Perbandingan Kewenangan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia

BAB IV PERBANDINGAN IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH

SYARI’AH DAN MAHKAMAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA

A. Perbandingan Kewenangan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia

Sebagaimana disinggung dalam beberapa pembahasan sebelumnya, bahwa secara umum perundang-undangan di Malaysia dapat diklasifikasikan ke dalam dua katagori yakni Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil. Secara umum kedua Undang-Undang tersebut memiliki wewenang dan kekuasaan yang berbeda, dan tak terkecuali dalam aspek administrasinya. Walaupun agama Islam adalah agama resmi bagi persekutuan Malaysia, namun tidak serta merta menjadikan Undang-Undang Syari’ah sebagai Undang- Undang tertinggi negara tersebut. Keberadaan Undang-Undang Syari’ah di Malaysia saat ini justru dijadikan sebagai Undang-Undang sekunder. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Syari’ah berlaku atas dasar Akta Undang-Undang Syari’ah tahun 1965 yang posisinya berada di bawah Akta Undang-Udang Sipil tahun 1956 sebagai payung berlakunya Undang-Undang Sipil di Tanah Melayu. 60 60 Mahmud Saedon Awang Othman, Institusi Pentadbiran Undang-Undang dan Kehakiman Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996, h. 239. Kondisi ini secara tidak langsung semakin dilanggengkan dengan adanya ketentuan dalam konstitusi Negara yang menyatakan: “Bahwa setiap Undang-Undang yang hendak dibuat maupun dirubah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi”. 61 Sebagaimana Undang-Undang Sipil, Konstitusi Malaysia secara umum diketahui sangat kuat dipengaruhi oleh Inggris, sehingga setiap produk perundangan sipil besar kemungkinan sejalan dengan konstitusi, karenannya keduannya memang bersumber pada perundangan yang sama yakni perundangan Inggris. Adapun berkaitan dengan Undang-Undang Syari’ah, terbuka peluang untuk saling berseberangan dengan konstitusi, karena ia berasal dari sumber yang berbeda yakni dari sumber otentik Agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunah yang dalam banyak hal memang bersebrangan dengan Undang-Undang Sipil. Selain itu, Akta Undang-Undang Sipil tahun 1956 yang pertama dibuat pada tahun 1937 telah memberikan taraf dan kedudukan yang istimewa kepada Undang-Undang Sipil dalam sistem perundangan di Malaysia. Dalam saat yang sama, Undang-Undang Syari’ah telah diperkecil, dipersempit bahkan ada upaya peminggiran peran pentingnya bagi masyarakat Melayu. Keadaan inilah yang menyebabkan taraf dan kedudukan Undang-Undang Syari’ah berada di bawah Undang-Undang Sipil. Kondisi ini juga dilatar belakangi oleh kekuasaan yang dimiliki masing- masing Undang-Undang. Undang-Undang Sipil yang dijalankan di Mahkamah 61 Tan Sri Amiritus Ahmad Ibrahim dan Mahmud Saedon, Kearah Islamisasi Undang- undang di Malaysia, Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, 1998, h. 35. Sipil berkuasa untuk membicarakan kesalahan yang melibatkan semua pihak, baik yang terlibat adalah muslim maupun non muslim. Adapun Undang-Undang Syari’ah hanya berkuasa mengatur masalah-maslah orang muslim saja. Hal ini diperkuat oleh Kumpulan Undang-Undang Islam yang menyebut: “Keputusan atau hukuman seorang kadhi besar atau kadhi tidak boleh sekalipun mengenai hak milik orang-orang kafir” 62 Dalam membicarakan masalah perkawinan dan perceraian misalnya, Undang-Undang Sipil mendapat tempat yang lebih tinggi dibanding Undang- Undang Syari’ah. Kenyataan ini dapat dilihat dalam pasal 51 Akta Memperbaharui Undang-Undang perkawinan dan perceraian tahun 1976 menyatakan: jika pihak non muslim dalam suatu perkawinan telah masuk Islam, maka pihak yang tidak memeluk Islam boleh mengajukan gugatan setelah 3 bulan sejak orang tersebut masuk Islam. Ketentuan untuk mengajukan permohonan perceraian hanya boleh dimohonkan di Mahkamah Tinggi Sipil. 63 Jadi di dalam hal ini Undang-Undang Syari’ah tidak mempunyai kekuasaan, meskipun salah satu pihak yang berperkara adalah orang Islam. Perbedaan yang kian terlihat tersebut makin nyata ketika konstitusi Negara mengatur bahwa Undang-Undang Sipil diletakkan dibawah persekutuan dan berlaku untuk semua masyarakat di semua daerah persekutuan Malaysia, sedang ketentuan pemberlakuan Undang-Undang Syari’ah hanya di masing- 62 Ibid., h. 40. 63 Mahmud Saedon Othman, Institusi Pentadbiran, Kadi Pelantikan, Perlucutan dan Bidang Kuasanya, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, h. 281. masing Negara bagian. Oleh karena itulah Undang-Undang Sipil mendapat tempat yang istimewa dalam sistem perundangan dan pemerintahan di Malaysia. 64 Sebagaimana dilihat tentang perbandingan taraf dan kedudukan yang terdapat antara Undang-Undang Sipil dengan Undang-Undang Syari’ah, maka sudah tentu juga terdapat perbedaan dalam bidang kuasanya, sebagaimana di amanatkan oleh lembaga persekutuan dan perlembagaan Undang-Undang tersebut. Kekuasaan Undang-Undang Syari’ah dikawal secara ketat oleh parlimen melalui Akta Mahkamah Bidang kuasa Pidana 1965. Melalui Akta tersebut telah ditetapkan bahwa Mahkamah Syari’ah tidak mempunyai kekuasaan untuk membicarakan permasalahan pidana yang hukumannya adalah lebih berat dari pada penjara enam bulan atau denda melebihi 1.000 Ringgit Malaysia atau kedua- duannya. Perubahan Undang-Undang 1984 memperluas hukuman penjara sehingga tiga tahun atau dikenakan denda sampai dengan 5.000 Ringgit Malaysia atau cambukan rotan sebanyak enam kali atau kedua-duanya. 65 Namun kekuasaan yang diberikan kepada Undang-Undang Sipil di bawah Akta Undang-Undang Sipil 1956 adalah lebih luas. Hukuman yang paling tinggi yang boleh dikenakan bagi kesalahan pidana adalah jauh lebih tinggi yaitu penjara seumur hidup, enam kali cambukan rotan dan hukuman mati bagi tindak 64 Mahmud Saedon Awang Othman, Institusi Pentadbiran Undang-Undang dan Kehakiman Islam, h. 119. 65 Mohamed Azam Mohamed Adil, Bidang Kuasa dan Kedudukan Mahkamah Syari’ah di Malaysia Pasca Alaf 20: Ke Arah Mana?, dalam Jurnal Syari’ah jilid 8, edisi Juli, 2000, h. 109. pidana yang lebih berat. Adapun kekuasaan yang demikian tidak diberikan kepada Undang-Undang Syari’ah di bawah Mahkamah Syari’ah. 66 Selain itu, kekuasaan yang diberikan kepada Undang-Undang Syari’ah di bawah Mahkamah Syari’ah hanya boleh membicarakan dan menghukum orang- orang Islam saja. Undang-Undang Syari’ah tidak mempunyai wewenang untuk membicarakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang bukan Islam. Misalnya, jika perempuan muslim ditemukan sedang berduan di tempat sepi bersama lelaki bukan muslim, maka hanya pihak yang beragama Islam saja yang didakwa di Mahkamah Syari’ah di bawah Undang-Undang Syari’ah. 67 Kenyataan ini diperkuat lagi dengan Pasal 52 Kumpulan Perundangan Islam 1989 Selangor menyatakan; “Tidak ada suatu keputusan Mahkamah Rendah Syari’ah, Mahkamah Tinggi Syari’ah dan Mahkamah Rayuan Syari’ah boleh melibatkan hak dan harta seseorang yang bukan muslim”. Ketika Mahkamah Sipil mempunyai kekuasaan untuk menangani dan menghukum orang-orang Islam dan bukan Islam, maka Mahkamah Sipil juga diberikan kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman yang jauh lebih tinggi dari pada hukuman yang ada di Mahkamah Syari’ah. Segala tindak pidana atau sipil yang melibatkan muslim atau non muslim selain sebagaimana yang diatur dalam Mahkamah Syari’ah adalah diproses pada Mahkamah Sipil berdasarkan ketentuan Undang-Undang Sipil. 66 Hamid Jusoh, Alih Bahasa oleh Raja Rahawani, Kedudukan Undang-Undang Islam Dalam Perlembagaan di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992, h. 51-53. 67 Tan Sri Amiritus Ahmad Ibrahim dan Mahmud Awang Othman, Kearah Islamisasi Undang-Undang, h. 40. Berkaitan dengan perbandingan antara kekuasaan Undang-Undang Syari’ah dan Sipil, secara umum dalam Kumpulan Perlembagaan Undang- Undang Syari’ah Islam telah mengatur enam hal pidana: 1 Kesalahan suami istri 2 Kesalahan terkait dengan hubungan seksual 3 Kesalahan yang terkait dengan minuman keras 4 Kesalahan yang berhubungan dengan aspek keimanan 5 Kesalahan yang berkaitan dengan pengambilan anak angkat 6 Berbagai kesalahan lain yang berkaitan dengan agama. Adapun yang berkaitan dengan kekuasaan, dalam Undang-Undang Sipil juga dibagi menjadi lima, yaitu: 1 Pertunangan, nikah, pembatalan nikah atau cerai 2 Pemberian harta benda atau tuntutan terhadap harta yang muncul dari pernikahan atau perceraian 3 Nafkah bagi anak dan istri 4 Pemberian harta bersama, wakaf dan nazar 5 Perkara lain yang diberikan kekuasaan oleh Undang-Undang tertulis. Hal-hal yang telah dijabarkan di atas adalah berada dalam kekuasaan Undang-Undang Syari’ah. Tetapi bagi kesalahan-kesalahan yang tidak disebutkan sebagaimana di atas, seperti tindak pidana mencuri, merampok, membunuh adalah berada dalam kekuasaan Undang-Undang Sipil dan dibicarakan dalam Mahkamah Sipil. Disini juga dapat dilihat tentang perbandingan wewenang yang diberikan diantara dua mahkamah di atas, dimana kekuasaan Undang-Undang Syari’ah terlihat sangat terbatas. Selain itu, kekuasaan Undang-Undang Syari’ah di Mahkamah Syari’ah hanya mempunyai kekuasaan menangani seseorang yang melakukan suatu kesalahan dalam sebuah daerah saja. Namun jika si pelaku berada di daerah lain, maka pihak mahkamah tidak mempunyai kekuasaan untuk membicarakan dan menanganinya. Berbeda dengan Undang-Undang Sipil di Mahkamah Sipil, ia mempunyai kekuasaan untuk menangani kesalahan seseorang meskipun tindak kesalahan tersebut dilakukan di daerah lain. Ini dikarenakan Akta Undang- Undang Sipil diberlakukan secara merata di seluruh wilayah Malaysia, sedang pembuatan Undang-Undang Syari’ah berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Disamping itu, Undang-Undang Sipil mempunyai ketentuan untuk menjalankan kekuasaannya dalam urusan keluarga, meskipun semua pihak yang terlibat beragama Islam. Kekuasaan tersebut adalah: 1 Keputusan mengenai adopsi anak boleh dibuat mengikuti hukum agama Islam seperti yang diatur dalam akta atau pengundangan Undang-Undang keluarga Islam atau mengikuti Undang-Undang Inggris di bawah Pasal 112 Akta keterangan. 2 Kontrak pertunangan, sekiranya ingin menuntut ganti rugi atas pembatalan kontrak pertunangan. 3 Penentuan hak asuh anak, masih diperbahas dalam Akta Anak-anak 1961. 4 Menentukan harta bersama, masih ada yang dibicarakan selain di Mahkamah Syari’ah bagi orang-orang Islam. 68 B. Perbandingan Implementasi Kewenangan Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil berdasarkan Undang-Undang Syari’ah dan Undang- Undang Sipil Secara umum dapat dikatakan bahwa implementasi kewenangan Mahkamah Syari’ah telah dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Syari’ah dan sesuai dengan apa yang menjadi kewenangannya. Demikian juga implentasi kewenangan Mahkamah Sipil sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang- undang Sipil dan yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi dalam kasuas-kasus tertentu masih terdapat adanya ketimpangan atau ketidaksesuaian dalam implementasi kewenangan Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil. Kasus- kasus tersebut antara lain: 1. Wasiat Wasiat merupakan salah satu perkara yang kewenangannya diberikan kepada Undang-undang Syari’ah, sehingga seharusnya hal-hal yang berkaitan dengan wasiat bagi orang Islam harus diselesaikan menurut hukum Islam 68 Ibid., h. 282 yaitu di Mahkamah Syari’ah. Akan tetapi dalam implementasinya bahwa proses pengurusan wasiat masih dilaksanakan di Mahkamah Sipil, Mahkamah Syari’ah hanya mengesahkan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Sipil tersebut. Kesannya, orang Islam terpaksa merujuk kepada dua Mahkamah dalam urusan wasiat, pertama ke Mahkamah Syari’ah untuk menentukan keabsahannya dan kedua ke Mahkamah Sipil untuk urusan administrasinya. Hal ini menyulitkan umat Islam karena dapat menghabiskan waktu dan biaya yang banyak. Hal ini terjadi karena di negara-negara bagian belum terbentuk Undang-Undang syari’ah yang khusus mengatur tentang wasiat kecuali di negeri Slangor. 69 Belum terbentuknya Undang-undang Syari’ah tentang wasiat ini mengakibatkan masih berlakunya hukum peninggalan Inggris Undang-Undang Sipil. Menurut hukum Islam seorang boleh mewasiatkan hartanya hanya sepertiga kepada bukan ahli waris. Wasiat kepada ahli waris dianggap tidak sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Kesahihan wasiat kepada isteri yaitu waris si mayit bergantung kepada persetujuan para ahli waris yang lain, jika tidak ada persetujuan wasiat tersebut tidak sah meneurut hukum Islam. Namun berdasarkan Undang-undang Britis Mahkamah Sipil hakim memutuskan bahwa pemberian wasiat oleh suami kepada isterinya tanpa disertai dengan persetujuan ahli waris yang lain adalah sah dan isteri berhak 69 Mahamad Arifin, et al., Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007, cet. I, jil. XII, h. 185 menerima semua harta warisan. Undang-undang yang dipakai di Malaysia adalah Undang-undang Britis berdasarkan Piagam Keadilan Kedua second Charter of Justice 1826 yang lebih tinggi dari undang-undang negara bagian. 2. Murtad Walaupun hak kebebasan beragama dijamin, ia tida dijelaskan secara rinci oleh Perlembagaan Persekutuan. Ia hanya mengatakan bahwa meskipun Islam disahkan sebagai agama resmi persekutuan, agama-agama lain dibenarkan mengamalkan ajarannya dengan aman. Seperti yang telah diketahui dalam perlembagaan sama halnya dengan aspek-aspek kebebasan asasi lainnya tidak memberi kebebasan mutlak dalam kebebasan beragama. Ia dibatasi oleh beberapa hal seperti berkaitan dengan ketertiban umum, kesehatan masyarakat umum dan akhlak moral. Dalam pada itu agama- agama lain tidak dibenarkan menyebarkan ajaran mereka kepada orang-orang Islam yang secara langsung menunjukkan kelebihan yang diberikan kepada Islam berbanding dengan agama-agama lain. Penganut-penganut agama lain juga dibenarkan mengelola institusi-institusi agama mereka. Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah Sipil memutuskan bahwa hak kebebasan beragama meliputi hak untuk memilih agama, tetapi tidak menganggap perbuatan murtad sebagai bagian dari hak itu. 70 70 Abdul Aziz Bari, Islam dalam Perlembagaan Malaysia, Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2005, cet. I, h. 117-118 Dalam hal ini pernah terjadi statu kasus di Mahkamah Syari’ah Kelantan, yaitu kasus yang dialami oleh Daud bin Mamat. Ia keluar dari Islam sehingga difonis sebagai orang yang murtad berdasarkan Undang-Undang Syari’ah Kelantan di bawah syeksen 102 Enakmen 1994 yang dibuat oleh Dewan Undangan Negeri Kelantan yakni yang menyatakan bahwa seorang yang beragama Islam tidak boleh mengakui dirinya bukan Islam. Berbeda dengan perkara 11 1 Undang-undang Perlembagaan Persekutuan tentang Hak Kebebasan Beragama. Argumen tersebut ditolak oleh Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Rayuan Banding. Yang menetapkan bahwa syeksen tersebut “bukan menghalang seorang Islam untuk keluar daripada agama Islam”. 71 Terdapat dua putusan mahkamah yang berbeda, menurut keputusan Mahkamah Syari’ah Kelantan bahwa seorang yang keluar dari agama Islam difonis sebagai seorang yang murtad dan dapat dikenakan sanksi pidana sedangkan berdasarkan keputusan Mahkamah Sipil hal itu tidak termasuk suatu perbuatan pidana karena pindah agama merupakan hak kebebasan agama seseorang.

C. Analisa Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan