Tradisi Salaf Sebagai Bahan Rujukan

agama mungkin mendukung kesinambungan eksistensi masyarakat atau malah berperan menghancurkannya. 7 Bagi para penganut aliran fungsionalisme, mereka dengan sengaja memberikan sorotan dan tekanan khusus atas apa yang ia lihat dari agama. Jelasnya ia melihat agama dari fungsinya. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik di lingkup lokal, regional maupun nasional. Maka tinjauan teori fungsional yang dipentingkan adalah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama atau agama-agama, cita- cita masyarakat akan terciptanya suatu keadilan, kedamaian dan kesejahteran jasmani dan rohani dapat terwujud. 8 Dari beberapa definisi mengenai etika dan beragama di atas, dapat disimpulkan bahwa etika beragama adalah aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam menjalankan ajaran-ajaran yang terdapat dalam suatu agama. Dengan kata lain, etika beragama merupakan tuntunan bagi seseorang yang memeluk suatu agama tentang bagaimana sebaiknya ia menjalankan ajaran yang terkandung di dalam agama yang dianutnya tersebut.

B. Tradisi Salaf Sebagai Bahan Rujukan

Perkataan Arab “salaf” secara harfiah berarti “yang lampau”. Biasanya ia dihadapkan dengan perkataan “khalaf”, yang makna harfiahnya ialah “yang belakangan”. Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan “salaf” memeroleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau 7 Thomas F O’dea, Sosiologi Agama : Suatu Pengantar Awal,terj. Tim Penerjemah Yasogama Jakarta : Rajawali Press, 1995, Cet. Ke-6, h 30 8 Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 30 yang berkewenangan atau berotoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang berotoritas. Ini melibatkan masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu mempunyai otoritas, dan sampai di mana kemungkinan mengidentifikasi secara historis masa salaf itu. 9 Mengenai masa lampau ini, menurut Cak Nur, para pemikir Islam tidak banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Maka sangat logis pandangan bahwa yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari nabi, dan yang paling baik dalam melaksanakannya ialah mereka yang melihat praktik-praktik Nabi dan meneladinya. Selain logis, hadis-hadis pun banyak yang dapat dikutip untuk menopang pandangan itu. 10 Lebih lanjut, Cak Nur menguraikan empat pendapat mengenai perbedaan pendapat tentang kesalafan dalam arti otoritas dan kewenangan masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Empat pendapat tersebut adalah: 1. Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah benar- benar otoritatif, berwenang dan benar-benar salaf. Kaum Sunni boleh dikata kelanjutan langsung atau tidak langsung dari masyarakat Islam masa Dinasti Umayyah, dengan berbagai unsur kompromi akibat usaha 9 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. Ke-5, hal. 374-375 10 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 375 rekonsiliasi keseluruhan umat Islam mengatasi sisa-sisa pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya. 2. Bani Umayyah atau kaum Umawi sendiri, dalam masa-masa awalnya, mengakui hanya masa-masa Abu Bakar, Umar dan Utsman, tanpa Ali, sebagai masa salaf yang berkewenangan dan otoritatif. 3. Sedangkan kaum Khawarij, yaitu kelanjutan dari sebagian kelompok pendukung Ali – yang mereka itu menunjukkan gelagat persetujuan atas pembunuhan Utsman tapi kemudian kecewa dengan Ali dan membunuhnya – hanya mengakui masa-masa Abu Bakar dan Umar saja yang berwenang dan otoritatif, sehingga boleh disebut sebagai masa salaf. 4. Kemudian terdapat kaum Rafidah dari kalangan Syi’ah yang menolak keabsahan masa-masa kekhalifahan pertama itu kecuali masa Ali. 11 Dalam perkembangan lebih lanjut paham Sunni, golongan salaf tidak saja terdiri dari kaum Muslim masa Nabi dan empat khalifah yang pertama, tetapi juga meliputi mereka yang biasa dinamakan sebagai kaum tabi’in kaum pengikut, yakni, pengikut para sahabat Nabi, yang merupakan generasi kedua umat Islam. Bahkan bagi banyak sarjana Sunni golongan salaf itu juga mencakup generasi ketiga, yaitu generasi tabi’untuk al-tabi’in para pengikut dari para pengikut. 12 Salah satu karakteristik kuat umat salaf ialah kesadaran hukumnya yang tinggi. Kesadaran hukum itu merupakan kelanjutan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para pemegang kewenangan atau otoritas ulu al-amr, wali al-amr. Dengan perkataan lain, kesadaran hukum itu tumbuh akibat adanya rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup sehari-hari. Maka konsep 11 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 375-376 12 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 377 tentang hukum dalam Islam tidaklah seluruhnya sama dengan konsep di Barat, misalnya, yang merupakan kelanjutan konsep hukum zaman Romawi kuno.

C. Pluralisme Sebagai Aplikasi atas Etika