktu cukup panjang. Sebuah kota senantiasa akan berkembang dari waktu ke waktu, di mana semua kegiatan aktivitas manusia terekam di dalam sebuah Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Berdasarkan berbagai sumber sejarah yang ada, riwayat Kota Medan dimulai pada akhir abad ke-XVI, dengan didirikannya kampung Medan di dekat pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura oleh Guru Patimpus, seorang pemuka masyarakat yang berasal dari Tanah Karo. Sejak itu kampung Medan berkembang sangat lambat. Kampung Medan mulai berkembang pesat pada abad XIX dengan dibukanya perkebunan-perkebunan tembakau di daerah sekitar. Banyak perusahaan perkebunan mendirikan kantornya di Medan. Pada periode itu Pemerintah Hindia Belanda memindahkan ibu kota Keresidenan Sumatera Timur dari Bengkalis ke Medan dan kemudian Sultan Deli juga memindahkan ibu kotanya dari labuhan ke Medan. Pada awal abad XX Pemerintah Hindia Belanda mengangkat status Keresidenan Sumatera Timur menjadi Provinsi dengan ibu kota Medan. Pada abad ke XX Medan berkembang menjadi kota Kolonial bergaya Eropa dan dijuluki Parijs van Soematra. Secara fisik kota Medan tampak terbagi 2 dua wilayah, yaitu : 1 Wilayah Gemeente di bawah Pemerintah Hindia Belanda ; 2 Wilayah Grand Kesultanan di bawah kendali Kesultanan Deli. Wilayah Gemeente relatif tertata rapi dan dilengkapi berbagai fasilitas infrastruktur dan menjadi wilayah bisnis, dan pemukiman. Pada masa itu terdapat pengelompokkan pemukiman berdasarkan etnis. Wilayah Gemeente dihuni oleh golongan Eropa dan Timur Asing, sementara wilayah Kesultanan Deli dihuni oleh pribumi Melayu, Batak, Mandailing, Minang dan Jawa. Pada masa Kemerdekaan batas-batas zonasi pemukiman berdasarkan etnis mulai kabur dan pembangunan fisik kota yang pesat, cenderung tidak terkendali bahkan menyimpang dari Master Plan Rencana Induk Tata Ruang Kota. Pada periode ini banyak bangunan yang berasal dari periode Kolonial dirobohkan, diganti dengan bangunan baru yang hanya memprioritaskan aspek fungsional, sehingga terkesan monoton, seragam, miskin estetika dan variasi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa banyak bangunan warisan dari masa Kolonial, bernilai sejarah dan menyimpan rekam jejak sejarah perkembangan Kota Medan dihancurkan dan digantikan dengan bangunan baru. Keadaan ini disebabkan terutama karena faktor-faktor pragmatis ekonomi dan kepentingan pemilik modal. Desakan faktor tersebut demikian kuat, bahkan Pemerintah Kota Medan dalam melaksanakan pembangunan, cenderung melanggar peraturan perundangan-undangan UU RI NO 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU RI No 11 Tahun 2011 Tentang Benda Cagar Budaya dan Perda Tingkat II Medan No.6 Tahun 1988 Tentang “ Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan Serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II Medan”, dan akhirnya banyak pihak yang mengesalkan tindakan Pemerintah Kota Medan. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pembangunan fisik kota yang cenderung tidak terkendali akan menimbulkan efek eksternalitas yang tidak menguntungkan bahkan merugikan kepentingan warga kota seperti kemacetan lalu lintas yang pada akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat serta dapat menurunkan kualitas lingkungan. Skripsi dan tulisan ini terdiri dari 5 lima bab, 109 Seratus sembilan halaman dan beberapa lampiran-lampiran lainnya seperti bagan, peta, foto, dan surat- surat. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah