Teori-teori tentang nilai baik dan buruk etika

perbuatan yang buruk dan menyusulnya dengan gembira dan senang waktu ditaati dan terasa perih dan sakit waktu dilanggar. 10

b. Nilai

Unsur ini dianggap paling penting sebab merupakan kumpulan sikap, perasaan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik buruk, benar-salah, patut tidak patut, mulia-hina, maupun penting tidak penting.

c. Norma

Peraturan atau kaidah sebagai tolak ukur untuk mencapai sesuatu yang membatasi gerak manusia yang bersifat larangan atau merupakan patokan, dasar atau ukuran, aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksud untuk mendorong bahkan menekan orang per-orang secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial. Dengan demikian setelah dipelajari dan ditelaah etika itu membicarakan tentang baik dan buruk, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, serta norma yang berlaku di dalamnya dan hati nurani untuk menjaga tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

2. Teori-teori tentang nilai baik dan buruk etika

Untuk membicarakan tentang teori-teori etika ada banyak teori tetapi penulis membatasinya dengan memperkenalkan beberapa pandangan di antaranya: 10 Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, h. 68 Pertama, hedonisme, mengerjakan sesuatu dianggap baik bila mengandung kenikmatan dan kepuasan bagi manusia. Manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Kedua, vitalisme, baik dan buruk ditentukan oleh ada tidak adanya kekuatan hidup yang dikandung oleh objek yang dinilai. Manusia yang kuat, ulet, cerdas, itulah yang baik, manusia mengandung daya hidup yang besar. Ketiga, utilitarianisme, menyatakan bahwa yang baik adalah yang berguna. 11 Bagi Bentham, utilitarianisme merupakan perkembangan hedonisme. Baginya etika harus memperhitungkan jumlah kenikmatan dikurang jumlah penderitaan tentang hasil perbuatan, itulah yang menentukan nilai perbuatan. Menanggung derita dalam melakukan kebaikan adalah tidak baik. Jadi, mesti dihitung lebih dahulu, banyak mana kenikmatan ataukah penderitaan yang terdapat di dalam perbuatan itu. Dari pemahaman-pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengambil pemahaman tentang perbuatan baik, perlu adanya tinjauan dari berbagai segi kenikmatan, kekuatan hidup, kegunaan hidup. Jadi jelaslah bahwa ukuran baik dan buruk yang dibicarakan etika ternyata ada perbedaan masing-masing dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Namun demikian, perbedaan yang ada tentang ukuran baik dan buruk yang dibicarakan oleh etika tidak serta merta menafikan tujuan pemaknaan etika itu sendiri. Masing-masing pemahaman yang ada berusaha untuk memberikan makna yang baik bagi manusia dalam melaksanakan suatu etika. 11 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Haji sejak Thales sampai Copra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, cet. Ke-7, h. 40

B. Aliran-aliran Etika

1. Barat

Dalam filsafat etika, terdapat beberapa uraian sistematis tentang hakikat moralitas atau etika dan peranannya dalam hidup manusia. Di antaranya adalah: a. Hedonisme Sokrates menyatakan bahwa perlunya pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau perahu tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita. 12 Adapun Epikuros melihat bahwa kesenangan sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan, tapi pengertiannya tentang kesenangan lebih luas dari pada pandangan Aristipkos. Walaupun tubuh manusia merupakan ‘asas serta akar’ segala kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: “Bila kami mempertahankan kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa” surat kepada Menoikeus. Tapi kesenangna rohani itu hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani. Ia juga tidak membatasi kesenangan pada kesenangan aktual saja. 12 K. Bertens, Etika, h. 236