Sejarah Perundang-undangan Syari’ah di Malaysia

BAB II KEDUDUKAN DAN WEWENANG UNDANG-UNDANG SYARI’AH

A. Sejarah Perundang-undangan Syari’ah di Malaysia

Secara umum sejarah perkembangan Undang-undang di Malaysia dapat dibagi dalam dua periode yang berbeda. Pertama periode sebelum kedatangan penjajah dan kedua periode setelah kedatangan penjajah. Pada periode pertama Undang-undang dapat diklasifikasikan pada dua jenis perundang-undangan, yakni: a. Undang-undang Orang Asli, dan b. Undang-undang Adat. Adapun pada periode kedua dapat diklasifikasikan pada tiga kurun waktu yang berbeda, yakni: a. Masa Pendudukan Portugis b. Masa Pendudukan Belanda, dan c. Masa Pendudukan Inggris. Menurut kajian sejarah, sebelum kedatangan penjajah, daerah pedalaman dan pesisir pantai, telah didiami oleh golongan-golongan asli yaitu golongan Negerito, Senoi dan Melayu Asli. Masing-masing golongan memiliki Undang- undang tersendiri yang masih kuno. Golongan Negerito merupakan golongan yang paling tidak teratur dan hidup berpindah-pindah nomaden. Ketua golongan itu dipilih dari orang yang paling tua di antara mereka. Di tangan ketua suku tersebutlah keadilan kemudian dijalankan. Suku ini tidak memiliki banyak perangkat perundang-undangan. Ukuran bagi setiap kesalahan adalah denda. Kondisi seperti ini juga terjadi pada golongan Senoi. Ketua suku mempunyai kekuasaan penuh dalam perkara Sipil dan Pidana, namun terdapat perbedaan dalam persoalan hukum pembunuhan. Penentuan hukum bunuh dibicarakan oleh “jama’ah pengadil” yakni kumpulan yang terdiri dari ketua suku dibantu oleh sesepuh dari suku tersebut. Pelaksanaan hukuman dilaksanakan oleh sanak saudara si pembunuh. Hukuman itu jika bisa dijalankan dengan menggunakan senjata yang digunakan oleh si pembunuh itu untuk melakukan kesalahan tersebut. Adapun kesalahan mencuri, yang kurang berlaku, dihukum dengan diusir keluar dari kelompoknya. 13 Keadaan ini berbeda dengan suku Melayu asli. Mereka dapat dikatakan golongan atau suku yang paling maju jika dibandingkan dengan suku-suku asli lainnya. Suku ini diketuai oleh seorang ketua dengan sebutan “Batin”. Di tangan batin, dengan dibantu oleh sesepuh yang mengerti tentang Undang-undang dan adat dari suku tersebut, keadilan ditegakkan. Dalam Undang-undang suku Melayu asli itu juga, dapat dijumpai adanya pengaruh agama Hindu dan Islam. Pengaruh tersebut dapat terlihat dalam hal pencurian dan perzinahan. Hukuman yang dikenakan bagi pelaku pencurian dan perzinahan adalah dengan dijemur di tengah terik mentari atau ditenggelamkan. 13 Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985, h.7-8. Adapun dalam hal pembunuhan, maka hukuman yang dikenakan adalah denda atau qisas. Dalam hal waris, pembagian dinisbahkan atau disandarkan pada pembagian dua banding satu 2:1, dua untuk laki-laki dan satu untuk perempuan. 14 Semua Undang-undang yang dibuat oleh suku-suku tersebut memiliki tujuan yang sama dengan pembuatan Undang-undang pada umumnya yaitu untuk menjaga kepentingan dan keselamatan umat. Undang-undang kedua yang memegang peran penting sebelum kedatangan penjajah adalah Undang-Undang Adat. Undang-Undang Adat sendiri dapat dikelompokan dalam dua bagian besar yaitu: Adat Pepatih dan Adat Temenggung. Undang-Undang Adat Pepatih dibawa masuk dari Minangkabau Sumatera Barat pada abad ke-16 dan masih dijalankan hingga hari ini, terutama di Negara Bagian Sembilan. Dengan kata lain Undang-Undang Adat Pepatih juga mendapat tempat tersendiri dalam pelaksanaan perundangan di Negara Bagian Sembilan. Adapun perundang-undangan Adat Temenggung adalah Undang-undang otokrasi yang dijalankan pada masa kesultanan Melayu Malaka dan di daerah- daerah lain di Semenanjung Malaka. Undang-undang ini juga dibawa dari Minagkabau, namun telah mengalami banyak perubahan di bawah pengaruh agama Hindu. Unsur matriakhal yang terlihat kental dalam adat Minangkabau, dalam Undang-Undang Adat Temenggung telah hilang digeser oleh unsur 14 Ibid., h. 9-10 patriakhal. 15 Undang-Undang ini diterima dan dijalankan oleh hampir semua masyarakat di daerah-daerah Semenanjung Malaka kecuali Negara Bagian Sembilan, hingga jatuhnya tanah Melayu ketangan penjajah Inggris. Keadaan perundangan di tanah Melayu mengalami perubahan sedikit demi sedikit, bermula sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis Pada tahun 1511 disusul kemudian oleh penjajahan Belanda. Namun demikian, penjajahan kedua bangsa Eropa tersebut tidak membawa banyak perubahan terhadap sistem perundang-undangan di tanah Melayu. Ini disebabkan masih diperbolehkannya orang-orang Melayu untuk melaksanakan Undang-undang yang ada, guna menyelesaikan persengketaan yang melibatkan persoalan-persoalan non-melayu Portugis dan Belanda, maka Undang-undang yang dipergunakan adalah Undang-undang mereka sendiri. 16 Perubahan besar atas perundang-undangan Adat Melayu -yang saat itu berlaku secara luas di tanah Melayu- terjadi pada masa pendudukan Inggris pada Tahun 1825, yakni setelah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dibuat pada tahun 1824. 17 Inggris secara perlahan mulai memasukkan Undang-undang mereka ke dalam perundang-undangan Melayu. Langkah ini mulai dijalankan di daerah Selat seperti Pulau Penang, Malaka dan Singapura. Di pulau Penang Undang-Undang Inggris mulai dijalankan dengan dibuatnya Piagam Keadilan 15 Ibid., h. 30 16 Ibid., h. 14 17 Ibid., h. 15 Pertama pada tahun 1807, disusul Piagam Keadilan Kedua yang dikenal sebagai Piagam Keadilan Diraja di Negeri Malaka dan Singapura pada tahun 1826. Piagam keadilan merupakan upaya merekonstruksi perundang-undangan Adat Melayu agar senafas dengan perundang-undangan Inggris. Dengan sendirinya piagam ini telah membuka lebar masuknya Undang-Undang Inggris ke dalam Undang-Undang Melayu, sehingga terjadi perubahan cukup signifikan atas Undang-Undang Melayu. Kokohnya kekuasaan Inggris di tanah Melayu, semakin meluaskan lagi kekuasaan mahkamah-mahkamah keadilan Prince of Wales Island di daerah- daerah tanah Melayu. Usaha rekonstruksi tersebut tidak berhenti hanya sampai disana, usaha tersebut terus berlanjut dengan diterbitkannya Piagam Keadilan Ketiga pada tahun 1855. Piagam ini tidak dimaksudkan untuk melakukan perubahan-perubahan atas Undang-undang, melainkan lebih difokuskan pada penegakan mahkamah dan Undang-undang yang telah ada, agar menjadi lebih teratur. 18 Adapun di daerah-daerah Melayu lainnya, seperti daerah Semenanjung, Undang-Undang Common Law Inggris mulai dibawa masuk pada tahun 1937 melalui pembuatan Undang-Undang Sipil negeri-negeri Melayu bersatu. Langkah ini diperluas lagi pada tahun 1956, dimana Undang-Undang Sipil Inggris telah 18 Mardiana Abdul Rahim, dkk, Sejarah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Pulau Pinang, Dalam Jurnal Syari’ah jilid 7 edisi Januari 1999. hal. 33-34. dimasukkan kedalam Ordinan Undang-Undang Sipil Melayu, yang kemudian berlaku untuk seluruh daerah Persekutuan Tanah Melayu hingga saat ini. 19

B. Kedudukan dan Penggunaan Undang-Undang Syari’ah Sebelum dan