Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi umat Islam, syari’ah adalah “tugas umat manusia yang menyeluruh” meliputi moral, teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang rinci. Syari’ah mencakup semua aspek hukum publik dan perorangan, kesehatan dan bahkan kesopanan dan akhlak. Syari’ah adalah sistem hukum yang bersifat alamiyah mendunia tidak dibatasi oleh sekat teritorial tertentu dan siap diterapkan disetiap kurun waktu dan tempat. Hal ini dikarenakan watak sumber masdhar hukumnya yang bersifat murunah elastis sehingga memungkinkan kita untuk mencari penyelesaian atas setiap masalah yang dihadapi, kapan dan dimana saja. 1 Sebenarnya melaksanakan hukum Islam berarti melakukan reformasi pemikiran dan inovasi pembahasan secara kontinyu untuk menemukan yang baru dan yang relevan dengan hukum-hukum syara’. Lebih dari itu, hukum Islam adalah ciptaan Allah, Yang Maha Tahu tentang kondisi manusia, bersifat universal, kekal sampai yaumul hisab, serta terlepas dari segala pengaruh hawa nafsu dan kepentingan sepihak. 1 Topo Susanto, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari’at Dalam Wacana dan Agenda, Jakarta, Gema Insani Pres, 2003, cet. 1, h. xiii Syari’ah menurut para fuqoha didefinisikan sebagai segala hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada mahluk-Nya agar beriman kepada-Nya, sehingga membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. 2 Oleh karena itu Undang- undang yang telah diturunkan oleh Allah SWT harus dilaksanakan untuk mewujudkan masyarakat dan negara yang tertib, sehingga dapat hidup dalam suasana aman serta terhindar dari segala perilaku kriminal dan tidak bermoral. Bagi setiap muslim, syari’ah lebih dari sekedar hukum agama, ia adalah hukum Tuhan dan dengan demikian secara esensial tidak dapat dirubah. Di samping itu ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang hukum. Karena itu dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum manapun, bahkan ketetapan-ketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat, namun bila kita menengok ke pusat dunia Islam -negara Timur Tengah- kita dapatkan perubahan- perubahan besar selama kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam sistem peradilan maupun dalam sistem hukum yang mereka terapkan. 3 2 Hasan Haji Saleh, Sejarah Perundang-undangan Islam, Selangor: Pustaka Aman Pres, 1979, h. 9. 3 Di Mesir, sejak awal perempat terakhir abad ke-19 terlihat jelas bahwa Mahkamah- mahkamah Syari’ah -sebagaimana wilayah-wilayah lain dalam khalifah Turki Usmani- terbatas wewenangnya hanya dalam hal-hal yang berkaiatan dengan status anak dan hukum keluarga. Di Jordania, kodifikasi Majallah masih diterapkan terhadap urusan perdata. Tetapi pada tahun 1951 hukum Usmani tentang hak-hak keluarga diganti dengan hukum Jordania tentang hak-hak keluarga. Hukum baru ini mencakup semua hukum yang bertalian dengan ikatan keluarga, selain masalah wasiat dan hibah; ia mengambil alih sebagian besar pembaharuan yang terjadi di Mesir sejalan dengan hukum Usmani; dan memasukkan sedikit pengembangan dari sumber sendiri. Di Syiria, kodifikasi Majallah dihapuskan pada tahun 1949 dan digantikan dengan hukum perdata baru yang hampir sebagian merupakan pengambil alihan hukum Mesir yang berlaku setahun sebelumnya secara apa adanya, kecuali pada beberapa bagian yang berhubungan dengan masalah hukum pembuktian dan hak milik atas benda tidak bergerak. Lebih jelas lihat J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994, Cet. 1, h. 25-46 Kita melihat terjadinya perubahan di negara-negara muslim pada pertengahan abad ke- XIX, mayoritas pemerintahan negara-negara muslim telah melakukan perubahan hukum dengan dua cara, yaitu: Pertama, mengganti syari’ah dengan hukum sekuler dalam masalah-masalah perdagangan, perdata, tata negara dan pidana; dalam hal ini di sebagian besar negara muslim hanya hukum keluarga yang diwariskan dan diwujudkan dalam bentuk hukum syari’at. Kedua, pembaruan dilakukan dengan tetap mengakui prinsip-prinsip dan aturan syari’at seperti penerapannya dalam hukum keluarga dan waris bagi umat Islam. 4 Kondisi yang sama juga menimpa negara-negara muslim di kawasan lainnya seperti di Asia Tenggara. Malaysia sebagai salah satu negara muslim terbesar kedua setelah Indonesia di wilayah tersebut, juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan saudara-saudara mereka yang berada di Timur Tengah. Adalah sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri jika hukum Barat Sekuler justru mendapat tempat utama dalam sistem hukum dan konstitusi di Malaysia. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi hukum syari’ah -yang sebelumnya merupakan pegangan utama masyarakat Malaysia- kini harus menerima kenyataan pahit sebagai hukum nomor dua setelah hukum sipil. Proses peminggiran hukum syari’ah di Malaysia berjalan dalam kurun waktu yang cukup panjang, mendompleng dalam proses kolonialisasi tanah 4 Abdulahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Cet. IV, Yogyakarta, LKIS, 2004, h. 65. Melayu oleh pemerintahan Portugis, Belanda dan Inggris. 5 Secara umum sejarah perkembangan Undang-Undang di Malaysia terbagi kepada dua periode yaitu: sebelum kedatangan penjajah dan pasca kedatangan penjajah. Setelah kedatangan penjajah, perkembangan Undang-undang di tanah Melayu dapat diklasifikasikan kepada tiga masa: 1. Masa pendudukan Portugis 2. Masa pendudukan Belanda, dan 3. Masa pendudukan Inggris Kedatangan Inggris membawa perubahan sangat besar dalam sistem hukum negara, dimana sebelumnya masyarakat Melayu tidak pernah menerima hukum lain selain menerima hukum Islam dan hukum adat. Hasil dari dialektika tersebut, maka timbullah dua corak perundangan negara, yakni Undang-undang yang bercorak agama dan sekuler. Pada tahun 1957, ketika Undang-Undang Persekutuan Malaysia dibicarakan menjelang kemerdekaan Malaysia, di dalam draf rancangan Undang- Undang tersebut tidak dicantumkan bahwa agama Islam adalah agama persekutuan. Hakim Abdul Hamid dari Pakistan salah seorang anggota sidang mengajukan usulan agar agama Islam menjadi agama negara, akan tetapi hasil akhir dari pembahasan Undang-Undang tersebut tidak menyetujui usulan tersebut, juga tidak disebutkan bahwa persekutuan Malaysia sebagai sebuah negara 5 Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-Undang Islam Kini dan Masa Depannya di Malaysia, dalam Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam; Undang-Undang Malaysia Kini, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990, h. 98. sekuler. 6 Namun melalui pertarungan yang cukup lama, akhirnya pengakuan atas Islam sebagai agama resmi persekutuan dan hak menjalankan hukum Islam diakui dalam konstitusi Malaysia merdeka. Malaysia merupakan negara yang mempunyai dua jenis Undang-Undang yakni: Undang-Undang Sipil positif dan Undang-Undang Syari’ah. Menurut Ahmad Ibrahim, perubahan Undang-undang pada awal kemerdekaan lebih banyak menyangkut pengadministrasian, yurisdiksi dan kekuasaan pengadilan syari’ah. 7 Hal ini dilakukan, karena sejak awal memang belum ada penyusunan secara sistematis terhadap hukum syari’ah di Malaysia baik yang menyangkut Undang-undang maupun yang berkaitan dengan lembaga peradilannya. Sebagai negara jajahan Inggris, maka menjadi hal yang tak terelakan jika sistem peradilan di Malaysia juga mengadopsi sistem yang ada di Inggris, termasuk dalam hal ini adalah sistem peradilan Syari’ahnya. Oleh karena pengaruh kuat Inggris pula yang menjadikan kajian tentang Undang-Undang Sipil dan Syari’ah menjadi lebih menarik menjadi kajian kami dalam perkara syari’ah berdasarkan, ditengah pertarungan perebutan pengaruh kedua Undang-Undang tersebut atas masyarakat Malaysia, masing-masing negara bagian telah diberi wewenang untuk melaksanakan Undang-Undang Islamnya, seperti mengadakan Majlis-majlis Agama Islam, dan Mahkamah-Mahkamah Syari’ah sebagainya. 6 Tun Saleh Abbas, Traditional Element of Malaysian Constitution, dalam Mohamed Suffian, HP Lee dan Trindade ed., The Constitution of Malaysian, Its Development 1957-1977, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978, h. 22. 7 Ahmad Ibrahim, Perkembangan Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia, dalam Sudirman Teba ed, Perkembangan Terakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Bandung: Mizan, 1993, h. 100-101. Undang-undang hanya berlaku terhadap orang Islam sahaja termasuklah hukum yang berhubungan dengan Faraid, Wasiat, Perkawinan perceraian, Wakaf Islam, khairat dan perkara-perkara yang menyentuh diri umat Islam. Manakala Mahkamah Sipil mempunyai wewenang melebihi Mahkamah Syari’ah dan terkandung dalam Mahkamah Sipil itu, adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Rayuan, Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Rendah yaitu selain Mahkamah Syari’ah dinamakan Mahkamah Sipil yang membicarakan semua hukum termasuk hukum pidana dan perdata. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud mengangkat topik tersebut dalam sebuah karya tulis skripsi dengan judul: “UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA SUATU PERBANDINGAN; Studi Wewenang dan Implementasinya di Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah