Kedudukan dan Kekuasaan Undang-Undang Sipil di Tanah Melayu pada Masa Penjajahan Inggris.

adalah duplikasi perundangan Inggris dan mahkamah-mahkamah yang didirikannya pun juga mengikuti sistem yang ada di Inggris. Kemudian Undang-Undang Inggris terus mendapat tempat di Sabah dengan diterbitkannya Ordinan Pemakaian Undang-Undang Sabah pada 1 Desember 1951. Pada 1 April 1972 sama seperti Serawak, Sabah juga menerima Ordinan Undang-Undang Sipil 1956 yang telah diperkenalkan secara luas di Malaysia Barat. 45

B. Kedudukan dan Kekuasaan Undang-Undang Sipil di Tanah Melayu pada Masa Penjajahan Inggris.

Undang-Undang Sipil yang dimaksudkan disini adalah Undang-Undang sekuler Inggris meliputi Undang-Undang Pidana, Kontrak, Dagang dan lainnya. Pada masa-masa awal, perundangan yang berlaku di negeri-negeri Melayu adalah Undang-Undang Syari’ah atau Undang-Undang Islam bersama dengan Undang- Undang Adat. Sebelum kedatangan penjajah, Undang-Undang Syari’ah dan Adat mendapat tempat tertinggi dalam sistem perundangan bagi penyelesaian setiap masalah yang muncul, namun peran dan kedudukan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Adat mulai berubah dengan bercokolnya penjajah Inggris yang kemudian memasukkan perundangannya, dengan menggeser Undang- Undang Syari’ah dan Adat. Undang-Undang Sipil Inggris semakin mendapat tempat dan kedudukan tinggi dalam sistem perundangan di Tanah Melayu, 45 Ibid., h. 89 dengan semakin kokohnya kolonialisme Inggris di Tanah Melayu. Dengan kata lain, kedudukan Undang-Undang Sipil mendapat tempat teratas sejak ia diperkenalkan dan menggantikan Undang-Undang Syari’ah dan Adat. Kini Undang-Undang Syari’ah dan Adat berada pada kedudukan yang lebih rendah dibanding Undang-Undang Sipil. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Indo Remaria Her Toqh 1951 17 MLJ 164. Dalam hal ini pihak yang terlibat adalah orang- orang Islam, namun Undang-Undang Syari’ah tidak dijadikan rujukan oleh pihak- pihak yang terlibat dan justru menyandarkan masalahnya pada Undang-Undang Sipil. 46 Berdasarkan kedudukan yang tinggi dibanding Undang-Undang Syari’ah, maka kekuasaan yang dimilikinya pun lebih luas. Termasuk dalam hal tindak pidana, baik yang melibatkan orang-orang Islam maupun non-muslim. Kekuasaan Undang-Undang Sipil di Mahkamah Sipil semasa penjajah Inggris meluas dalam berbagai perkara kecuali dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan agama Islam dan adat orang Melayu. Namun tidak sedikit pula perkara-perkara yang berkaitan dengan orang Islam berada di bawah kekuasaan Undang-Undang Sipil di Mahkamah Sipil, seperti wasiat, perceraian, penjagaan anak dan lainnya. Secara keseluruhan kekuasaan Undang-Undang Sipil pada masa penjajahan sangat luas meliputi Undang-Undang Syari’ah yang ada di Malaysia. Menurut ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Sipil Inggris, Mahkamah Tinggi Sipil pada masa penjajahan Inggris boleh membicarakan atau 46 Hamid Jusoh, Kedudukan Undang-undang Islam, h. 25. mendengar peninjauan yang ingin dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam hal yang telah diputuskan di Mahkamah Syari’ah. Bahkan keputusan yang telah diputuskan hakim Mahkamah Syari’ah dapat diubah sekiranya diperlukan berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Sipil Inggris. 47 Pada masa itu Undang-Undang Sipil Inggris juga dijadikan rujukan utama sekiranya ketentuan terhadap satu masalah tidak terdapat dalam Undang-undang yang ada atau Undang-undang yang ada dianggap sudah tidak sesuai untuk menyelesaikan setiap masalah yang muncul. 48 Undang-Undang Inggris juga akan dijadikan rujukan utama jika ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang- Undang Syari’ah bertentangan dengan ketentuan yang ada di dalam Common Law Inggris. Pada masa itu pula Undang-Undang Sipil merupakan pengesah Undang- Undang Syari’ah. 49

C. Kedudukan, Wewenang dan Pelaksanaan Undang-Undang Sipil di Malaysia